Laura mengernyit. “Kenapa aku harus mengikuti saranmu?”
“Wajahmu terlihat lelah dan kau butuh lebih banyak istirahat. Aku akan mengantarmu pulang.” “Tidak, Max. Aku harus tetap bekerja. Jika kau tidak mau mengantarkan aku pergi ke kantor, aku bisa naik taksi.” Max tidak menjawab. Ia membuang napas kasar lalu membukakan pintu mobil untuk Laura. “Kau bisa tetap bekerja.” Perlahan, Laura masuk ke dalam mobil, hatinya berat oleh konflik yang terasa rumit semenjak peristiwa malam panas itu terjadi. Mobil melaju tenang, menyusuri jalanan Valmerra yang masih basah oleh hujan semalam. Langit mendung, seolah ikut memantulkan kekalutan dalam benaknya. Sepanjang perjalanan, tak ada dialog. Hanya suara lembut mesin dan desiran ban yang memecah keheningan. Laura menatap ke luar jendela. Sesampainya di gedung Holligan Grup, Laura menghela napas panjang. Max turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk Laura tanpa sepatah kata. Namun saat Laura berjalan menuju lift, ia bisa merasakan tatapan pria itu masih menempel di punggungnya. Di dalam lift hanya ada mereka berdua. Suasana terasa jauh lebih sempit daripada biasanya. Laura menatap lantai lift, mencoba mengabaikan getaran kecil dalam tubuhnya. Saat lantai menunjukkan angka 30, tiba-tiba pandangannya mengabur. Dunia terasa goyah. Udara terasa tipis. Ia menggigit bibirnya, mencoba bertahan. Tapi tubuhnya limbung. “Laura!” Dalam sekejap, Max sudah menangkap tubuhnya sebelum ia terjatuh. Satu tangan melingkar di pinggang Laura, satunya lagi menopang bahunya. Nafas mereka bertautan. Keduanya terlalu dekat. “Kau baik-baik saja?” Suara Max terdengar khawatir, namun tetap ditahan dalam nada tegasnya. Laura buru-buru menarik diri, wajahnya memerah. “Aku ... hanya sedikit pusing.” Begitu pintu lift terbuka, Laura langsung berlari keluar dan masuk ke toilet wanita di koridor barat. Ia mengunci diri dalam bilik pertama, meremas ujung blouse-nya yang sudah basah oleh keringat dingin. Jantungnya berdegup tak karuan. Ia menatap cermin kecil di dalam bilik dan melihat wajahnya sendiri. Pucat, mata berkabut, bibir sedikit gemetar. “Apa yang terjadi denganku?” gumamnya lirih. Kejadian beberapa waktu yang lalu di dalam lift, membuatnya mengingat kembali malam itu. Ia merasa aroma tubuh Max masih menempel. Entah bagaimana, meski sudah mandi berkali-kali sejak kejadian itu, wangi aftershave, campuran musk dan cedar terus membayang. Begitu menyiksa akal sehat Laura. Laura memejamkan mata. “Jangan bodoh, Laura! Cukup.” Air keran dinyalakan. Ia mencipratkan air dingin ke wajahnya, berharap bisa menyegarkan kesadarannya kembali. Suara notifikasi dari ponsel mengagetkannya. Satu pesan masuk. [Kau yakin masih ingin bekerja hari ini? Aku bisa menyuruh seseorang menggantikanmu.] Laura menutup mata, lalu menarik napas panjang. Jemarinya mengetik pelan. “Aku baik-baik saja, Max. Aku hanya butuh beberapa menit.” Ia keluar dari bilik, menatap wajahnya sendiri di cermin besar toilet. Lalu mengambil concealer dari dalam tas kecilnya dan menyamarkan sisa kelelahan di bawah matanya. Setelah itu ia keluar, langkahnya masih sedikit goyah tapi ia mencoba bersikap normal. Laura kembali ke mejanya, mencoba menenangkan diri dengan mengetik laporan progres bulanan. Tapi layar komputer seperti kabur. Ia tidak bisa fokus. “Teh hangat?” Sebuah suara menghentikan jemarinya. Laura menoleh. Kirana berdiri sambil membawa dua cangkir. Kirana adalah sahabat dekat Laura yang selalu mengerti dan perhatian terhadapnya. “Kelihatan banget kamu lagi stres, Lau.” Laura memaksakan senyum. “Ah, enggak kok. Cuma kurang tidur.” “Kurang tidur atau kebanyakan mikirin bos kita yang satu itu?” goda Kirana sambil duduk di seberang meja. Laura kaku sejenak. “Maksudmu ... Max?” “Yalah, siapa lagi?” Kirana tertawa pelan. “Katanya kamu mau dipindah jadi sekretaris pribadi dia ya?” Laura hampir tersedak teh. “Aku ... enggak. Maksudku, belum ada konfirmasi.” “Kalau jadi, hati-hati aja. Kamu cantik, Tuan Max itu ... hmm ... dangerous.” Laura mencoba tertawa, tapi tawanya hambar. Sekitar pukul sepuluh, Laura dipanggil ke lantai eksekutif. Bukan ke ruang Max, melainkan ke ruang rapat untuk presentasi strategi bulanan. Chris