Binar tak tahu sejak kapan semuanya mulai berubah.
Dante masihlah pria dingin dan mengintimidasi, tapi terkadang ... perlakuan lembutnya kembali mengingatkan pada masa kecil mereka yang damai. Pria itu masih mengingat makanan apa yang ia sukai dan ia benci. Menyiapkan segala keperluannya, meski ia tak diperbolehkan keluar dari rumah. Dante juga selalu membasuh tubuhnya ketika Binar sudah terkapar tak berdaya karena sentuhannya. Namun, masalah sebenarnya datang dari Valeria yang terus-terusan datang ke rumah dan mengacaukan semuanya. Sikap Dante yang tak pernah menjawab ketika Binar mempertanyakan hubungan keduanya, semakin membuatnya kesal dan jengkel. --- Binar merapatkan jari-jarinya yang terasa dingin sambil menyesap teh hangat di balkon kamarnya. Ia sendirian. Diana pamit entah kemana setelah mengantarkan teh untuknya. Tak lama kemudian, tatapannya tertuju pada Adrian yang berdiri di depan pintu kamar. Laki-laki aneh yang nyaris tak pernah mengangkat wajahnya di hadapan Binar. Karena penasaran, Binar menghampiri Adrian dengan secangkir teh di tangannya. "Adrian," panggilnya pelan. Adrian tak bereaksi. Hanya mengangguk tanpa mengangkat pandangannya. Binar mencondongkan tubuhnya sedikit. "Aku ingin bertanya sesuatu." Pria itu akhirnya menoleh, tapi masih dengan ekspresi netral. "Kau sudah lama bekerja di sini?" Adrian terdiam beberapa saat, lalu mengangguk. Binar menatapnya, merasa makin penasaran. "Rumah ini besar sekali. Apa ada bagian yang menarik?" Adrian menatapnya sekilas, sebelum akhirnya berkata, "Perpustakaan di lantai dua cukup mengesankan." Binar tersenyum kecil. Akhirnya, Adrian berbicara. "Benarkah? Aku belum ke sana," katanya ringan. "Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu? Selama ini kau hanya menunduk jika berhadapan denganku. Itu selalu membuatku bertanya-tanya." Binar bisa melihat tubuh Adrian menegang ketika ia mengatakan hal itu. Ada apa sebenarnya? Sebelum Binar kembali melontarkan pertanyaan, suara langkah panjang bergema dari ujung lorong. Ia semakin heran dengan tingkah Adrian yang aneh. Begitu Binar menoleh kebelakang, Dante telah berdiri tak jauh darinya. Matanya gelap dan tajam, menusuk ke arah Adrian. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Dante dengan dingin dan berbahaya. Binar merasa tertekan untuk suatu hal. Sorot mata Dante kali ini benar-benar gelap dan mengerikan, membuatnya mundur selangkah tanpa sadar. Namun, Binar tau ... pertanyaan dan tatapan gelap itu bukan tertuju untuknya, tapi untuk Adrian. "A-aku hanya mengajaknya bicara," jawab Binar gugup, padahal ia tak merasa membuat kesalahan. Dante hanya diam, mendekat dengan aura mencekam. Yang mengagetkan, saat Adrian bersimpuh seakan menanti hukuman ... tapi kesalahan apa yang telah ia perbuat? DOR Binar berteriak kala suara letupan pistol yang memekakkan telinga mengalun di udara. Ia kembali menjerit melihat Adrian tergeletak di lantai dengan lubang menganga di dahinya, mengeluarkan cairan merah pekat yang membanjiri lantai koridor. "APA YANG KAU LAKUKAN?!" teriak Binar menyadari bahwa Dante lah yang telah membunuh Adrian. "Itu hukuman untuknya," jawab Dante dingin. Tubuh Binar ambruk karena syok hebat. Dengan gemetaran, ia berusaha menahan isak tangis. Dante hanya menatapnya dengan ekspresi datar. Seolah yang baru saja ia lakukan bukanlah apa-apa. "Kenapa ...?" tanya Binar dengan suara bergetar. Dante mendekatinya, menatapnya dari atas. "Aku tidak suka kau berbicara dengan pria lain," ucapnya tenang padahal ia telah merenggut satu nyawa. Binar ingin menamparnya, tapi tubuhnya terlalu lemas. "Kau gila," bisiknya tanpa daya. Dante berjongkok dan mencengkeram dagu Binar dengan keras. "Ingat, Binar. Aku tak suka berbagi. Bahkan jika itu senyum mu. Kau. Milikku," tekannya kuat. Binar menatap manik gelap itu ketakutan. Dante