Share

4. Kecemburuan Dante

Author: Nalla Ela
last update Last Updated: 2025-02-24 21:22:41

Binar tak tahu sejak kapan semuanya mulai berubah.

Dante masihlah pria dingin dan mengintimidasi, tapi terkadang ... perlakuan lembutnya kembali mengingatkan pada masa kecil mereka yang damai.

Pria itu masih mengingat makanan apa yang ia sukai dan ia benci. Menyiapkan segala keperluannya, meski ia tak diperbolehkan keluar dari rumah. Dante juga selalu membasuh tubuhnya ketika Binar sudah terkapar tak berdaya karena sentuhannya.

Namun, masalah sebenarnya datang dari Valeria yang terus-terusan datang ke rumah dan mengacaukan semuanya.

Sikap Dante yang tak pernah menjawab ketika Binar mempertanyakan hubungan keduanya, semakin membuatnya kesal dan jengkel.

---

Binar merapatkan jari-jarinya yang terasa dingin sambil menyesap teh hangat di balkon kamarnya. Ia sendirian. Diana pamit entah kemana setelah mengantarkan teh untuknya.

Tak lama kemudian, tatapannya tertuju pada Adrian yang berdiri di depan pintu kamar. Laki-laki aneh yang nyaris tak pernah mengangkat wajahnya di hadapan Binar.

Karena penasaran, Binar menghampiri Adrian dengan secangkir teh di tangannya. "Adrian," panggilnya pelan.

Adrian tak bereaksi. Hanya mengangguk tanpa mengangkat pandangannya.

Binar mencondongkan tubuhnya sedikit. "Aku ingin bertanya sesuatu."

Pria itu akhirnya menoleh, tapi masih dengan ekspresi netral.

"Kau sudah lama bekerja di sini?"

Adrian terdiam beberapa saat, lalu mengangguk.

Binar menatapnya, merasa makin penasaran. "Rumah ini besar sekali. Apa ada bagian yang menarik?"

Adrian menatapnya sekilas, sebelum akhirnya berkata, "Perpustakaan di lantai dua cukup mengesankan."

Binar tersenyum kecil. Akhirnya, Adrian berbicara.

"Benarkah? Aku belum ke sana," katanya ringan. "Lalu, bagaimana dengan pekerjaanmu? Selama ini kau hanya menunduk jika berhadapan denganku. Itu selalu membuatku bertanya-tanya."

Binar bisa melihat tubuh Adrian menegang ketika ia mengatakan hal itu. Ada apa sebenarnya?

Sebelum Binar kembali melontarkan pertanyaan, suara langkah panjang bergema dari ujung lorong. Ia semakin heran dengan tingkah Adrian yang aneh.

Begitu Binar menoleh kebelakang, Dante telah berdiri tak jauh darinya.

Matanya gelap dan tajam, menusuk ke arah Adrian.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Dante dengan dingin dan berbahaya.

Binar merasa tertekan untuk suatu hal. Sorot mata Dante kali ini benar-benar gelap dan mengerikan, membuatnya mundur selangkah tanpa sadar.

Namun, Binar tau ... pertanyaan dan tatapan gelap itu bukan tertuju untuknya, tapi untuk Adrian.

"A-aku hanya mengajaknya bicara," jawab Binar gugup, padahal ia tak merasa membuat kesalahan.

Dante hanya diam, mendekat dengan aura mencekam.

Yang mengagetkan, saat Adrian bersimpuh seakan menanti hukuman ... tapi kesalahan apa yang telah ia perbuat?

DOR

Binar berteriak kala suara letupan pistol yang memekakkan telinga mengalun di udara. Ia kembali menjerit melihat Adrian tergeletak di lantai dengan lubang menganga di dahinya, mengeluarkan cairan merah pekat yang membanjiri lantai koridor.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!" teriak Binar menyadari bahwa Dante lah yang telah membunuh Adrian.

"Itu hukuman untuknya," jawab Dante dingin.

Tubuh Binar ambruk karena syok hebat. Dengan gemetaran, ia berusaha menahan isak tangis.

