Laura langsung menegakkan tubuhnya, seolah tersengat aliran listrik. Suara itu begitu familiar, tajam, dan sekarang penuh nada cemas.
Laura berdiri tergesa. Tangannya sedikit gemetar saat ia meraih gagang kursi di sampingnya untuk menenangkan diri. Max sudah kembali ke posisi berdirinya yang tegak dan penuh kontrol, seolah tidak terjadi apa-apa barusan. Chris melangkah ke arah mereka, sorot matanya langsung menyapu dua orang di hadapannya. Ada ketegangan yang jelas dalam atmosfer itu, meskipun tidak ada yang berbicara terlebih dahulu. Laura yang akhirnya memecah keheningan. “Maaf, Chris. Ponselku tertinggal di meja kerja. Aku hanya ingin sendirian di sini, ternyata tak sengaja berjumpa Max.” Nada suaranya berusaha terdengar normal. Tapi Chris tidak langsung menjawab. Tatapannya berganti-ganti antara Laura dan Max. “Aku mengerti,” ujar Chris kemudian. “Tapi tolong, kalau tidak enak badan, kau seharusnya istirahat. Aku khawatir.” Max menoleh ke arah lain, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya, memberikan ruang bagi Laura dan Chris. “Aku baik-baik saja. Hanya butuh udara segar. Kau tahu sendiri, akhir-akhir ini terlalu banyak yang kupikirkan,” jelas Laura sambil tersenyum tipis. Chris menatap istrinya sejenak. Lalu meraih tangan Laura. “Ayo, makan siang sudah hampir habis. Aku sudah pilihkan tempat duduk untukmu.” Laura mengangguk dan melirik sekilas ke arah Max, yang masih berdiri membelakanginya. Ada sesuatu dalam bayangan tubuh lelaki itu yang membuat dadanya mencelos. Sepanjang makan siang, Laura seperti tak benar-benar hadir. Di meja kantin perusahaan, beberapa rekan kerja membicarakan proyek dan tenggat waktu, namun telinganya hanya menangkap suara-suara sayup. Chris duduk di sampingnya, sekali-sekali menyentuh tangannya dengan lembut, menunjukkan perhatiannya. Tapi Laura merasa hampa. “Maaf, aku harus kembali ke ruanganku. Ada beberapa laporan yang harus aku periksa,” ujar Laura pelan. Chris menatapnya, namun mengangguk. “Jangan terlalu memaksakan diri.” Laura berdiri dan kembali menuju ruangannya. Tapi bukannya langsung bekerja, ia berjalan ke jendela besar yang menghadap ke taman belakang kantor. Matanya menerawang jauh. ‘Apakah ini semua salahku? Apakah aku sudah terlalu jauh?’ Bayangan wajah Max dan Chris berkelebat dalam benaknya. Dua pria yang memiliki tempat masing-masing di hidupnya. Satu adalah suami yang dulu ia coba cintai tanpa syarat, dan satu lagi adalah cinta yang sempat dikubur namun kini bangkit lebih liar dari sebelumnya. Ponselnya bergetar. [Kau baik-baik saja?] Lagi-lagi pesan dari Max. Laura menggigit bibirnya. Jemarinya ragu mengetik balasan. “Ya. Aku sangat baik.” Detik berikutnya, balasan langsung masuk. [Aku tak akan memaksamu. Tapi aku akan selalu menunggumu.] Laura menatap layar ponselnya lama, sebelum akhirnya mematikannya dan menyembunyikannya di dalam laci. Hari itu berjalan lambat. Laura menyelesaikan beberapa laporan, menata ulang dokumen, dan bahkan membantu bagian marketing menyusun proposal presentasi. Ia mencoba menyibukkan diri agar pikirannya tak terus-menerus kembali ke percakapan di rooftop. Tapi saat sore menjelang, rasa sesak itu kembali. Pundaknya terasa berat. Ia menyandarkan tubuh di kursi, menutup mata sesaat. Tiba-tiba pintu ruangannya diketuk. Laura membuka mata dan menjawab, “Masuk.” Seorang office boy masuk dan meletakkan sesuatu di mejanya. “Seseorang menitipkan ini untuk Ibu Laura.” Laura mengerutkan kening. Sebuah kotak makan malam dan secarik kertas. “Untuk wanita yang keras kepala. Jangan lupa makan.” Laura menatap makanan itu. Aromanya menggoda. Isinya nasi ayam panggang lengkap dengan sup dan buah potong. Senyum tipis muncul di wajahnya. Ada rasa bersalah yang menyusup bersama rasa terharu. Tapi sebelum sempat ia menyentuh sendok, ponselnya bergetar lagi. Kali ini pesan dari Chris. [Aku akan pulang agak malam. Ada pertemuan dengan salah satu klien penting.] Laura hanya membalas singkat. “Baik. Hati-hati di jalan.” Perut Laura akhirnya menuntut untuk diperhatikan. Ia mulai makan perlahan, membiarkan