“Jadi, kapan Rayana akan menikah? Masa udah 30 tahun mau numpang di rumah ini terus?”
Suara itu terdengar nyaring dari ruang makan, membuat Rayana yang hendak keluar dari dapur usai memasak sejumlah hidangan pun langsung menghentikan langkah. Hari itu adalah hari keluarga besar kediaman berkumpul untuk makan siang bersama dan membahas pertunangan adik tiri Rayana, Celline. Di ruang makan, selain ayah tiri, nenek dari pihak sang ayah tiri, juga dua saudara tirinya, terlihat ibu kandung Rayana, Ratri, tengah menyajikan hidangan yang Rayana masak untuk keluarga dari pernikahan keduanya itu. Awalnya, semua tampak baik-baik saja. Akan tetapi, entah apa yang terjadi di tengah percakapan, tapi mendadak dirinya menjadi topik utama pembicaraan sang nenek, Citra. “Bukan niat Rayana mau terus menumpang, Bu. Hanya saja belum bertemu jodohnya. Tidak bisa dipaksakan.” Ratri, Ibu Rayana, terlihat berusaha membela anak gadisnya. “Eh Ratri, jodoh kalau gak dicari, ya gak bakalan ketemu. Anakmu itu sudah mukanya pas-pasan, kerja juga serabutan, ya pastilah gak ada yang mau. Makanya harus usaha, lihat dong Gendis,” Citra menunjuk salah satu cucunya. “Dia kerja kantoran, dapat suami juga kerja kantoran. Punya jabatan lagi. Celine juga, dapat calon suami seorang Direktur. Lihat anakmu, tahunya cuma ngejahit sama desain baju saja di butik. Mending kalau ada hasilnya, tapi ini mana?” Wanita tua itu mendengus dan tanpa ampun melanjutkan, “Makanya kamu harus cariin dia suami, biar ada yang beliin dia rumah, biar gak numpang terus sama orang lain!” “Lagian ya, Ratri. Tiga puluh tahun itu bukan usia muda lagi, terhitung perawan tua! Di mata pria, Rayana itu sudah sama saja dengan gak laku. Harusnya malu!?” “Astaga, Ibu ….” Kalimat Citra membuat mata Ratri berkaca-kaca. Mendengar putrinya dimaki seperti itu, ibu mana yang rela!? Di sisi lain, Rayana hanya bisa diam. Sudah sering dia mendapatkan perkataan pedas dari neneknya tersebut, tapi dia hanya bisa bersabar. Lagi pula, pun dirinya memang ingin keluar dari rumah untuk tinggal di luar, tapi sang ibu tidak mengizinkannya tinggal seorang diri. Seorang perempuan perawan yang belum menikah tinggal sebatang kara, tak baik dan bahaya katanya. BRAK! Suara meja digebrak keras mengagetkan semua orang yang langsung menatap ke arah Citra. Wajah wanita tua itu tampak marah. “Pokoknya, Ibu nggak mau tahu! Rayana harus segera menikah. Dia itu sudah jadi gunjingan orang, buat malu keluarga saja. Atau lebih baik dia keluar dari rumah ini agar tidak jadi benalu!” usai berkata seperti itu, Citra berlalu dengan muka garang, sedangkan Ratri meminta maaf kepada semua orang sebelum kemudian mengejar mertuanya itu. Di tempatnya, Rayana menyandarkan kepala ke tembok. Dia menghela napas lelah selagi bersabar. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi, dan semua karena dirinya adalah anak yang dibawa dari pernikahan pertama sang ibu. ‘Benalu’ kata neneknya? Padahal, walau harus menjalankan usaha butiknya, tiap pagi dan setelah pulang kerja, Rayana selalu membantu mengerjakan urusan rumah tangga keluarga ini. Menyapu, mengepel, memasak–seperti sekarang, bahkan membayar sebagian keperluan bulanan pun ikut dia lakukan. Akan tetapi, orang luar tetaplah orang luar, dan sampai kapan pun itu tidak akan berubah. Bertahun-tahun bertahan demi sang ibu, hari ini Rayana sudah membulatkan keputusan. Dia harus pergi dari rumah ini. ** “Tapi bagaimana caranya …?” gumam Rayana selagi menghela napas berat selagi menopang sisi wajahnya. Sekarang, Rayana sudah berada di butiknya. Usai mendengar perdebatan sang nenek tiri dan