“Maaf, Tuan. Mau makan di sini atau dibungkus?” tanya Kamila.
Kamila yang sejak tadi menunggu pria di depannya ini untuk memesan makanan merasa heran, ia menoleh ke sekitar. Namun, tak ada seorang pun, hanya mereka berdua di warung tendanya ini. “Menikahlah dengan saya,” titah seorang pria dengan tubuh tegap nan wajah rupawannya. Jujur saja, Kamila sedikit kikuk karena pria itu menatapnya dalam, belum lagi penampilannya yang terlihat seperti orang kaya. Walau kotanya ini tidak sebesar kota yang lain, tapi jangan salah. Hasil panen dan perkebunan di kota ini begitu subur dan makmur. Tak heran banyak yang menjadi supplier buah-buahan serta sayuran yang dibawa ke kota besar, serta menjadi langganan restoran mewah maupun hotel berbintang. Lantas yang menguasai kota kecil ini adalah keluarga Dewangga, mempunyai tanah puluhan hektar serta menjadi orang terkaya di kota ini. Keluarga mereka sangat terpandang, walau kehidupannya begitu privasi. “Kau tidak dengar atau pura-pura mengalihkan pembicaraan?” sindir Pria itu. Kamila tergugu melihat wajah dingin itu, apa dirinya berbuat salah? “Maaf, maksudnya bagaimana ya, Tuan? Saya tidak mengerti.” Aron Dewangga, sang tuan muda kaya raya yang memiliki kesabaran setipis tisu dibagi tiga hanya bisa mengepalkan tangan kuat. “Kau harus menjadi istri saya, apa masih kurang jelas?!” sentaknya kesal. Jantung gadis itu seketika berdegup kencang, Kamila meremas kedua tangganya penuh ketakutan. Ia melihat sekitar yang tampak sepi, maklum saja ini sudah pukul sebelas malam. Kamila sangat menyesal karena kukuh ingin berjualan sampai larut malam seperti ini. “Tuan … saya tidak tahu apa motif Anda meminta hal seperti ini, tapi tolong. Ja−jangan sakiti saya, atau merampok uang saya. Ka−karena ini untuk biaya adik saya bersekolah.” Kamila berucap gugup, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, jantungnya kian memompa lebih cepat dari biasanya. Zaman sekarang kita tidak boleh tertipu dengan pakaian mahal atau wajah rupawan. Karena banyak pelaku kejahatan berkedok sebagai orang kaya. Kamila memundurkan langkahnya ketika pria tampan itu semakin mendekat. Ia ingin menangis sekarang juga, jika ini adalah akhir dari hidupnya. Bagaimana nasib sang adik? “Tuan, saya mohon. Ka─kasihanilah saya. Kedua orang tua saya sudah meninggal, dan saya mempunyai adik yang masih kecil, tolong … jangan sakiti saya.” Bahu Kamila berguncang dengan isakan yang mulai lolos. Tangannya gemetar mengambil uang dari laci gerobak. “I−ini … ini adalah penghasilan saya selama dua hari. Tuan boleh membawanya, asalkan jangan sakiti saya.” Aron melirik uang pecahan lima puluh ribu yang berjumlah empat lembar. Pria itu mengernyit bingung, untuk apa uang segitu? Apakah bisa membeli makanan? “Saya tidak butuh uang, saya hanya ingin kau menjadi istri saya!” titahnya tegas. Kamila terduduk di kursi kayu itu, ia menutup wajahnya dengan tangis yang sudah mulai pecah. “Tolong … jangan mencelakai saya, apalagi mengambil organ-organ sa−saya.” Aron mengusap wajahnya kasar, ada apa dengan gadis ini, mengapa ia terus histeris tak jelas. Apa orang miskin memang parnoan? Sedikit-dikit curigaan dengan orang baru, pria itu berdecak kesal. Waktu berharganya dengan sang kekasih harus ia korbankan demi gadis aneh ini. “Apa kau mengira saya ini adalah penculik?” Kamila mengangguk kaku dengan wajah yang masih tertutupi oleh kedua telapak tangan. Isakannya perlahan mereda, tapi tidak dengan bahunya yang masih bergetar