Compartir

Bab. 10

Autor: Layli Dinata
last update Última actualización: 2025-10-04 18:54:43

Kamu serius mau kerja, Yar?” tanya Arunika, memiringkan kepala heran.

Yara mengangguk mantap. “Aku cuma tinggal bab terakhir, kok. Tinggal nunggu jadwal sidang.” Suaranya terdengar yakin, meski ada sedikit getar di ujungnya. “Lagian, aku nggak bisa terus-terusan ngandelin orang tua. Di rumah kamu juga nggak enak kalo lama-lama.”

Arunika tersenyum lembut, lalu menggenggam tangan Yara. “Aku bangga, tahu.”

Yara tertawa kecil. “Bangga-nya nanti aja pas kita udah wisuda bareng, baru boleh peluk-peluk gini.”

“Siap, calon sarjana,” goda Arunika, memeluk Yara singkat sebelum melepaskan. “Udah, sana berangkat. Papa pasti udah nungguin di bawah.”

Yara meraih tasnya, lalu mematut diri di depan cermin. Blus putihnya rapi, rok span selutut itu menonjolkan kaki jenjangnya, rambutnya tergulung rapi. “Aku cantik, kan?”

“Cantik banget. Sekalian bikin orang gagal fokus,” jawab Arunika setengah mengantuk sambil rebahan. “Jangan lupa tutup pintu, ya.”

“Oke! Bye, Runi!”

Yara menuruni tangga pelan-pelan. Heels-nya beradu pelan dengan lantai marmer.

“Om El?” panggilnya begitu sampai ruang tamu.

Elvaro yang sedang memeriksa berkas menoleh. Tatapannya sedikit membeku sebelum cepat-cepat berdeham.

Yara kembali mengoreksi penampilannya. “Om kenapa? Apa ada yang aneh sama penampilanku?”

Elvaro menggelengkan kepala. “Gak ada yang aneh, kok. Kamu cantik. Ayo!”

Yara terdiam sepersekian detik. Kata itu—cantik—masih menggema di kepalanya. Tapi ia cepat menyembunyikan senyum yang mulai muncul di bibirnya. “Makasih, Om.”

“Sarapan,” ucap Elvaro sambil menydorkan paper bag pada Yara.

Mereka keluar rumah, Elvaro bahkan sempat membukakan pintu mobil. Yara sempat tercengang dengan perlakuan sopan itu.

“Om nggak sarapan?” tanyanya saat sudah duduk di kursi penumpang.

Elvaro hanya menggelengkan kepala.

Yara membuka isinya — dua potong sandwich dan segelas strawberry milkshake.

“Om, ini dua. Bagi satu ya,” katanya antusias.

“Om nyetir, Yara. Makan aja kamu—” ucapan Elvaro terhenti begitu Yara menyodorkan sandwich itu ke depan mulutnya.

“Kan nggak adil kalo cuma aku yang makan,” katanya sambil tersenyum manis.

Elvaro sempat menatap sekilas — mata mereka bertemu sepersekian detik — sebelum akhirnya ia membuka mulut dan menggigit sandwich itu.

Yara tersenyum kecil, lalu menggigit bagian yang sama tanpa banyak pikir. Dalam diam, Elvaro menelan ludah, sementara Yara menatap jalanan yang mulai ramai. Tapi dalam kepalanya, satu hal terlintas.

‘Baru pertama kali aku merasa, pagi bisa sepanas ini.’

Hening.

Saat mobil berhenti di depan kantor barunya, Yara belum langsung turun. Tangannya saling meremas di pangkuan, mencoba mengumpulkan semangat yang tersisa.

Elvaro meliriknya sekilas, lalu tanpa ragu menggenggam tangan Yara. Hangat. Tegas. “Semangat, ya. Bilang aja kamu kerabat Om.”

Bukannya semangat, Yara malah tambah deg-degan. Jarak wajah mereka cuma dua jengkal. Napasnya terasa naik turun.

“Iya, Om,” jawabnya pelan, nyaris seperti bisikan.

Elvaro tersenyum tipis, lalu mengusap kepala Yara lembut. “Turun sana. Kamu pasti bisa.”

“Ma-makasih, Om.” Yara buru-buru melepas sabuk pengamannya, tapi malah macet. “Eh, aw! Kuku aku kejepit!”

“Coba sini,” Elvaro langsung mencondongkan tubuhnya. Jemarinya menyentuh gesper sabuk Yara, membuat gadis itu refleks menahan napas. Jantungnya berdetak gila-gilaan, apalagi aroma parfum Elvaro yang khas terasa dekat sekali.

Klik.

Elvaro menoleh, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Yara. “Sudah.”

“Te-terima kasih, Om.” Yara menurunkan pandangannya cepat-cepat, tapi Elvaro justru tak beranjak..

“Kamu baik-baik aja? Pipi kamu merah.”

