Share

Penolong

Terpaksa Menjadi Wanita Malam 3

Aku memutuskan pulang lebih awal. Moodku hari ini begitu jelek. Aku menelepon Pak Saman juga tak di angkat. Mungkin ia sedang terlelap, jarena jarum jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari.

Berjalan sendiri menunggu taksi yang lewat. Tak lupa kupakai jaket tebal yang biasa kubawa setiap hari. Walaupun aku seorang wanita malam penyedia jasa. Tapi aku masih memakai pakaian yang sopan saat di luar club. Beda halnya jika di dalam club. Mungkin orang akan tercengang melihat menampilkan saat di sana.

Dini hari sepertinya akan susah mendapatkan taksi atau ojek, karena lelah, aku duduk di halte tak jauh dari club.

Tiba-tiba. Ada sebuah sepeda motor berhenti di depanku.

"Maaf, Mbak. Sedang apa dini hari seperti ini duduk di situ?" tanya pria yang duduk di atas motor. Ia menyandarkan motornya lalu turun mendekatiku.

Ada rasa takut jika laki-laki itu akan berbuat jahat padaku. Akan kuhajar dia jika berani macam-macam. Untung saja dulu aku pernah belajar bela diri, jadi bisa kugunakan di saat genting seperti ini.

"Jangan dekat-dekat! Kalo kamu berniat jahat padaku. Kamu salah sasaran," ucapku mengantisipasi keadaan seburuk mungkin.

Dia malah tertawa dan makin mendekat.

"Tenang saja, Mbak. Saya hanya bertanya. Siapa tau butuh bantuan? Tak tega jika melihat seorang wanita duduk sendiri padahal sudah dini hari. Waktunya orang-orang masih tertidur lelap," ucapnya sopan. Sepertinya ia memang orang baik. Tapi aku harus tetap waspada.

"Aku habis pulang kerja. Ojek langgananku tak bisa dihubungi. Maka dari itu aku duduk sendiri di sini, sambil menunggu taksi atau ojek lain," sahutku singkat.

"Memang rumahnya dimana?"

"Jauh," jawabku dingin.

"Iya, jauhnya dimana? Siapa tau kita searah?"

"Tidak terima kasih. Aku akan menunggu saja. Siapa tau ada taksi lewat," ucapku lagi.

"Ya sudah, kalo begitu saya permisi."

Akhirnya laki-laki itu akan pergi meninggalkanku. Lega. Aku takut ia berniat jahat. Walaupun aku sudah terbiasa menghadapi laki-laki hidung bel*ng. Tapi takut juga jika berhadapan dengan orang jahat. Bisa-bisa aku di bun*h seperti berita yang sering ada di televisi. Ngeri. Aku masih mau melihat Naina tumbuh dewasa.

Tin ... tin ... tin ....

Sebuah mobil berhenti di samping motor lelaki yang tadi menawariku tumpangan.

"Oh, pantas saja kamu menolakku, Hani. Levelmu ternyata cuma laki-laki misk*n seperti ini? Di bayar beberapa kamu, hah?"

Aldo. Dia datang lagi. Sepertinya hari-hariku akan si*l jika bertemu dengannya.

"Bukan urusanmu! Mau apapun yang aku lakukan bukan urusanmu. Pergi!" ucapku lantang mengusirnya.

"Sejak dulu kamu memang sombong. Orang tak punya bisa-bisanya bersikap sombong." Aldo melajukan mobilnya kembali.

Laki-laki tadi masih berdiri di dekat motornya. Ia memandangku dengan ekspresi tak bisa kutebak.

"Apa? Mau mencemoohku juga? Sana pergi!" ucapku sewot. Padahal dia diam saja dari tadi.

"Demi Allah, saya tidak ada niat jahat sama, Mbak. Saya hanya ingin menolong, hanya itu. Ini KTP saya, coba lihat saja! Saya cuma penjual nasi goreng di ujung jalan sana. Nah, jam segini baru beres jualan," jelasnya tanpa kuminta.

Oh, jadi dia penjual nasi goreng. Mungkin saat ini aku bisa mempercayainya. Jika menunggu taksi ataupun itu akan lama.

"Oke baiklah, rumahku ada di perumahan alam indah. Kalo gitu aku ngojek sama kamu aja. Nanti aku bayar."

Akhirnya aku mau menerima tumpangannya. Tapi kuanggap ini ojek. Tak enak jika harus merepotkan orang.

Sepanjang perjalanan tak ada obrolan satu sama lain. Hening. Laki-laki itu mengendarai motornya dengan baik dan berhenti tepat di depan rumahku. Kuambil selembar uang warna biru. Lalu kuberikan padanya.

"Ini ongkosnya. Terima kasih sudah mengantarkanku." Kusodorkan uang itu padanya.

"Tidak usah, Mbak. Saya ikhlas menolong. Lagipula saya tukang nasi goreng bukan tukang ojek," sahutnya masih dengan santun.

"Tapi ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status