“Apa maksudmu, coba ulangi sekali lagi.” Aron mendekat dengan sorot tajam, selama hidupnya ia tak pernah menerima penolakan. Dalam bentuk apa pun itu. Keinginannya selalu terpenuhi, baik dari sang kakek ataupun kedua orangtuanya.
“Saya tidak bisa menikah dengan Tuan Aron, karena pernikahan itu sangat sakral, dan saya hanya menikah bersama pria yang saya cintai,” balas Kamila mencoba untuk berani.Aron tertawa remeh, harga dirinya terasa diinjak-injak sekarang. Sejak kapan seorang pria matang dan kaya raya sepertinya ditolak mentah-mentah oleh gadis kecil? Yang bahkan tak ada apa-apanya dibandingkan sang kekasih. “Apa kau tahu konsekuensi jika menolak permintaan dari keluarga Dewangga?” Kamila menggeleng ketakutan, ia bangkit dari duduknya seraya melangkah mundur. “Tidak, tapi Tuan Aron tak mungkin memaksa saya, bukan?”Dari mana keberanian gadis kecil ini berasal. Mengapa begitu lancang? Aron semakin tak sabaran untuk memaksanya. “Kau seharusnya merasa bersyukur, karena keluarga kaya raya seperti saya ini mau meminangmu. Dan kau pikir saya tidak tahu jika Kakek sering membantumu?”Aron mendekat, menyempitkan jarak diantara mereka.Kamila menahan napas, ia memejamkan mata tatkala wajah Aron sampai condong ke hadapannya. Bahkan belaian hangat beraroma mint menginvasi penciumannya.“Saya tidak pernah meminta, tapi Pak Abra yang terus memberikannya.” Napas Kamila memburu, matanya semakin terpejam erat. Takut menatap sorot amber pria itu.“Begitu rupanya, apa kau mau saya menyebarkan berita di kota ini? Jika ada seorang gadis kecil memperdaya, Abraham Dewangga?” Aron tersenyum miring ketika Kamila membuka matanya disertai pelototan tajam. “Pasti semua warga akan mencemoohmu, adikmu juga akan terbully.”Seketika dada Kamila terasa dihantam godam saat Aron menyebut adiknya, dari mana pria itu tahu keberadaan sang adik? Tidak, tidak bisa. Siapa pun tak boleh menyakiti saudara satu-satunya. Kamila akan melawan jika ada yang berani menyentuh adiknya.“A─apa mau Tuan Aron sebenarnya, dan saya tegaskan jangan pernah menyentuh adik saya sedikit pun!” Kamila memberanikan diri menatap netra amber itu. Walau dalam hati ia takut setengah mati, karena berani melawan keluarga Dewangga.“Permintaan saya sudah jelas, menikah dengan saya. Dan hidupmu akan membaik setelah itu.” Kali ini Aron memasang senyum manis, sampai-sampai Kamila tak berkedip menatapnya. Ketakutan gadis itu beberapa saat yang lalu hilang seketika, tergantikan oleh rasa kagum. “Kau tentu mau jika adikmu mendapatkan pendidikan yang baik, serta tidak dibully lagi—pastinya semua hutang keluargamu pada rentenir itu juga akan lunas.”Kamila membeku, ia sudah tak bisa berpikir jernih, karena Aron mengetahui semua tentangnya dan keluarganya. “Apa Tuan Aron menyelidiki saya sebelumnya?”Aron hanya mengangkat sebelah alisnya sebagai respon, merasa terhibur dengan gadis kecil di hadapannya. “Tentu saja, walau ini wasiat Kakek. Tapi saya harus menyelidiki siapa orang yang akan saya nikahi.”Kamila mengatupkan bibir, otaknya dipaksa untuk berpikir keras. “Sebenarnya apa alasan Pak Abra menyuruh Tuan menikahi saya?”Aron terlihat tertegun sejenak, sebelum menghembuskan napas pelan. Dan Kamila semakin dibuat gugup kala wangi mint memasuki indra penciumannya. “Saya tidak tahu pasti, nanti semuanya akan dijelaskan oleh, Bimo. Yang saya tahu, orang tuamu ada kaitannya dengan Kakek saya.”Aron membenarkan posisinya, memberi jarak diantara mereka—tapi tetap mengunci tatapannya pada Kamila.“Apa saya benar-benar tidak bisa menolak? Maksud saya, terlepas dari seperti apa hubungan orang tua saya dengan, Pak Abra.” Jika boleh jujur, Kamila begitu kaget mengetahui jika orang tuanya mengenal orang terkaya di kota ini. Dan apa ini alasan Abraham menyamar jadi kernet bus, hanya untuk memantaunya?