Ruang sidang kembali dipenuhi sorot kamera. Suara kursi berderit, bisik-bisik memenuhi udara seperti dengung lebah. Adrian berdiri di meja penggugat, map hitamnya terbuka, kemeja putihnya basah oleh keringat meski pendingin ruangan bekerja. Di sampingnya, Callista duduk dengan tubuh kaku. Wajahnya pucat, matanya sembab. Bramanta tegak di sisi lain, sedangkan Guntur duduk di bangku belakang dengan wajah menegang.
Hakim mengetuk palu. “Kita lanjutkan persidangan.”Amelia berdiri, tubuhnya berbalut gaun gelap yang memantulkan cahaya lampu. Senyum tipis menghiasi bibirnya. “Yang Mulia, saya ingin menambahkan saksi baru. Seorang rekan lama yang akan menunjukkan siapa Adrian sebenarnya.”Bisik-bisik pecah. Seorang pria paruh baya melangkah masuk, berjas abu-abu, wajahnya penuh percaya diri. Ia duduk di kursi saksi, mengangkat tangan untuk bersumpah.“Sebutkan nama Anda,” kata hakim.“Nama saya Damar, mantan rekan bisnis Adrian,” jawabnya.<Callista sedang duduk di sofa, Elara di pangkuannya, sementara Adrian duduk di sebelah, memperhatikan dengan sorot mata lembut tapi protektif. Suara tawa kecil Elara mengisi ruang tamu, membuat semua kekhawatiran lenyap sejenak.“Kau lihat, Adrian? Dia mulai tersenyum saat melihat mainannya sendiri,” ucap Callista, matanya berbinar.Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum tipis, lalu membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Ayah di sini, nak. Kau aman. Kau bisa mencoba apa pun.”Elara menggerakkan tangannya mungil, seolah menyadari kehadiran ayahnya. Callista menatap mereka berdua, hatinya hangat. “Adrian… kau terlalu protektif. Tapi aku harus mengakui… aku senang melihatmu begitu peduli.”Adrian tersenyum, mengecup pipi Callista singkat. “Aku tahu… tapi aku tidak bisa berhenti. Aku mencintai kalian berdua terlalu banyak.”**Pagi itu, suara ketukan di pintu terdengar. Callista bangkit dan membuka pintu, mendapati tetangga m
Callista duduk di sofa dengan Elara di pangkuannya, sementara Adrian menata mainan di lantai. Matanya terus mengawasi bayi kecil mereka, sorotnya lembut tapi protektif.“Adrian… lihat dia mencoba meraih mainan itu,” ucap Callista sambil tersenyum lembut. “Dia begitu cepat belajar.”Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum, lalu membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Lihat, nak… ayah di sini. Kau bisa melakukan apa saja. Ayah akan selalu ada untukmu.”Elara menggerakkan tangannya kecil, seolah menyadari kehadiran ayahnya. Callista menatap mereka berdua, hatinya hangat. “Adrian… kau terlalu protektif. Aku yakin dia bisa belajar sendiri, tapi kau membuat segalanya lebih aman.”Adrian tersenyum tipis, mengecup pipi Callista. “Aku tahu… tapi aku tidak bisa berhenti. Aku mencintai kalian berdua terlalu banyak untuk membiarkan sesuatu terjadi.”**Tiba-tiba, suara ketukan di pintu terdengar. Callista bangkit dan membuka pintu, men
