Ruangan itu mendadak hening setelah Elema menjawab. Semua mata terarah padanya, seolah mereka baru saja mendengar sesuatu yang mustahil. Dalam hati mereka bertanya-tanya, kenapa Elena tidak menyerang Kanaya seperti yang ada dipikiran mereka?
Rangga yang duduk di sisi kanan kursi Adipati Dirgantara akhirnya memecah kesunyian. Tatapannya tajam, suarany naik. “Apa yang kau rencanakan, Elena?! Aku tahu betul betapa kau menyukai paviliun itu!” tuduhnya. Elena mengangkat wajahnya sedikit, menatap Rangga tanpa ekspresi apa pun. Ringga, kembaran Rangga, ikut menimpali dengan nada mencibir. “Benar! Bahkan sebelum Kanaya datang ke kediaman ini, kau selalu menyakiti dan meremehkannya. Gadis licik sepertimu pasti punya niat lain.” Elena hanya menatap mereka datar, bibirnya tak bergerak sedikit pun, ia baru sadar betapa bodohnya Elena di masa lalu selalu membela kedua saudara kembar itu. Belum sempat Elena membuka mulutnya, Kanaya yang duduk di samping Nyonya Andini tiba-tiba menunduk sambil menahan tangis. Air matanya jatuh begitu saja, membuat semua mata beralih padanya. “Kak Elena maafkan aku,” ucapnyadengan suara bergetar. “Aku gak bermaksud merebut apa pun. Aku tahu kakak pasti tidak rela. Kalau begitu, biarlah aku saja yang mengalah dan tinggal di paviliun Selatan.” Semua menatap penuh iba pada Kanaya, betapa baik dan lembutnya sikap gadis itu. Sangat berbanding terbalik dengan sikap Elena yang arogan dan keras kepala. Nyonya Andini langsung meraih bahu putrinya, mengusap kepala Kanaya dengan lembut. “Hatimy sungguh besar, sayang. Tapi paviliun itu memang sudah seharusnya menjadi milikmu, sejak awal.” Nyonyaa Andini lalu menatap Elena. “Elena, Ibu mohon jangan membuat Kanaya nangis. Kau akan tetap mendapatkan paviliun lain.” Kanaya menggeleng cepat, air matanya semakin deras. “Tidak, Ibu! Itu milik Kak Elena. Walaupun aku putri kandung, aku tidak seharusnya datang dan mengambil semuanya dari Kak Elena. Aku tahu Kak Elena pasti sangat sedih, dan aku tidak ingin membuatnya terluka.” Elena memutar bola matanya pelan, dadanya terasa muak mendengar drama penuh kepalsuan itu. Ia bisa melihat dengan jelas betapa setiap kata yang keluar dari mulut Kanaya hanyalah pancingan simpati, permainan lama yang di kehidupan sebelumnya selalu berhasil membuat semua orang berbalik menyalahkannya. Dan saat ini Elena baru sadar akan hal itu. Rangga kembali menatap Elena dengan tatapan tajam, nada suaranya penuh tuduhan. “Lihatlah, betapa besarnya hati Kanaya! Tidak seperti dirimu!” Ringga menimpali cepat. “Kau itu—” “Cukup!” Satu kata itu meluncur dari bibir Elena, memotong ucapan Ringga, membuat mereka terdiam. Elena menatap Kanaya, sorot matanya dingin seperti es. “Kanaya, apa kau akan terus menangis sepanjang waktu?” Kanaya terkejut, bibirnya terbuka tapi tidak ada suara yang keluar. Rangga mencoba menegur. “Elena, jangan bicara seperti—” Elena mengangkat tangannya perlahan, membuat Rangga refleks menahan kata-katanya. “Kalian ini maunya apa, sebenarnya?” suara Elena terdengar datar, menatap kelima orang itu. “Aku sudah memberikan paviliun itu. Sesuai keinginan kalian. Tapi sekarang kalian malah menuduhku merencanakan sesuatu?” Rangga dan Ringga terdiam, rahang mereka mengeras. Elena mengalihkan pandangan ke Kanaya. “Dan kau, Kanaya. Bagaimana kau bisa tahu aku tidak rela? Apa kau bisa membaca isi hatiku?” Kanaya membuka mulutnya, tapi tak sepatah kata pun keluar. Air matanya yang tadi deras kini terhenti, hanya menyisakan wajah pucat dan kebingungan. Elena menghela napas pelan, merasa