"Gemes banget sih!" Ucap seorang wanita cantik yang sedang menciumi keponakannya.
"Makanya cepet punya anak, biar gak ngunyel-ngunyel anak orang terus! Nikah udah 5 tahun kok gak hamil-hamil, si Siti aja baru nikah 2 bulan langsung isi. Kaka Iparmu juga udah punya dua anak, masa kamu kalah sih, Na!" Celetuk wanita paruh baya yang menatap sinis pada menantunya. Sontak hati Anna berdenyut nyeri mendengar ucapan mertuanya. Setiap kali ia dan suaminya berkunjung ke rumah ini, selalu kata-kata pedas yang terjun bebas dari mulut ibu kandung suaminya. "Kita kan lagi usaha, Bu. Ibu jangan ngomong gitu terus dong, yang ada Anna makin tertekan kalo terus-terusan ibu desak kayak gini. Anak itu kan anugerah dari Allah, bukan kita yang menentukan." Sela Rangga membela Anna, sembari duduk disamping istrinya. "Usaha? Usaha apa? Mau sampe kapan kamu gak punya anak, Ga? Umur kamu itu udah 30 tahun, keburu mati gak punya anak! Siapa nanti yang doain kamu di alam kubur?" Bentak Bu Rahma dengan suara menggelegar. Ia tak terima karena setiap kali membahas masalah momongan, putranya akan pasang badan untuk membela istrinya. Bayi tiga bulan yang digendong Anna seketika menangis kala mendengar suara nyaring neneknya. "Astaghfirullahal'adziim, Bu. Ibu doain Rangga mati? Istighfar, Bu. Bukan kemauan kita belum punya anak, tapi kalo Allah belum ngasih, mau gimana lagi? Selama ini Anna udah menjalani macem-macem program hamil, tapi memang belum dikasih, Bu." Timpal Rangga yang terpancing emosi. "Udah, Mas. Aku nggak apa-apa kok, udah biasa. Kita pulang aja yuk?" Bisik Anna sembari mengusap lengan suaminya lembut. Anna sedikit kewalahan karena Bian menangis ditengah perdebatan sengit antara suami dan mertuanya. Ia mencoba menenangkan Bian dan suaminya secara bersamaan. "Emang dasar istri kamu aja yang mandul! Gak bisa ngasih keturunan! Percuma kalian banyak harta tapi gak punya anak, kalo mati mau dikemanain hartanya? Jadi aset negara? Sia-sia kamu kerja keras selama ini! Punya istri kok gak bisa diandelin, bisanya cuma ke salon mulu ngabisin duit!" Bentak Bu Rahma lagi sembari melemparkan bantal sofa pada Rangga. Setelah itu Bu Rahma pun pergi memasuki kamarnya, sembari membanting pintu dengan cukup keras. Nyaris membuat engsel pintu tersebut terlepas dari tempatnya. "Astaghfirullahal'adziim. Maafin ibu ya, Sayang?" Ucap Rangga lembut sembari menatap istrinya yang sudah berkaca-kaca. Rangga merasa bersalah karena ibunya selalu mendesak sang istri untuk segera hamil. Tak jarang pula ia dan istrinya akan bertengkar setelah sampai di rumah, hanya karena ucapan menyakitkan dari ibu kandungnya. "Gak apa-apa." Lirih Anna kemudian beranjak menggendong Bian yang masih menangis. Ia berjalan menuju dapur dimana ibu dari bayi tersebut berada. "Mbak..., ini Biannya. Anna mau pulang dulu." Ucap Anna dengan lesu. Gegas ibu kandung dari balita yang digendongnya pun menggambil alih anaknya dari Anna. Sontak Bian pun langsung terdiam kala mendapat pelukan hangat dari ibunya. "Yang sabar ya, Na." Ucap Aulia pada istri dari adik iparnya. "Iya." Lirih Anna sembari memaksakan senyuman. Saat Anna dan Rangga hendak berpamitan