Dante hanya menatapnya dengan ekspresi datar. Seolah yang baru saja ia lakukan bukanlah apa-apa.

"Kenapa ...?" tanya Binar dengan suara bergetar.

Dante mendekatinya, menatapnya dari atas. "Aku tidak suka kau berbicara dengan pria lain," ucapnya tenang padahal ia telah merenggut satu nyawa.

Binar ingin menamparnya, tapi tubuhnya terlalu lemas. "Kau gila," bisiknya tanpa daya.

Dante berjongkok dan mencengkeram dagu Binar dengan keras. "Ingat, Binar. Aku tak suka berbagi. Bahkan jika itu senyum mu. Kau. Milikku," tekannya kuat.

Binar menatap manik gelap itu ketakutan. Dante bukan hanya sekedar pria dingin posesif yang dominan ... dia berbahaya.

Sorot mata Dante yang biasanya dingin tak terjamah nampak kosong. Binar bisa melihatnya, ia bisa merasakan ada yang berbeda dari Dante kali ini.

Jari-jari Dante yang tadi mencengkeram dagu Binar kini beralih ke lehernya, sedikit menekan untuk memperingatkan Binar, kalau ia juga bisa mengakhiri hidupnya jika ia mau.

Dan itu berhasil membuat air mata Binar jatuh terurai.

"Aku tidak suka kau berbicara dengan pria lain," temannya lagi, tapi kali ini ia lebih tenang.

"Kau ... sudah membunuhnya ...," bisik Binar ditengah isak tangisnya. Ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Dante tidak menyangkal. Ia hanya mengembuskan napas panjang, lalu membelai pipi Binar, menghapus air matanya dengan lembut.

"Aku tidak bisa kehilanganmu."

Binar terkejut. Itu pertama kalinya Dante berbicara dengan nada yang ... rapuh?

"Aku tak bisa kehilanganmu, setelah semua yang ku alami. Jika kau terus memberontak, aku sudah menyiapkan dia peti mati untuk kita berdua," ucap Dante serius.

"Kau monster ...," gumam Binar pelan. Pria di depannya ini memang sakit jiwa.

Dante menutup matanya sesaat, seolah kalimat itu menyakitinya. Namun, saat mata itu kembali terbuka ... hanya ada lubang tak berujung yang bisa Binar lihat di dalamnya.

"Ya," bisiknya. "Dan hanya kau yang bisa menjinakkan monster ini."

Dante bangkit perlahan, membuang pistolnya ke sembarang tempat. Matanya melirik Matthias yang berdiri tegap di sudut ruangan. Mengamati segalanya dalam diam.

"Urus dia," perintah Dante sebelum pergi.

Sebelum benar-benar pergi, Dante berhenti sejenak. "Diam dan patuh lah! Dan aku akan memberikan segalanya untukmu."

Binar kembali menutup mulutnya, menahan isak tangis setelah Dante pergi.

Dante bilang agar dia patuh? Tidak!

Binar akan keluar dari rumah ini, sebelum Dante menghancurkan hidupnya.

---

Dante mengerang di ruangan kerjanya yang gelap gulita. Wajahnya masih menger dengan urat-urat menonjol di lehernya. Tampak gelap dan mengerikan. Matthias bahkan memilih menepi, tak ingin mengganggu.

Pria itu teringat masa kecilnya ... masa dimana semua baik-baik saja saat Binar masuk ke kehidupannya.

Binar kecil yang manis datang bak cahaya di dunia Dante yang kelabu. Ia ingat betul hari pertama agdis kecil itu datang ke panti asuhan, matanya yang sembab ... tubuh kurus ... wajah pucat dan kusam .... Sasaran empuk anak-anak lain yang sok jagoan.

Namun, bagi Dante ... Binar itu istimewa. Seseorang yang lebih rapuh darinya.

Maka, ketika anak-anak lain mulai membulinya, Dante tak tinggal diam. Walau dulu tubuhnya kurus, ia sanggup mengalahkan mereka yang lebih besar darinya. Ditambah aura Dante dulunya yang terlihat menyeramkan dan suka menyendiri. Dengan begitu, tak ada lagi yang berani mendekati mereka.