muak. “Apa kalian sedang menungguku untuk mengamuk? Menangis? Memohon agar paviliun itu tetap jadi milikku? Lalu kalian bisa menuduhku tidak tahu diri dan menghukumku seperti dulu?” Kata-kata itu meluncur tepat sasaran bagaikan pisau, menohok satu per satu. Memang benar, mereka seolah menunggu Elena marah dan berakhir dihukum. “Sudah cukup!” tegur Adipati Dirgantara, lalu menatap Elena. “Elena, apa kau benar-benar merelakan paviliun itu?” tanyanya memastikan. “Apakah aku diberikan kesempatan untuk menolak, Tuan Adipati?” Elena balik bertanya, membuat tuan Adipati Dirgantara terdiam. Elena menyeringai kecil, tentu dia sudah tidak ada hak untuk menolak. Jika tidak, maka Elena akan dihukum. “Kalau seperti itu, izinkan aku untuk ke paviliun Selatan,” pamit Elena muak tak ingin berbasa-basi. Nyonya Andini menatap Elena. “Besok saja! Untuk hari ini berkemas—” “Tak perlu Nyonya,” potong Elena cepat. “Aku sudah berkemas, dan hanya beberapa—” “Tuan! Nyonya! Paviliun Melati hancur berantakan!” suara seseorang memotong ucapan Elena.Suara berat itu membuat Elena dan Cani seketika membeku. Keduanya menoleh perlahan, di sana di ambang pintu kamar berdiri Rangga. Tubuh tegapnya bersandar di kusen pintu, sorot matanya tajam menusuk, mencoba mengintimidasi. “Elena.” suaranya datar. “dari mana saja kalian?” ulang RanggaCani menunduk refleks, wajahnya pucat pasi. Elena hanya menarik napas pelan, berusaha menenangkan debar di dadanya sebelum menjawab dengan nada datar, tanpa rasa bersalah sedikit pun.“Kami hanya berjalan-jalan di belakang taman paviliun,” ucapnya. “Sekalian menanam beberapa tanaman.”Rangga menyipitkan mata, bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. “Kau pikir aku percaya? Aku tahu kau pasti merencanakan sesuatu di belakang kami.”Tatapan Elena berubah dingin, tak ada sedikit pun rasa takut di matanya. “Aku tidak butuh kau percaya atau tidak,” jawabnya tegas. “Lagi pula, apa yang kau lakukan di sini? Setahuku, kau tidak pernah repot-repot mengunjungi kamarku.”Ucapan itu membuat garis rahang Rangga
Setelah Orion pergi meninggalkan kedai kecil itu, Elena menatap punggung lelaki tua itu hingga hilang di balik kerumunan pasar. “Sekarang waktunya bagian kedua,” gumam Elena, lalu berbalik pergi. Langkah Elena berhenti di depan sebuah toko pakaian kecil di sudut pasar. Cat pada papan nama toko itu sudah mengelupas, dan kaca jendelanya berdebu, tempat itu sangat sepi, hanya kain kusam yang tergantung. .Elena membuka pintu kayu itu perlahan, dan suara lonceng tua berdentang menandakan kedatangannya. Namun, tak ada yang datang. Elena menunggu sebentar di dekat pintu, lalu akhirnya melangkah masuk. Toko itu sepi, hanya terdengar suara seorang anak kecil dari ruang belakang. Saat Elena menoleh, ia melihat seorang wanita berambut kusam sedang menenangkan anaknya yang tampak kelaparan. Tubuh wanita itu kurus, bajunya lusuh. Begitu menyadari ada seseorang di pintu, wanita itu langsung berdiri waspada, melindungi anaknya di belakang punggung.“Siapa kamu?” serunya tajam. “Mau apa kau ke s