ibunya, Rayana masuk ke ruang makan dan berpura-pura tidak mendengar apa-apa. Kemudian, dia beralasan tidak lapar dan gegas pamit untuk pergi ke butik karena ada urusan mendadak. Oleh karena itu, di sinilah dia sekarang, di butiknya, satu-satunya tempat di mana dia bisa bergerak leluasa dan santai. “Kenapa kamu lesu begitu? Ada masalah lagi dengan keluargamu?” Pertanyaan yang mendadak membuat Rayana menoleh, mendapati Kiran, sahabat sekaligus rekan kerja satu-satunya yang dia miliki di butik kecilnya itu, tengah menatapnya khawatir. Senyuman tipis terlukis di bibir Rayana, berusaha terlihat kuat. “Biasalah …,” ucapnya sebelum kemudian menegapkan tubuh dan beralih kepada sketsa desain baju terbaru di atas mejanya. “Lagi-lagi Nenek Citra mengungkit soal usia, pernikahan, dan juga bagaimana aku harus berhenti menumpang di rumah,” tambahnya. Mendengar hal itu, Kiran memasang wajah kesal, “Apa nenek tua itu tidak lelah mencampuri urusan orang lain?! Daripada mengurusi dirimu yang belum menikah, kenapa gak ngurusi saja pernikahan cucu pertamanya yang masih belum punya anak itu!” geramnya, merujuk pada Gendis, kakak tiri Rayana yang sudah empat tahun silam menikah dan belum dikaruniai anak. “Kiran …” tegur Rayana dengan wajah serius. “Jangan bicara sembarangan.” Sadar ucapannya keterlaluan, Kiran menundukkan kepala. “Maaf … aku terbawa emosi,” ucapnya. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya? Ibumu ‘kan tidak memberikan izin kamu tinggal sendiri di luar kalau belum menikah?” Ketika mendengar Kiran mengajukan pertanyaan serius itu, Rayana pun kembali menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke kursi kerjanya. Sembari memijit kepalanya, dia menggerutu, “Bagaimana mau menikah kalau pacar saja tidak punya? Kenalan pria pun juga hanya ada Erlangga, dan kamu tahu jelas aku dan Erlangga sama sekali tidak cocok.” Mendengar ucapan Rayana, Kiran menggigit bibir. Erlangga adalah sahabat Kiran, juga sahabatnya. Namun, Kiran tahu Erlangga memiliki perasaan kepada Rayana. Sayang, Rayana tidak bisa memandang Erlangga lebih dari itu. “Kalau tidak dicoba … mana kamu tahu …” gumamnya, membuat Rayana melirik Kiran curiga. “Apa maksud–” Kerincing bel yang berbunyi saat pintu butik terbuka menghentikan ucapan Rayana seketika. Dirinya dan Kiran mengalihkan pandangan ke arah sumber suara, lalu mendapati kehadiran seseorang. Tampak seorang pria bertubuh tinggi tegap dalam balutan kaos putih dan jins biru dongker sederhana tengah mendorong pintu butik terbuka. Saat sepasang manik hitam gelapnya bertemu dengan mata Rayana, pria beralis tajam dengan hidung tinggi dan rahang tegas itu melangkah masuk untuk menghampiri kedua wanita dalam ruangan. “Pagi, benar ini butik Raya Boutique?” tanya pria tersebut dengan suara dalam yang menggelitik telinga. Kiran, yang biasa menyambut tamu di butik tersebut, malah terbengong. Kentara jelas wanita muda itu tergiur saat melihat betapa tampannya pria di hadapan. Alhasil, Rayana menyikut sahabatnya itu keras untuk menyadarkan sebelum akhirnya menggantikan Kiran untuk berkata, “Pagi. Ya, benar. Ini Raya Boutique. Ada yang bisa kami bantu, Tuan?” Sebuah senyuman manis dan sopan terlukis di bibir Rayana, menutupi semua kegundahan yang sempat singgah sebelumnya. “Saya mencari Rayana Adelia Mahendra.” Seketika, wajah Rayana berubah sedikit kaku. Senyumannya agak pudar. Rayana Adelia Mahendra, itu memang nama lengkapnya. Akan tetapi, nama “Mahendra” yang tersemat di sana tak banyak diketahui orang semenjak sang ibu menikah lagi dengan ayah tirinya. Itu berarti, orang ini mengenal ayah kandungnya. “Kiran, kuingat