Dante memeluk Binar, memberinya perlindungan dan kasih sayang.

Sejak saat itu, Binar selalu bersamanya. Dante juga selalu membacakan dongeng dan memeluknya ketika Binar kembali mendapatkan mimpi buruk.

Dante bak kakak penyayang yang selalu mengusahakan segala hal agar Binar tersenyum.

“Kamu manis seperti boneka,” kata Dante suatu hari, ketika mereka berdua duduk di bawah pohon di halaman belakang panti.

"Benarkah?" Binar menatapnya dengan mata besar yang penuh harapan.

Dante mengangguk. "Mulai sekarang namamu Binar Jelita. Karena kamu cantik dan bercahaya."

"Namanya cantik, aku suka!"

Itulah pertama kalinya Dante melihat Binar tersenyum lebar. Dan untuk pertama kalinya ... hati Dante yang telah lama dingin kembali hangat.

Namun ... kebahagiaan itu hancur dalam sekejap.

Suatu hari, Ibu panti memberitahu kalau Binar akan diadopsi. Dante langsug menentang keras. "Binar tak boleh pergi!" bentaknya dengan suara keras. "Aku yang akan menjaganya! Kalian tak bisa memisahkan kami!" geramnya marah.

Meski Ibu panti sedikit ketakutan, ia hanya tersenyum lembut, mencoba memberi pengertian Dante-remaja yang cenderung impulsif. "Ini untuk kebaikannya, Dante."

Kebaikan macam apa yang memisahkan mereka?!

Sepanjang malam Dante meringkuk di sudut kamar dengan tubuh bergetar. Kepalan tangannya berdarah akibat menghantam pohon beberapa kali. Ia hanya bisa memandang wajah Binar yang tertidur pulas dengan matanya yang memerah.

Ia tak akan membiarkan Binar pergi.

Namun, keesokan harinya dante kecolongan.

Binar telah pergi. Tanpa pamit padanya. Meninggalkannya terpuruk sendirian sementara Binar bahagia bersama keluarga barunya.

Hanya kalung perak dengan liontin kecil berbentuk bulan sabit milik Binar yang ia titipkan lewat Ibu panti.

Dante diam. Tangannya gemetar saat ia menggenggam kalung itu, lalu ia mengangkat kepalanya—matanya merah karena marah. "Kenapa kamu pergi?"

Dante menggenggam kalung itu dengan erat, dan merasakan sesuatu dalam dirinya hancur.

Untuk pertama kalinya sejak ibunya meninggal, Dante menangis.

Binar telah meninggalkannya.

Setelah apa yang ia lakukan, gadis itu berani meninggalkannya!

Mata Dante memerah, berkilat tajam ke arah gerbang panti yang terbuka lebar. Menciptakan gelombang kebencian mengalir di dalam nadinya.

"Kau milikku! Dan selamanya akan selalu begitu."

Sejak saat itu, perasaan di hatinya berubah. Cinta yang tulus perlahan menghitam menjadi sesuatu yang lain.

Kebencian. Obsesinya pada Binar menjadi racun yang merayap di nadinya.

Kala itu, Dante tak sempat lama meratap.

Beberapa bulan setelahnya, kakeknya datang menjemputnya. Pria tua itu menatapnya dengan mata dingin, lalu mengumumkan bahwa ayahnya, ibu tirinya, dan saudara tirinya telah meninggal dalam kecelakaan.

Tak ada lagi penerus keluarga, selain Dante.

Sejak itu, Dante remaja dilempar ke dalam dunia yang lebih gelap dari yang ia kenal selama ini.

Dante dipaksa untuk bertahan, dipukuli hingga tubuhnya penuh luka, dilatih hingga ambang batasnya. Ia belajar bahwa jika ia ingin bertahan hidup, ia harus menjadi yang terkuat. Harus membunuh sebelum dibunuh. Harus menguasai sebelum dikuasai.