ketakutan. “Saya adalah Aron Dewangga, cucu dari Abraham Dewangga, apa kau puas? Dan saya tidak mungkin menculik tikus kecil sepertimu!” sindir Aron dengan tatapan remeh. Tubuh Kamila menegang, secara perlahan ia menurunkan kedua telapak tangannya. Lalu menatap Aron takut-takut. “Ke-keluarga Dewangga?” tanyanya takut-takut. Mimpi apa ia bisa bertemu dengan keturunan Dewangga yang terkenal tampan itu. Tanpa sadar Kamila melihat Aron dari ujung kaki sampai kepala. Setelahnya ia menelan ludah susah payah. Benar-benar definisi tuan muda yang sesungguhnya. Teman-temannya sering mengatakan jika Aron Dewangga adalah seorang dosen di salah satu universitas terbaik di kota ini. Kamila yang tak mengenyam pendidikan perguruan tinggi hanya bisa mendengarkan tanpa menimpali. Dan rata-rata dari mereka masuk kuliah hanya ingin melihat Aron, bahkan tak jarang memfoto pria di depannya ini, lalu mencetaknya untuk diperjualbelikan. Kamila yang perhitungan soal uang tentu saja tidak pernah tertarik. Lebih baik ia tabung demi masa depan sang adik. “Ma-maaf, saya tidak tahu. Da-dan mengapa Tuan mengatakan jika saya harus menjadi istri Anda?” tanya Kamila gugup. Aron menyerahkan selembar foto pada Kamila. Gadis itu menerimanya sedikit kaku, karena merasa malu sudah berburuk sangka pada keturunan Dewangga. Tangan Kamila terlihat bergetar melihat foto seorang pria paruh baya yang tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya yang rapi. “Ini … Pak Abra?” tanyanya lirih. Lantas apa hubungan Aron dengan Abra, seorang kernet bus yang menjadi pelanggan setianya sejak lima tahun lalu. “Abra? Dia menyuruh kau memanggilnya dengan sebutan, Abra?!” Kali ini Aron yang terlihat kaget, wajah pria itu menegang dengan tatapan tak terbaca. “Betul, Tuan. Pak Abra ini adalah kernet bus pelanggan setia warung saya. Dan dari mana Anda mendapatkan fotonya? Karena sudah dua bulan ini beliau tidak pernah datang lagi ke sini.” Kamila melihat lagi selembar foto di tangannya, pria ini begitu baik, tak jarang memberikan bayaran lebih jika makan. Bahkan saat adik Kamila sedang ada di warung, Abra selalu memberikan uang, walau sang adik sudah menolak. Sedangkan Aron terlihat mengepalkan tangan kuat, rahangnya bergetar dengan sorot mata tajam. Kamila yang melihat itu tentu saja merasa ketakutan, ia meremas kedua tangannya gugup. Jantungnya kian berdegup kencang, apakah ada yang salah dengan ucapannya? Mengapa Aron seolah-olah ingin mencabik-cabiknya sekarang. “Tarik kata-katamu, yang difoto itu adalah Abraham Dewangga, Kakek saya sendiri!” titah Aron penuh tuntutan. Kamila sampai berpegangan pada gerobaknya agar tak terhuyung ke belakang, gadis sembilan belas tahun itu menatap Aron tak percaya. Foto yang ada di tangannya pun jatuh seketika, Kamila menunduk dengan tatapan kosong. Lalu secara perlahan menatap Aron kembali. “Ti−tidak mungkin, jelas-jelas Pak Abra adalah seorang kernet bus, beliau juga sering memarkirkan busnya di sini sambil makan siang dengan Pak Bimo, supirnya.” “Bimo, dia adalah orang kepercayaan kakek saya!” timpal Aron cepat, pria tiga puluh tahun itu mengusap wajah kasar. Ada apa dengan kakeknya, mengapa membuat drama seperti ini hanya untuk seorang gadis miskin. “Ya, Tuhan ….” Kamila menutup mulut dengan kedua telapak tangan, tak menyangka selama ini yang menjadi pelanggan setianya adalah seorang Abraham Dewangga. Keluarga mereka begitu menjaga privasi, hanya segelintir orang yang mengenal baik wajah orang kaya