teras depan masih belum dirapikan. Bisa bantu aku merapikan dulu? Biar enak kalau ada tamu,” ucap Rayana kepada sang sahabat. Pria asing ini tidak terlihat seperti tamu butiknya, lebih seperti orang yang ingin menagih hutang lama. Demikian, Rayana tak ingin Kiran terlibat dengan apa pun yang akan diperbincangkan. Menyadari ruang privasi diperlukan, Kiran pun berkata, “O-oh, oke.” Usai kepergian Kiran, Rayana mempersilakan pria asing itu duduk di seberangnya. “Saya Rayana,” jawab Rayana jujur seraya mengulurkan tangan dan menatap lurus pria di depannya itu. “Anda …?” “Saya Zain Mahardika, kamu bisa memanggil saya Zain,” jawab pria itu singkat sambil menyambut uluran tangan Rayana. Lelaki bernama Zain itu kemudian meraih sesuatu dari kantong celananya. Dia meletakkan sebuah foto lama yang kusam di atas meja Rayana. “Aku kemari atas permintaan ayahku, sahabat mendiang ayahmu.” Kening Rayana berkerut curiga. Permintaan apa yang mungkin dititipkan sahabat seorang pria yang sudah meninggal puluhan tahun lalu? Uang? Harta? Perasaan Rayana tidak enak. Mungkinkah ayahnya berhutang banyak kepada ayah Zain? “Permintaan apa kalau aku boleh tahu?” Zain dengan tenang menjawab, “Menikahimu.”Mata Rayana masih menatap tepat di manik hitam yang mendamaikan itu. “Z-Zain, aku … aku tiak apa-apa,” balas Rayana lirih, merasa tidak enak karena sudah merepotkan pria tersebut. “Terima kasih ….”Zain menatap Rayana saksama, memerhatikan dua sisi wajahnya merona seiring wanita itu menjauh dari dekapannya dan menegapkan tubuhnya.Entah kenapa, kepergian wanita itu dari sentuhannya membuat Zain sedikit kosong.Namun, kemudian dia mengepalkan tangannya yang sempat menggenggam Rayana dan membalas, “Hmm.”Niat hati ingin menanyakan apa yang terjadi pada Rayana, Zain dihentikan oleh suara melengking dari satu arah.“Kau!”Semua mata seketika berpaling ke arah Meta yang sudah kembali berdiri dan melangkah maju dengan sorot mata penuh amarah dan dendam.Meta menunjuk Zain. “Kau pria yang di butik waktu itu!” ucapnya. “Kau suaminya?!” imbuh Meta lagi dengan gaya yang menurut banyak orang tidak sopan.Walau ditunjuk seperti itu, Zain tetap tenang. Tatapannya tidak berubah gelap maupun tersin
Setelah pertemuan singkatnya dengan pria tua tadi, Rayana melangkah ke dalam toilet. Di depan cermin, dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Jujur, dunia yang Zain prkenalkan padanya ini terasa sedikit asing. Walau kemewahan yang diperkenalkan adalah hal yang biasa dia lihat sebagai seorang fashion designer, tapi … intrik keluarga kaya membuatnya lelah. Apa ini masalah yang dibawa semua orang setelah menikah? Intrik keluarga?Mencoba untuk menepis pikiran-pikiran aneh akibat percakapan terakhirnya dengan Zain, Rayana mencuci tangan dan merapikan penampilannya.Saat dia selesai, Rayana pun langsung keluar dari toilet.Saat kembali ke aula utama, suara bisikan memenuhi ruangan.“Lihat, itu yang tadi diperkenalkan Zain sebagai istrinya, ‘kan?”“Dia cantik.”“Tidak heran Tuan Zain yang terkenal dingin dan paling anti-wanita bisa berujung menerimanya!”Namun, komentar-komentar manis itu gegas berubah tajam.“Tapi, apa latar belakangnya? Kenapa bisa dia yang dipilih keti
