Share

4. hari pertama

Kicauan burung di pagi hari membangunkanku. Tubuhku rasanya pegal sekali, tidurku pun tak nyenyak. Apa karena aku sudah terbiasa dengan kasur yang keras? Jadi otomatis tubuhku menyesuaikan diri dengan kasur empuk yang terlihat nyaman ini.

Aku melirik keseluruh ruangan, tak ada tanda-tanda dari pria yang kemarin telah sah menjadi suamiku. Aku pun tak mempedulikannya, toh palingan dia sedang bersama istrinya.

Dengan langkah gontai, aku pergi ke kamar mandi. Pas pintu terbuka, aku terperangah. Kamar mandinya luas sekali, mungkin lebih luas kamar mandi ini dari pada kamarku yang dulu. Padahal aku telah memasukinya dua kali tapi aku masih saja takjub di buatnya.

Aku menyalakan sower dengan asal.

"Aw, panas". Aku mengibaskan tanganku yang terkena percikan air panas.

Aku segera mematikan sower. Aku teliti lagi, ada dua tanda di sana. Berwarna biru dan merah, mungkin artinya dingin dan panas.

Sower kembali kunyalakan, kini air dingin yang keluar. Aku ingin mandi air hangat. Mungkin dengan memutar kedua tanda itu aku bisa mendapatkan air hangat.

"Yes, berhasil". Aku berjingkrak-jingkrak kegirangan. Aku berdiri di bawah sower meresapi setiap tetesan air yang membasahi tubuhku.

"Akhirnya segar juga". Aku keluar kamar mandi dengan tubuh hanya terlilit handuk.

Kriet.

Pintu kamar terbuka.

"Aaaa!, keluaarrr". Teriakku saat aku tau yang membuka pintu ternyata mas Dion.

"Dasar mesum". Aku menyilangkan tanganku di depan dada. Apa dia melihatnya?.

"Maaf, saya pikir kamu belum bangun". Suara bariton itu dari balik pintu.

"Lain kali, ketuk pintu dulu kalau mau masuk". Aku ngedumel sendiri sambil memakai pakaian dengan cepat.

"Sudah selesai?".

"Hmm". Aku hanya berdehem sambil menyisir rambut yang basah di depan cermin.

Krieet.

"Kau keramas? Tadi malam kan kita tidak melakukan itu?". Pria itu menatapku dengan tatapan menyelidik.

"Memangnya tidak boleh? Asal kau tau, aku belum keramas selama tiga hari dan itu membuat kepalaku gatal". Cuekku tetap fokus menyisir.

"Bukan begitu, aku hanya takut jika istriku salah paham". Lagi-lagi dia tidak menganggapku sebagai istri, tak apalah yang penting aku tidak jadi menikah dengan pria tua tambun itu.

"Rambutmu basah, harusnya kau keringkan dulu dengan hairdrayer". Pria itu duduk di pinggir kasur sambil melihat ke arahku.

"Jangan banyak bicara, aku tak biasa memakai alat seperti itu, lebih baik kau keluar dan temui istrimu". Kini aku memoleskan pelembab ke wajahku.

"Kalau kamu nggak mau keluar, biar aku yang keluar". Ucapku lalu melangkah melewatinya.

"Kau mau keluar seperti itu?". Dia menahan tanganku. Aku menatapnya kesal.

"Ada yang salah?". Tanyaku cuek, pria ini ternyata cerewet juga.

"Pakailah make up, wajahmu terlihat pucat". Dasar bawel.

"Alatnya? Kau lihat sendiri di atas meja itu hanya ada pelembab, nggak ada yang lain. Lagian mana aku mampu untuk membelinya, buat makan aja susah". Pria itu mendesah.

"Nanti aku belikan, bagaimanapun juga, aku tidak mau jadi olokan orang, seorang manager perusahaan besar tidak mampu membelikan istrinya make up, meskipun kamu hanya istri kedua tapi tetap saja kau sudah menjadi bagian dari keluarga ini". Pria itu melepaskan cekalannya dari tanganku.

"Kalau begitu, sekalian belikan aku baju dan hape, kau lihat, bajuku sudah seperti seorang pembantu bahkan baju pembantu di rumah ini masih lebih baik dari yang aku kenakan". Aku menghela napas jengkel.

"Baiklah, nanti aku belikan via online, kau mau pilih sendiri atau mau dipilihkan?". Pria itu menawari.

"Pilihkan saja, karena aku tidak tau baju mana yang pantas aku kenakan sebagai istri kedua seorang manager". Sungguh, dia itu pria atau wanita? Banyak bicara.

"Oke, nanti biar istriku yang memilihkannya untukmu". Aku mendesis.

"Hei, istrimu yang mana? Aku juga istrimu". Aku mencebik, tak bisakah dia memanggil mbak Kanaya itu dengan nama, jangan istriku.. istriku.. seakan aku tak pernah di anggap. Aku tau, aku hanya oramg asing di rumah ini, cukup sadar diri.

"Maaf".

"Sudah?". Pria itu memdongak menatapku.

"Sudah bicaranya? Hiis, aku sudah lapar, tak bisa kah kau berhenti menahanku disini dengan pembicaraan bodohmu itu?". Aku kembali di buat kesal olehnya.

"Jaga bicaramu, tak pernahkah kau di ajari sopan santun". Pria itu menggeram.

"Maaf, jika aku sudah keterlaluan". Akupun pergi meninggalkannya dikamar.

Aku menuruni tangga dengan perasaan dongkol, kok bisa ya mbak Kanaya betah dengan pria seperti itu.

"Sudah bangun?". Tanya ibu mertua saat berpapasan denganku di bawah tangga. Dia melirik ke arah rambutku sambil tersenyum.

"Hehe iya buk". Jawabku kikuk.

"Panggil mama, jangan ibu, kesannya kayak kampungan". Ucap ibu mertua sombong.

"Iya bu-eh, mama". Duh, sepertinya penghuni rumah ini bawel semua.

"Yuk sarapan". Ajaknya menggandeng tanganku ke arah ruang makan.

Disana terlihat wanita berhijab sedang menyiapkan sarapan, di tatanya piring dengan rapi.

"Pagi mbak". Sapaku mencoba akrab dengan maduku.

"Heleh, buat apa kau sapa wanita mandul itu". Ibu mertua melirik mbak Kanaya tak suka.

"Hm, pagi". Jawab mbak Kanaya disertai senyum yang di paksakan.

"Sudah, jangan hiraukan dia, lebih baik kamu segera makan yang banyak dan segera memberi mama cucu". Ibu mertua menyendokkan nasi goreng ke piringku.

"Hei, Naya. Cepat panggil suamimu buat sarapan, jangan malas-malasan kamu. Dasar benalu". Ucap ibu mertua sarkas.

Mbak Kanaya menatapku intens, apa ada yang salah dariku?

"Iya, ma".

Beginikah kelakuan ibu mertua pada mbak Kanaya? Aku jadi semakin sungkan terhadapnya. Aku yang notabenya orang baru malah di perhatikan oleh ibu mertua sedangkan mbak Kanaya di acuhkan dan di anggap benalu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status