Chris menoleh dan tersenyum. “Maaf. Ada urusan yang harus aku selesaikan sama adikku.”
Laura mengernyit. “Kenapa nggak bangunin aku? Aku mau ikut.” Chris mendekat, membelai pipi istrinya dengan lembut. Jemarinya terasa dingin. “Kamu tadi tidur nyenyak banget. Kelihatan capek. Aku nggak tega ganggu.” Laura menunduk, sedikit tersenyum, walau dadanya terasa berat. Ia hanya mengangguk. Chris mencium keningnya singkat. “Kamu pakai motor dulu, ya? Atau naik taksi ke kantor biar nanti kita tetap bisa pulang bareng.” “Baiklah. Aku naik taksi saja pagi ini.” Chris lalu mengambil map cokelat dari meja dan pergi tanpa banyak bicara lagi. Hanya suara pintu tertutup yang tersisa. Laura menatap kosong ke arah pintu. Ada sesuatu yang mulai menguap dari rumah ini dari pernikahan mereka dan ia tak tahu apakah ia sanggup mempertahankannya sendirian. Laura duduk di tepi tempat tidur cukup lama. Ia sebenarnya tidak bersemangat untuk pergi ke kantor hari ini. Tapi hidup tak pernah memberi ruang untuk kemewahan bernama kelemahan. Sudah bertahun-tahun ia ikut bekerja keras demi membantu membayar biaya pengobatan nenek Chris yang sakit-sakitan. Belum lagi tanggung jawab yang terus ia pikul untuk ibunya di kampung dan adiknya yang masih kuliah. Semua membutuhkan uang. Dan dia, harus tetap kuat. “Aku harus tetap semangat demi Ibu dan adikku,” ucapnya lirih. Ia beranjak, mandi singkat, mengenakan setelan kerja yang paling nyaman. Rambutnya dikuncir seadanya. Tak sempat sarapan, hanya menenggak satu teguk air putih dan mengunci pintu rumah. Saat berdiri di pinggir trotoar, menunggu taksi, angin pagi masih dingin menusuk kulit. Langit Valmerra belum benar-benar cerah. Lalu, sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya. Mobil hitam metalik dengan garis desain tajam dan bodi ramping. Mobil sport mewah yang hanya diproduksi dalam jumlah terbatas di Negara Valmerra. Mesin di dalamnya bahkan bisa terdengar menggeram lembut. Jendela menurun. Di balik kemudi, Max terlihat mengenakan jas abu gelap, dasi hitam polos, rambutnya disisir rapi ke belakang. Dingin. Misterius. Memikat. “Masuk!” perintahnya tegas. Laura mendengus. Ia membuang muka, menatap ke arah lain. Seolah tak mendengar. Tanpa dia duga, Max turun dari mobil, membuka pintu di sisinya, dan langsung mengangkat tubuh Laura tanpa basa-basi. “Max! Lepas! Gila kamu?!” “Diam!” bisik Max tepat di telinganya. Tubuh Laura dimasukkan ke dalam mobil. Ia memberontak, mendorong dada pria itu sekuat tenaga. Tapi sebelum ia sempat berteriak lagi, bibir Max sudah membungkam mulutnya. Max mencengkeram tengkuknya, mendorong wajah mereka menyatu hingga Laura tak bisa berpikir. Hanya suara degup jantung yang memekakkan. Tubuhnya gemetar, matanya membelalak. Tapi bibirnya tak bergerak untuk menolak. Ia terengah saat Max melepaskannya perlahan. Napas mereka masih saling menghantam. “Sudah? Sekarang duduk diam. Aku antar kamu ke kantor.” Laura hanya diam. Masih terperangkap antara marah dan bingung. Mobil melaju. Tapi Laura menyadari arah jalan mulai berbeda. Matanya menyipit. “Max, kita mau ke mana?” tanyanya waspada. Max tetap menatap ke depan. Suaranya tenang, dalam. “Tenang saja, Laura. Kamu tidak perlu panik seperti itu.” Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah bangunan kaca elegan bertingkat dua dengan logo restoran bernama Les Séraphins, tempat sarapan paling mewah di jantung Valmerra. Laura menoleh padanya dengan bingung. “Kenapa kita ke sini?” Max membuka pintu dan keluar, lalu membukakan pintu Laura dengan ekspresi tak terbaca. “Kau belum sarapan, Laura. Aku tidak mau konsentrasimu terganggu saat bekerja di perusahaanku.” Laura diam. Hatinya menegang. Dari mana Max tahu jika dirinya belum makan pagi? Sementara itu, Chris bahkan tak mengirim satu pesan pun sejak pagi tadi suaminya keluar dari rumah. Laura melangkah pelan ke dalam restoran Les Séraphins, masih setengah ragu. Tempat itu begitu elegan dengan interior marmer putih mengilat, pencahayaan gantung keemasan, dan aroma croissant hangat yang menyambut dari balik dapur terbuka. Ia mengenakan blouse krem dan rok pensil hitam. Pakaian kerja yang kini terasa begitu kontras dengan suasana romantis restoran itu. Max berjalan di depannya dengan percaya diri, membawa aura kekuasaan dan kesan tak tersentuh. Para pelayan langsung membungkuk, menyambutnya dengan hormat dan membawa mereka ke meja di dekat jendela besar yang menghadap ke taman air mancur. “Silakan duduk,” ucap Max singkat. Laura duduk perlahan, matanya sesekali mencuri pandang ke arah Max. Lelaki itu terlihat sangat tenang, seolah kejadian tadi di mobil tidak pernah terjadi. “Dari mana kau tahu aku belum sarapan?” Max membuka menu, tak langsung menatapnya. “Kau selalu terburu-buru kalau pagi. Aku tahu