Share

Part 3 Posesif

Kalo biasanya aku terlalu formal dan sopan, entah kenapa malem ini aku melihat senyum Yogi tuh beda. Kayak senyum tipis yang flirty gitu. Kalau masalah flirting, aku jagonya. Menyamakan mimik tubuh dengan Yogi yang santai tapi terkesan tertarik, aku sedikit bersandar dikonter meja dapur sembari melintir rambut tipis-tipis.

"Coba Mas tebak."

"Hmm apa yaa, merah?"

Aku naikin alis denger tebakannya yang jauh dari kata benar.

"Kok merah?" Yogi naikin kedua bahunya cuek, "Karena daleman kamu banyak warna merah."

Oke. Aku gak jadi flirting kalo dia bawa-bawa urusan ranjang. Males.

"Yaudah-yaudah, apa jadinya? Orang nanya malah disuruh nebak." Bujuk Yogi yang langsung sadar kalau aku merajuk.

Kesel aja karena dia emang gak tau apa-apa tentang aku selain masalah seks. Kalau urusan itu kayaknya emang dia paling tau, dia pawangnya.

Kenapa ya, orang yang kalau dikantor keliatan serius dan passionate akan kerjanya, ada sisi berbeda yang nakal banget kalau digali?

Apa ini bagian dari stress relieve-nya?

"Ih tauk ah! Pikir aja sendiri." Mungkin kalau di rumah, aku bisa-bisa aja santai dengan etika yang minim begitu. Tapi aku lupa kalau aku di rumah Yogi. Dihadapan Yogi.

"Stop, aku belum selesai ngomong. Gak boleh pergi." Kata-katanya langsung bikin kakiku berhenti melangkah, makin merinding pas aku ngerasa Yogi berdiri dan jalan mendekat ke arah aku.

Gak berani noleh kayak orang bego aku tuh.

"Gak sopan." ucap Yogi dengan nada rendah. Seolah dia yang tadi terbuka, ramah dan santai menghilang ditelan bumi.

"Kalau lagi diajak ngomong baik-baik, respon baik-baik. Mau diperhatiin apa engga?" Ucapannya tegas banget. Lagi-lagi aku salah kira tentang dia. Yogi di kantor dan di rumah ternyata sama. Sama-sama otoriter. Benarlah insting pertama ku dulu yang menganggap dia kayak atasanku disini.

"I-iya, tapikan Mas—"

"Jawab dulu, mau diperhatiin apa enggak?" Potongnya tegas menolak untuk di interupsi.

"Iya mau." suaraku pelan sekali, jatuh dalam kekuasaannya.

"Mau apa? Ngomongnya yang jelas."

"A-aku mau diperhatiin." Sial. kalimat sesederhana itu kok bisa bikin aku malu setengah mati ya?

Dia masih diam, matanya lurus melihat aku kayak lagi marahin anak kecil nakal.

Bikin aku merasa bersalah karena emang tadinya Yogi inisiatif untuk buka obrolan dengan baik-baik, tapi aku malah mau ninggalin dia.

"...mau, aku mau diperhatiin kamu. Please perhatiin aku." dan insting pertama aku cuma bisa ngerengek berharap bisa memelas rasa kasihan Yogi.

Untunglah dia maklum, tangannya naik untuk ngusap kepalaku pelan.

"Yaudah, jangan banyak ngambek makanya, aku gak pintar mujuk orang ngambek."

"Iya-iya maaf." ucapku.

Selanjutnya semua kejadian secara natural aja, Yogi sedikit merentangkan tangannya untuk mengundangku masuk kedalam pelukan. Aku selalu suka sih, dipeluk sama Yogi.

Aku suka hangat dan baunya. Comforting. Belum lagi telapak tangannya yang selalu usap pinggang dan punggungku bergantian.

Tau-tau udah pindah ke kamar aja, gak ngerti, semulus itu gerakan dan rayuan dia. Gak ada ngomong apa-apa, cuma bilang,

"Nanti jangan nangis-nangis kayak semalem ya..." Mukaku merah padam mengingat kejadian itu,

"Ih, aku juga ga nangis kalo Mas gak kuat-kuat!"

Dia senyum sambil nyelipin rambutku kebelakang telinga, "Iya, nanti pelan-pelan."

Aku tuh bingung sebenernya.

