Share

Masa lalu

Terpaksa Menjadi Wanita Malam 2

"Ngapain kamu disini? Oh, jadi ternyata kamu sekarang jadi pelac*r?" ucapnya dengan sinis. 

"Bukan urusanmu." Aku berusaha pergi dari ruangan ini. Tapi tanganku dicekal. 

"Lalu kenapa kamu sendiri juga di sini? Bukankah kamu sudah menikah dengan anak orang kaya? Oh, ya. Pasti di sini kamu hanya ingin menghamburkan uang milik istrimu bukan?" Cibirku tak mau kalah. Kutatap matanya dengan penuh amarah. 

Ternyata bos yang dikatakan oleh Maria adalah Aldo. Laki-laki yang sudah menghancurkan semua impianku juga almarhum bapak.

Aku hendak melangkah meninggalkan ruangan itu. Malas rasanya jika harus menemani orang sepertinya.

"Tunggu, Hani! Aku sudah membayarmu mahal pada Maria. Jadi kamu harus tetap di sini." Tanganku masih ditahan agar tak bisa pergi.

"Tak sudi aku makan dari uangmu," tekanku lagi padanya.

"Jangan jual mahal! Dulu kamu mau melakukan itu dengan suka rela. Kini aku membayarmu mahal. Tapi kau tolak. Sombong sekali." Aldo terus memojokkan aku.

"Dulu aku terlalu bod*h hingga mau saja dibohongi laki-laki macam dirimu. Yang hanya berlindung di bawah ketiak orang tuanya," jawabku tak kalah sengit. Sakit rasanya jika mengingat masa itu. Masa tersulit yang pernah kualami dalam hidupku.

"Akan kukembalikan uang yang sudah kau keluarkan!" Dengan cepat aku melepas tangan yang sedari tadi mencengkeram erat lenganku. Keluar dari ruangan itu dengan segera. 

Aku tak lagi mendengarkan ocehan Aldo yang makin tak karuan. Apalagi efek minuman beralkohol yang ia minum, makin membuatnya semakin lancar mencemoohku.

"Maria, lain kali kalo ada laki-laki itu mencariku. Bilang aku tak ada lagi di sini. Kembalikan uang yang telah ia berikan padamu." Aku duduk kembali bersama Maria.  

"Memangnya kenapa, Han?" Tanya Maria.

"Aku nggak suka nemenin dia. Kamu aja kalo mau," ucapku malas. Kuhempaskan bobotku pada sofa yang ada di ruangan milik Maria. 

"Dia salah satu pelanggan yang loyal di club ini. Makanya aku berikan padamu. Lumayan uang tipsnya gede," ucap Maria lagi.

"Kamu mau tau, kenapa aku menolaknya walau uang yang dia berikan besar?" 

"Kenapa?" tanya Maria.

"Dia laki-laki pengec*t yang sudah meninggalkan aku dan Naina. Hingga sekarang aku terjerumus pada kubangan dosa seperti ini," jelasku pada Maria. Matanya membulat tak percaya.

"Ternyata dunia sesempit ini ya, Han." Maria mengusap pundakku. Seakan ia berusaha menguatkanku. Aku dan Maria memang berteman. Tapi tujuan kami bekerja malam seperti ini berbeda. 

Aku melakukan ini hanya ingin mendapatkan uang yang banyak dalam waktu yang singkat. Seorang lulusan SMA sepertiku akan susah bersaing dengan ribuan bahkan jutaan sarjana untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Semua demi Naina juga Bulek Nur.

Sedangkan Maria. Dia terlahir dari keluarga yang cukup berada. Tapi gaya hidup bebas dan mewah membuatnya berkecimpung di dunia malam. Dunia penuh d*sa.

Lagi-lagi tentang uang. Orang memang tak akan bisa jauh dari uang. Segala sesuatu bisa dengan mudah di dapatkan jika kita punya uang. Begitulah hidup.

*

Lima tahun yang lalu.

"Mas, aku hamil. Bagaimana ini? Kamu akan bertanggung jawab 'kan?" tanyaku pada Mas Aldo. Lelaki yang sudah setahun menjadi pacarku.

"Tapi kamu yakin itu anakku?" Dia tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Tangannya masih saja asyik dengan memainkan game yang ada di ponselnya. Sengaja aku mengajaknya bertemu untuk meminta pertanggung jawabannya.

"Maksudmu? Aku hanya melakukannya denganmu, Mas! Itupun karena kamu memberikan aku obat agar mau meladenimu. Kamu pikir aku ini apa? Aku tidak seperti itu, Mas!" Aku terisak. Dia tak mau mengakui perbuatannya. Habis manis sepah dibuang, begitulah kini nasibku.

"Tapi kita hanya sekali melakukannya. Pasti janin itu bukan anakku. Sudahlah gug*rkan saja? Toh, papa dan mamaku tak akan mungkin setuju jika aku menikahimu," ucapnya enteng, tanpa memandangku sedikitpun.

Hancur sudah. Dia telah mengambilnya tapi tak mau mengakui hasil perbuatannya. Sungguh tak punya hati kamu, Mas!

Sejak saat itu, dia tidak bisa dihubungi. Bahkan aku mencarinya di showroom tempatnya bekerja juga tak kutemukan. Teman-temannya bilang Mas Aldo kembali ke ibukota karena akan menikah.

Pupus sudah harapanku. Tak mau mengulang dosa untuk kedua kalinya. Aku akan merawat anak ini sendiri, tak butuh laki-laki pengec*t macam Aldo.

Tapi bagaimana aku bicara ini pada bapak? Ia pasti akan lebih hancur melebihi hancurnya aku. Anak perempuan satu-satunya kini sudah tak berharga. Maafkan aku bapak. 

*

Serapat-rapatnya kehamilanku disembunyikan, bapak akhirnya tau jika aku tengah berbadan dua. Ia memintaku mengantarkannya pada lelaki yang harus bertanggung jawab akan semua ini.

"Nduk, antar bapak pada laki-laki itu. Dia harus bertanggung jawab," ucap bapak bergetar. Aku tau, ia sangat marah, kecewa, bahkan hancur sehancur- hancurnya.

"Maafkan Hani, Pak! Maaf ...." ucapku terisak.

Bapak memelukku. Ia tahu anaknya salah. Tapi ia tetap mau mendekapku, menenangkanku. Siapa lagi kalo bukan Bapak? Ia satu-satunya orang tua yang kumiliki saat ini.

Sejak saat itu bapak kerja mati-matian untuk menghidupi aku dan calon bayiku. Ia rela pergi keluar kota hanya ingin mendapatkan upah yang lebih besar ketimbang upah di daerah tempat kami tinggal.

"Maafkan Hani, Pak."

Kalimat itu sering kuucapkan tiap kali mengingat betapa ia sangat menyayangiku, namun aku telah membuatnya kecewa.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status