bukan hanya sekedar pria dingin posesif yang dominan ... dia berbahaya. Sorot mata Dante yang biasanya dingin tak terjamah nampak kosong. Binar bisa melihatnya, ia bisa merasakan ada yang berbeda dari Dante kali ini. Jari-jari Dante yang tadi mencengkeram dagu Binar kini beralih ke lehernya, sedikit menekan untuk memperingatkan Binar, kalau ia juga bisa mengakhiri hidupnya jika ia mau. Dan itu berhasil membuat air mata Binar jatuh terurai. "Aku tidak suka kau berbicara dengan pria lain," temannya lagi, tapi kali ini ia lebih tenang. "Kau ... sudah membunuhnya ...," bisik Binar ditengah isak tangisnya. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dante tidak menyangkal. Ia hanya mengembuskan napas panjang, lalu membelai pipi Binar, menghapus air matanya dengan lembut. "Aku tidak bisa kehilanganmu." Binar terkejut. Itu pertama kalinya Dante berbicara dengan nada yang ... rapuh? "Aku tak bisa kehilanganmu, setelah semua yang ku alami. Jika kau terus memberontak, aku sudah menyiapkan dia peti mati untuk kita berdua," ucap Dante serius. "Kau monster ...," gumam Binar pelan. Pria di depannya ini memang sakit jiwa. Dante menutup matanya sesaat, seolah kalimat itu menyakitinya. Namun, saat mata itu kembali terbuka ... hanya ada lubang tak berujung yang bisa Binar lihat di dalamnya. "Ya," bisiknya. "Dan hanya kau yang bisa menjinakkan monster ini." Dante bangkit perlahan, membuang pistolnya ke sembarang tempat. Matanya melirik Matthias yang berdiri tegap di sudut ruangan. Mengamati segalanya dalam diam. "Urus dia," perintah Dante sebelum pergi. Sebelum benar-benar pergi, Dante berhenti sejenak. "Diam dan patuh lah! Dan aku akan memberikan segalanya untukmu." Binar kembali menutup mulutnya, menahan isak tangis setelah Dante pergi. Dante bilang agar dia patuh? Tidak! Binar akan keluar dari rumah ini, sebelum Dante menghancurkan hidupnya. --- Dante mengerang di ruangan kerjanya yang gelap gulita. Wajahnya masih menger dengan urat-urat menonjol di lehernya. Tampak gelap dan mengerikan. Matthias bahkan memilih menepi, tak ingin mengganggu. Pria itu teringat masa kecilnya ... masa dimana semua baik-baik saja saat Binar masuk ke kehidupannya. Binar kecil yang manis datang bak cahaya di dunia Dante yang kelabu. Ia ingat betul hari pertama agdis kecil itu datang ke panti asuhan, matanya yang sembab ... tubuh kurus ... wajah pucat dan kusam .... Sasaran empuk anak-anak lain yang sok jagoan. Namun, bagi Dante ... Binar itu istimewa. Seseorang yang lebih rapuh darinya. Maka, ketika anak-anak lain mulai membulinya, Dante tak tinggal diam. Walau dulu tubuhnya kurus, ia sanggup mengalahkan mereka yang lebih besar darinya. Ditambah aura Dante dulunya yang terlihat menyeramkan dan suka menyendiri. Dengan begitu, tak ada lagi yang berani mendekati mereka. Dante memeluk Binar, memberinya perlindungan dan kasih sayang. Sejak saat itu, Binar selalu bersamanya. Dante juga selalu membacakan dongeng dan memeluknya ketika Binar kembali mendapatkan mimpi buruk. Dante bak kakak penyayang yang selalu mengusahakan segala hal agar Binar tersenyum. “Kamu manis seperti boneka,” kata Dante suatu hari, ketika mereka berdua duduk di bawah pohon di halaman belakang panti. "Benarkah?" Binar menatapnya dengan mata besar yang penuh harapan. Dante mengangguk. "Mulai sekarang namamu Binar Jelita. Karena kamu cantik dan bercahaya." "Namanya cantik, aku suka!" Itulah pertama kalinya Dante melihat Binar tersenyum lebar. Dan untuk pertama kalinya ... hati Dante yang telah lama dingin kembali hangat. Namun ... kebahagiaan itu hancur dalam sekejap. Suatu hari, Ibu panti memberitahu kalau Binar akan diadopsi. Dante langsug menentang keras. "Binar tak boleh pergi!" bentaknya dengan suara keras. "Aku yang akan menjaganya! Kalian tak bisa memisahkan kami!" geramnya marah. Meski