Sudah seminggu Elena tinggal di paviliun Selatan dan tak pernah keluar, hanya Cani yang membawakan makanan untuknya. Elena duduk di kursi dekat jendela, menatap buku tebal bertuliskan huruf kuno tentang sihir dasar dan aliran spiritual. Ia membaca dengan seksama, namun semakin lama, ekspresinya berubah frustrasi. Tangannya mengepal, dan buku itu terhempas ke lantai.“Kenapa belum juga bangkit?” gumamnya pelan, seraya menatap kosong ke arah luar jendela.Sudah seminggu penuh ia mencoba memusatkan kekuatan spiritualnya, namun tak ada satu pun percikan sihir muncul.Elena menutup matanya, mengatur napas panjang, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.Sebuah kenangan dari kehidupan lalunya berkelebat, saat Kanaya, si putri asli tanpa sengaja menolong seorang pengemis tua di pasar. Tak lama setelah itu, Kanaya memiliki guru rahasia yang membuat kekuatannya melonjak pesat.Elena segera berdiri, seolah mendapat pencerahan.“Cani!” panggilnya cepat.Pelayan muda itu segera masuk, menunduk sopan. “
Pelayan itu terus membenturkan kepalanya ke lantai dengan keras, hingga darah mulai menetes dari dahinya. "Ampuni saya, Tuan. Saya menyesal!" “Cukup!” seru Tuan Dirgantara, tapi pelayan itu tetap berlutut, tubuhnya gemetar memohon ampunan. Dengan tangan berlumur darah dari dahinya, pelayan itu merangkak ke arah Kanaya dan berusaha memegang ujung roknya. “Nona Kanaya, tolong saya ... saya tidak sengaja ... saya hanya—” suaranya tersendat, matanya memohon tapi ada sesuatu di matanya. Kanaya menatap pelayan itu dengan wajah tidak percaya. Suaranya terdengar kecewa. “Kenapa kamu melakukan ini? Apa kamu tidak tahu kalau Kak Elena bisa dihukum karena perbuatan yang tidak dia lakukan?”Pelayan itu masih memohon, tubuhnya bersujud di lantai, “Nona tapi bukankah Nona kemarin—”“Cukup!” potong Kanaya cepat, matanya membulat dan pandangannya langsung beralih ke ayahnya, Adipati Dirgantara. “Ayah,” kata Kanaya, suaranya memelas, “pelayan ini memang bersalah. Tapi bisakah hukumannya diringankan
Tuan Dirgantara menoleh, begitu juga dengan yang lain. “Kalian tidak bisa menghukumku, tanpa ada bukti,” kata Elena seraya menepis tangan pengawal yang mencoba menyeretnya. Rangga maju selangkah, jari telunjuknya menuding tepat ke wajah Elena. “Apa maksudmu, Elena? Bukti sudah jelas, kau memang berusaha merusak paviliun ini hanya karena tak ingin Kanaya menempatinya. Jangan bilang kau mau memutar balikkan fakta!”Elena menatap jari itu dengan datar sebelum menepisnya kwras. “Apa begini sikap adil yang ditunjukkan oleh keluarga Adipati Dirgantara?” tanyanya menyindir, matanya menatap satu per satu wajah di hadapannya.Mata Adipati Dirgantara menyalak tajam merasa tersinggung ucapan Elena. Suasana mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara, baru kali ini mereka melihat Elena berbicara dengan nada setegas itu.Adipati Dirgantara menyipitkan mata. “Apa maksudmu, Elena? Bukti sudah jelas! Kau yang paling terakhir menempati paviliun itu, dan sekarang tempat ini hancur! Jangan berani m
“Apa yang kau katakan?” suara Adipati Dirgantara meledak, membuat semua orang terhenyak. Tatapan pria paruh baya itu, menusuk tajam ke arah pelayan yang kini berlutut gemetar.Pelayan itu menunduk semakin dalam, matanya melirik sekilas ke arah Elena yang berdiri diam di sisi kanan ruangan.Adipati yang tak luput menangkap lirikan itu kembali menegaskan. “Katakan dengan jelas! Jangan hanya diam seperti patung!”Pelayan itu menelan ludah, tubuhnya bergetar hebat. “A–ampun, Tuan … Paviliun Melati … paviliun itu … hancur berantakan. Saat kami hendak membersihkan kamar untuk Nona Kanaya, kami mendapati seluruh ruangan sudah kacau … barang-barang porak-poranda.”Semua orang membelalak terkejut, mata serentak tertuju pada Elena, yang terlihat tenang. Rangga tiba-tiba berdiri dari duduknya, langsung menatap tajam ke arah Elena. “Lihat! Benarkan dugaanku! Pantas saja kau begitu cepat menyerahkan Paviliun Melati. Rupanya ini rencanamu sejak awal!”Ringga ikut maju setengah langkah, suaranya pe