Share

BAB 5. TERLALU DEKAT

Author: Rich Mama
last update Last Updated: 2025-07-15 00:17:58

Laura mengernyit. “Kenapa aku harus mengikuti saranmu?”

“Wajahmu terlihat lelah dan kau butuh lebih banyak istirahat. Aku akan mengantarmu pulang.”

“Tidak, Max. Aku harus tetap bekerja. Jika kau tidak mau mengantarkan aku pergi ke kantor, aku bisa naik taksi.”

Max tidak menjawab. Ia membuang napas kasar lalu membukakan pintu mobil untuk Laura.

“Kau bisa tetap bekerja.”

Perlahan, Laura masuk ke dalam mobil, hatinya berat oleh konflik yang terasa rumit semenjak peristiwa malam panas itu terjadi.

Mobil melaju tenang, menyusuri jalanan Valmerra yang masih basah oleh hujan semalam. Langit mendung, seolah ikut memantulkan kekalutan dalam benaknya.

Sepanjang perjalanan, tak ada dialog. Hanya suara lembut mesin dan desiran ban yang memecah keheningan. Laura menatap ke luar jendela.

Sesampainya di gedung Holligan Grup, Laura menghela napas panjang.

Max turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk Laura tanpa sepatah kata.

Namun saat Laura berjalan menuju lift, ia bisa merasakan tatapan pria itu masih menempel di punggungnya.

Di dalam lift hanya ada mereka berdua.

Suasana terasa jauh lebih sempit daripada biasanya. Laura menatap lantai lift, mencoba mengabaikan getaran kecil dalam tubuhnya.

Saat lantai menunjukkan angka 30, tiba-tiba pandangannya mengabur. Dunia terasa goyah. Udara terasa tipis.

Ia menggigit bibirnya, mencoba bertahan. Tapi tubuhnya limbung.

“Laura!”

Dalam sekejap, Max sudah menangkap tubuhnya sebelum ia terjatuh. Satu tangan melingkar di pinggang Laura, satunya lagi menopang bahunya. Nafas mereka bertautan. Keduanya terlalu dekat.

“Kau baik-baik saja?” Suara Max terdengar khawatir, namun tetap ditahan dalam nada tegasnya.

Laura buru-buru menarik diri, wajahnya memerah. “Aku ... hanya sedikit pusing.”

Begitu pintu lift terbuka, Laura langsung berlari keluar dan masuk ke toilet wanita di koridor barat. Ia mengunci diri dalam bilik pertama, meremas ujung blouse-nya yang sudah basah oleh keringat dingin.

Jantungnya berdegup tak karuan. Ia menatap cermin kecil di dalam bilik dan melihat wajahnya sendiri. Pucat, mata berkabut, bibir sedikit gemetar.

“Apa yang terjadi denganku?” gumamnya lirih.

Kejadian beberapa waktu yang lalu di dalam lift, membuatnya mengingat kembali malam itu.

Ia merasa aroma tubuh Max masih menempel.

Entah bagaimana, meski sudah mandi berkali-kali sejak kejadian itu, wangi aftershave, campuran musk dan cedar terus membayang. Begitu menyiksa akal sehat Laura.

Laura memejamkan mata.

“Jangan bodoh, Laura! Cukup.”

Air keran dinyalakan. Ia mencipratkan air dingin ke wajahnya, berharap bisa menyegarkan kesadarannya kembali.

Suara notifikasi dari ponsel mengagetkannya.

Satu pesan masuk.

[Kau yakin masih ingin bekerja hari ini? Aku bisa menyuruh seseorang menggantikanmu.]

Laura menutup mata, lalu menarik napas panjang. Jemarinya mengetik pelan.

“Aku baik-baik saja, Max. Aku hanya butuh beberapa menit.”

Ia keluar dari bilik, menatap wajahnya sendiri di cermin besar toilet. Lalu mengambil concealer dari dalam tas kecilnya dan menyamarkan sisa kelelahan di bawah matanya. Setelah itu ia keluar, langkahnya masih sedikit goyah tapi ia mencoba bersikap normal.