Ibu panti sedikit ketakutan, ia hanya tersenyum lembut, mencoba memberi pengertian Dante-remaja yang cenderung impulsif. "Ini untuk kebaikannya, Dante." Kebaikan macam apa yang memisahkan mereka?! Sepanjang malam Dante meringkuk di sudut kamar dengan tubuh bergetar. Kepalan tangannya berdarah akibat menghantam pohon beberapa kali. Ia hanya bisa memandang wajah Binar yang tertidur pulas dengan matanya yang memerah. Ia tak akan membiarkan Binar pergi. Namun, keesokan harinya dante kecolongan. Binar telah pergi. Tanpa pamit padanya. Meninggalkannya terpuruk sendirian sementara Binar bahagia bersama keluarga barunya. Hanya kalung perak dengan liontin kecil berbentuk bulan sabit milik Binar yang ia titipkan lewat Ibu panti. Dante diam. Tangannya gemetar saat ia menggenggam kalung itu, lalu ia mengangkat kepalanya—matanya merah karena marah. "Kenapa kamu pergi?" Dante menggenggam kalung itu dengan erat, dan merasakan sesuatu dalam dirinya hancur. Untuk pertama kalinya sejak ibunya meninggal, Dante menangis. Binar telah meninggalkannya. Setelah apa yang ia lakukan, gadis itu berani meninggalkannya! Mata Dante memerah, berkilat tajam ke arah gerbang panti yang terbuka lebar. Menciptakan gelombang kebencian mengalir di dalam nadinya. "Kau milikku! Dan selamanya akan selalu begitu." Sejak saat itu, perasaan di hatinya berubah. Cinta yang tulus perlahan menghitam menjadi sesuatu yang lain. Kebencian. Obsesinya pada Binar menjadi racun yang merayap di nadinya. Kala itu, Dante tak sempat lama meratap. Beberapa bulan setelahnya, kakeknya datang menjemputnya. Pria tua itu menatapnya dengan mata dingin, lalu mengumumkan bahwa ayahnya, ibu tirinya, dan saudara tirinya telah meninggal dalam kecelakaan. Tak ada lagi penerus keluarga, selain Dante. Sejak itu, Dante remaja dilempar ke dalam dunia yang lebih gelap dari yang ia kenal selama ini. Dante dipaksa untuk bertahan, dipukuli hingga tubuhnya penuh luka, dilatih hingga ambang batasnya. Ia belajar bahwa jika ia ingin bertahan hidup, ia harus menjadi yang terkuat. Harus membunuh sebelum dibunuh. Harus menguasai sebelum dikuasai. Dan ia bertahan. Dante yang kecil dan lemah telah mati. Yang tersisa hanyalah seorang pria dingin, bengis, dan kejam—seorang pemimpin Daggers Pact yang tak akan membiarkan siapa pun menyentuh apa yang menjadi miliknya. Terutama Binar. Karena sekarang, gadis itu bukan hanya seseorang yang ia inginkan. Ia adalah sesuatu yang harus ia miliki. Sesuatu yang harus kembali padanya. Suka atau tidak.Binar berdiri diam di ambang pintu kaca, memandangi taman kecil di halaman belakang DAnte yang luas-hasil karyanya sendiri. Lama, Binar tampak merenungkan sesuatu. Ia merapatkan sweaternya saat angin dingin mulai terasa di kulitnya. Dante menutup laptopnya, mendapati Binar hanyut dalam lamunan. Pria mempesona itu bangkit, menggulung kemeja hitamnya hingga siku, memperlihatkan urat-urat menonjol di lengannya yang terkena cahaya lampu. “Sudah malam,” kata Dante akhirnya. Binar menoleh pelan, “Aku suka melihatnya.” Dante sedikit mendengus. Ia bangkit dan mendekati Binar, meligkarkan tangan besarnya di pinggang Binar yang mungil. Menyalurkan hangat tubuhnya pada wanita keras kepala yang sayangnya ia cintai. "Jangan di luar terlalu lama," ucap Dante tepat di lekuk leher Binar dengan suara rendah. “Kau mudah masuk angin.” “Dante ...,” bisik Binar, jari-jarinya menyentuh lengan suaminya. “Kau ... tak marah lagi?” tanyanya ragu. Dante membuang pandangannya sebentar, “Tidak lagi.” Tan