nomor satu di kota kecil ini. Dan siapalah seorang Kamila Cahaya, hanya gadis yatim piatu dengan hidup serba pas-pasan, serta hutang menumpuk. Lalu mengapa Abraham sampai menyamar menjadi kernet bus dan menjadi pelanggan setianya. Tidak mungkin pria paruh baya itu melakukan semua ini hanya untuk dekat dengannya, bukan? Kini atensi Kamila beralih pada Aron, gadis itu meremas ujung bajunya sebelum menjawab penuh kehati-hatian. “Lalu apakah ini tujuan Tuan Aron ke sini?” “Ya, itu pesan terakhir dari mendiang kakek saya," jelas Aron. Kamila tertegun, netranya seketika berkaca-kaca. “Me−mendiang? Jadi, Pak Abraham─” “Kakek saya sudah berpulang dua bulan yang lalu, dan saya minta untuk kau menjadi istri saya secepatnya," sela Aron mulai tak sabaran. Kamila tergugu di tempatnya, ia begitu shock dengan kabar kematian Abraham, tapi lebih kaget lagi kala Aron meminangnya penuh paksaan. Gadis itu termenung sejenak, sebelum menjawab lirih. “Saya menolak.”Kamila menatap kosong ke depan, Aron yang sejak tadi memeluknya ikut merasa sedih. Ini semua adalah mimpi buruk baginya, ia hanya tertidur sebentar di mobil. Lalu tiba-tiba sudah berakhir di rumah sakit, setelah siuman justru menerima berita kehilangan sang buah hati. “Aku egois ya, Mas? Andai aku tidak membuntuti Relin, mungkin anak kita masih ada di sini,” kata Kamila setelah kebisuan panjang. Wanita itu mengusap perutnya yang rata, satu bulan berlalu. Duka itu masih menyapa, sakit dan perih akan kehilangan yang tak pernah terduga. “Sayang, dengarkan aku.” Aron menangkup wajah Kamila, menatap mata wanita yang dicintainya itu. “Kau boleh bersedih, tapi jangan berlarut-larut. Aku tidak mau Ayana serta Saga merasa tersisihkan.” Kamila tertegun, tanpa sadar sudah abai dengan keberadaan si kembar lantaran larut akan kesedihan. “Ayana, Saga ….” Lirih wanita itu. “Ya, mereka takut mendekat padamu. Terkadang Ayana maupun Saga hanya melihatmu dari celah pintu,” jelas Aron, membuang pa
Nyatanya, kebahagian itu tak pernah berpihak padaku ~Kamila Cahaya *** Semua yang terjadi di hadapannya begitu cepat, menarik napas pun terasa sulit. Kamila memegang tangan dingin Aron. Ia bodoh dan ceroboh, sehingga melakukan sesuatu tanpa berpikir panjang. “Tolong! Siapa pun tolong!” Wanita itu menjerit seraya memukul kaca mobilnya. Tak berselang lama, suara pecahan kaca serta teriakan orang-orang mulai terdengar. Sedangkan Kamila, bukannya merasa lega. Justru ia semakin panik kala melihat darah yang mengaliri betisnya. Kamila tercekat, napasnya memburu tak beraturan. Ia menoleh ke arah Aron, memegang tangan sang suami kuat. Sebelum kegelapan merenggut kesadarannya. *** Masayu duduk lemas tak bertenaga setelah menerima kabar jika mobil yang Relin serta Sandra tumpangi menabrak pembatas jembatan. Lantas jatuh ke bawah dan sampai sekarang tak bisa ditemukan. Belum lagi Kamila, Aron serta Bimo kecelakaan di lokasi yang sama dengan Relin, tapi bedanya mereka hanya
“Mas .…” Kamila menyentuh pelan bahu Aron. Ia menggigit bibir bawah ketika melihat tatapan kosong sang suami. “Mila, Erza pergi untuk selamanya. Apakah sikapku keterlaluan selama ini? Aku kecewa padanya. Tapi bukan berarti dia—” Napas Aron tercekat, pria itu mendongkak, menghalau air mata yang hendak keluar. Ia kembali menunduk, melihat gundukan tanah di hadapannya. Erza memeng tak bisa diselamatkan, pria itu ditemukan sudah tak bernyawa. Mengingat terlalu banyak menghirup asap, serta luka bakar yang yang didapat. “Mas, aku tahu jika ini pasti sangat berat. Ada aku di sini, Mas tidak sendiri.” Kamila memeluk sang suami, ia bisa merasakan napas lelah pria itu yang berhembus di ceruk lehernya. “Tuan, hujan sudah mulai turun. Apakah tidak sebaiknya kita berteduh?” tanya Bimo pelan. Tak tahan melihat Aron yang mendapat kesedihan secara bertubi-tubi. Bimo sudah menganggap pria itu seperti adiknya sendiri, dan ia ikut merasakan kesakitan Aron.Aron melepas pelukannya dari Kamila, lant