kebiasaanmu.” “Sejak kapan kau memperhatikan kebiasaanku?” Max akhirnya menatapnya, dalam dan tajam. “Apa kau lupa kita sudah bersahabat sejak lama?” Hening. Laura menggigit bibir bawahnya, merasa dada kirinya menghangat oleh emosi yang tak jelas bentuknya. Harusnya ia tak menanyakan hal konyol seperti itu. Pelayan datang, menyuguhkan dua gelas kopi dan dua set sarapan lengkap ala Prancis. Ada roti panggang, telur orak-arik, daging, salad kecil, dan buah segar. Laura memandangi makanannya. Perutnya memang kosong, tapi pikirannya terlalu gaduh untuk makan. Max menyeruput kopinya perlahan. “Makanlah.” Laura masih menatap piring. “Laura,” suara Max terdengar lebih tegas. “Jangan siksa dirimu sendiri. Kau bukan mesin. Tubuhmu butuh tenaga.” Laura akhirnya mengambil garpu, mulai menyentuh salad. Hening sesaat. Lalu ia memberanikan diri bertanya, “Kenapa kau melakukan semua ini, Max? Kau tidak berhak untuk memaksaku.” Max meletakkan cangkirnya perlahan. Menatap Laura tanpa berkedip. “Mungkin aku terlalu lelah berpura-pura tidak peduli selama ini.” Laura menunduk. Matanya panas, tapi ia menahan. Di luar jendela, air mancur menari pelan ditemani angin pagi yang lembut. “Kau tahu kalau ini salah, kan?” “Tentu saja aku tahu.” Max tersenyum miring. “Tapi kau juga tahu bahwa tak semua yang salah bisa dihentikan begitu saja.” Laura tak sanggup membalas. Ia menatap cermin jendela dan melihat bayangannya sendiri. Seorang istri yang hidupnya kini perlahan berubah. Penuh teka-teki. Beberapa saat kemudian, mereka keluar dari restoran. Laura masih diam, berjalan sejajar dengan Max. Saat mereka hampir sampai di parkiran, Max menghentikan langkahnya dan menatapnya. “Laura, hari ini kau tak perlu masuk kantor. Aku sudah memberitahu bagian HRD.”Laura menatap bayangan dirinya di cermin kamar rumah Armand. Rambutnya yang dulu sering dipuji Chris karena lembut dan wangi, kini tampak kusut dan kusam. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas, tanda betapa sedikitnya tidur yang ia dapat dalam beberapa malam terakhir.“Apakah aku benar-benar seburuk ini sekarang?” bisiknya pada pantulan wajahnya sendiri.Ada getaran getir di suaranya. Laura teringat bagaimana dulu, setiap kali ia merasa lelah, Chris selalu menyentuh pipinya lembut dan berkata, “Kamu tetap cantik bagiku.” Tapi kalimat itu kini terasa seperti dusta paling pahit.Ketukan pelan di pintu membuatnya terlonjak.“Laura, ini aku.” Suara Max.Laura buru-buru menyeka pipinya yang basah, lalu berusaha menenangkan nada suaranya. “Masuklah.”Pintu terbuka, dan Max melangkah masuk dengan langkah tegas khasnya. Ia membawa sebuah nampan berisi teh hangat dan roti tawar. “Paman menyuruhku memastikan kau sarapan.”Laura memaksa tersenyum, meski hatinya enggan menatap langsung
Laura menunduk, jari-jarinya meremas rok yang dipakainya. “Aku tidak bisa lagi, Max. Aku berusaha menutup mata, berusaha percaya, tapi kenyataan terlalu jelas.”Ia berhenti sejenak, menelan ludah, lalu menatap ke luar jendela lagi. “Chris dia bersama Kirana. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku memergoki mereka tengah bercinta di kamar tamu di saat aku sedang sakit.”Tangis Laura pecah. Ia masih teringat akan pengkhianatan itu.Max merasakan sesuatu yang aneh dalam dadanya. Bagian dirinya ingin merayakan kabar itu, leganya luar biasa. Laura akhirnya tahu. Laura akhirnya akan lepas dari Chris. Namun, bagian lain justru diliputi kegelisahan. Laura pasti sangat hancur. Dan jika Laura tidak tinggal di rumah Chris, di mana sekarang ia tinggal? Laura melanjutkan dengan suara bergetar. “Untung saja ada Paman Armand. Dia menolongku. Membukakan pintunya agar aku tempati.”Max meremas setir kuat-kuat. Nama itu membuatnya sedikit lega, sedikit tidak. Ia tahu Armand cukup bisa dipercay
Tiga hari telah berlalu.Langit Valmerra tampak kelabu. Awan menggantung rendah seperti menggambarkan isi hati Laura. Meski tubuhnya mulai membaik, pikirannya tidak. Ada ruang kosong yang semakin menganga antara dirinya dan Chris, tapi anehnya, yang membuat hatinya gelisah justru Max—bos dingin yang selalu tahu cara membuatnya merasa dilihat.Suara gemericik hujan menyambut langkah Laura saat ia keluar dari mobil taksi.Tubuhnya masih sedikit lemah, tapi ia tetap memaksakan diri untuk kembali bekerja. Di dalam tasnya, surat dokter sudah ia siapkan, hanya sebagai formalitas.Lorong menuju lift sepi. Hanya suara hak sepatu menyentuh lantai marmer yang terdengar. Saat tiba di meja kerjanya, sesuatu membuat langkahnya terhenti.Botol kaca bening. Dingin. Diletakkan rapi di sisi meja.Cairannya merah tua, agak pekat. Aroma samar jahe, sereh, dan kayu manis langsung menyelinap ke hidung. Bukan aroma sembarangan. Ini minuman yang ia sukai sejak dulu dan hanya sedikit orang yang tahu.Chris?