Binar terbangun dan menemukan kalau ia tengah sendirian. Ruangan itu terlalu sunyi, padahal semalam begitu berisik diisi oleh jeritan saat mereka bercumbu. Kasur di sebelahnya dingin, menandakan Dante telah pergi lama. Jemari Binar meraba pelan dan menatap bantal Dante kosong. Binar akhirnya menarik nafas panjang. Tubuhnya masih terasa berat akibat sisa semalam. Dante benar-benar tak menahan diri. Saat Binar menggulingkan badan, ia menemukan secarik kertas yang dilipat rapi tergeletak di atas nakas, beserta muffin dan termos kecil berisi coklat panas. "Ada urusan. Aku akan pulang sebelum senja. —D" Kalimatnya masih terdengar seperti perintah, tapi kali ini ... ada jeda. Ada janji di sana. Senyum Binar terbit begitu saja. Ia tahu betapa keras usaha Dante untuk menahan sisi gelapnya akhir-akhir ini. Bahkan, melihat tulisan "Aku akan pulang" saja membuat dadanya berdebar. Ia menatap ke luar jendela, mendapati sinar matahari yang meninggi. “Pulanglah. Aku di sini ... menunggumu,"
Pernyataan Dante membuatnya gemetar sesaat, tapi ia bisa menguasai dirinya dengan baik setelahnya.Dante benar. Dia sudah hidup lama dengan identitas 'Binar Jelita'. Meskipun kini ingatannya kembali, itu tak merubah apapun kecuali rasa sakit akibat trauma yang tercipta. Binar bergerak memeluk Dante, menyandarkan dagunya di bahu keras yang kini menjadi penopangnya. "Kau benar, Dante. Aku adalah Binar Jelita ... bukan Binar Veyra."Dante tak bereaksi lebih, tapi ia membalas pelukannya dengan erat. Ingin menunjukkan pada dunia kalau Binar adalah miliknya. Sejak dulu ... dan seterusnya. Binar mencoba mengenyahkan bayangan menyakitkan yang ia alami dulu. Ruangan putih yang dingin, jarum menusuk tubuhnya di beberapa titik, dan wajah dingin pria tua yang kini ia tahu sebagai kakek Dante. Seseorang yang mengklaim Binar tak layak menyimpan memori masa lalu untuk menghindari hal-hal merepotkan nantinya. "Aku ingat semuanya," ucap Binar lirih, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Dante.
Asap dan bara api adalah hal pertama yang menyambut kedatangan Binar dan Matthias. Binar hampir saja lepas kendali sebelum tangan besar Matthias menggandengnya erat. "Jangan gegabah," peringat Matthias tegas. Pria itu hanya khawatir dengan keselamatan Binar. Akhirnya, Binar mengikuti langkah Matthias dalam diam, menyelinap di antara pecahan kaca dan puing bangunan. Dari sini, Binar dapat melihat Dante berdiri tegak, meski kemejanya telah terbuka memperlihatkan dadanya yang bidang. Sorot mata Dante nampak berbahaya ditambah darah yang menghiasi tiap sudut tubuhnya. Menandakan betapa brutalnya pertarungan keduanya. "Dante ...," lirih Binar ketakutan. Vincent meski tampilannya lebih buruk dari Dante, dia terus terbahak di setiap pukulan yang Dante layangkan padanya. Seolah menikmati rasa sakit. Kemudian, suasana tambah kacau saat terdengar tembakan dari belakang, tempat Vincent berdiri. Seorang pria paruh baya mendekat ke arah Vincent, diikuti pria tinggi kekar dibalut tux
Binar menatap lantai kamar dengan rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Di lantai itu, kedua orang tuanya terbaring. Di genangan Darah sementara Binar menyaksikan semuanya dari balik lemari. Kini, Binar terpekur menatap noda bekas darah yang masih terlihat di sana. Dan suara kejadian itu menggema di telinganya. “Aku ingat mereka bilang … kalian lalai.” "Kalian gagal melindungi pewaris." Air mata Binar jatuh semakin deras seiring ingatan yang membanjiri kepalanya. "Tapi... haruskah kalian dihukum? Dan meninggalkan aku sendirian?" Binar menggigit bibir. Teringat akan mimpi-mimpi panjang yang ia lewati tiap malam. Melihat noda darah di lantai itu kembali, hatinya terasa remuk. Memang sudah pudar ... tapi Binar masih ingat jelas memorinya. Bekas tubuh Ayah dan ibunya yang berada di genangan merah. Dan di sudut kamar, ada lemari kecil yang berdiri kokoh. Lemari tempat Binar sembunyi malam itu. Tempat ia memeluk lututnya yang gemetar dan menutup mulut agar tak menangi