Dan ia bertahan.

Dante yang kecil dan lemah telah mati.

Yang tersisa hanyalah seorang pria dingin, bengis, dan kejam—seorang pemimpin Daggers Pact yang tak akan membiarkan siapa pun menyentuh apa yang menjadi miliknya.

Terutama Binar.

Karena sekarang, gadis itu bukan hanya seseorang yang ia inginkan.

Ia adalah sesuatu yang harus ia miliki. Sesuatu yang harus kembali padanya.

Suka atau tidak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terperangkap Hasrat Tuan Mafia   51.

    Dante baru saja pulang dari rapat panjang bersama para petinggi Daggers Pact yang baru. Ia membuka pintu kamar dan mendapati Binar duduk di ujung ranjang mengenakan kemeja hitam miliknya yang kebesaran.Binar buru-buru menutup buku tua yang sedang ia baca ketika Dante masuk tiba-tiba. Meski terlihat sedikit pucat, Binar tetap menampakkan senyum terbaik untuk menutupi rasa paniknya. Namun, Dante hanya acuh tak acuh, melepas jasnya dan menghampiri Binar. "Kau menungguku?" tanyanya dengan suara rendah. Binar tersenyum kecil, meremas ujung kemeja yang ia pakai. "Kau lama. Aku hampir saja ketiduran," jawabnya mendayu. Dante mendekat dan mencium pelipis Binar, lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Binar sempat kaku sepersekian detik sebelum memeluk balik.Namun, mata Binar terlihat kosong, membuang pandangan ke luar jendela. Dante bersandar di kepala ranjang tanpa melepas pelukan mereka, menyadari gelagat Binar yang nampak tak biasa. "Apa yang kau lakukan seharian? kau tidak pergi ke

  • Terperangkap Hasrat Tuan Mafia   50.

    Di markas Daggers pact, suasana hening. Dante menyandarkan tubuhnya di meja sambil menatap layar CCTV yang tersebar di seluruh markas. Bisa dilihat, Velda tengah duduk santai di pojok, bahkan tersenyum lebar. "Dia tidak takut. Bahkan setelah kita habisi semua kekuatannya," gumam Dante.Matthias menyilangkan tangan dengan kening berkerut. “Malah sekarang terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.”"Senjata rahasia," desis Dante. "Aku yakin Velda punya kartu truf yang membuatnya sangat percaya diri."Matthias membolak-balikan halaman penyidikan tentang Velda, termasuk sang dalang utama "Alder Voss."Matthias menarik berkas hasil penyelidikannya terhadap Velda diam-diam. Dan sebuah nama tebuah nama samar muncul, hanya sekali disebut."Alder Voss."---Di malam hari yang menggigit, Binar justru berkeringat. Ia membaca tiap lembar jurnal yang disimpan ayahnya. Tulisan tangannya mulai memudar, tapi masih tetap bisa dibaca. “...dilarang menyebut nama kerajaan itu. Bahkan di antara kami ya

  • Terperangkap Hasrat Tuan Mafia   49.

    Sera meletakkan berkas tipis di hadapan Binar dengan helaan nafas panjang. "Kau tak akan menyukai isinya," kata Sera pelan. Setelah bersantai beberapa hari di villa, Dante dan Binar kembali ke mansion. Dante kembali sibuk di markas hingga jarang pulang dan Binar ... diam-diam menyelidiki sesuatu, tanpa sepengetahuan Dante. Binar menoleh, lalu menarik nafas dalam. Kedua matanya terlihat lelah karena banyak beban pikiran yang menghantuinya akhir-akhir ini. Sejak kejadian dengan Velda, Binar semakin sadar untuk tak lagi ingin menjadi pion. Ia ingin bangkit dan mempunyai andil sendiri untuknya ... dan Dante. "Aku tak menyukai banyak hal akhir-akhir ini, tapi aku tak bisa tutup mata untuk masalah yang benar-benar di depan mataku."Tak lagi ragu, Binar membuka berkas itu. Foto-foto tempat yang asing baginya, gudang, jejak logistik, catatan pengiriman bahan kimia ke sebuah kota kecil di ujung Orsaria dengan atas nama V. L. Itu pasti Velda. "Kau yakin, Velda hanya pion di sini?" Sera m

  • Terperangkap Hasrat Tuan Mafia   48.

