Share

chapter delapan

Morena pagi itu melangkahkan kaki nya memasuki ruangan manager perencanaan. Setelah dia menikah dengan Felix Ferdinan Alexander, Rena langsung dipercaya menjadi manager perencanaan. Rena menangani beberapa project baru.

Rena duduk di kursi kerjanya. memeriksa beberapa berkas.

"Aku harus menarik perhatian Neno Alkatiri agar bisa menang tender." gumam Rena, "bagaimana caranya?"

"Vio, mungkin aku harus memanfaatkannya." Rena tersenyum licik. "Cukup untuk menyingkirkannya dari Felix. Jika aku bisa membuatnya terlihat sebagai gadis murahan yang menjual tubuhnya pada pria hidung belang."

"Hmmmpppp... hihihi... hahahah...."

****

Vio menatap pantulan diri di cermin. Hari ini hari pertama dia kerja setelah mengambil cuti untuk resepsi acara pernikahan adiknya Rena dengan Felix.

"Vio? Masih belum siapkah?" seru Davi dari luar kamar mandi.

"Iya." Vio keluar disusul suara siulan dari Davi.

Suuiitt.. suuiitt... Cantiknya engener kita." goda Davi, Vio tersenyum malu.

"Sudahlah, ayo berangkat. Nanti telat." Vio menarik lengan sahabatnya itu keluar kos an.

Sesampai nya di perusahaan Hongfang. Vio dan Davi membeli sarapan di kantin, mengingat mereka belum sempat sarapan dirumah tadi.

"Vi, kau banyaklah makan sayur biar semakin glowing,"

"Aku udah glowing kok Dav." balas Vio dengan senyum gelinya.

"Yaahh, biar tambah glowing lagi, biar mantan mu itu nyesel ninggalin kamu nikah." kekeh Davi membawa nampan berisi sarapannya pagi ini.

"Hmmmmpp... tidak perlu. Sudah hidup tak berhubungan dengan mereka lagi sudah cukup." ucap Vio tersenyum kecil."Ayo makan keburu masuk."

Davu dan Vio menyantap sarapannya dikantin.

"Vi."panggil seorang dari belakang Davi duduk. Vio mendongak meliat siapa yang memanggil.

"Tumben sarapan sini."

"Ariyo."sebut Vio."Kamu juga tumbem pagi-pagi udah dikantin."

"Duduk sini ya Dav." Ariyo menggeret kursi disamping Davi lalu duduk disana.

"Heemmm..." dehem Davi cuek. Vio memicingkan sebelah matanya menatap Sahabatnya itu. Lalu beralih menatap Ariyo. Vio mengangkat kepala, bertanya ada apa. Ariyo hanya mengendikkan bahunya.

"Kamu ngapain pagi-pagi udah sampai kantin." tanya Vio.

"Nyari rokok. Eh, dapetnya malah kalian."cengir Ariyo.

Dikejauhan terdengar riuh suara para wanita, seperti baru melihat artis saja.

"Ada apa itu?"Vio celingukan, "Apa ada pembagian sembako disana?" Gumam Vio tak ingin terlepas.

"Bukan!" tegas Davi yang telah menyelesaikan makannya."Itu pak direktur Nino . Memang kedataangannya selalu disambut oleh riuhnya suara para wanita pengagumnya."

"Benarkah? Jaman apa ini? Sampai masih ada yang begitu?"

"Iiisshhh... parah kamu Vio, Direktur Neno banyak yang mengidolakan, wajahnya tampan bagai pahatan dewa. Dia juga sangat kaya, tidak ada celah sedikitpun untuk keburukan dirinya."Ariyo ikut memberi pandangan pengetahuannya.

Vio terkekeh...

"Davi apa kamu sudah selesai?" tanya Viio melihat Davi beranjak dari duduknya.

"Sudah. Aku mau masuk skalian liat laporan"

"Aku ikut. Aku juga sudah selesai."

"Hey hey, jadi kalian meninggalkanku?" protes Ariyo sedikit kesal.

Vio dan Davi memasuki area kerja masing-masing. Vio yang lebih banyak bekerja dilapangan dari pada dibalik komputer meja kerjanya memilih langsung ke area produksi setelah membuat laporan dan mengecek beberapa email.

Vio berjalan di lorong kantor dengan membawa alat kerjanya juga helm proyek. Di tengah perjalanannya, Vio berpapasan dengan Neno atasannya. Vio tertegun, jujur saja ini pertama kalinya Vio bertemu dan melihat langsung Neno.

"Ternyata dia masih cukup muda. Wajar jika banyak wanita yang mengidolakannya." Batin Vio saat mereka berpapasan.

'Auranya sangat tidak ramah' batinnya lagi.