Laura kembali ke mejanya, mencoba menenangkan diri dengan mengetik laporan progres bulanan. Tapi layar komputer seperti kabur. Ia tidak bisa fokus.

“Teh hangat?”

Sebuah suara menghentikan jemarinya. Laura menoleh. Kirana berdiri sambil membawa dua cangkir.

Kirana adalah sahabat dekat Laura yang selalu mengerti dan perhatian terhadapnya.

“Kelihatan banget kamu lagi stres, Lau.”

Laura memaksakan senyum. “Ah, enggak kok. Cuma kurang tidur.”

“Kurang tidur atau kebanyakan mikirin bos kita yang satu itu?” goda Kirana sambil duduk di seberang meja.

Laura kaku sejenak. “Maksudmu ... Max?”

“Yalah, siapa lagi?” Kirana tertawa pelan. “Katanya kamu mau dipindah jadi sekretaris pribadi dia ya?”

Laura hampir tersedak teh.

“Aku ... enggak. Maksudku, belum ada konfirmasi.”

“Kalau jadi, hati-hati aja. Kamu cantik, Tuan Max itu ... hmm ... dangerous.”

Laura mencoba tertawa, tapi tawanya hambar.

Sekitar pukul sepuluh, Laura dipanggil ke lantai eksekutif. Bukan ke ruang Max, melainkan ke ruang rapat untuk presentasi strategi bulanan.

Chris sudah ada di sana, duduk dua kursi dari tempat yang ditujukan untuk Max.

Ketika Laura masuk, Chris menatapnya sesaat. “Kau sudah sehat?”

Laura mengerutkan keningnya.

“Kirana bilang kau terlihat sangat lemas,” sambung Chris.

Laura mengangguk, lalu tersenyum tipis. “Oh, itu, aku sudah baik-baik saja, Chris. Kirana membawakan teh hangat untukku.”

Chris mengangguk. Jemarinya menggenggam erat tangan istrinya.

Tak lama kemudian Max masuk. Aura kehadirannya seperti biasa, tenang, dominan, dan tanpa basa-basi. Ia duduk di kursi utama dan mulai memimpin rapat.

Namun di tengah presentasi, tatapan mata Max sempat bertaut dengan Laura. Hanya sepersekian detik. Tapi cukup untuk membuat jantung Laura kembali berdetak tidak normal.

Di luar, langit mulai berubah kelabu. Suasana kantor tetap sibuk, tapi dalam hati Laura, badai tak pernah benar-benar reda.

Saat makan siang, Laura menghindar dari undangan makan bersama beberapa rekan. Ia memilih untuk ke rooftop, tempat biasanya ia mencari udara segar.

Tapi ternyata Max juga ada di sana. Berdiri dengan tangan di saku celana, memandangi kota dari balik pagar kaca.

“Aku tidak tahu kau suka menyendiri di sini,” ujar Laura.

Max menoleh sedikit. “Tempat ini tenang. Seperti kau saat tidak sedang keras kepala.”

Laura menghela napas, mendekat perlahan. “Aku hanya ingin sendiri.”

“Kau tidak sendiri,” balas Max. “Kau hanya berpura-pura kuat.”

Laura mendengus pelan. “Kau terus mengulang kata-kata itu. Aku bosan mendengarnya.”

Hening menyelimuti mereka. Angin lembut menyapu rambut Laura, membuat anak-anak rambut di pelipisnya beterbangan.

“Kau terlihat cantik saat marah,” gumam Max.

Laura menatapnya tajam. “Jangan mulai lagi, Max.”

“Aku serius.”

Laura mundur selangkah, kembali menatap langit yang mulai gelap.

“Chris tidak tahu kau bersamaku malam itu, kan?”

Max tidak menjawab. Tapi matanya menegaskan semuanya.

Laura menggenggam jemarinya sendiri.

“Jangan buat aku jatuh, Max.”

