LOGINTuan Dirgantara menoleh, begitu juga dengan yang lain.
“Kalian tidak bisa menghukumku, tanpa ada bukti,” kata Elena seraya menepis tangan pengawal yang mencoba menyeretnya. Rangga maju selangkah, jari telunjuknya menuding tepat ke wajah Elena. “Apa maksudmu, Elena? Bukti sudah jelas, kau memang berusaha merusak paviliun ini hanya karena tak ingin Kanaya menempatinya. Jangan bilang kau mau memutar balikkan fakta!” Elena menatap jari itu dengan datar sebelum menepisnya kwras. “Apa begini sikap adil yang ditunjukkan oleh keluarga Adipati Dirgantara?” tanyanya menyindir, matanya menatap satu per satu wajah di hadapannya. Mata Adipati Dirgantara menyalak tajam merasa tersinggung ucapan Elena. Suasana mendadak hening. Tak ada yang berani bersuara, baru kali ini mereka melihat Elena berbicara dengan nada setegas itu. Adipati Dirgantara menyipitkan mata. “Apa maksudmu, Elena? Bukti sudah jelas! Kau yang paling terakhir menempati paviliun itu, dan sekarang tempat ini hancur! Jangan berani menuduh kami tidak adil!” Elena menatap pria paruh baya itu, lalu tertawa kecil bukan tawa bahagia, tapi tawa getir. Kanaya hendak menyela, namun Elena mengangkat tangannya pelan. “Diam, Kanaya. Aku belum selesai bicara.” Gadis itu menatap kembali ke arah Adipati Dirgantara. “Tuan Adipati, apakah Anda memiliki bukti bahwa aku yang merusak Paviliun Melati?” Ringga langsung menyela dengan nada menyindir, “Bukti? Kau pikir kami butuh bukti untuk hal sejelas ini? Siapa lagi yang bisa melakukannya selain kau?” Elena mengangkat tangan lagi, memotong ucapan Ringga. “Jangan hanya karena aku yang tinggal di paviliun itu, kalian seenaknya menuduhku. Dunia ini luas, dan rumah ini juga dipenuhi banyak orang. Bisa saja ada seseorang yang ingin merusak reputasiku.” Rangga mencibir tajam. “Reputasimu? Kau sendiri yang merusaknya! Tidak perlu menuduh orang lain untuk menutupi perbuatanmu sendiri.” Elena menatap Rangga dengan senyum tipis. “Kau benar. Aku tidak akan menyangkal bahwa aku pernah berbuat jahat. Tapi bagaimana kalau kali ini bukan aku pelakunya?” tantang Elena. Ucapan itu membuat semua orang saling berpandangan, mereka mulai terlihat ragu. Sementara di antara mereka, seseorang mulai tampak gelisah, keringat dingin menetes di pelipisnya. Elena menatap Adipati Dirgantara. “Bagaimana, Tuan Adipati? Bukankah menurut aturan, seseorang harus diberi kesempatan membuktikan dirinya tidak bersalah sebelum dijatuhi hukuman?” Tuan Dirgantara menatap Elena lama, sebagai seorang jenderal kekaisaran, ia tahu ucapan gadis itu benar. Kalau ia menghukum tanpa bukti, itu akan mencoreng namanya sendiri. Setelah diam beberapa saat, Adipati Dirgantara akhirnya mengangguk. “Baiklah. Sekarang buktikan kalau kau tidak bersalah. Tapi ingat, kalau ternyata kau berbohong, hukumannya dua kali lipat, cambuk papan seratus kali.” Elena tersenyum tipis, matanya berani menatap ke arah ayahnya. “Kalau perlu, potong tanganku sebagai gantinya.” Semua orang terkejut mendengarnya, nyonya Andini bahkan menatap Elena dengan panik. “Elena, jangan bicara seperti itu! Kau tahu apa yang kau katakan?” Elena menoleh dengan tenang. “Tentu, Nyonya. Aku sangat paham, apa yang aaku ucapkan.” “Tarik perkataanmu itu, Elena. Kau tidak perlu berbicara seperti itu hanya karena ingin membuktikan diri,” tegur nyonya Andini. Elena menolak tegas. “Tidak! Aku tidak akan pernah menarik kata-kataku.” Rangga menyeringai sinis. “Kalau begitu, buktikan sekarang juga.” Elena menatap Rangga sebentar lalu berjalan perlahan ke sudut ruangan yang porak-poranda. Ia menyingkirkan beberapa pecahan kayu dan porselen yang hancur, lalu memanjat sedikit ke bagian dinding atas. Tangannya meraih sesuatu, sebuah batu kecil berwarna biru kehitaman yang berkilau. Semua orang memperhatikan dengan bingung. Elena berbalik, memegang batu itu di tangannya. “Ini batu