Suara tangisan kecil Elara menggema di ruang tamu. Callista buru-buru bangkit dari sofa, menggendong bayi mereka dengan lembut. Adrian yang sedang menyusun buku di rak segera berdiri, matanya tajam tapi lembut menatap mereka.“Ada apa, Callista? Dia rewel?” Adrian mencondongkan tubuh, mencoba mengambil Elara.Callista menggeleng, tersenyum lelah. “Hanya sedikit lapar. Aku sudah menyiapkan susu, tapi aku rasa dia ingin ayahnya saja.”Adrian tersenyum, menunduk dan membisikkan kata-kata lembut ke telinga Elara. “Ayah di sini, nak. Tidak ada yang perlu ditakutkan.” Elara menggerakkan tangan mungilnya seolah mengenal suara ayahnya.Callista menatap Adrian, senyum hangat menghiasi wajahnya. “Kau terlalu protektif. Kau tahu, aku juga bisa menenangkannya.”Adrian menepuk bahu Callista, senyum nakal menghiasi wajahnya. “Aku tahu… tapi aku tetap ingin memastikan tidak ada yang salah. Kau tahu aku tidak bisa membiarkan siapa pun mengganggu kalian b
Suara tawa Elara kembali memenuhi rumah kecil mereka. Bayi mungil itu menggeliat di pangkuan Callista, matanya mengikuti gerakan Adrian yang sibuk menata perlengkapan bayi di lemari. Adrian mencondongkan tubuh, tersenyum, lalu menyentuh tangan mungil Elara dengan lembut.“Kau tahu, Elara… ayah selalu mengawasi kalian. Tidak ada yang bisa memisahkan kita,” ucap Adrian lembut, sorot matanya penuh kasih sayang.Callista menatap Adrian, senyum lembut menghiasi bibirnya. “Aku merasa aman karena kau selalu ada di sini. Bahkan saat aku kelelahan karena merawat Elara, melihatmu membuatku merasa kuat.”Adrian mencondongkan tubuh, mengecup keningnya lembut. “Aku berjanji… kita akan melewati semua ini bersama, apa pun yang terjadi.”**Hari itu, rumah mereka kedatangan tamu: ibu Adrian dan bibinya yang ingin melihat Elara. Adrian segera berdiri, menata posisi duduk mereka, memastikan semuanya rapi. Callista menahan senyum, menatap Adrian yang terlih
Suara tawa kecil Elara memenuhi rumah mereka. Bayi mungil itu menggeliat di pangkuan Callista, matanya mengikuti gerakan ayahnya yang sibuk menata mainan dan baju bayi. Adrian menunduk, tersenyum lebar, dan menyentuh tangan mungil Elara dengan lembut.“Kau tahu, Elara… ayah akan selalu ada di sini. Tidak ada yang akan memisahkan kita,” ucap Adrian pelan, suaranya penuh kasih sayang.Callista menatapnya, senyum lembut menghiasi bibirnya. “Aku merasa aman karena kau selalu di sini. Setiap detik, setiap senyumanmu membuatku merasa dicintai dan terlindungi.”Adrian mencondongkan tubuh, mengecup keningnya lembut. “Aku berjanji… kita akan melewati semua ini bersama, apa pun yang terjadi.”**Elara mulai bergerak, tangan mungilnya meraih wajah Adrian. Ia menatap bayi mereka, hati dipenuhi rasa kagum. “Lihat… dia sudah mengenal ayahnya. Kau pasti akan menjadi ayah yang hebat,” bisik Callista sambil tersenyum.Adrian menatap Callista, sor
Rumah kecil mereka terasa hidup dengan kehadiran Elara. Suara napas halus bayi itu, ditambah tawa pelan Callista dan gumaman Adrian membuat suasana hangat dan penuh cinta. Adrian berjalan mengelilingi ruang tamu sambil membawa keranjang baju bayi, sesekali menatap Elara yang tertidur nyenyak di pangkuan Callista. “Kau tahu, aku tidak pernah menyangka akan menjadi ayah secepat ini,” ucap Adrian, menunduk melihat bayi mungil itu. “Dan aku juga tidak pernah menyangka aku bisa begitu… mencintai seseorang lebih dari dirimu, Callista.” Callista menatapnya, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Adrian… kau selalu berhasil membuatku tersenyum. Bahkan saat aku kelelahan karena Elara, melihatmu di sini membuatku merasa kuat.” Adrian mencondongkan tubuh, mengecup keningnya lembut. “Itu karena aku di sini, selalu. Dan aku tidak akan pergi. Kita akan melewati semua ini bersama.” ** Elara menggerakkan tangan mungilnya, menatap