pada kakak iparnya, tiba-tiba suara Bu Rahma kembali menggelegar bak petir yang menyambar. "AULIAAAA! KAMU PESEN PAKET APA LAGI INI? BUKANNYA BANTU SUAMI CARI DUIT MALAH HAMBUR-HAMBURIN DUIT SUAMI MULU!" Teriak Bu Rahma sembari berjalan ke dapur, menghampiri mereka bertiga. Tubuh Aulia seketika bergetar mendengar teriakan mertuanya, sudah pasti ia akan terkena amukan singa reog lagi. "Paket apa ini? Kamu itu makin hari makin jadi beban anakku aja!" Bentak Bu Rahma meleparkan sebuah paket sebesar kardus mie instan, pada wajah menantu pertamanya, nyaris terkena kepala bayi tiga bulan yang digendongnya. "Ini popok Bian, Bu. Lumayan lagi diskon, makanya beli dua sekalian, biar buat setok, jadi lebih irit." Cicit Aulia memungut paket tersebut. "Astaghfirullah, Bu. Hati-hati dong, kalo kena kepala Bian gimana?" Protes anak bungsunya mengusap kepala keponakannya. "Gak usah kamu belain kakak ipar kamu yang pembawa sial itu! Semenjak nikah sama dia, kakakmu jadi kere tau gak!" Bentak Bu Rahma sembari bertolak pinggang. Belum sempat Rangga menjawab, sang kakak yang baru saja pulang bekerja langsung menghampiri mereka. "Ada apa sih, Bu? Sore-sore gini teriak-teriak? Itu tetangga di depan lagi pada ngumpul loh. Malu, Bu." Keluh Raka dengan wajah lesu. "Ini istrimu belanja mulu! Bukannya bantuin cari duit, malah ngabisin duit mulu! Malu sama Rangga yang tiap bulan bayarin listrik sama beliin sembako buat kita!" Bentak Bu Rahma pada putra sulungnya. Raka hanya bisa menghela napas lemah, ia sudah khatam dengan tabiat ibunya yang selalu pedas bila berbicara. "Itu popok Bian, Bu. Itu Raka yang beli. Kebetulan lagi promo, lumayan bisa menghemat pengeluaran bulan ini." Balas Raka dengan lemah. Bu Rahma hanya bisa menatap sengit pada kedua anak dan kedua menantunya. Ia memiliki ambisi yang kuat pada anak dan menantunya. Ia ingin memiliki anak-anak yang sukses dalam hal ekonomi, dan juga sukses dalam memiliki momongan. Namun kedua anaknya seolah bertolak belakang. Raka si putra sulung, memiliki keterbatasan dalam hal finansial. Penghasilannya yang hanya buruh pabrik biasa, hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Namun dibalik keterbatasan Raka, ia sudah dikaruniai dua orang anak laki-laki. Sedangkan Rangga si bungsu, memiliki penghasilan yang sangat besar. Namun hingga saat ini, ia belum memiliki momongan. "Ibu tuh stres tau gak mikirin kalian! Yang satu miskin, yang satunya gak punya-punya anak! Kapan sih kalian bisa bikin ibu bangga?" Ucap Bu Rahma sedikit menurunkan intonasi bicaranya. "Rezeki, anak dan maut, itu udah takdir Allah, Bu. Kita nggak bisa melawannya, yang penting kita tetap berusaha." Ucap Raka mengusap lengan ibunya. Watak kedua anaknya memang penyabar, menurun dari almarhum sang ayah, sangat berbeda dengan ibunya. "Pokoknya ibu gak mau tau, dalam waktu tiga bulan, kalian harus memenuhi kemauan ibu. Kamu Aul, kamu harus punya penghasilan sendiri biar bisa bantu ekonomi suamimu. Dan kamu Anna, kamu harus hamil gimanapun caranya! Kalo dalam waktu tiga bulan gak ada perubahan, kalian berdua ceraikan istri kalian! Titik!" Ancam Bu Rahma menunjuk anak menantunya satu