“Ha? Nggak kok, Om.” Yara spontan menutup pipinya, lalu memalingkan wajah. Tapi ia tahu, Elvaro pasti melihat rona merah itu makin jelas.

Elvaro tersenyum kecil. “Ayo, sana masuk. Percaya deh, kamu langsung diterima. Om udah kasih tahu mereka.”

“Ta-tapi gimana aku mau turun, kalau Om...,” Yara menunjuk dada Elvaro yang masih terlalu dekat.

“Oh.” Elvaro buru-buru menarik diri, dan kini justru dia yang pipinya memerah.

Yara nyengir kecil. “Bye, Om.”

Elvaro hanya mengangguk, kedua tangannya kembali mencengkeram kemudi. Tapi matanya sempat menatap bayangan Yara di kaca spion, dengan senyum samar yang susah ia tahan.

Saat Yara melangkah masuk ke lobi klinik yang masih sepi, seseorang langsung memanggilnya.

“Pasti Yara, ya!” suara seorang wanita terdengar ramah, tapi tegas.

Yara menoleh. Seorang wanita berusia sekitar empat puluhan berdiri di depan resepsionis, tampil rapi dengan jas putih dokter dan rambut disanggul elegan.

“Iya, Bu. Saya Yara,” jawabnya sopan.

“Saya Dokter Nathalie, teman Elvaro. Dia udah cerita banyak tentang kamu.” Nathalie tersenyum kecil, lalu melirik ke arah ruangan dalam. “Ayo, masuk. Nanti Mila yang ajarin kamu. Tapi sebelumnya, saya mau ngobrol dulu sebentar, boleh?”

Yara mengangguk kikuk. Pandangannya sempat melirik papan nama besar bertuliskan Dr. Nathalie Beauty & Aesthetic Clinic. Bangunannya tampak baru, tapi suasananya berkelas.

Begitu mereka duduk di ruang konsultasi kecil, Nathalie menatap Yara serius.

“Klinik belum buka dua jam lagi. Jadi, kita bisa santai dulu.” Ia menautkan jari-jarinya di atas meja, lalu berkata pelan tapi jelas, “Saya mau tanya satu hal, Yara. Hubungan kamu sama Elvaro itu... apa, sebenarnya?”

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 95

    Yara tidak lagi menangis. Sekarang yang tersisa di wajahnya hanyalah ketakutan yang sudah berubah menjadi tekad nekat.Ia tidak ingin merepotkan siapapun.Ia tidak ingin membuat masalah lebih besar.Dan yang paling ia takuti, sang papa akan memaksanya menggugurkan kandungannya.Memaksa ia memilih, padahal ia bahkan belum siap kehilangan apa pun. Ia menyiapkan barang bawaannya, tas ransel dan tas selempang yang ia masukkan sekalian me dalam tas tersebut.Dengan napas terengah, Yara menghapus air matanya, lalu berdiri sambil memegangi dinding agar tidak jatuh. Perutnya masih terasa kram, tetapi ia paksakan diri.Ia mengambil seprai dari lemari, menggulungnya panjang-panjang, lalu mengikat ujungnya menjadi simpul.Tangan gemetarnya bekerja cepat—putus asa membuatnya berani.“Maaf, Pa, Tante, Runi, Mas El, aku harus pergi menjauh dari kalian.”Ia berbisik sambil menyeret seprai menuju pintu ke teras balkon kamar.Balkon itu tidak terlalu tinggi—sekitar empat meter. Di samping rumah ada be

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 94

    Ada apa, Kai?” Elvaro akhirnya bersuara, nada resah sangat kentara.Kaivan berjalan mendekat, wajahnya tegang.“Arunika sudah tahu, Om… Kalau selama ini aku juga bantu tutupin rahasia.”Elvaro meraup wajahnya kasar, kedua bahunya turun seperti kehilangan tenaga.“Aku udah bilang ke Yara, Om,” Kaivan melanjutkan lirih. “Aku minta dia ngomong ke Runi. Tapi dia… selalu nunda.”Elvaro terduduk di sofa, kepalanya menunduk dalam. Sungguh, tubuhnya tampak seperti pria yang sudah kehilangan seluruh semangat hidupnya.Ruangan itu sunyi untuk beberapa detik. Sampai akhirnya Kaivan kembali bicara, suaranya mendesak.“Jadi gimana, Om? Kita harus yakinkan Runi. Dia harus siap. Kasihan Yara… dan anaknya.”Elvaro langsung mengangkat wajah, pandangannya terpaku, seolah tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar.“Anak?”Kaivan membeku. Ia menatap Elvaro, bingung.“Yara… gak bilang kalau dia hamil?”Elvaro mengulang lirih, seperti tersengat sesuatu.“Hamil?”Tubuh Elvaro menegang. Wajahnya memucat d