Max mendekat. Sangat dekat. Tapi ia tidak menyentuhnya.

“Apakah ucapanku belum cukup jelas, Laura?! Aku menginginkanmu. Bahkan lebih dari itu.”

Laura menggelengkan kepalanya. Ia mundur lagi dan terduduk di sebuah kursi.

Max tersenyum penuh kemenangan. Ia menundukkan kepalanya hingga sebuah suara tiba-tiba mengusik ketenangan roooftop.

“Laura, rupanya kau di sini. Aku mencarimu kemana-mana. Ponselmu, kenapa tidak aktif?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 114. Di Bawah Langit Senja

    Setelah Laura dan Max menghabiskan beberapa minggu yang ajaib di villa terpencil di tepi Danau Como, Italia. Kini akhirnya mereka kembali ke Valmerra, tapi bukan ke penthouse mewah mereka, melainkan ke rumah yang jauh lebih besar dan hangat yaitu kediaman keluarga besar Max, yang dipimpin oleh Kakek Max—ayah dari Papanya. Ini adalah langkah yang disengaja Max, menempatkan Laura di bawah perlindungan benteng keluarga terkuat mereka, di mana siapapun itu tidak akan berani mendekat. Pagi itu di rumah keluarga besar terasa damai. Max sudah bangun lebih dulu, bersiap untuk hari pertamanya kembali di kantor setelah honeymoon panjang. Ia mengenakan kemeja dan dasi, lalu kembali ke ranjang untuk membangunkan Laura. Max membungkuk, mencium kening Laura lembut. “Bangun, Sweet Heart. Sudah pagi. Hari ini adalah hari pertama kembalinya Max si Raja Bisnis.” Laura mengerang, menarik selimut menutupi kepalanya. “Lima menit lagi, Max. Aku merasa sedikit pusing.” “Pusing?” Max menarik selimut i

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 113. MENANAM BENIH

    Dengan perlahan ia menunduk, bibirnya menyapu garis rahang Laura, turun ke leher, lalu berhenti tepat di bahu. Ia tidak terburu-buru. Justru kesabaran itu yang membuat Laura hampir kehilangan akal. Tiap gigitan lembut, tiap kecupan yang dibiarkan berlama-lama, membuatnya bergetar tak karuan. Lalu, dengan gerakan tak terduga, Max menggulingkan tubuh Laura hingga kini ia berada di atas, namun tetap menahan tangannya di sisi kepala. Laura menatapnya dengan mata terbelalak sebentar, lalu tersenyum malu, tubuhnya memanas karena posisi baru itu membuatnya benar-benar tak berdaya. “Max ….” Suaranya nyaris berupa erangan pelan, bergetar di antara rasa ingin dan rasa malu. Max hanya menunduk, bibirnya kembali melahap bibir Laura, kali ini dengan ciuman yang lebih dalam, lebih menuntut. Lidah mereka bertemu lagi, saling menekan, saling mengisi, hingga Laura merasa paru-parunya seolah kehilangan udara. Namun Max belum puas. Tangannya yang bebas menyusuri sisi tubuh Laura, turun perlaha

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 112. MAU GAYA LAIN?

    Hari ketiga di Paris, saat mereka berjalan di taman yang tenang di dekat Jardin du Luxembourg, di tengah hamparan bunga tulip yang bermekaran, Laura dan Max berhenti sejenak di dekat sebuah air mancur. Keduanya memperhatikan sekelompok anak kecil bermain kejar-kejaran. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki kecil, mungkin berusia sekitar lima tahun menangis tersedu-sedu. Balon heliumnya, berbentuk astronot biru, tersangkut tinggi di dahan pohon yang rindang. “Astaga, kasihan sekali,” bisik Laura. Insting keibuannya langsung muncul. Ia bergegas mendekat, menenangkan si anak laki-laki. “Tidak apa-apa, Mon Chérie. Bibi akan ambilkan,” kata Laura dengan senyum lembut, meski ia harus berjinjit dan melompat sedikit. Laura berhasil meraih ujung tali balon itu, menariknya turun, dan memberikannya kembali kepada si anak. Wajah anak itu seketika bersinar. Ia memeluk balonnya erat-erat. “Merci, Madame! Merci!” seru anak tersebut riang. Tepat saat itu, datang anak laki-laki lain yang p