persatu. Bu Rahma yakin bahwa anaknya pasti akan mengikuti perintahnya. "Inget ya, tiga bulan! Ibu gak main-main kali ini, ibu malu punya menantu pada gak becus bikin mertua bangga!" Lanjut Bu Rahma sembari menatap tajam ke arah mereka berempat. Setelah mengatakan hal tersebut, wanita lima puluh lima tahun itu pun memasuki kamarnya sembari membanting pintu dengan cukup keras. . . . To be continue ~Eksekusi pun dimulai.Raka berjalan mendekati sepasang suami istri itu. Wajah Anna memerah menahan malu karena bagian tubuh yang sangat ia jaga dilihat lelaki lain selain suaminya.Anna duduk dibagian ujung ranjang sebelah kiri, sembari bersandar ditubuh suaminya. Ia merapatkan kakinya kala Raka berdiri dihadapannya, tanda sudah siap menjalankan tugasnya."Bentar, Mas." Tolak Anna saat Raka hendak mendekatkan miliknya pada milik Anna, membuat Raka menghentikan niatnya."Kenapa sayang? Sebentar doang kok." Desak Rangga memeluk tubuh Anna yang bersandar padanya.Dengan sedikit paksaan dibalut rayuan, Anna pun tak bisa menghindar lagi.Rangga menyuruh kakaknya meneruskan rencana mereka, lebih tepatnya rencana Rangga.Raka meneguk salivanya menahan gejolak aneh dalam dirinya. Sesegera mungkin ia menuntaskan tugasnya. Anna meringis karena menahan perih di area intimnya, disusul rasa hangat memenuhi bagian itu."Udah." Ucap Raka menarik miliknya kemudian bergegas keluar dari kamar.Anna aga
Rangga menjeda ucapannya, membuat hati Raka berdebar tak karuan. "Kalo nggak kenapa?" Tanya Raka tak sabar. "Kalo nggak, Mas akan tau akibatnya." Jawab Rangga dingin. Setelah selesai berbincang via telepon dengan adiknya, Raka kembali termenung memikirkan kerumitan dalam hidupnya. Semenjak ayah mereka meninggal, Raka yang saat itu masih duduk di bangku SMA terpaksa menjadi tulang punggung keluarga, membiayai ibu dan adik satu-satunya. Ia bekerja menjadi kuli panggul di pasar setelah pulang sekolah. Ekonomi mereka mulai membaik saat Rangga sudah lulus SMA. Saat itu Raka pun sudah bekerja di sebuah delaer mobil. Melihat Rangga yang bingung tak kunjung mendapatkan pekerjaan, Raka berinisiatif memasukan adiknya ke tempatnya bekerja. Rangga diterima sebagai staff karena kemampuannya dibidang komputer cukup mumpuni, sedangkan Raka sebagai mekanik. Saat Raka dan Aulia baru tiga bulan me
[Besok masuk siang. Kenapa, Ga?] -Raka- Jemari Rangga bergetar kala mengetik balasan pesan untuk kakaknya. Pesan yang sudah ia ketik cukup panjang, kembali ia hapus karena ragu. "Gimana cara ngomongnya ya?" Batin Rangga menggigit bibir bawahnya. Saat Rangga tengah berpikir, Raka kembali mengirimkan pesan. [Ada apa sih? Cepetan ngomong jangan bikin penasaran!] -Raka- Tanpa pikir panjang, akhirnya Rangga mengajak kakaknya untuk bertemu besok. . Keesokan harinya sikap Anna masih saja dingin pada Rangga. Rangga yang merasa bersalah pun memeluk istrinya yang sedang mencuci piring. "Maafin aku, sayang." Bisik Rangga menyembunyikan wajahnya di leher Anna, Anna pun menghentikan gerakannya. "Maaf karena udah bikin kamu ada disituasi kayak gini. Maaf karena aku gak bisa apa-apa lagi. Maaf karena aku udah ngorbanin kamu buat mengatasi masalah kita."