Telinga Binar terasa berdenging, tak mampu mencerna apapun. Ia melihat bayangan kabur dua sosok pria yang berdiri tegap dengan aura permusuhan yang pekat. Namun begitu, Binar berusaha bangkit meski nafasnya berat dan tubuhnya terasa sakit tiap tarikan nafasnya. Lalu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Tegas. Ringan. Cepat dan tak ragu. Binar menoleh perlahan dan mencelos saat melihat sosok yang kini terlihat berbeda di matanya sejak ingatannya kembali. Matthias. Pria itu muncul dari balik reruntuhan kaca yang berserakan. Mengenakan pakaian serba hitam memimpin beberapa orang untuk membantu Dante. Matthias menghentikan langkahnya tepat dua meter di depan Binar. Tak berani mendekat. Namun, matanya tetap menuju ke arah Binar seolah memastikan apakah ia baik-baik saja. Namun, sebelum Binar sempat bicara... tatapan kelam itu bergeser ke arah Dante yang makin mengeluarkan aura gelap. Dante mengabaikan darah yang mengalir di pelipisnya, menggenggam erat kedua pistol di tan
"Veyra?" Saat mendengar nama itu, dada Binar seolah terhimpit batu besar. Familiar, tapi terasa asing. Bibir Vincent menyeringai. "Kau ingat? Binar ... Veyra?" Binar menegang. Matanya membulat dengan napas tercekat. Ia mendengar suara jeritan nyaring yang kian menggema di kepalanya. “Tidak ... aku bukan ... siapa Veyra ...?” bisik Binar pelan, nyaris seperti anak kecil yang tersesat. Namun pikirannya meledak. Sebuah bayangan bak kaset film yang diputar cepat menghantamnya. Seperti seberkas cahaya merah yang tiba-tiba melintas di benaknya. Sebuah laboratorium. Cermin-cermin. Suara seorang pria yang ia pangggil 'ayah' dan wanita muda yang ia panggil 'ibu'. Lalu... tangan kecilnya yang berlumuran darah. memegang erat boneka beruang, menangis terisak mengintip kedua tubuh mereka terbujur kaku di tengah genangan cairan merah. Tak bernyawa. Akhirnya, meledak! Tubuh Binar limbung. Ia mencengkeram kepalanya, merasakan nyeri yang amat sangat. Kemudian ... matanya mengabur.
Sementara itu, di aula utama ... Dante berdiri di tengah kehancuran. Pecahan vas berserakan. Darah menetes dari bibir dan pelipisnya, tapi senyum dingin mengunci wajahnya. Saat Dante mengangkat kepala, ia menatap Vincent tanpa gentar. "Ini rumahku, Vincent," gumam Dante, suaranya berat. "Dan kau baru saja menandatangani surat kematianmu." Vincent terkekeh pendek. "Aku belum selesai." "Tidak," sahut Dante pelan, langkahnya maju satu-satu. "Yang selesai di sini adalah kau." Dalam sekejap, dua bayangan bertabrakan. Pertarungan tanpa belas kasihan dimulai. Bukan sekadar perkelahian. Ini pertarungan dua monster yang saling menghancurkan. Di kejauhan, suara Binar terputus-putus dalam pikirannya. Meskipun dalam keadaan linglung, ia tetap memaksakan langkah untuk terus berlari. Ia merasa dejavu. banyak darah, suara ledakan, membayangi setiap langkahnya. Binar jatuh tertelungkup, kepalanya nyeri hebat. "Apa itu tadi?" Ingatannya tumpang tindih dengan realita. Binar hanya mampu
Mimpi itu datang lagi. Darah. Tubuh-tubuh yang membujur kaku. Dan ada satu wajah yang mulai Binar sadari kehadirannya-Matthias. Dengan tubuh lebih muda, memegang pergelangan tangannya. Binar terbangun dengan napas memburu. Tangannya mencengkeram seprai erat, tubuhnya banjir keringat dingin. Saat ia berusaha mencerna segalanya, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Hampir bersamaan, suara Matthias mengikutinya. "Binar ... kau baik-baik saja?" Hanya itu, biasanya Matthias akan langsung masuk untuk mengecek keadaannya, tapi kini pria itu mulai menjauh. Binar menelan ludah getir. Ia ingin meluapkan semua pertanyaan, kemarahan, dan ketakutan yang mencokol di tenggorokannya. "Aku harus mendapatkan jawabannya kali ini." Binar bangkit dengan cepat dan membuka pintu, hanya untuk menemukan punggung Matthias yang menghadapnya. Pria itu berdiri beberapa langkah jauhnya, tak berani mendekat. "Matthias," panggil Binar dengan suara pecah dan lirih. "Aku ... aku perlu bicara."