Yogi punya hidup yang sempurna, semua berjalan sesuai tatanan sampe aku mikir kalau aku diizinkan hadir cuma sebagai pelengkap tahapan kehidupan dia yang selalu pas dengan timeline.

Kayak gak ada aku juga gak apa-apa.

Totally fine for him.

Aku juga pernah baca kalau laki-laki itu kebanyakan gak menikahi perempuan yang mereka cintai, tapi malah nikah sama perempuan yang pas, dan available di waktu yang tepat.

Dan itu emang bener.

Mustahil kalau dia udah cinta sama aku dalam waktu sesingkat ini. Kalau ada yang bilang dia cinta sama aku, aku juga gak akan percaya.

Tapi aku terima, ini juga kan keputusan aku.

Gak sembarangan pilih juga karena aku tau Yogi punya latar belakang dan masa depan yang bagus.

Dan selama ini kami seolah-olah berusaha menghindari topik tentang saling mencintai karena tahu, kami berdua sama-sama gak tulus.

Tapi...

Tadi malam, aku begitu kebawa suasana.

Janji Yogi untuk memperlakukan aku secara lembut benar-benar dia tepati.

Tanpa sengaja aku ngucapin kalimat keramat itu ditengah permainan, menikmati Yogi memperlakukan aku seperti tuan putri.

"Unghh... Ak-aku cinta kamu."

Sesuatu yang pagi ini bikin aku nyesal dan pengen kubur diri dalem tanah.

Bukannya kenapa-kenapa.

Masalahnya Yogi tidak membalas ucapanku sama sekali, padahal aku berucap tidak sengaja. Aku jadi merasa sedikit malu, seolah aku benar-benar berharap dia pakai hati, disaat sebenarnya aku pasrah saja kalaupun dia gak cinta.

Sampai dia selesai, dia cuma cium kening aku sebentar sambil mengatakan,

"Thankyou, you've made my night."

Omongannya seperti client dan penyedia jasa. Mau marah juga tidak bisa, gak lucu.

Masa aku mau menyalahkan dia yang gak balas ucapan cinta aku!?

Masa aku mau klarifikasi, "Eh semalam itu aku boong, aku gak cinta sama kamu, najis juga nikah sama kamu kalo gak kaya raya." kan gak mungkin.

Keliatan banget dongkolnya kalau aku bahas, apalagi pas bangun Yogi selalu amnesia abis ngapa-ngapain anak orang malemnya.

Gimana bisa aku kabulin permintaan dia untuk cepat punya anak kalau omongan cinta yang gak sengaja aku ucapin aja gak di balas?

Makanya pagi ini aku berusaha banget tampil ceria, tetap senyum sampai Yogi berangkat ke kantor dan jalanin rutinitas ku mengantarkan dia sampai depan gerbang.

"Aku pulang malam, kalau takut main ke rumah mama kamu aja." ucap Yogi sambil menunggu gerbang otomatis kami terbuka sempurna.

Aku mengangguk, bukan pada Yogi, tapi pada sosok tinggi besar yang berjalan santai dengan setelan olahraganya.

Tetangga di ujung jalan kami yang selalu jadi perbincangan ibu-ibu kompleks. Sudah ganteng, suka olahraga, berotot, dokter pula.

"Siapa tuh?" baru kali ini sepertinya Yogi nanyain perihal tetangga sama aku.

"Ha? Kamu gak kenal? Kan duluan kamu tinggal disini, ini tuh rumah kamu Mas."

"Rumah kamu juga." Yogi menghela nafas,

"Jadi itu siapa? Kok dia kenal kamu."

Aku heran sama pertanyaannya, jelas-jelas setelah nikah aku berusaha berbaur disini, menggantikan sosok dia yang sibuk kerja sampai gak bisa sosialisasi.

Sekarang dia seolah tidak senang karena aku kenal tetangganya?

"Loh, emang kenapa? Namanya tetangga ya harus kenal lah."

Mungkin karena nada suaraku cukup naik akibat kekesalanku sejak semalam, Yogi jadi berbalik. Matanya menatapku lurus sampai pintu garasi kami tertutup lagi.

"Kamu sendiri yang bilang kalau aku tinggal disini lebih dulu dari kamu, terus kenapa aku gak kenal dia sementara kamu kenal? Kamu keluyuran? Apa harus aku gembok pagar dari luar tiap aku pergi kerja?" ucapnya penuh amarah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status