Share

7. malam pertama

Author: Raesi 11
last update Last Updated: 2022-06-09 12:35:09

Huufft. Aku benar-benar gedek sama mas Dion. Sudah dua minggu kita menikah tapi dia nggak pernah satu kali pun berniat menyentuhku. Bukan aku mengharapkannya tapi nanti nenek lampir itu pasti akan menggunjingku pada tetangga bahwa aku tak ada bedanya sama mbak Naya.

Setiap malam gilirannya tidur di kamarku, mas Dion pasti lebih memilih tidur di sofa dan sibuk dengan ponselnya, seperti malam ini.

"Apa hapemu itu lebih menggoda dari pada saya?". Tanyaku mencoba memancing reaksinya.

"Kenapa? Kamu cemburu? Jangan pernah berfikir untuk mencintaiku karena cintaku hanya untuk istriku seorang, Kanaya". Dia menjawab sambil tetap fokus pada ponselnya.

"Kalau begitu, saya ini bukan istrimu? Lalu kenapa kamu nggak menceraikan saya?". Aku menutup tubuhku yang mulai terasa dingin dengan selimut hingga sebatas leher. Kenapa orang itu bisa betah dengan suhu ruangan yang dingin seperti ini? Kalau aku naikin suhu ac nya dia pasti akan ngedumel nggak jelas.

"Kamu tetap istriku tapi hanya sebatas di atas kertas, nggak lebih". Wajah datarnya itu benar-benar pengen tak hih. Andai ibu nggak berhutang pada rentenir itu pasti hidupku tak akan seperti ini. Menjadi istri kedua yang tidak di harapkan oleh sang pria.

"Oh, jadi kalau mama kamu minta kamu buat nikah lagi apa kamu mau melakukannya?".

Mas Dion langsung menyimpan ponselnya di saku celana. Kini tatapannya terarah ke arahku.

"Maksud kamu apa? Jika kamu bisa hamil maka mama tak akan menyuruhku mencari wanita lain. Bukankah sudah pernah aku bilang? Pernikahan itu bukan mainan. Nggak kayak orang pacaran, putus cari lagi, putus cari lagi. Pernikahan itu janji antara saya dan Tuhan, nggak semudah itu aku memutuskan ikatan sakral itu".

"Pfft, hahaha". Aku tak bisa membendung tawaku. Mas Dion benar-benar lucu. Hamil katanya? Emang aku amuba? Yang bisa membelah diri tanpa pasangan?

"Kenapa kamu tertawa? Ada yang lucu?". Mas Dion menatapku bingung.

A-aduh, perutku sakit karena tertawa. Air mataku sampai menetes saking tergelitik oleh kata-katanya.

"Kamu pikir aku amuba mas? Aku ini manusia loh mas, mana mungkin bisa aku hamil tanpa ada pasangan". Aku menyeka air mataku dengan selimut.

"Memangnya siapa yang bilang kamu amuba? Saya ini kan pasanganmu? Suamimu?".

Benar deh, pria yang jadi suamiku kini itu bod*h atau pura-pura bod*h? Katanya seorang manager? Masak kayak gitu saja nggak tau? Bikin kesel saja.

"Hei Tuan, bagaimana saya bisa hamil jika Tuan tak pernah sakalipun menyentuhku? Maksudku melakukan 'itu'? Saya mau hamil sama siapa? Nyamuk?". Ucapku kesal sambil menekan kata 'Tuan'.

Mas Dion mulai berpikir, di tatapnya diriku dengan seksama. Apa dia sudah mengerti maksudku?

"Jadi? Kamu mau kita melakukan 'itu'?". Tanya mas Dion ragu.

Glek.

Aku menelan ludahku. Bagaimana jika dia beneran memintaku untuk melakukannya malam ini? Aku nggak siap. Sampai kapanpun aku nggak akan siap. Aku nggak mau memberikan harta paling berhargaku pada pria yang tak mencintaiku maupun yang tak aku cintai meskipun dia kini telah halal atas tubuhku.

"B-bukan begitu. Saya nggak mau melakukannya karena terpaksa. L-lagi pula saya nggak mencintaimu begitupun sebaliknya. Mending kamu lupakan saja kata-kataku tadi". Aku jadi salah tingkah lalu segera berbalik memunggunginya.

"Bukankah tadi kau memancingku? Apa kau sudah mencintaiku? Kau menginginkannya?".

Terdengar suara langkah ke arahku. Kurasakan kasur sedikit bergerak. Apa dia duduk di sampingku? Aku tidak ingin melihatnya. Mending aku pura-pura tidur.