sihir,” katanya. “Beberapa hari lalu aku tidak sengaja memasangnya. Awalnya hanya untuk merekam kegiatan sehari-hariku.” Tentu Elena berbohong, padahal dia sengaja menyiapkan hal ini, karena tahu sesuatu akan terjadi. Tuan Dirgantara mengerutkan alis, lalu memberi perintah. “Bawa ke sini.” Salah satu pengawal segera mengambil batu itu dan menyerahkannya ke tangan sang Adipati. Semua mata kini menatap batu kecil itu penuh rasa ingin tahu. Tanpa banyak bicara, Adipati Dirgantara mengalirkan energi spiritual ke dalamnya. Batu itu memancarkan cahaya lembut, dan sesaat kemudian, cahaya itu membentuk bayangan seperti layar di udara. Adegan demi adegan terpampang di depan mereka, terlihat Elena dan Cani meninggalkan paviliun setelah membereskan kamar. Setelah keduanya pergi, sosok lain masuk diam-diam melalui jendela belakang, sosok itu mengangkat tangan dan mengeluarkan energi elemen angin, membuat seluruh isi ruangan beterbangan dan hancur. Semua orang ternganga, mata mereka terbelalak kaget. Namun yang paling mencolok adalah wajah pelaku yang terlihat jelas di akhir rekaman pelayan yang sebelumnya datang melapor. Tubuh pelayan itu menegang, wajahnya pucat seperti kapas, bibirnya bergetar. Rangga, Ringga, bahkan Nyonya Andini menatapnya tidak percaya. Adipati Dirgantara perlahan menurunkan tangannya, matanya menyala penuh amarah. “Kau pelakunya?” murka Adipati Dirgantara. Pelayan itu langsung berlutut keras di lantai, membenturkan dahinya hingga terdengar suara yang nyaring. “A–ampun, Tuan! Saya hanya … saya hanya ingin memberi pelajaran pada Nona Elena! Dia sudah terlalu jahat selama ini! Saya tidak tahan melihatnya memperlakukan Nona Kanaya dengan kasar!”Di dalam paviliun Selatan. Elena duduk di tepi ranjang, sementara Cani berdiri di depannya dengan wajah cemberut dan tangan yang bekerja cepat mengoleskan krim herbal ke lengan Elena yang memerah.Cani terus menggerutu tanpa berhenti.“Mereka benar-benar jahat, nona. Apa hati mereka sudah jadi batu? Saya benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana bisa Kanaya meracuni pikiran mereka semua sampai seperti itu.”Elena menghela napas panjang, lelah, lalu menatap Cani dengan senyum menggoda.“Sudahlah, Cani. Kau akan cepat tua kalau marah-marah seperti itu.”Cani langsung mempout bibirnya, wajahnya penuh protes. “Nona! Saya serius ini!”Elena tidak bisa menahan tawa kecil. Ia meraih tangan Cani dan menggenggamnya lembut.“Aku tahu kau serius. Tapi kau tidak perlu membuang energimu hanya untuk mereka.”Bibirnya melengkung sinis kecil. “Lagipula, kenapa kau mengoleskan krim ini padaku? Aku bisa menyembuhkannya pakai elemen cahaya. Sembuh dalam sekejap.”Cani buru-buru menatap Elena, lalu memuk
Elena akhirnya tidak tahan lagi. Suara yang sejak tadi ditahan meledak begitu saja.“Hentikan!”Teriakan itu membuat Rangga dan Ringga refleks berhenti. Elena menyentakkan tangannya dengan kekuatan penuh. Cekalan kasar itu terlepas, meninggalkan bekas kemerahan di kulitnya.Elena menatap mereka berdua dengan tatapan tajam, penuh luka, dan penuh kemarahan yang selama ini ia pendam.“Aku tidak melarikan diri,” suaranya pecah tapi tegas. “Karena aku tidak bersalah.”Rangga hendak membalas, tapi Elena lebih dulu melanjutkan, suara yang keluar kini bukan sekadar marah melainkan pilu yang menohok. “Kalian .…” Elena menarik napas gemetar, “kedua kakakku yang dulu selalu melindungi dan menyayangiku sejak kecil. Kita tinggal bersama selama belasan tahun. Apa kalian tidak mengenalku sedikit pun?”Air matanya mengalir setetes. Dingin salju yang turun tak bisa mengalahkan dinginnya kata-katanya. “Sedangkan Kanaya … orang yang baru tinggal bersama kita beberapa bulan … kalian langsung percaya pa