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 111. RONDE BERIKUTNYA

    Max kemudian mengangkat Laura. Kali ini ia membaringkan sang istri perlahan di atas meja marmer panjang di kamar mandi. Meja itu dingin, memberikan kontras yang sensasional pada kulit Laura yang kini terasa semakin panas. Max berdiri di antara kaki Laura, menatapnya dengan hasrat yang membakar. “Aku ingin kau mengingat setiap sentuhanku,” bisik Max, suaranya pelan dan mengancam. “Aku ingin kau tahu bahwa tubuhmu hanya merespons padaku.” “Hanya padamu, Max. Selalu padamu,” desah Laura, tangannya meraih rambut Max, menariknya ke bawah untuk sebuah ciuman yang dalam. Max menerima ciuman itu dengan rakus. Ciuman mereka adalah ledakan dari penahanan diri sepanjang hari, penuh hasrat, dan gairah yang jujur. Max tidak lagi ragu. Ia menggerakkan tangannya dengan berani dan penuh kepemilikan. Laura melengkung di atas meja marmer yang dingin. Ia bisa merasakan Max mengambil alih segalanya. Desahannya kini bukan lagi godaan, tetapi pelepasan murni. Max mengangkat kepala sedikit, memu

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 110. LEBIH DALAM

    Max tersenyum nakal. “Tidak ada. Ciumanmu adalah macaron paling manis yang pernah ada dan aku selalu ingin lebih.” Max menunduk dan di tengah hamparan rumput yang ramai itu, ia mencium Laura dengan lembut dan penuh cinta. Itu adalah ciuman yang menjanjikan, ciuman yang menolak segala bentuk ketakutan dan ancaman. Di bawah Menara Eiffel yang baru saja berkilauan, mereka merayakan kemenangan cinta mereka. Mereka menghabiskan waktu hingga sore, berdua saja, tanpa ponsel, tanpa berita, hanya mereka dan Paris. Langit berubah menjadi oranye, merah muda, dan ungu, melukis pemandangan Paris yang membentang. Di saat senja itu, Max berjanji akan selalu menjadi fondasi yang kokoh, tempat Laura bisa berlindung dari badai apa pun. Akhirnya Max memutuskan untuk membawa Laura kembali. “Sudah cukup, Chérie. Kita harus kembali ke hotel.” Max dan Laura kembali ke suite mereka setelah hari yang indah di Paris. Pintu kaca kamar mandi telah menjadi pemisah singkat yang memicu kerinduan baru.

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 109. DI RUMPUT

    Setelah siap, Max dan Laura meninggalkan suite. Mereka siap menaklukkan Paris. Pria itu menggandeng tangan Laura erat. Laura tampak memukau dalam gaun sundress sederhana yang ia kenakan dan kalung cameo vintage yang dibelikan Max bersinar lembut di lehernya. Tujuan pertama mereka adalah Montmartre. Saat tiba di bukit ikonik itu, mereka langsung disambut oleh keramaian dan aroma cat minyak yang khas. Para seniman jalanan sibuk melukis, musisi memainkan akordeon, dan turis berdesakan di tangga menuju Basilika Sacré-Cœur. Max dan Laura berjalan perlahan, menikmati suasana. Pria itu sengaja membiarkan Laura menentukan arah, ingin melihat apa yang menarik perhatian istrinya. “Aku suka tempat ini, Max,” bisik Laura, matanya berbinar melihat seorang pelukis tua yang fokus pada kanvasnya. “Semuanya terasa jujur di sini. Tidak ada kepalsuan.” “Seperti yang aku lihat di matamu,” balas Max, berhenti sejenak, membalikkan tubuh Laura, dan mengecupnya di dahi. “Kau adalah keindahan pali

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status