Sejak percakapan mereka malam itu, hubungan Anna dan Rangga menjadi renggang, lebih tepatnya Anna lah yang menghindar dari suaminya. Ia tak habis pikir dengan ide gila sang suami. Suami macam apa yang menyuruh istrinya dinikmati oleh laki-laki lain? Sekali pun itu kakak iparnya, tetap saja rasanya tak pantas jika suaminya menyuruhnya untuk melakukan hal itu. "Sayang? Kamu masih marah sama aku?" Tanya Rangga seraya duduk di samping istrinya yang sedang sarapan."Sarapan kamu udah aku siapin, aku berangkat duluan soalnya hari ini banyak pesanan yang harus dikirim." Jawab Anna tak menanggapi pertanyaan Rangga.Ya, selain menjadi ibu rumah tangga, Anna juga memiliki bisnis online shop yang lumayan menghasilkan. Hitung-hitung mengisi waktu luang, karena di rumah saja pun rasanya sangat membosankan.Anna meneguk segelas air lalu bangkit dari duduknya. Sebelum ia benar-benar melangkah, Rangga menahan pergelangan tangan Anna, membuat Anna mau tak mau berhenti."Udah tiga hari kamu diemin aku
"Hasilnya normal ya, Bunda. Sel telurnya masya Allah bagus-bagus, udah siap dibuahi. Jangan terlalu stress, jaga pola hidup sehat, makan makanan yang bergizi dan yang paling penting, doanya lebih dikencengin lagi." Terang Dokter Nadia menjelaskan dengan lembut dan tenang, senyum ramahnya tak pernah luntur dari bibirnya."Alhamdulillah. Terima kasih ya, Dok. Semoga saya bisa secepatnya punya momongan." Balas Anna sembari tersenyum, namun menahan getir dihatinya.Ini adalah ke sekian kalinya Anna mendatangi dokter obgyn. Tak terhitung berapa banyak dokter yang ia dan suaminya kunjungi, sejak tahun pertama pernikahannya. Tak jarang pula Anna pergi berkonsultasi seorang diri saat suaminya sedang bekerja, sepertti saat ini.Sepulang dari dokter, Anna terus melamun memikirkan nasibnya yang tak kunjung hamil. Selama melakukan pemeriksaan, dokter selalu mengatakan bahwa ia dan suaminya tidak bermasalah. Tapi mengapa rasanya sulit sekali untuk memiliki momongan? Begitulah yang selalu terbesit
"Gemes banget sih!" Ucap seorang wanita cantik yang sedang menciumi keponakannya."Makanya cepet punya anak, biar gak ngunyel-ngunyel anak orang terus! Nikah udah 5 tahun kok gak hamil-hamil, si Siti aja baru nikah 2 bulan langsung isi. Kaka Iparmu juga udah punya dua anak, masa kamu kalah sih, Na!" Celetuk wanita paruh baya yang menatap sinis pada menantunya.Sontak hati Anna berdenyut nyeri mendengar ucapan mertuanya. Setiap kali ia dan suaminya berkunjung ke rumah ini, selalu kata-kata pedas yang terjun bebas dari mulut ibu kandung suaminya."Kita kan lagi usaha, Bu. Ibu jangan ngomong gitu terus dong, yang ada Anna makin tertekan kalo terus-terusan ibu desak kayak gini. Anak itu kan anugerah dari Allah, bukan kita yang menentukan." Sela Rangga membela Anna, sembari duduk disamping istrinya."Usaha? Usaha apa? Mau sampe kapan kamu gak punya anak, Ga? Umur kamu itu udah 30 tahun, keburu mati gak punya anak! Siapa nanti yang doain kamu di alam kubur?" Bentak Bu Rahma dengan suara men