Share

BAB 4. INI SALAH

Auteur: Rich Mama
last update Dernière mise à jour: 2025-07-15 00:10:09

Chris menoleh dan tersenyum. “Maaf. Ada urusan yang harus aku selesaikan sama adikku.”

Laura mengernyit. “Kenapa nggak bangunin aku? Aku mau ikut.”

Chris mendekat, membelai pipi istrinya dengan lembut. Jemarinya terasa dingin.

“Kamu tadi tidur nyenyak banget. Kelihatan capek. Aku nggak tega ganggu.”

Laura menunduk, sedikit tersenyum, walau dadanya terasa berat. Ia hanya mengangguk.

Chris mencium keningnya singkat. “Kamu pakai motor dulu, ya? Atau naik taksi ke kantor biar nanti kita tetap bisa pulang bareng.”

“Baiklah. Aku naik taksi saja pagi ini.”

Chris lalu mengambil map cokelat dari meja dan pergi tanpa banyak bicara lagi. Hanya suara pintu tertutup yang tersisa.

Laura menatap kosong ke arah pintu.

Ada sesuatu yang mulai menguap dari rumah ini dari pernikahan mereka dan ia tak tahu apakah ia sanggup mempertahankannya sendirian.

Laura duduk di tepi tempat tidur cukup lama. Ia sebenarnya tidak bersemangat untuk pergi ke kantor hari ini. Tapi hidup tak pernah memberi ruang untuk kemewahan bernama kelemahan.

Sudah bertahun-tahun ia ikut bekerja keras demi membantu membayar biaya pengobatan nenek Chris yang sakit-sakitan. Belum lagi tanggung jawab yang terus ia pikul untuk ibunya di kampung dan adiknya yang masih kuliah. Semua membutuhkan uang. Dan dia, harus tetap kuat.

“Aku harus tetap semangat demi Ibu dan adikku,” ucapnya lirih.

Ia beranjak, mandi singkat, mengenakan setelan kerja yang paling nyaman. Rambutnya dikuncir seadanya. Tak sempat sarapan, hanya menenggak satu teguk air putih dan mengunci pintu rumah.

Saat berdiri di pinggir trotoar, menunggu taksi, angin pagi masih dingin menusuk kulit. Langit Valmerra belum benar-benar cerah. Lalu, sebuah mobil berhenti tepat di hadapannya.

Mobil hitam metalik dengan garis desain tajam dan bodi ramping. Mobil sport mewah yang hanya diproduksi dalam jumlah terbatas di Negara Valmerra. Mesin di dalamnya bahkan bisa terdengar menggeram lembut.

Jendela menurun. Di balik kemudi, Max terlihat mengenakan jas abu gelap, dasi hitam polos, rambutnya disisir rapi ke belakang. Dingin. Misterius. Memikat.

“Masuk!” perintahnya tegas.

Laura mendengus. Ia membuang muka, menatap ke arah lain. Seolah tak mendengar.

Tanpa dia duga, Max turun dari mobil, membuka pintu di sisinya, dan langsung mengangkat tubuh Laura tanpa basa-basi.

“Max! Lepas! Gila kamu?!”

“Diam!” bisik Max tepat di telinganya.

Tubuh Laura dimasukkan ke dalam mobil. Ia memberontak, mendorong dada pria itu sekuat tenaga. Tapi sebelum ia sempat berteriak lagi, bibir Max sudah membungkam mulutnya.

Max mencengkeram tengkuknya, mendorong wajah mereka menyatu hingga Laura tak bisa berpikir.

Hanya suara degup jantung yang memekakkan. Tubuhnya gemetar, matanya membelalak. Tapi bibirnya tak bergerak untuk menolak.

Ia terengah saat Max melepaskannya perlahan. Napas mereka masih saling menghantam.

“Sudah? Sekarang duduk diam. Aku antar kamu ke kantor.”

Laura hanya diam. Masih terperangkap antara marah dan bingung.