rasa asin manis dari ayam panggang itu mengisi kekosongan hatinya. Malam menjelang, Laura memutuskan untuk pulang lebih dulu. Ia turun ke lobby kantor dengan langkah lambat, membawa tas kerjanya dan jaket yang ia selipkan di lengan. Saat tiba di depan, mobil Max sudah ada di sana. Sopirnya keluar, membukakan pintu. “Tuan Max yang menyuruh saya mengantarkan Nyonya Laura pulang.” Laura hanya bisa diam. Ia masuk ke dalam mobil tanpa perlawanan. Di perjalanan, pikirannya kembali kacau. Tapi entah mengapa, ia merasa sedikit aman. Setidaknya, untuk malam ini. Saat ia tiba di rumah yang terasa kosong, tak ada suara tawa Chris, tak ada pelukan hangat, hanya sunyi. Laura menyadari bahwa hatinya mungkin sudah mulai berubah arah. Malam hari sebelum Laura memejamkan kedua matanya, terdengar suara mobil berhenti. “Itu pasti Chris.” Laura buru-buru memakai jaket dan keluar dari kamar untuk membukakan pintu utama. Namun saat membuka pintu, dadanya terasa sesak tiba-tiba. Pemandangan di depannya sungguh membuat Laura hampir tak percaya.Laura menatap bayangan dirinya di cermin kamar rumah Armand. Rambutnya yang dulu sering dipuji Chris karena lembut dan wangi, kini tampak kusut dan kusam. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, tanda betapa sedikitnya tidur yang ia dapat dalam beberapa malam terakhir.“Apakah aku benar-benar seburuk ini sekarang?” bisiknya pada pantulan wajahnya sendiri.Ada getaran getir di suaranya. Laura teringat bagaimana dulu, setiap kali ia merasa lelah, Chris selalu menyentuh pipinya lembut dan berkata, “Kamu tetap cantik bagiku.” Tapi kalimat itu kini terasa seperti dusta paling pahit.Ketukan pelan di pintu membuatnya terlonjak.“Laura, ini aku.” Suara Max.Laura buru-buru menyeka pipinya yang basah, lalu berusaha menenangkan nada suaranya. “Masuklah.”Pintu terbuka, dan Max melangkah masuk dengan langkah tegas khasnya. Ia membawa sebuah nampan berisi teh hangat dan roti tawar. “Paman menyuruhku memastikan kau sarapan.”Laura memaksa tersenyum, meski hatinya enggan menatap langsung
Laura menunduk, jari-jarinya meremas rok yang dipakainya. “Aku tidak bisa lagi, Max. Aku berusaha menutup mata, berusaha percaya, tapi kenyataan terlalu jelas.”Ia berhenti sejenak, menelan ludah, lalu menatap ke luar jendela lagi. “Chris dia bersama Kirana. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku memergoki mereka tengah bercinta di kamar tamu di saat aku sedang sakit.”Tangis Laura pecah. Ia masih teringat akan pengkhianatan itu.Max merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya. Bagian dirinya ingin merayakan kabar itu, leganya luar biasa. Laura akhirnya tahu. Laura akhirnya akan lepas dari Chris. Namun, bagian lain justru diliputi kegelisahan. Laura pasti sangat hancur. Dan jika Laura tidak tinggal di rumah Chris, di mana sekarang ia tinggal? Laura melanjutkan dengan suara bergetar. “Untung saja ada Paman Armand. Dia menolongku. Membukakan pintunya agar aku tempati.”Max meremas setir kuat-kuat. Nama itu membuatnya sedikit lega, sedikit tidak. Ia tahu Armand cukup bisa dipercay
Tiga hari telah berlalu.Langit Valmerra tampak kelabu. Awan menggantung rendah seperti menggambarkan isi hati Laura. Meski tubuhnya mulai membaik, pikirannya tidak. Ada ruang kosong yang semakin menganga antara dirinya dan Chris, tapi anehnya, yang membuat hatinya gelisah justru Max—bos dingin yang selalu tahu cara membuatnya merasa dilihat.Suara gemericik hujan menyambut langkah Laura saat ia keluar dari mobil taksi.Tubuhnya masih sedikit lemah, tapi ia tetap memaksakan diri untuk kembali bekerja. Di dalam tasnya, surat dokter sudah ia siapkan, hanya sebagai formalitas.Lorong menuju lift sepi. Hanya suara hak sepatu menyentuh lantai marmer yang terdengar. Saat tiba di meja kerjanya, sesuatu membuat langkahnya terhenti.Botol kaca bening. Dingin. Diletakkan rapi di sisi meja.Cairannya merah tua, agak pekat. Aroma samar jahe, sereh, dan kayu manis langsung menyelinap ke hidung. Bukan aroma sembarangan. Ini minuman yang ia sukai sejak dulu dan hanya sedikit orang yang tahu.Chris?