    Seperti yang bisa Binar prediksi, sarapan agak siang mereka memang tertunda selama satu jam karena kemesuman Tuan Dante. Binar duduk di atas meja makan dengan baju acak-acakan terengah, bersandar sepenuhnya ke dada bidang Dante yang tak tertutup apapun. "Kau .... " Binar tak sanggup melanjutkan perkataannya. Hanya bisa mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin setelah tragedi kilat menyerang. "Luar biasa," sahut Dante percaya diri. Lengan besarnya melingkupi Binar dengan senyum kepuasan. Tangan Binar bergerak mencubit perut keras Dante. Merasa kalimatnya terasa menyebalkan. Setelah memulihkan diri, Binar akhirnya membersihkan diri dan lanjut memasak. Kali ini, Dante duduk tenang di meja makan dengan secangkir kopi hitam bersanding dengan iPadnya. Matanya menatap lekat istri cantiknya yang tengah bergerak kesana kemari cekatan mengolah masakan. Tak pernah ia sangka, gadis mungil yang dulunya ia jaga dan sayangi akan benar-benar menjadi miliknya. Walau harus menggunakan cara keras d

  • Terperangkap Hasrat Tuan Mafia   47

    “Inikah pemimpin Daggers Pact?” ejek Binar pelan dengan suara nyaris seperti bisikan. “Yang katanya berdarah dingin, tanpa ampun, dan brutal?"Dante tertawa pelan, senyum tipis di sudut bibirnya membuatnya makin terlihat menawan. Apalagi dengan wajahnya yang bangun tidur. “Aku memang seperti itu,” ucap Dante pelan. “Dan aku akan melakukannya lagi jika perlu.”Yah, Dante tetaplah Dante. Dia adalah pemimpin Dangers pact yang sudah seharusnya seperti itu untuk menjaga keutuhan dan kejayaan organisasi. “Kalau dipikirkan lagi, kau tidak pernah menyakitiku," ucap Binar, menatap langit-langit dengan pandangan menerawang. Memang tidak. Hanya dulu ... saat Binar terlalu sering memberontak berusaha melepaskan diri. Dante hanya melakukan Dante mendekat, napasnya terasa di pipi Binar. “Kau bukan orang asing, Binar. Kau milikku.”Binar tak mengelak. Dulu, dia akan menggertak, mencaci, bahkan berusaha melarikan diri. Namun sekarang, ketika Dante mengatakan hal itu, yang ada hanyalah rasa aman.

  • Terperangkap Hasrat Tuan Mafia   46.

    Binar menatap mata Dante lekat, memastikan kalau pria dingin itu benar-benar siap menyerahkan kendali penuh padanya. Hal yang dulunya mustahil terjadi bahkan dalam bayangan sekalipun. Kedua Mata Dante terlihat satu dengan kabut gairah. Berulang kali ia menelan ludah untuk meredakan rasa panas yang membakar di tubuhnya akibat gerakan kecil yang Binar lakukan. Jemari besarnya mengusap pelan garis rahang Binar, mencoba menggoda wanitanya untuk bergerak lebih. "Kau menggemaskan sekali," lirih Binar. Ia mendekatkan wajahnya seolah menantang, tapi matanya tetap bergetar dibawah tatapan Dante yang mendebarkan. "Benarkah?""Uhum." Binar mengangguk. Matanya berkilat sama-sama tertutup nafsu yang menggebu. Tanpa berkata apa-apa, Binar memegang tengkuk Dante dan menariknya ke dalam ciuman. Meski gerakannya terasa amatir, tapi sanggup menjebol pertahanan Dante. Pada akhirnya, tetap Dante lah yang memimpin permainan. Binar memejamkan mata saat lidah Dante masuk dan menginvasi, mengobrak-abr

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status