Share

7. malam pertama

Huufft. Aku benar-benar gedek sama mas Dion. Sudah dua minggu kita menikah tapi dia nggak pernah satu kali pun berniat menyentuhku. Bukan aku mengharapkannya tapi nanti nenek lampir itu pasti akan menggunjingku pada tetangga bahwa aku tak ada bedanya sama mbak Naya.

Setiap malam gilirannya tidur di kamarku, mas Dion pasti lebih memilih tidur di sofa dan sibuk dengan ponselnya, seperti malam ini.

"Apa hapemu itu lebih menggoda dari pada saya?". Tanyaku mencoba memancing reaksinya.

"Kenapa? Kamu cemburu? Jangan pernah berfikir untuk mencintaiku karena cintaku hanya untuk istriku seorang, Kanaya". Dia menjawab sambil tetap fokus pada ponselnya.

"Kalau begitu, saya ini bukan istrimu? Lalu kenapa kamu nggak menceraikan saya?". Aku menutup tubuhku yang mulai terasa dingin dengan selimut hingga sebatas leher. Kenapa orang itu bisa betah dengan suhu ruangan yang dingin seperti ini? Kalau aku naikin suhu ac nya dia pasti akan ngedumel nggak jelas.

"Kamu tetap istriku tapi hanya sebatas di atas kertas, nggak lebih". Wajah datarnya itu benar-benar pengen tak hih. Andai ibu nggak berhutang pada rentenir itu pasti hidupku tak akan seperti ini. Menjadi istri kedua yang tidak di harapkan oleh sang pria.

"Oh, jadi kalau mama kamu minta kamu buat nikah lagi apa kamu mau melakukannya?".

Mas Dion langsung menyimpan ponselnya di saku celana. Kini tatapannya terarah ke arahku.

"Maksud kamu apa? Jika kamu bisa hamil maka mama tak akan menyuruhku mencari wanita lain. Bukankah sudah pernah aku bilang? Pernikahan itu bukan mainan. Nggak kayak orang pacaran, putus cari lagi, putus cari lagi. Pernikahan itu janji antara saya dan Tuhan, nggak semudah itu aku memutuskan ikatan sakral itu".

"Pfft, hahaha". Aku tak bisa membendung tawaku. Mas Dion benar-benar lucu. Hamil katanya? Emang aku amuba? Yang bisa membelah diri tanpa pasangan?

"Kenapa kamu tertawa? Ada yang lucu?". Mas Dion menatapku bingung.

A-aduh, perutku sakit karena tertawa. Air mataku sampai menetes saking tergelitik oleh kata-katanya.

"Kamu pikir aku amuba mas? Aku ini manusia loh mas, mana mungkin bisa aku hamil tanpa ada pasangan". Aku menyeka air mataku dengan selimut.

"Memangnya siapa yang bilang kamu amuba? Saya ini kan pasanganmu? Suamimu?".

Benar deh, pria yang jadi suamiku kini itu bod*h atau pura-pura bod*h? Katanya seorang manager? Masak kayak gitu saja nggak tau? Bikin kesel saja.

"Hei Tuan, bagaimana saya bisa hamil jika Tuan tak pernah sakalipun menyentuhku? Maksudku melakukan 'itu'? Saya mau hamil sama siapa? Nyamuk?". Ucapku kesal sambil menekan kata 'Tuan'.

Mas Dion mulai berpikir, di tatapnya diriku dengan seksama. Apa dia sudah mengerti maksudku?

"Jadi? Kamu mau kita melakukan 'itu'?". Tanya mas Dion ragu.

Glek.

Aku menelan ludahku. Bagaimana jika dia beneran memintaku untuk melakukannya malam ini? Aku nggak siap. Sampai kapanpun aku nggak akan siap. Aku nggak mau memberikan harta paling berhargaku pada pria yang tak mencintaiku maupun yang tak aku cintai meskipun dia kini telah halal atas tubuhku.

"B-bukan begitu. Saya nggak mau melakukannya karena terpaksa. L-lagi pula saya nggak mencintaimu begitupun sebaliknya. Mending kamu lupakan saja kata-kataku tadi". Aku jadi salah tingkah lalu segera berbalik memunggunginya.

"Bukankah tadi kau memancingku? Apa kau sudah mencintaiku? Kau menginginkannya?".

Terdengar suara langkah ke arahku. Kurasakan kasur sedikit bergerak. Apa dia duduk di sampingku? Aku tidak ingin melihatnya. Mending aku pura-pura tidur.

"Hei, kau menginginkannya? Jujur saja, jangan malu. Bukankah aku juga sudah berhak atas tubuhmu?". Ku rasakan sebuah tangan melingkar di tubuhku. Dia memelukku?

"Kenapa diam saja? Bukankah tadi kau menggodaku?".

Tangan itu berpindah ke rambutku. Kurasakan elusan lembut di kepalaku. T-tidak, aku mohon jangan lakukan itu, batinku menjerit. Aku tidak siap, tanpa aku sadari tubuhku mulai bergetar takut.

"Sudahlah, jangan pernah menggodaku lagi atau kau akan menyesal". Elusan itu telah berhenti, kasur kurasakan bergerak lagi di susul langkah kaki yang menjauh.

Krieet.

Suara pintu di buka, apa dia keluar? A-apa dia marah? Arrgh, kenapa aku malah jadi kepikiran sih?

Aku segera bangkit dari tidurku saat terdengar pintu telah kembali tertutup, dia benar-benar keluar dari kamar ini. Aku duduk termangu. Arrgh, kau benar-benar bodoh Nina. Aku mengacak rambutku frustasi.

Apa dia marah? Kenapa aku jadi takut jika dia marah dan mengacuhkanku? Apa... apa aku sudah mulai jatuh hati padanya? Tidak, tidak mungkin! Kau sudah tidak waras Nina!  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status