Laura membuka mata dengan berat. Pandangannya samar, cahaya lampu berpendar tipis di langit-langit sebuah kamar asing. Ia meraba sekeliling, mendapati tubuhnya berbaring di ranjang empuk dengan selimut hangat menutupi sebagian tubuh. Aroma obat gosok samar menempel di kulitnya, membuatnya sadar kalau seseorang telah merawatnya. Suara kursi digeser terdengar. Lalu sebuah suara berat dan lembut memanggil. “Laura, apa yang terjadi kepadamu?” Laura menoleh perlahan. Di sana, seorang pria berusia lima puluhan dengan wajah teduh dan rambut yang mulai memutih duduk di kursi. Sorot matanya penuh khawatir. Itu pamannya. “Paman ...,” sapa Laura dengan suara serak, hampir pecah. Armand mencondongkan tubuh, menggenggam tangan keponakannya dengan hangat. “Kamu bikin paman khawatir. Tadi paman pulang dari kantor dan melihat kamu pingsan di jalan. Badanmu basah kuyup.” Laura menahan isak. Air matanya mendesak keluar, tapi ia berusaha kuat. Namun tatapan teduh pamannya membuat benteng yang i
Langkah kaki Laura terasa berat saat ia memasuki area pemakaman. Tubuhnya masih lemah, wajah pucat, sisa infus di tangannya meninggalkan bekas lebam. Napasnya pendek-pendek, tapi hatinya jauh lebih sesak daripada dadanya yang terasa tertekan. Hari itu langit mendung. Daun-daun bergoyang diterpa angin, seakan ikut berduka. Namun di antara kerumunan orang yang berpakaian hitam, Laura segera menyadari sesuatu yang menyesakkan. Chris tidak ada di sana. Padahal tadi Laura pulang dulu ke rumah untuk berganti pakaian. Ia pikir Chris lebih dulu datang di sana. Hati Laura berdenyut, bukan karena kaget, tapi kecewa. Sedalam itu ternyata ketidakpedulian Chris terhadap keluarganya sendiri. Di tepi liang lahat, Miranda berdiri angkuh dengan payung hitam. Tatapannya tajam saat menyadari Laura mendekat. “Apa yang kau lakukan di sini?” ucap Miranda tajam. Suaranya terdengar dingin dan menusuk. Laura terdiam, berusaha menahan diri. “Aku hanya ingin memberikan penghormatan terakhir untuk Nenek.”
Setelah Laura meninggalkan rumah sakit itu, Chris menarik pergelangan tangan Kirana. “Lebih baik kita segera pergi dari sini,” ucap Chris dingin. Wajah pria itu tegang, langkahnya terburu-buru seolah ingin segera keluar dari semua kekacauan. Kirana, yang masih menunduk dengan raut gusar, hanya membiarkan dirinya ditarik, meski hatinya penuh pertanyaan. “Chris, tunggu … kita mau ke mana?” tanya Kirana pelan. “Keluar. Aku nggak tahan lagi di sini,” jawab Chris singkat. Matanya masih merah karena pertengkaran dengan Laura beberapa menit lalu. Kirana terdiam. Ia tahu Chris sedang kalut, tapi ada sesuatu yang aneh di wajah lelaki itu, bukan sekadar panik, melainkan juga rasa bersalah yang semakin menekan. Sampai mereka tiba di loket administrasi rumah sakit. Seorang petugas dengan kacamata bulat menyambut dengan senyum sopan. “Pak, untuk pasien atas nama Nyonya Laura, ini rincian biaya perawatannya. Mohon dilunasi sebelum Bapak pergi dari sini.” Chris menerima selembar kertas, ma