sudah ada di sana, duduk dua kursi dari tempat yang ditujukan untuk Max. Ketika Laura masuk, Chris menatapnya sesaat. “Kau sudah sehat?” Laura mengerutkan keningnya. “Kirana bilang kau terlihat sangat lemas,” sambung Chris. Laura mengangguk, lalu tersenyum tipis. “Oh, itu, aku sudah baik-baik saja, Chris. Kirana membawakan teh hangat untukku.” Chris mengangguk. Jemarinya menggenggam erat tangan istrinya. Tak lama kemudian Max masuk. Aura kehadirannya seperti biasa, tenang, dominan, dan tanpa basa-basi. Ia duduk di kursi utama dan mulai memimpin rapat. Namun di tengah presentasi, tatapan mata Max sempat bertaut dengan Laura. Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat jantung Laura kembali berdetak tidak normal. Di luar, langit mulai berubah kelabu. Suasana kantor tetap sibuk, tapi dalam hati Laura, badai tak pernah benar-benar reda. Saat makan siang, Laura menghindar dari undangan makan bersama beberapa rekan. Ia memilih untuk ke rooftop, tempat biasanya ia mencari udara segar. Tapi ternyata Max juga ada di sana. Berdiri dengan tangan di saku celana, memandangi kota dari balik pagar kaca. “Aku tidak tahu kau suka menyendiri di sini,” ujar Laura. Max menoleh sedikit. “Tempat ini tenang. Seperti kau saat tidak sedang keras kepala.” Laura menghela napas, mendekat perlahan. “Aku hanya ingin sendiri.” “Kau tidak sendiri,” balas Max. “Kau hanya berpura-pura kuat.” Laura mendengus pelan. “Kau terus mengulang kata-kata itu. Aku bosan mendengarnya.” Hening menyelimuti mereka. Angin lembut menyapu rambut Laura, membuat anak-anak rambut di pelipisnya beterbangan. “Kau terlihat cantik saat marah,” gumam Max. Laura menatapnya tajam. “Jangan mulai lagi, Max.” “Aku serius.” Laura mundur selangkah, kembali menatap langit yang mulai gelap. “Chris tidak tahu kau bersamaku malam itu, kan?” Max tidak menjawab. Tapi matanya menegaskan semuanya. Laura menggenggam jemarinya sendiri. “Jangan buat aku jatuh, Max.” Max mendekat. Sangat dekat. Tapi ia tidak menyentuhnya. “Apakah ucapanku belum cukup jelas, Laura?! Aku menginginkanmu. Bahkan lebih dari itu.” Laura menggelengkan kepalanya. Ia mundur lagi dan terduduk di sebuah kursi. Max tersenyum penuh kemenangan. Ia menundukkan kepalanya hingga sebuah suara tiba-tiba mengusik ketenangan roooftop. “Laura, rupanya kau di sini. Aku mencarimu kemana-mana. Ponselmu, kenapa tidak aktif?”Aroma bawang putih tumis yang baru saja masuk ke minyak panas memenuhi dapur sederhana rumah Armand. Cahaya matahari pagi masuk dari jendela, menimpa wajah Laura yang tengah sibuk memotong sayur. Tangan mungilnya bergerak hati-hati, sesekali berhenti untuk memastikan potongannya rapi.Ia ingin membuktikan sesuatu, bahwa ia tidak hanya menumpang, tapi juga bisa berguna. Laura tahu betul, kehadirannya di rumah ini hanyalah sementara. Ia mengulang itu berkali-kali di dalam hati. “Kalau aku bisa membantu, mungkin Tante Ratna akan sedikit lebih hangat,” ujar Laura lirih.Namun sejak ia bangun subuh tadi, Ratna hanya menatapnya datar, dingin seperti biasa. Ratna sibuk mengatur piring dan sendok, tapi sesekali menoleh ke arah Laura dengan sorot mata yang sulit dibaca.“Jangan potong terlalu besar,” suara Ratna terdengar pelan, tapi menusuk.“Iya, Tante,” jawab Laura cepat. Ia tersenyum kecil, berusaha menahan rasa kikuk.Dapur pagi itu hening, hanya ada suara pisau dan wajan yang sesekali b
Laura menatap bayangan dirinya di cermin kamar rumah Armand. Rambutnya yang dulu sering dipuji Chris karena lembut dan wangi, kini tampak kusut dan kusam. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, tanda betapa sedikitnya tidur yang ia dapat dalam beberapa malam terakhir.“Apakah aku benar-benar seburuk ini sekarang?” bisiknya pada pantulan wajahnya sendiri.Ada getaran getir di suaranya. Laura teringat bagaimana dulu, setiap kali ia merasa lelah, Chris selalu menyentuh pipinya lembut dan berkata, “Kamu tetap cantik bagiku.” Tapi kalimat itu kini terasa seperti dusta paling pahit.Ketukan pelan di pintu membuatnya terlonjak.“Laura, ini aku.” Suara Max.Laura buru-buru menyeka pipinya yang basah, lalu berusaha menenangkan nada suaranya. “Masuklah.”Pintu terbuka, dan Max melangkah masuk dengan langkah tegas khasnya. Ia membawa sebuah nampan berisi teh hangat dan roti tawar. “Paman menyuruhku memastikan kau sarapan.”Laura memaksa tersenyum, meski hatinya enggan menatap langsung