'Semoga tidak ada kontak lebih sering dengan orang ini' pikirnya lagi.

Begitu sampai di area produksi, Vio segera mengerjakan beberapa pekerjaan yang ditinggalkan terdahulunya yang belum selesai.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Vio mengambil ponselnya melihat telpon dari siapa itu.

Rena? Ngapain dia telpon? pikir Vio mengkerutkan alisnya. Yang lalu dia memilih mengabaikannya saja.

Setelah beberapa kali panggilan yang terabaikan, Vio menerima pesan masuk. Vio mengeceknya,

(Kamu dimana? kenapa tidak pulang? Mama mencarimu! Dan nanti pulanglah! Ada yang mau dibicarakan.) Rena.

"Huuuhh!! memangnya apa yang mau dibicarakan denganku?" gumam Vio melanjutkan pekerjaannya.

****

Malam itu Vio pulang ke rumah. Mengingat ada beberapa barangnya yang masih tertinggal dan dia harus ambil. Ditambah ancaman akan kesehatan sang nenek yang begitu ia sayangi.

Di meja makan, semua duduk tenang malam itu. Dikarenakan adanya Felix disana. Mereka harus menjaga sikap. Jangan sampai mereka di cap sebagai keluarga yang tak harmonis.

"Vi, umurmu sudah tak muda lagi, bagaimana kalau kamu juga menikah." ucap Mariah menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Aku tak berminat menikah, Bu."jawab Via acuh.

"Lalu apa kamu mau membayang-mbayangi adikmu?"

"Apa maksud Ibu, aku membayang-mbayangi?" ucap Vii dingin dengan pandangan tak suka.

"Kau tau sendiri Felix dan kamu pernah punya hubungan, kalau sampai berita ini tersebar di luar, bukankah akan jadi hal yang tak baik? Kamu mau dicap jadi pelakor?"

"Hahahaha... kita tau siapa yang pelakor disini."sinis Vio dengan tawa merendah kan.

"Kak, Kenapa kaka begitu? Kaka tau keadaan yang sebenarnya,"tukas Rena memprotes, jangan sampai Felix tau jika dia dan mamanya sudah menrencanakan ini semua.

"Aahh, memang apa yang sebenarnya terjadi? aku tak begitu jelas." ujar Vio dengan senyum dan tatapan menantang.

"Vi!" seru Felix. "Cukup! Aku tau aku yang bersalah disini. kamu tak perlu menegaskannya."

"Baiklah."jawab Vio pelan dan melanjutkan makannya.

Xixixi.... akhirnya kak Felix membelaku. Aku harus menggunakan kesempatan ini. batin Rena.

"Kak, Kaka lepaskanlah Felix untukku. Kami saling mencintai. Kaka harus terima kenyataan." ucap Rena sok sedih dan merasa bersalah.

"Hahaha.... Saling mencintai?" ujar Vio dengan nada menyindir."Yah, wanita sepertimu memang cocok dengan Felix. Kalian sama." Vio mengumbar senyum menghina.

"Hhhaaahhh... Aku juga tak pernah menggenggam laki-laki ini begitu kuat. Aku sudah tidak memikirkannya sejak kalian kepergok. Nikmati saja kebahagiaan kalian. itu jika kalian bahagia." tukas Vio lagi dengan senyum sinis.

"Vi! kenapa kau begitu kasar pada adik dan iparmu?" sentak Maria meninggikan suaranya hingga satu oktaf. "Sudah sejak tadi Ibu menahan diri. Ternyata kamu makin kelewat batas!"

"Benar! Aku tau kaka sangat dendam padaku. makanya..." isak Rena berakting.

"Diam!" Hermawan meninggikan suaranya hingga beberapa oktaf. "Kita sedang makan! Jangan membuat perdebatan disini!"

Semua terdiam. Dan melanjutkan makan malam.

"Aku sudah selesai. Aku akan pergi."ucap Vio beranjak dari duduknya.

"Kau mau kemana?" tanya sang ayah tak suka Vio meninggalkan meja makan sementara makanannya masih tersisa.

"Tiba-tiba saja seleraku hilang. Terima kasih untuk jamuannya. Aku sangat menghargainya. Selamat malam." Vio melangkah pergi.

Hermawan pun tak mencegah. Mungkin lebih baik begini. Daripada berkumpul namun hanya ada pertengkaran.

Mariah ikut beranjak.

"Kau mau kemana?" tanya suaminya dingin.

"Aku akan membujuknya sbentar." Mariah menusul Vio cepat.

Tepat di depan pintu, Maria menarik lengan Vio. Hingga gadis itu berbalik dan saling bertatapan dengan ibu tirinya.

"Ingat! Untuk makan malam mu dengan direktur Marsal."

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status