“Tidak, kau harus tetap menikah dengan saya, karena itu pesan terakhir dari Kakek. Terlepas kau setuju atau tidak.” Aron mengeluarkan kartu namanya, lalu menatap gadis di hadapannya sembari tersenyum dingin. “Hubungi saya secepatnya, jika tidak … saya sendiri yang akan menyeretmu ke pelaminan. Karena seorang Aron Dewangga, tak suka menerima penolakan.” Pria itu melenggang pergi, meninggalkan Kamila yang terdiam dengan tubuh membeku. *** “Kakak!”Kamila yang baru saja pulang dikejutkan oleh sang adik yang memeluknya erat, tubuh anak laki-laki itu bergetar dengan isakan yang mulai lolos.“Arfin, kenapa menangis, Sayang?” tanya gadis itu khawatir, ia melihat keadaan sekitar rumah kontrakannya begitu berantakan, belum lagi pecahan beling di mana-mana. Ia kembali memfokuskan atensinya pada sang adik. “Apa dia baru saja datang kemari?” ucapnya dengan nada bergetar. “I-iya, dia marah-marah. Arfin takut, Kakak. Orang itu juga sampai melempar Arfin ke tembok, d-dan punggung Arfin sa-sakit.”Bahu gadis itu berguncang, dadanya kian sesak ketika menyingkap baju yang dikenakan oleh sang adik. Punggung kecil dan ringkih itu memar, membuat perasaannya kian luluh lantak. “Ma-maaf, maafkan Kakak, Arfin.” Kamila memeluk adiknya dengan penyesalan mendalam, isakan mulai lolos dari bibir ranumnya, tak terbayangkan ketakutan yang dialami Arfin ketika pria itu mendatangi rumahnya.Baron, seorang rentenir tempat orang tua Kamila berhutang. Sejak kematian orang tuanya lima tahun yang lalu. Kamila mengambil alih untuk mencicil hutang dengan bunga selangit itu. Sungguh, Kamila tidak pernah tahu untuk apa orang tuanya meminjam uang pada rentenir, apalagi sampai lima puluh juta. Sedangkan penghasilan Kamila dari berjualan nasi serta menjadi buruh cuci tak seberapa.“Kakak, tidak bisakah kita pergi dari sini? Arfin janji akan bekerja lebih giat lagi, asalkan jangan tinggal di sini. Arfin takut ketika Kakak tidak ada, karena orang-orang itui sangat menyeramkan!”Kamila semakin memeluk erat tubuh sang adik, menyembunyikan wajahnya yang penuh air mata. Anak sekecil ini sudah merasakan kerasnya kehidupan, Arfin memang berjualan tisu serta air mineral setelah pulang sekolah, apalagi tempat tinggalnya dekat dengan terminal. Sebenarnya Kamila tidak memperbolehkannya, tetapi anak sepuluh tahun itu tetap kukuh. “Sayang, nanti Kakak usahakan, ya? Kakak berjanji akan memberikanmu kehidupan yang lebih baik lagi. Dan untuk sementara waktu, kita tetap tinggal di rumah ini.” Kamila menangkup pipi Arfin yang sudah dibasahi air mata.“Ta-tapi … Baron, jahat. Dia mau mengambil Kakak dari, Arfin!”Napas Kamila tercekat, tangannya yang berada di sisi wajah Arifin bergetar seketika. “Apa Baron mengatakan hal yang tidak-tidak?” bisiknya ketakutan.Arin mengangguk kuat, lalu memeluk leher Kamila, menyembunyikan wajahnya pada pundak ringkih sang kakak. “Dia mengatakan akan menjadikan Kakak sebagai istrinya, Arfin tidak mau! Nanti dia jahatin, Kak Mila!”Tubuh gadis itu kian bergetar, jantungnya bergemuruh hebat dengan ketakutan yang begitu nyata. “Tidak apa-apa, dia tidak akan mengambil Kak Mila dari Arfin,” ucapnya meyakinkan, padahal ia sendiri takut setengah mati. Secara perlahan Kamila mengambil ponselnya serta kartu nama Aron. Jemarinya bergetar ketika memencet kata demi kata dari ponsel jadul miliknya.[ Selamat malam, Tuan Aron. Ini saya Kamila, bisa kita bertemu besok pagi? Untuk membicarakan perihal pernikahan itu.]Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit