Share

6. cemburu

"Sedang masak apa mbak?". Tanyaku menghampiri wanita berhijab yang tengah berjibaku dengan alat-alat dapur.

"Bukan urusan kamu, sudah pergi sana. Jangan menggangguku".

"Oh, sedang goreng ayam ya?". Aku melongok wajan di hadapannya. Minyak mendidih itu telah membuat ayam yang di rendamnya berubah kecoklatan.

"Capcai juga?". Aku melirik piring dengan capcai yang sudah siap saji.

"Mau apa kamu?". Mbak Naya menghentikanku membuka kulkas berisi sayuran.

"Oh? Mau masak kangkung mbak, saya lagi kepingin soalnya". Aku mengambil satu ikat kangkung dan mencucinya.

"Kan sudah ada capcai, jangan mubazir makanan". Ucapnya dengan nada tidak suka.

"Tidak akan mubazir mbak, kalau mbak nggak mau masih ada orang lain yang akan memakannya. Kalau semua orang di rumah ini tidak mau biar saya yang menghabiskannya". Ucapku sambil menyiapkan bumbu. Lagian sudah tiga hari aku disini, aku jadi kangen kampung halaman. Biasanya aku sering masak kangkung yang di petik dari kebun sendiri jika tidak ada lauk buat makan.

"Terserah kamu, tapi nanti jika mama marah jangan salahin saya. Karena semua yang ada dirumah ini mama yang ngatur termasuk persediaan makanan".

Aku tak menghiraukan ucapan mbak Naya. Aku mulai menumis bumbu dan memasukan kangkung yang sudah ku potong dan cuci bersih.

Makan malam pun tiba, semua orang sudah duduk di kursinya masing-masing menghadap meja yang penuh dengan makanan, termasuk mas Dion yang baru pulang kerja.

"Tumben masak cah kangkung Sayang?". Ucap mas Dion heran, mungkin mbak Naya jarang masak cah kangkung dirumah ini. Mbak Naya melirikku tak suka.

"Hmm, enak loh". Kata mas Dion memuji masakanku. Aku merasa senang, selama ini masakanku tak pernah di puji oleh ibuk dan om Sani, biasanya mereka hanya akan diam atau mencela masakanku karena masaknya itu-itu saja.

"Bukan aku yang masak, Nina yang masak". Mbak Naya berkata datar. Di aduknya nasi di piring tanpa sesuappun masuk ke mulutnya.

"Oh? Nina yang masak? Kamu pinter masak juga ya ternyata? Ini semua kamu yang masak?". Mas Dion makan dengan lahap. Di makannya cah kangkung buatanku hingga tinggal setengah dari jumlah yang aku masak tadi.

"Bukan, aku cuma masak cah kangkung saja. Selebihnya mbak Naya yang masak". Jawabku jujur.

Mas Dion melirik mbak Naya yang sudah cemberut. Mas Dion seperti salah tingkah dan serba salah. Aku pun merasa tak enak hati di buatnya.

"O-oh, capcainya enak juga, istriku ini memang jago masak ya? Aku beruntung memiliki istri sepertimu, sayang". Mas Dion menggenggam tangan mbak Naya sambil tersenyum.

"Ekhem, masih enakan juga masakan mama, apa ini? Kangkungnya keasinan, capcainya juga nggak enak, ayamnya alot. Punya mantu dua tapi nggak ada yang bisa masak semua". Ucap mama ketus.

Perasaan masakanku tidak ke asinan , mas Dion juga lahap makannya dan masakan mbak Naya menurutku enak kok. Mungkin lidah mama saja yang bermasalah.

"Kalau nggak enak, ya nggak usah di makan ma. Biar kami yang habiskan". Ucapku datar. Rada jengkel sebenarnya, padahal dari tadi makan mama anteng saja tuh nggak komlpain tapi setelah mendengar mas Dion memuji masakan kami dia seakan kepanasan.

"Heh, memangnya siapa kamu ngatur-ngatur saya? Anak kampung saja belagu. Kalau kamu nggak dinikahin sama anak saya palingan kamu juga bakal jual diri buat bayar hutang ibu kamu itu".

"Ho? Begitu? Lalu siapa ya yang kemarin memohon-mohon buat saya nerima lamaran anaknya yang sudah beristri?". Tanyaku menyindir.

Mama langsung kicep dan nggak membalas ucapanku. Emang enak.

"Nina, jaga ucapanmu. Harusnya kamu kalau ngomong lebih sopan terhadap yang lebih tua. Bagaimanapun juga mama adalah mertua kamu. Kamu harus menghormatinya selayaknya kamu menghormati ibu kandungmu". Mas Dion tak terima.

"Saya akan menghormati orang yang juga menghormati saya. Tua atau muda itu bukan tolak ukur buat saya menghormati mereka. Dia sopan, saya segan tapi jika dia menghina saya apa saya harus diam saja? Semut yang di injak saja bisa melawan apalagi saya?".

"Nyesel saya menikahkan Dion sama kamu. Sudah kampungan suka ngelawan lagi. Masih mending Naya, biarpun mandul tapi dia tidak pernah ngelawan saya". Mama memandangku sengit. Sedangkan mbak Naya? Dia hanya diam saja.

Sebenarnya aku heran, kenapa mbak Naya diam saja saat di katai mama mandul.

"Sudah Dion, mending kamu ceraiin saja si Nina. Masih banyak gadis di luaran sana yang bisa ngasih mama cucu. Heran, punya mantu dua tapi nggak ada yang bener satupun. Yang itu mandul, yang ini suka ngelawan omongan orang tua bikin naik darah saja".

"Silahkan, saya tidak takut. Siap-siap saja jadi gunjingan tetangga. Dasar orang tua nggak bersyukur". Aku langsung menghentikan makanku. Aku melirik mas Dion. Wajahnya sudah merah padam. Mungkin dia marah?

"Cukup!. Hentikan semua perdebatan ini. Mama jangan seenaknya menyuruh Dion untuk mencari wanita lain lagi dan menceraikan Nina. Pernikahan bukan sebuah mainan ma. Dion capek menuruti semua kemauan mama". Mas Dion menghirup napas gusar. Kini giliran matanya menatapku tajam.

"Dan kamu Nina. Berhenti menjawab semua omongan mama dan mencari masalah. Fokus saja sama dirimu sendiri supaya segera memberiku anak. Aku nggak mau lagi nikah dengan wanita lain. Jadi tolong kerjasamanya". Sambung mas Dion lalu meninggalkan ruang makan di susul mbak Naya.

Emang dia pikir, aku ini mesin pencetak anak apa? Lagian bagaimana aku bisa hamil sedangkan aku sama sekali tidak pernah di sentuh setelah tiga hari pernikahan.

Kini tinggal aku dan mama di ruang makan. Mama menatapku sengit.

"Semua gara-gara kamu. Sudah, saya jadi nggak napsu makan".

Prank!.

Mama membanting sendok dengan kasar. Aku menatap punggung mama yang kian menjauh dengan heran. Nggak napsu makan kok sudah habis sepiring? Mana ayamnya tinggal tulang doang lagi. Katanya alot? Katanya masakannya nggak enak tapi habis juga. Gengsi jangan di gedein napa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status