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 93

    Arunika duduk di tepi ranjang, kedua tangannya meremas ujung selimut. Kaivan tetap berada di sampingnya, satu tangan mengusap punggung gadis itu yang naik turun karena tangis yang masih tersisa.Dengan suara serak dan terputus-putus, Arunika akhirnya mulai berbicara.“Kai ….”Kaivan mengangguk, seolah siap menampung segala unek-unek yang ada pada diri Arunika. Bahkan tangannya kini merambat ke kepala, membelai rambut Arunika dengan lembut.“Yara ….”Deg!Kaivan menelan ludah. Namun ia berusaha untuk tetap tenang. “Yara kenapa?”Arunika menunduk, tangisnya pecah lagi. Dafanya sesak, sungguh berita ini telah menamparnya, seolah ia tak ingin sadar lagi.“Yara sama Papa menjalin hubungan. Mereka ….” Arunika kembali menangis, matanya sudah sangat panas. “Hubungan yang gak wajar. Lionel memberikan bukti berupa foto, mereka ….”Kaivan terdiam. Mata laki-laki itu membulat pelan, jantungnya sontak turun ke perut. ‘Jadi Runi sudah tahu?’ batinnya. Selama ini ia menahan diri, menunggu waktu yang

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 92

    Kaivan keluar dari ruang rapat dengan napas berat. Begitu pintu tertutup di belakangnya, ia langsung menyalakan ponsel—dan melihat deretan panggilannya yang tak terjawab. Semua menuju ke satu nama.Runi.Dahinya langsung mengernyit. Tidak biasanya Arunika seperti ini. Biasanya, meskipun sedang bad mood, Arunika masih akan membalas chat atau minimal angkat sekali lalu bilang, “Aku lagi capek, nanti aku telepon lagi ya.”Tapi kali ini?Tidak ada.Bahkan chatnya pun cuma tercentang biru tanpa balasan.Kaivan merapikan map rapatnya secara terburu-buru, sampai beberapa kertas hampir jatuh. Jantungnya tak karuan, seperti diperas dari dalam. Ada firasat buruk yang membuat tangannya dingin.“Ada apa sih sebenarnya, Run…” gumamnya lirih.Ia menutup map, memasukkannya asal ke tas, lalu berdiri tanpa pamit pada rekan kerjanya. Tak peduli citra profesionalnya tercoreng. Tak peduli orang lain melihatnya gelisah.Yang ada di kepalanya hanya satu.Runi harus baik-baik saja.Ia berjalan cepat menuju

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 91

    Begitu pintu tertutup rapat, Arunika langsung merosot ke lantai. Dadanya naik turun cepat, tangannya gemetar bahkan untuk sekadar menarik napas. Semua terasa sesak. Terlalu sesak.Ia menenggelamkan wajahnya ke kedua lutut, tapi suara tangisnya tetap pecah tak tertahan.“Kenapa… kenapa harus Yara…?” bisiknya, suaranya putus-putus.Kepalanya penuh gambar-gambar yang datang beruntun.Yara tertawa sambil memeluknya saat mereka dapat ranking…Yara tidur di sofa kamarnya saat mereka nonton drakor sampai pagi.Yara nangis di bahunya waktu pertama kali diputus pacarnya.Yara bilang, “Run kamu adalah rumah aku.”Dan sekarang?Yara ada di foto itu. Di pelukan ayahnya. Dengan cara yang tidak seharusnya.Dengan cara yang menusuknya sampai ke dasar hati.Arunika memukul dadanya sendiri pelan, tidak tahu harus meluapkan rasa sakit itu ke mana. “Apa Yara bohong selama ini? Apa Papa juga bohong sama aku? Kenapa harus mereka berdua? Kenapa orang terdekat aku malah—”Ia tidak bisa melanjutkan. Air mata

  • Terjerat Pesona Papa Temanku   Bab. 90

    Pintu utama baru saja terbuka ketika Elvaro masuk, bahunya sedikit merosot seperti seseorang yang pulang tanpa lagi punya rumah untuk pulang. Arunika berdiri di ruang tamu, kedua tangannya mengepal begitu kuat sampai buku-bukunya memutih. Begitu melihat papanya muncul, emosi yang selama ini ia tahan pecah begitu saja.“Papa—!” teriak Arunika, suaranya bergetar, lalu berubah menjadi raungan yang meledak. “KENAPA PA?! Kenapa Papa lakuin ini sama aku. Kenapa Papa tega ngerusak persahabatan aku dengan Yara! Kenapa!”Tangisnya pecah keras. Semua kata keluar bersamaan, seperti pintu yang jebol setelah menahan badai terlalu lama.Elvaro hanya berdiri di ambang pintu, tubuhnya kaku. Tatapannya kosong, seperti seseorang yang dihantam ombak dan belum sempat bernapas. Ia tidak membalas kemarahan itu, tidak membela diri, tidak menepis. Hanya diam—diam yang menusuk lebih tajam dari apa pun. Putrinya sudah tahu akan rahasia itu, lebih cepat dari yang ia duga.Arunika mendekat, kepalan tangannya mem

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status