“Kemungkinan besar dia dijatuhi hukuman seumur hidup, mengingat Erza juga terlibat dalam pembunuhan berencana. Ayahnya pun sudah tutup mata dan memutuskan hubungan dengan Erza. Sementara Relin, hingga saat ini belum ditemukan,” jelas Tama menatap ke arah Aron yang sedang menatap jauh ke depan. Satu bulan sejak terakhir kali ia bertemu dengan Erza, Tama ingat betul kala orang tua Panji menyumpahi Erza dengan kemarahan membeli buta, tak lupa mengutuk menantunya yang tidak lain adalah Relin, meskipun wanita itu menghilang entah ke mana.“Apa si Brengsek itu menyesali semua perbuatannya?” tanya Aron dingin, setelah keheningan panjang.Tama menghembuskan napas berat, meneliti ekspresi sang putra yang terlihat kecewa serta marah. “Tentu saja dia menyesal, seperti yang Ayah katakan satu bulan yang lalu. Jika dia ingin bertemu denganmu untuk meminta maaf, tapi mengingat kau yang tak mau melihat wajahnya. Jadi, Ayah tidak bisa memaksa.”“Syukurlah dia sadar diri, memang orang jahat sepertin
“Setelah saya selidiki semuanya, ternyata Tuan Erza juga yang membakar kebun apel Anda. Dia mengaku telah mengambil cincin Tuan Farzan dan ditaruh di lokasi kejadian, agar kecurigaan kita mengarah padanya,” jelas Bimo. Pria itu menyesal karena dulu sempat berburuk sangka pada Farzan, tapi siangka Erza adalah dalang dari semua ini. Sungguh, tak pernah terbesit dalam pikirannya. Bimo kembali mengalihkan atensi pada Aron, terlihat jelas wajah kecewa serta terluka sang tuan. Ia turut sedih, mengingat Aron serta Erza berteman sejak kecil.“Lalu mengenai kasus Panji bagaimna?” tanya Aron setelh kebungkamn yang cukup panjang. “Sedang diurus oleh pengacara Anda, Tuan Erza juga sudah ditahan. Tadi siang ketika saya ke selnya, dia berpesan ingin melihat Anda,” ungkap Bimo hati-hti. “Tidak akan.” Aron mengeraskan rahang. “Jika saya bertemu dengannya, saya tak yakin jika dia masih bernapas esok hari.” Pria itu mengepalkan tangan, sudah seminggu sejak kematian Rendra, ia sama sekali tidak sudi
“Tunggu dulu, apa maksudnya jika Erza mendonorkan darahnya pada Rendra?” tanya Aron. Mencegah Erza yang hendak mengikuti Relin. “Mengapa kau memikirkan itu! Yang terpenting sekarang kami harus menyelamatkan Rendra!” bantah Relin kuat, menatap Aron tajam. “Bukan maksud saya seperti—” Perkataan Aron terhenti ketika dokter serta suster tergesa-gesa menuju ruangan Rendra. Mereka semua yang melihat itu tentu saja panik. Relin yang hendak masuk langsung dihentikan oleh Farzan. Membuat wanita itu menangis karena panik. “Mas ….” Lirih Kamila sembari memegang lengan Aron. Pria itu tersentak, baru menyadari jika sang istri sedari tadi bersamanya.“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja,” kata Aron lembut. Berbanding terbalik dengan tatapan tajamnya ke arah Relin serta Erza. Satu jam berlalu, seorang dokter keluar. Pria itu menatap keluarga pasien dengan wajah tak terbaca. Lalu berucap, ”Pasien tidak bisa diselamatkan. Dia terlalu banyak kehilangan darah, ditambah lagi dengan penyakit