Laura membuka mata dengan berat. Pandangannya samar, cahaya lampu berpendar tipis di langit-langit sebuah kamar asing. Ia meraba sekeliling, mendapati tubuhnya berbaring di ranjang empuk dengan selimut hangat menutupi sebagian tubuh. Aroma obat gosok samar menempel di kulitnya, membuatnya sadar kalau seseorang telah merawatnya. Suara kursi digeser terdengar. Lalu sebuah suara berat dan lembut memanggil. “Laura, apa yang terjadi kepadamu?” Laura menoleh perlahan. Di sana, seorang pria berusia lima puluhan dengan wajah teduh dan rambut yang mulai memutih duduk di kursi. Sorot matanya penuh khawatir. Itu pamannya. “Paman ...,” sapa Laura dengan suara serak, hampir pecah. Armand mencondongkan tubuh, menggenggam tangan keponakannya dengan hangat. “Kamu bikin paman khawatir. Tadi paman pulang dari kantor dan melihat kamu pingsan di jalan. Badanmu basah kuyup.” Laura menahan isak. Air matanya mendesak keluar, tapi ia berusaha kuat. Namun tatapan teduh pamannya membuat benteng yang i
Langkah kaki Laura terasa berat saat ia memasuki area pemakaman. Tubuhnya masih lemah, wajah pucat, sisa infus di tangannya meninggalkan bekas lebam. Napasnya pendek-pendek, tapi hatinya jauh lebih sesak daripada dadanya yang terasa tertekan. Hari itu langit mendung. Daun-daun bergoyang diterpa angin, seakan ikut berduka. Namun di antara kerumunan orang yang berpakaian hitam, Laura segera menyadari sesuatu yang menyesakkan. Chris tidak ada di sana. Padahal tadi Laura pulang dulu ke rumah untuk berganti pakaian. Ia pikir Chris lebih dulu datang di sana. Hati Laura berdenyut, bukan karena kaget, tapi kecewa. Sedalam itu ternyata ketidakpedulian Chris terhadap keluarganya sendiri. Di tepi liang lahat, Miranda berdiri angkuh dengan payung hitam. Tatapannya tajam saat menyadari Laura mendekat. “Apa yang kau lakukan di sini?” ucap Miranda tajam. Suaranya terdengar dingin dan menusuk. Laura terdiam, berusaha menahan diri. “Aku hanya ingin memberikan penghormatan terakhir untuk Nenek.”
Setelah Laura meninggalkan rumah sakit itu, Chris menarik pergelangan tangan Kirana. “Lebih baik kita segera pergi dari sini,” ucap Chris dingin. Wajah pria itu tegang, langkahnya terburu-buru seolah ingin segera keluar dari semua kekacauan. Kirana, yang masih menunduk dengan raut gusar, hanya membiarkan dirinya ditarik, meski hatinya penuh pertanyaan. “Chris, tunggu … kita mau ke mana?” tanya Kirana pelan. “Keluar. Aku nggak tahan lagi di sini,” jawab Chris singkat. Matanya masih merah karena pertengkaran dengan Laura beberapa menit lalu. Kirana terdiam. Ia tahu Chris sedang kalut, tapi ada sesuatu yang aneh di wajah lelaki itu, bukan sekadar panik, melainkan juga rasa bersalah yang semakin menekan. Sampai mereka tiba di loket administrasi rumah sakit. Seorang petugas dengan kacamata bulat menyambut dengan senyum sopan. “Pak, untuk pasien atas nama Nyonya Laura, ini rincian biaya perawatannya. Mohon dilunasi sebelum Bapak pergi dari sini.” Chris menerima selembar kertas, ma