"Hei, kau menginginkannya? Jujur saja, jangan malu. Bukankah aku juga sudah berhak atas tubuhmu?". Ku rasakan sebuah tangan melingkar di tubuhku. Dia memelukku?

"Kenapa diam saja? Bukankah tadi kau menggodaku?".

Tangan itu berpindah ke rambutku. Kurasakan elusan lembut di kepalaku. T-tidak, aku mohon jangan lakukan itu, batinku menjerit. Aku tidak siap, tanpa aku sadari tubuhku mulai bergetar takut.

"Sudahlah, jangan pernah menggodaku lagi atau kau akan menyesal". Elusan itu telah berhenti, kasur kurasakan bergerak lagi di susul langkah kaki yang menjauh.

Krieet.

Suara pintu di buka, apa dia keluar? A-apa dia marah? Arrgh, kenapa aku malah jadi kepikiran sih?

Aku segera bangkit dari tidurku saat terdengar pintu telah kembali tertutup, dia benar-benar keluar dari kamar ini. Aku duduk termangu. Arrgh, kau benar-benar bodoh Nina. Aku mengacak rambutku frustasi.

Apa dia marah? Kenapa aku jadi takut jika dia marah dan mengacuhkanku? Apa... apa aku sudah mulai jatuh hati padanya? Tidak, tidak mungkin! Kau sudah tidak waras Nina!  

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa jadi madu   11. Kehangatan

    Badanku rasanya lemah lesu, tak ada lagi gairah yang aku rasakan. Rasanya ingin berbaring dan berbaring. Tak ada aktifitas yang bisa aku lakukan selain tiduran dan melamun. Mau main hape pun aku nggak sanggup. Kepalaku masih terasa pusing. Perutku lapar, tapi aku nggak bisa mengambilnya sendiri. Lagian ini baru jam enam pagi, bik Sumi pasti belum masak apalagi mbak Naya masih pergi katanya."Katanya mau buatin aku sup? Tapi kok nggak jadi-jadi?" Batinku kesal. Tubuhku kian meringkuk menahan dingin dan juga lapar. Kemana sebenarnya perginya mas Dion? Tunggu dulu, bukankah bik Sumi jam segini sudah datang? Tapi kenapa mas Dion tidak meminta bantuan bik Sumi buat gantiin bajuku tadi? Jangan-jangan tadi mas Dion cuma modus saja? Arggg, dasar kucing garong!.Ceklek!Suara pintu terbuka, aku segera pura-pura tidur. Suara langkah kaki kian mendekat."Bangun, aku tau kamu cuma pura-pura tidur." Ucap mas Dion terasa dingin. Aku menatap mas Dion kesal, dasar pria br**gs*k. Sok baik tapi tern

  • Terpaksa jadi madu   10. Malam yang suram

    Aku tak bisa tidur, suara itu masih terngiang dalam kepalaku. Seakan terpatri dalam otakku, suara itu enggan pergi meski aku telah berusaha melupakannya."Ada apa dengan diriku? Biasanya aku biasa saja saat mendengar suara itu. Tapi sekarang, kenapa dadaku merasa begitu sesak?"Berbagai pertanyaan mulai memenuhi kepalaku. Bisa gila aku jika kepikiran terus."Apa aku sudah jatuh hati pada mas Dion?"Ah,jangan ngawur kau Nina, dia itu pria beristri! Kau nggak boleh jatuh cinta dengannya."Sadarlah Nina."Aku menggeleng kuat, mungkin otakku sudah konslet atau hatiku lagi eror itu adalah alasan yang paling kuat dan masuk akal yang bisa aku terima.Jam menunjukkan pukul dua dini hari, aku belum bisa tidur juga. Mungkin dengan mencari udara segar aku bisa berpikir jernih. Dengan langkah terjingkat dan hati-hati aku menuruni tangga, tak lupa aku menyumpal telingaku dengan earphone dan menyalakan musik dengan keras agar tak mendengar suara aneh itu lagi.Ceklek!Aku harus membuka pintu dengan