Mobil melaju. Tapi Laura menyadari arah jalan mulai berbeda.

Matanya menyipit.

“Max, kita mau ke mana?” tanyanya waspada.

Max tetap menatap ke depan. Suaranya tenang, dalam.

“Tenang saja, Laura. Kamu tidak perlu panik seperti itu.”

Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di depan sebuah bangunan kaca elegan bertingkat dua dengan logo restoran bernama Les Séraphins, tempat sarapan paling mewah di jantung Valmerra.

Laura menoleh padanya dengan bingung. “Kenapa kita ke sini?”

Max membuka pintu dan keluar, lalu membukakan pintu Laura dengan ekspresi tak terbaca.

“Kau belum sarapan, Laura. Aku tidak mau konsentrasimu terganggu saat bekerja di perusahaanku.”

Laura diam. Hatinya menegang. Dari mana Max tahu jika dirinya belum makan pagi?

Sementara itu, Chris bahkan tak mengirim satu pesan pun sejak pagi tadi suaminya keluar dari rumah.

Laura melangkah pelan ke dalam restoran Les Séraphins, masih setengah ragu. Tempat itu begitu elegan dengan interior marmer putih mengilat, pencahayaan gantung keemasan, dan aroma croissant hangat yang menyambut dari balik dapur terbuka.

Ia mengenakan blouse krem dan rok pensil hitam. Pakaian kerja yang kini terasa begitu kontras dengan suasana romantis restoran itu.

Max berjalan di depannya dengan percaya diri, membawa aura kekuasaan dan kesan tak tersentuh.

Para pelayan langsung membungkuk, menyambutnya dengan hormat dan membawa mereka ke meja di dekat jendela besar yang menghadap ke taman air mancur.

“Silakan duduk,” ucap Max singkat.

Laura duduk perlahan, matanya sesekali mencuri pandang ke arah Max. Lelaki itu terlihat sangat tenang, seolah kejadian tadi di mobil tidak pernah terjadi.

“Dari mana kau tahu aku belum sarapan?”

Max membuka menu, tak langsung menatapnya. “Kau selalu terburu-buru kalau pagi. Aku tahu kebiasaanmu.”

“Sejak kapan kau memperhatikan kebiasaanku?”

Max akhirnya menatapnya, dalam dan tajam. “Apa kau lupa kita sudah bersahabat sejak lama?”

Hening. Laura menggigit bibir bawahnya, merasa dada kirinya menghangat oleh emosi yang tak jelas bentuknya. Harusnya ia tak menanyakan hal konyol seperti itu.

Pelayan datang, menyuguhkan dua gelas kopi dan dua set sarapan lengkap ala Prancis. Ada roti panggang, telur orak-arik, daging, salad kecil, dan buah segar.

Laura memandangi makanannya. Perutnya memang kosong, tapi pikirannya terlalu gaduh untuk makan.

Max menyeruput kopinya perlahan. “Makanlah.”

Laura masih menatap piring.

“Laura,” suara Max terdengar lebih tegas. “Jangan siksa dirimu sendiri. Kau bukan mesin. Tubuhmu butuh tenaga.”

Laura akhirnya mengambil garpu, mulai menyentuh salad. Hening sesaat. Lalu ia memberanikan diri bertanya, “Kenapa kau melakukan semua ini, Max? Kau tidak berhak untuk memaksaku.”

Max meletakkan cangkirnya perlahan. Menatap Laura tanpa berkedip.

“Mungkin aku terlalu lelah berpura-pura tidak peduli selama ini.”

Laura menunduk. Matanya panas, tapi ia menahan. Di luar jendela, air mancur menari pelan ditemani angin pagi yang lembut.

“Kau tahu kalau ini salah, kan?”

“Tentu saja aku tahu.” Max tersenyum miring. “Tapi kau juga tahu bahwa tak semua yang salah bisa dihentikan begitu saja.”

Laura tak sanggup membalas. Ia menatap cermin jendela dan melihat bayangannya sendiri. Seorang istri yang hidupnya kini perlahan berubah. Penuh teka-teki.