Setelah makan bersama di kedai. Elena baru saja melangkah melewati gerbang taman bunga ketika suara lembut tapi terkejut memanggilnya.“Elena … kau sudah bebas?”Nyonya Andini berdiri di bawah naungan pohon plum, wajahnya pucat dan matanya membesar melihat Elena benar-benar ada di hadapannya. Wanita paruh baya itu tampak seperti baru saja kehilangan kekuatan untuk berdiri.Elena tersenyum tipis, senyum yang tidak lagi hangat seperti dulu. “Tentu saja nyonya. Aku sudah berada di depan Anda sekarang.” Elena menatap langsung ke mata wanita itu. “Atau … apa nyonya Andini berharap aku tetap berada di penjara?”Nyonya Andini cepat-cepat menggeleng. “Bukan seperti itu … bukan, Nak .…”Suara itu pecah, air mata mulai memenuhi pelupuk matanya. Bagaimanapun, dialah yang menggendong Elena sejak bayi, yang menimang, menyuapi, mengajari berjalan. Dan sekarang, dia merasa seperti seseorang yang telah menusuk anaknya sendiri.Cani di sisi Elena menunduk, tak berani menatap siapapun.Nyonya Andini me
Elena melangkah keluar dari aula Kekaisaran Solaria dengan napas lega. Udara luar terasa jauh lebih ringan daripada atmosfer penuh intrik di dalam sana. Cani yang berjalan di sampingnya langsung memekik kecil sambil tersenyum lebar."Nona! Syukurlah nona tidak apa-apa. Saya benar-benar takut tadi."Elena tersenyum tipis lalu menepuk punggung tangan Cani dengan lembut."Terima kasih, Cani. Tanpa kau semua mungkin akan berjalan berbeda."Cani menggeleng cepat, wajahnya memerah bangga. "Saya hanya melakukan kewajiban saya."Elena lalu menoleh pada pemuda di sisi kirinya Caspian, dengan tatapan tajam namun hangat yang selalu membuat orang lain susah menebak isi pikirannya."Dan kau, terima kasih. Kalau bukan karena bantuanmu, aku tidak akan selamat dari tuduhan itu."Caspian tersenyum tipis, senyuman khasnya yang jarang muncul. Ia mengangkat tangan dan tanpa ragu mengusap kepala Elena pelan."Aku sudah bilang aku tidak akan pernah membiarkanmu terluka."Wajah Elena seketika memerah. "K–ka
Aula utama Kekaisaran Solaria mendadak bergemuruh begitu Nina, gadis yang baru saja diseret prajurit, berteriak histeris. Kaisar Noah berdiri sedikit dari singgasananya, ekspresinya tajam namun tidak terburu-buru. Beliau menatap Elena.Kaisar Noah berkata dengan suara berat.“Nona Elena, apa maksudnya semua ini?” Elena melangkah maju. Wajahnya tampak tenang, tapi sorot matanya dingin.“Yang Mulia, beberapa waktu lalu mantan pelayan pribadi Kanaya ini dihukum cambuk dan diusir dari kediaman Adipati Dirgantara, karena ketahuan menggelapkan uang bulanan saya selama berbulan-bulan.” Bisik-bisik langsung pecah di antara para bangsawan. Sebagian terperanjat, sebagian lagi saling bertukar pandang, mencoba mengingat rumor-rumor lama.Rano Kusuma terkejut, ia menatap Nina dengan raut wajah sesuatu dan tentu Elena menangkap perubahan berbeda itu. Adipati Dirgantara mengerutkan kening. Ia lalu menoleh pada pemimpin pembunuh bayaran itu dan berkata dengan suara menggelegar. “Kau! Katakan yang
Semua orang mengangguk setuju mendengar perkataan Kanaya. Suasana aula menjadi bising, penuh bisikan dan kecurigaan.Rano Kusuma tiba-tiba berdiri. Dia menunduk hormat pada Kaisar Noah. “Maaf menyela pembicaraan Yang Mulia.”Aula langsung sunyi. Semua kepala menoleh. Sebagai Penegak Hukum Kekaisaran, ucapannya punya bobot besar.Kaisar Noah mengangguk pelan. “Katakan.”Rano Kusuma menoleh pada semua orang, kemudian tatapannya mengarah pada Elena.“Apa yang dikatakan Nona Kanaya ada benarnya nuga,” ucapnya lantang. “Kita semua melihat sendiri siapa yang membawa para pembunuh bayaran itu ke depan aula persidangan kekaisaran ini, pelayan Nona Elena dan Tuan Muda Caspian. Apa ini bisa dibilang sebuah kebetulan? Tidak mungkin bukan.”Ucapan dari pria berperut buncit itu benar-benar masuk akal. Dalam hati, Rami tersenyum licik. Ia tak akan melepaskan Elena, apalagi gadis itu sudah mempermalukan dirinya dan jga putri kesayangannya itu. Beberapa pejabat mulai berbisik lagi.“Benar juga.”“Ca