Laura menunduk, jari-jarinya meremas rok yang dipakainya. “Aku tidak bisa lagi, Max. Aku berusaha menutup mata, berusaha percaya, tapi kenyataan terlalu jelas.”Ia berhenti sejenak, menelan ludah, lalu menatap ke luar jendela lagi. “Chris dia bersama Kirana. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku memergoki mereka tengah bercinta di kamar tamu di saat aku sedang sakit.”Tangis Laura pecah. Ia masih teringat akan pengkhianatan itu.Max merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya. Bagian dirinya ingin merayakan kabar itu, leganya luar biasa. Laura akhirnya tahu. Laura akhirnya akan lepas dari Chris. Namun, bagian lain justru diliputi kegelisahan. Laura pasti sangat hancur. Dan jika Laura tidak tinggal di rumah Chris, di mana sekarang ia tinggal? Laura melanjutkan dengan suara bergetar. “Untung saja ada Paman Armand. Dia menolongku. Membukakan pintunya agar aku tempati.”Max meremas setir kuat-kuat. Nama itu membuatnya sedikit lega, sedikit tidak. Ia tahu Armand cukup bisa dipercay
Tiga hari telah berlalu.Langit Valmerra tampak kelabu. Awan menggantung rendah seperti menggambarkan isi hati Laura. Meski tubuhnya mulai membaik, pikirannya tidak. Ada ruang kosong yang semakin menganga antara dirinya dan Chris, tapi anehnya, yang membuat hatinya gelisah justru Max—bos dingin yang selalu tahu cara membuatnya merasa dilihat.Suara gemericik hujan menyambut langkah Laura saat ia keluar dari mobil taksi.Tubuhnya masih sedikit lemah, tapi ia tetap memaksakan diri untuk kembali bekerja. Di dalam tasnya, surat dokter sudah ia siapkan, hanya sebagai formalitas.Lorong menuju lift sepi. Hanya suara hak sepatu menyentuh lantai marmer yang terdengar. Saat tiba di meja kerjanya, sesuatu membuat langkahnya terhenti.Botol kaca bening. Dingin. Diletakkan rapi di sisi meja.Cairannya merah tua, agak pekat. Aroma samar jahe, sereh, dan kayu manis langsung menyelinap ke hidung. Bukan aroma sembarangan. Ini minuman yang ia sukai sejak dulu dan hanya sedikit orang yang tahu.Chris?
Laura membuka mata dengan berat. Pandangannya samar, cahaya lampu berpendar tipis di langit-langit sebuah kamar asing. Ia meraba sekeliling, mendapati tubuhnya berbaring di ranjang empuk dengan selimut hangat menutupi sebagian tubuh. Aroma obat gosok samar menempel di kulitnya, membuatnya sadar kalau seseorang telah merawatnya. Suara kursi digeser terdengar. Lalu sebuah suara berat dan lembut memanggil. “Laura, apa yang terjadi kepadamu?” Laura menoleh perlahan. Di sana, seorang pria berusia lima puluhan dengan wajah teduh dan rambut yang mulai memutih duduk di kursi. Sorot matanya penuh khawatir. Itu pamannya. “Paman ...,” sapa Laura dengan suara serak, hampir pecah. Armand mencondongkan tubuh, menggenggam tangan keponakannya dengan hangat. “Kamu bikin paman khawatir. Tadi paman pulang dari kantor dan melihat kamu pingsan di jalan. Badanmu basah kuyup.” Laura menahan isak. Air matanya mendesak keluar, tapi ia berusaha kuat. Namun tatapan teduh pamannya membuat benteng yang i
Langkah kaki Laura terasa berat saat ia memasuki area pemakaman. Tubuhnya masih lemah, wajah pucat, sisa infus di tangannya meninggalkan bekas lebam. Napasnya pendek-pendek, tapi hatinya jauh lebih sesak daripada dadanya yang terasa tertekan. Hari itu langit mendung. Daun-daun bergoyang diterpa angin, seakan ikut berduka. Namun di antara kerumunan orang yang berpakaian hitam, Laura segera menyadari sesuatu yang menyesakkan. Chris tidak ada di sana. Padahal tadi Laura pulang dulu ke rumah untuk berganti pakaian. Ia pikir Chris lebih dulu datang di sana. Hati Laura berdenyut, bukan karena kaget, tapi kecewa. Sedalam itu ternyata ketidakpedulian Chris terhadap keluarganya sendiri. Di tepi liang lahat, Miranda berdiri angkuh dengan payung hitam. Tatapannya tajam saat menyadari Laura mendekat. “Apa yang kau lakukan di sini?” ucap Miranda tajam. Suaranya terdengar dingin dan menusuk. Laura terdiam, berusaha menahan diri. “Aku hanya ingin memberikan penghormatan terakhir untuk Nenek.”