Beberapa saat kemudian, mereka keluar dari restoran. Laura masih diam, berjalan sejajar dengan Max.

Saat mereka hampir sampai di parkiran, Max menghentikan langkahnya dan menatapnya.

“Laura, hari ini kau tak perlu masuk kantor. Aku sudah memberitahu bagian HRD.”

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 114. Di Bawah Langit Senja

    Setelah Laura dan Max menghabiskan beberapa minggu yang ajaib di villa terpencil di tepi Danau Como, Italia. Kini akhirnya mereka kembali ke Valmerra, tapi bukan ke penthouse mewah mereka, melainkan ke rumah yang jauh lebih besar dan hangat yaitu kediaman keluarga besar Max, yang dipimpin oleh Kakek Max—ayah dari Papanya. Ini adalah langkah yang disengaja Max, menempatkan Laura di bawah perlindungan benteng keluarga terkuat mereka, di mana siapapun itu tidak akan berani mendekat. Pagi itu di rumah keluarga besar terasa damai. Max sudah bangun lebih dulu, bersiap untuk hari pertamanya kembali di kantor setelah honeymoon panjang. Ia mengenakan kemeja dan dasi, lalu kembali ke ranjang untuk membangunkan Laura. Max membungkuk, mencium kening Laura lembut. “Bangun, Sweet Heart. Sudah pagi. Hari ini adalah hari pertama kembalinya Max si Raja Bisnis.” Laura mengerang, menarik selimut menutupi kepalanya. “Lima menit lagi, Max. Aku merasa sedikit pusing.” “Pusing?” Max menarik selimut i

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 113. MENANAM BENIH

    Dengan perlahan ia menunduk, bibirnya menyapu garis rahang Laura, turun ke leher, lalu berhenti tepat di bahu. Ia tidak terburu-buru. Justru kesabaran itu yang membuat Laura hampir kehilangan akal. Tiap gigitan lembut, tiap kecupan yang dibiarkan berlama-lama, membuatnya bergetar tak karuan. Lalu, dengan gerakan tak terduga, Max menggulingkan tubuh Laura hingga kini ia berada di atas, namun tetap menahan tangannya di sisi kepala. Laura menatapnya dengan mata terbelalak sebentar, lalu tersenyum malu, tubuhnya memanas karena posisi baru itu membuatnya benar-benar tak berdaya. “Max ….” Suaranya nyaris berupa erangan pelan, bergetar di antara rasa ingin dan rasa malu. Max hanya menunduk, bibirnya kembali melahap bibir Laura, kali ini dengan ciuman yang lebih dalam, lebih menuntut. Lidah mereka bertemu lagi, saling menekan, saling mengisi, hingga Laura merasa paru-parunya seolah kehilangan udara. Namun Max belum puas. Tangannya yang bebas menyusuri sisi tubuh Laura, turun perlaha

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 112. MAU GAYA LAIN?

    Hari ketiga di Paris, saat mereka berjalan di taman yang tenang di dekat Jardin du Luxembourg, di tengah hamparan bunga tulip yang bermekaran, Laura dan Max berhenti sejenak di dekat sebuah air mancur. Keduanya memperhatikan sekelompok anak kecil bermain kejar-kejaran. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki kecil, mungkin berusia sekitar lima tahun menangis tersedu-sedu. Balon heliumnya, berbentuk astronot biru, tersangkut tinggi di dahan pohon yang rindang. “Astaga, kasihan sekali,” bisik Laura. Insting keibuannya langsung muncul. Ia bergegas mendekat, menenangkan si anak laki-laki. “Tidak apa-apa, Mon Chérie. Bibi akan ambilkan,” kata Laura dengan senyum lembut, meski ia harus berjinjit dan melompat sedikit. Laura berhasil meraih ujung tali balon itu, menariknya turun, dan memberikannya kembali kepada si anak. Wajah anak itu seketika bersinar. Ia memeluk balonnya erat-erat. “Merci, Madame! Merci!” seru anak tersebut riang. Tepat saat itu, datang anak laki-laki lain yang p

