Share

5. sifat mertua

"Pagi sayang". Mas Dion mengecup mesra kening mbak Kanaya saat berpapasan di bawah tangga. Duh irinya. Mereka benar-benar pasangan serasi.

"Pagi mas". Mbak kanaya mengambil alih tas yang di bawa mas Dion.

"Sarapan, Dion". Mama berucap tanpa melirik mbak Kanaya sedikitpun.

"Iya, ma".

Mereka berdua duduk berdampingan di depanku. Menurutku mereka benar-benar pasangan yang serasi. Mas Dion yang tampan dan mbak Kanaya yang cantik, benar-benar serasi bukan? Dan aku rasa, rasa cinta mereka terhadap satu sama lain sangat besar terlihat dari sorot mata mereka saat memandang.

Andai saja selama lima tahun pernikahan mereka sudah di beri momongan mungkin aku tidak akan hadir di tengah-tengah mereka. Aku benar-benar iri pada mereka, saling setia satu sama lain walaupun akhirnya mas Dion terpaksa menjadikanku istri kedua.

"Bagaimana malam pertama kalian?". Ucap Mama membuatku terbatuk.

Aku melirik ke arah mas Dion, dia terlihat bingung dan serba salah.

"Berjalan lancar kok ma". Ucapku tanpa berani menatap ke mbak Kanaya. Lagian kenapa sih mama mau tau aja urusan ranjang anaknya, kurang kerjaan banget. Padahal, urusan ranjang kan nggak boleh di umbar.

"Baguslah, mama harap kamu segera hamil Nin dan kasih mama seorang cucu, nggak seperti wanita mandul itu". Mama melirik mbak Kanaya sadis.

"Ma, bisa nggak jangan bilang Kanaya mandul? Mama kan tau hasil pemeriksaan kami dari dokter kandungan semuanya normal? Emang kita nya aja yang belum di kasih kepercayaan buat di beri momongan". Mas Dion tak terima, ia melirik mbak Naya yang berubah sendu.

"Ya tapi ini sudah lima tahun Dion, si Naya nggak kunjung hamil juga, apa namanya kalau nggak mandul?". Ucap mama sengit.

"Cukup ma, jangan memojokan mbak Naya terus, jodoh, mati dan rejeki itu sudah Tuhan yang ngatur". Aku mencoba membela mbak Naya, bagaimanapun juga aku adalah seorang wanita, aku nggak mungkin membiarkan harga diri wanita diinjak-injak oleh sesama wanita.

"Kok kamu bela dia sih Nin?". Mama menatapku tak suka.

"Bukan begitu ma, andai Nina tak kunjung hamil juga setelah menikah sekian tahun, apa mama juga akan memperlakukan aku seperti itu?"

"Hei Nina, dengar ya, mama minta Dion buat nikahin kamu itu biar mendapatkan cucu, jika kamu mandul juga seperti Naya terpaksa mama akan meminta Dion buat ceraiin kamu dan cari istri baru, siapa juga sih yang mau punya mantu miskin seperti kamu". Ucap mama culas.

"Cukup, dengar ya ma, aku menikah dengan mas Dion juga terpaksa, mama juga yang memohon aku buat nerima lamaran itu, jadi jangan buat kesan seolah-olah aku yang mengemis di keluarga ini".

Drrkk.

"Mau kemana kamu?".

"Ke kamar, saya sudah kenyang". Aku pun melenggang pergi tak peduli sumpah serapah yang keluar dari mulut mertuaku itu

"Dasar gadis kampung, nggak punya sopan santun". Teriak mama kesal, hah bodo amat. Mimpi apa aku sampai bisa punya mertua seperti itu.

Aku heran, kenapa mbak Kanaya bisa betah tinggal satu atap dengan mertua kayak gitu. Sikap mama benar-benar keterlaluan. Apa mama pikir semua bisa di beli dengan uang? Toh semua harta ini cuma titipan dari Tuhan dan kapan saja bisa diambil hingga habis tak tersisa.

Bosan. Aku berguling-guling di atas kasur. Sudah satu jam aku berada di kamar ini sendirian. Suara mama yang menggedor pintu kamarku pun sudah tak terdengar lagi. Rumah mendadak terasa sepi. Kemana perginya semua orang?.

Karena baru tadi malam aku di boyong kerumah ini, aku memutuskan untuk keliling rumah. Menyusuri setiap ruangan rumah dengan dua lantai ini.

"Wah, cantiknya". Di samping rumah terdapat taman bunga. Ada bunga mawar berwarna-warni. Siapa ya yang menanamnya?.

"Kamu sedang apa?". Mbak Naya mengaggetkanku dengan kemunculannya yang tiba-tiba.

"Eh, anu... ini saya lagi lihat-lihat bunga. Mbak Naya yang tanam semua bunga ini?". Tanyaku kikuk.

Mungkin mbak Naya berpikir aku sok akrab dan sok baik, karena di novel-novel yang aku baca istri pertama dan istri kedua itu tidak pernah akur. Ya seorang 'madu' kebanyakan di anggap sebagai pelakor dan perusak rumah tangga orang. Biasanya sih rela jadi madu karena terpincut sama harta si suami, tapi bagiku pernikahan ini hanyalah sebuah cara agar aku bisa kabur dari pria tua tambun dan juga para pria hidung belang. Benar-benar miris.

"Iya, saya yang tanam. Saya harap kamu nggak merusak tanaman itu seperti kamu merusak rumah tanggaku". Aku tertegun dengan penuturan mbak Naya. Aku? Merusak rumah tangganya? Padahal pernikahan ini juga atas ijinnya. Aku bahkan sudah mengatakan jika aku akan menolak pernikahan ini jika mbak Naya tidak mengijinkannya. Kenapa sekarang semua seolah jadi salahku?

"Maksud mbak apa? Bukankah pernikahan ini atas ijin mbak Naya?". Sungguh aku tak terima di katakan sebagai perusak rumah tangga orang. Aku tidak seperti itu.

"Sudahlah, saya nggak mau berurusan dengan kamu dan jangan pernah mengusik bunga-bungaku". Mbak Naya melengos dan masuk ke dalam rumah. Saat di ambang pintu mbak Naya berhenti dan melirikku.

"Oh ya satu hal lagi, jangan sok baik padaku, jika kamu hanya menginginkan harta suamiku lebih baik kamu tinggalkan dia karena kekayaannya belum tentu rejekimu dan jika kau menginginkan suamiku untuk seutuhnya jadi milikmu langkahi dulu mayatku". Wanita berhijab itu pergi meninggalkanku yang masih diam mencerna setiap tutur katanya. Apa dia cemburu? Tentu saja mana ada wanita yang tak cemburu kepada madunya, dasar bodoh kau Nina. Aku memukul kepalaku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status