  • Terpaksa jadi madu   9. Bulan madu

    "Ma, N-Naya minta uang belanja lagi ya?". Pinta mbak Naya takut-takut.Aku mengernyit. Bukankah baru tadi pagi mama memberikan mbak Naya uang belanja? Masa uang tiga juta dalam kurun setengah hari sudah habis? Sebenarnya kemana perginya uang itu?Prank.Mama membanting sendok dengan keras. Mama memandang mbak Naya sengit. "Uang? Uang apa hah? Bukannya baru tadi pagi mama kasih? Mau korupsi kamu?". Tanya mama penuh emosi."Hei, kamu itu jangan boros jadi istri. Sudah mandul, tidak pintar ngatur uang suami lagi. Bisanya jadi benalu". Ucap mama sinis."Ma". Mas Dion menginterupsi.Aku memandang iba mbak Naya. Mbak Naya menunduk takut, mbak pakai buat apa uang itu, mbak?, batinku bertanya-tanya. "Apa? Kamu mau membela istri mandulmu itu? Harusnya kamu ceraikan saja dia, Dion. Dasar benalu". "Ma, cukup. Bisa nggak sih ma, satu hari saja nggak ribut sama istri Dion? Naya itu mantu mama, istri aku ma".Mas Dion mengambil napas lelah. Mas Dion memijat keningnya, sepertinya dia lelah mende

  • Terpaksa jadi madu   8. Saudara?

    Pagi ini aku tidak melihat mas Dion dimana-mana. Apa dia masih marah? Tapi itu kan bukan semuanya salahku. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."Dion mana Nin?". Tanya mama saat tak mendapati anaknya sarapan bersama.Kadang wanita yang berstatus mertuaku itu bisa berkata lembut dan sopan tapi jika sudah keluar julidnya galaknya minta ampun."Nggak tau ma, dari tadi aku nggak lihat mas Dion". Jawabku pura-pura cuek tentang keberadaan mas Dion."Mas Dion sudah pergi ke kantor ma, ada urusan katanya". Ucap mbak Naya datar."Oh, ya sudah. Ini uang buat belanja bulan ini. Ingat jangan boros". Mama menyerahkan beberapa lembar uang warna merah. Mungkin kalau di total dua atau tiga jutaan mungkin?"Iya ma". Mbak Naya menyimpan uang itu di kantong gamis yang di pakainya. "Mama mau pergi arisan dulu, nanti kalau mbok Sumi datang, bilang saja gajinya mama transfer nanti siang". Ucap mama lalu pergi meninggalkan ruang makan.Aku segera mendekati mbak Naya kepo. Masa sih uang bulanan mama yang k

  • Terpaksa jadi madu   7. malam pertama

    Huufft. Aku benar-benar gedek sama mas Dion. Sudah dua minggu kita menikah tapi dia nggak pernah satu kali pun berniat menyentuhku. Bukan aku mengharapkannya tapi nanti nenek lampir itu pasti akan menggunjingku pada tetangga bahwa aku tak ada bedanya sama mbak Naya.Setiap malam gilirannya tidur di kamarku, mas Dion pasti lebih memilih tidur di sofa dan sibuk dengan ponselnya, seperti malam ini."Apa hapemu itu lebih menggoda dari pada saya?". Tanyaku mencoba memancing reaksinya."Kenapa? Kamu cemburu? Jangan pernah berfikir untuk mencintaiku karena cintaku hanya untuk istriku seorang, Kanaya". Dia menjawab sambil tetap fokus pada ponselnya."Kalau begitu, saya ini bukan istrimu? Lalu kenapa kamu nggak menceraikan saya?". Aku menutup tubuhku yang mulai terasa dingin dengan selimut hingga sebatas leher. Kenapa orang itu bisa betah dengan suhu ruangan yang dingin seperti ini? Kalau aku naikin suhu ac nya dia pasti akan ngedumel nggak jelas. "Kamu tetap istriku tapi hanya sebatas di ata

  • Terpaksa jadi madu   6. cemburu

    "Sedang masak apa mbak?". Tanyaku menghampiri wanita berhijab yang tengah berjibaku dengan alat-alat dapur."Bukan urusan kamu, sudah pergi sana. Jangan menggangguku". "Oh, sedang goreng ayam ya?". Aku melongok wajan di hadapannya. Minyak mendidih itu telah membuat ayam yang di rendamnya berubah kecoklatan."Capcai juga?". Aku melirik piring dengan capcai yang sudah siap saji. "Mau apa kamu?". Mbak Naya menghentikanku membuka kulkas berisi sayuran."Oh? Mau masak kangkung mbak, saya lagi kepingin soalnya". Aku mengambil satu ikat kangkung dan mencucinya."Kan sudah ada capcai, jangan mubazir makanan". Ucapnya dengan nada tidak suka."Tidak akan mubazir mbak, kalau mbak nggak mau masih ada orang lain yang akan memakannya. Kalau semua orang di rumah ini tidak mau biar saya yang menghabiskannya". Ucapku sambil menyiapkan bumbu. Lagian sudah tiga hari aku disini, aku jadi kangen kampung halaman. Biasanya aku sering masak kangkung yang di petik dari kebun sendiri jika tidak ada lauk buat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status