"Alasanku menikahimu…."Jantug Rayana berdebar ketika merasakan embusan napas Zain di telinganya. Tak cuma itu, dia sangat menantikan jawaban yang menggerogoti benaknya.Namun, tak Rayana duga, Zain malam menjawab, “Itu rahasia.”“Hah?” Rayana bengong, lalu menatap pria yang baru saja menjadi suaminya itu dengan ekspresi bingung.Zain tampak terhibur dengan ekspresi di wajah Rayana. “Melihat bagaimana kamu bisa menebak hubunganku dengan Tante Lina yang kurang harmonis, aku yakin kamu juga bisa menyimpulkan hal ini sendiri seiring waktu, bukan begitu?”“Kamu—”Rayana ingin sekali memukul Zain, tapi … dia menahan diri karena ada begitu banyak pasang mata di sekeliling mereka.Merasa butuh sedikit ruang untuk menetralisir kekesalannya. Rayana pun berdiri dan pamit kepada Zain.“Aku permisi ke toilet sebentar.”“Hmm, pergilah.”Rayana pun langsung berbalik pergi.Memerhatikan kepergian wanita itu, Zain tahu Rayana sedang sangat kesal padanya. Namun, semakin wanita itu menunjukkan kekesala
Tante Lina menatap Aiman–ayah Zain–dengan ekspresi tidak percaya. "Jadi… pernikahan ini benar adanya?"Aimn melirik saudarinya santai sebelum mengangguk. "Ya." Dia melirik sosok Rayana, pandangannya jelas melembut. “Rayana adalah menantuku.”Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan sebelum akhirnya Tante Lina tertawa kecil. Tawa itu terdengar ringan, namun jelas ada nada canggung dan sedikit mengejek di dalamnya. "Benar-benar tidak terduga," gumamnya sebelum tatapannya beralih sepenuhnya ke Rayana. Mata tajamnya menelusuri wanita muda itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, seakan sedang menilai sesuatu yang tidak sesuai dengan ekspektasinya."Seumur hidupku, aku berkutat di kalangan atas, tapi aku belum pernah melihatnya. Apa dia… orang biasa?" Tante Lina kembali menatap ayah Zain. "Bagaimana bisa kamu menikahkan Zain dengan orang biasa?”Nada bicara Tante Lina yang seakan merendahkan membuat Rayana sedikit tidak nyaman. Apa … latar belakangnya sedang dipermasalahkan sekarang?Mel
Sekilas, Rayana mendapati nada tidak suka dalam ucapan Zain. Namun, dia menepisnya dan menyimpulkan itu perasaannya saja.Wanita itu puntersenyum tipis sembari menghela napas. “Ya, karena itu aku bilang, bukan orang penting.”Zain memerhatikan Rayana untuk sesaat, lalu mendengus. “Orang yang pernah menjalin hubungan denganmu kamu anggap tidak penting. Aku tidak menduga kamu punya hati yang begitu dingin.”Kening Rayana langsung berkerut. Berhati dingin? Jelas-jelas dua orang itu yang mengkhianatinya, kenapa jadi dia yang berhati dingin!? Memangnya dia harus berbahagia dan berbangga diri setelah sudah dikhianati?!“Bersedia menikah dengan orang yang tidak kamu cintai hanya demi permintaan orang tua, Tuan Zain juga tidak kalah dingin,” balas Rayana ketus.Ekspresi Zain semakin tidak senang, tapi dia tidak ingin memperpanjang percakapan. Alhasil, dia pun membuang wajah dan kembali menutup mata selagi melipat kedua tangannya. “Hmph.”Dengusan kesal pria itu membuat Rayana ikut melipat ke
Di hadapan Zain sekarang, berdiri seorang wanita yang seperti lukisan hidup. Dengan riasan sederhana yang membuat wajah cantiknya semakin bersinar, kulit putih mulus yang kontras dengan gaun merah maroon bersulamkan benang emas, juga rambut hitam legam yang tergerai lembut bak sutra, wanita tersebut bukan hanya terlihat cantik, tetapi memukau dengan keanggunan yang luar biasa! “Bagaimana?” tanya Raana dengan canggung. Karena Zain tidak kian menjawab, Rayana menggigit bibirnya. Apa sejelek itu!? “Aku akan ganti dengan yang lain!” seru wanita tersebut seraya berbalik untuk melepaskan gaunnya segera. “Tunggu!” Zain meraih pergelangan tangan Rayana, menghentikannya. “Tidak perlu yang lain. Ini sangat cocok.” Rayana terlihat sedikit kaget. Apa pria kulkas ini baru saja memujinya? Sadar dirinya baru saja mengatakan hal yang tidak biasa, Zain langsung berdeham, berusaha untuk tetap tenang. “Selain itu, waktu kita tidak banyak, jadi tidak perlu kamu ganti lagi.” Ekspresi kaget Rayana