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 111. RONDE BERIKUTNYA

    Max kemudian mengangkat Laura. Kali ini ia membaringkan sang istri perlahan di atas meja marmer panjang di kamar mandi. Meja itu dingin, memberikan kontras yang sensasional pada kulit Laura yang kini terasa semakin panas. Max berdiri di antara kaki Laura, menatapnya dengan hasrat yang membakar. “Aku ingin kau mengingat setiap sentuhanku,” bisik Max, suaranya pelan dan mengancam. “Aku ingin kau tahu bahwa tubuhmu hanya merespons padaku.” “Hanya padamu, Max. Selalu padamu,” desah Laura, tangannya meraih rambut Max, menariknya ke bawah untuk sebuah ciuman yang dalam. Max menerima ciuman itu dengan rakus. Ciuman mereka adalah ledakan dari penahanan diri sepanjang hari, penuh hasrat, dan gairah yang jujur. Max tidak lagi ragu. Ia menggerakkan tangannya dengan berani dan penuh kepemilikan. Laura melengkung di atas meja marmer yang dingin. Ia bisa merasakan Max mengambil alih segalanya. Desahannya kini bukan lagi godaan, tetapi pelepasan murni. Max mengangkat kepala sedikit, memu

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 110. LEBIH DALAM

    Max tersenyum nakal. “Tidak ada. Ciumanmu adalah macaron paling manis yang pernah ada dan aku selalu ingin lebih.” Max menunduk dan di tengah hamparan rumput yang ramai itu, ia mencium Laura dengan lembut dan penuh cinta. Itu adalah ciuman yang menjanjikan, ciuman yang menolak segala bentuk ketakutan dan ancaman. Di bawah Menara Eiffel yang baru saja berkilauan, mereka merayakan kemenangan cinta mereka. Mereka menghabiskan waktu hingga sore, berdua saja, tanpa ponsel, tanpa berita, hanya mereka dan Paris. Langit berubah menjadi oranye, merah muda, dan ungu, melukis pemandangan Paris yang membentang. Di saat senja itu, Max berjanji akan selalu menjadi fondasi yang kokoh, tempat Laura bisa berlindung dari badai apa pun. Akhirnya Max memutuskan untuk membawa Laura kembali. “Sudah cukup, Chérie. Kita harus kembali ke hotel.” Max dan Laura kembali ke suite mereka setelah hari yang indah di Paris. Pintu kaca kamar mandi telah menjadi pemisah singkat yang memicu kerinduan baru.

  • Terjerat Pesona Sahabat Suamiku   BAB 109. DI RUMPUT

    Setelah siap, Max dan Laura meninggalkan suite. Mereka siap menaklukkan Paris. Pria itu menggandeng tangan Laura erat. Laura tampak memukau dalam gaun sundress sederhana yang ia kenakan dan kalung cameo vintage yang dibelikan Max bersinar lembut di lehernya. Tujuan pertama mereka adalah Montmartre. Saat tiba di bukit ikonik itu, mereka langsung disambut oleh keramaian dan aroma cat minyak yang khas. Para seniman jalanan sibuk melukis, musisi memainkan akordeon, dan turis berdesakan di tangga menuju Basilika Sacré-Cœur. Max dan Laura berjalan perlahan, menikmati suasana. Pria itu sengaja membiarkan Laura menentukan arah, ingin melihat apa yang menarik perhatian istrinya. “Aku suka tempat ini, Max,” bisik Laura, matanya berbinar melihat seorang pelukis tua yang fokus pada kanvasnya. “Semuanya terasa jujur di sini. Tidak ada kepalsuan.” “Seperti yang aku lihat di matamu,” balas Max, berhenti sejenak, membalikkan tubuh Laura, dan mengecupnya di dahi. “Kau adalah keindahan pali

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status