Dante baru saja pulang dari rapat panjang bersama para petinggi Daggers Pact yang baru. Ia membuka pintu kamar dan mendapati Binar duduk di ujung ranjang mengenakan kemeja hitam miliknya yang kebesaran.Binar buru-buru menutup buku tua yang sedang ia baca ketika Dante masuk tiba-tiba. Meski terlihat sedikit pucat, Binar tetap menampakkan senyum terbaik untuk menutupi rasa paniknya. Namun, Dante hanya acuh tak acuh, melepas jasnya dan menghampiri Binar. "Kau menungguku?" tanyanya dengan suara rendah. Binar tersenyum kecil, meremas ujung kemeja yang ia pakai. "Kau lama. Aku hampir saja ketiduran," jawabnya mendayu. Dante mendekat dan mencium pelipis Binar, lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Binar sempat kaku sepersekian detik sebelum memeluk balik.Namun, mata Binar terlihat kosong, membuang pandangan ke luar jendela. Dante bersandar di kepala ranjang tanpa melepas pelukan mereka, menyadari gelagat Binar yang nampak tak biasa. "Apa yang kau lakukan seharian? kau tidak pergi ke
Di markas Daggers pact, suasana hening. Dante menyandarkan tubuhnya di meja sambil menatap layar CCTV yang tersebar di seluruh markas. Bisa dilihat, Velda tengah duduk santai di pojok, bahkan tersenyum lebar. "Dia tidak takut. Bahkan setelah kita habisi semua kekuatannya," gumam Dante.Matthias menyilangkan tangan dengan kening berkerut. “Malah sekarang terlihat seperti sedang menunggu sesuatu.”"Senjata rahasia," desis Dante. "Aku yakin Velda punya kartu truf yang membuatnya sangat percaya diri."Matthias membolak-balikan halaman penyidikan tentang Velda, termasuk sang dalang utama "Alder Voss."Matthias menarik berkas hasil penyelidikannya terhadap Velda diam-diam. Dan sebuah nama tebuah nama samar muncul, hanya sekali disebut."Alder Voss."---Di malam hari yang menggigit, Binar justru berkeringat. Ia membaca tiap lembar jurnal yang disimpan ayahnya. Tulisan tangannya mulai memudar, tapi masih tetap bisa dibaca. “...dilarang menyebut nama kerajaan itu. Bahkan di antara kami ya
Sera meletakkan berkas tipis di hadapan Binar dengan helaan nafas panjang. "Kau tak akan menyukai isinya," kata Sera pelan. Setelah bersantai beberapa hari di villa, Dante dan Binar kembali ke mansion. Dante kembali sibuk di markas hingga jarang pulang dan Binar ... diam-diam menyelidiki sesuatu, tanpa sepengetahuan Dante. Binar menoleh, lalu menarik nafas dalam. Kedua matanya terlihat lelah karena banyak beban pikiran yang menghantuinya akhir-akhir ini. Sejak kejadian dengan Velda, Binar semakin sadar untuk tak lagi ingin menjadi pion. Ia ingin bangkit dan mempunyai andil sendiri untuknya ... dan Dante. "Aku tak menyukai banyak hal akhir-akhir ini, tapi aku tak bisa tutup mata untuk masalah yang benar-benar di depan mataku."Tak lagi ragu, Binar membuka berkas itu. Foto-foto tempat yang asing baginya, gudang, jejak logistik, catatan pengiriman bahan kimia ke sebuah kota kecil di ujung Orsaria dengan atas nama V. L. Itu pasti Velda. "Kau yakin, Velda hanya pion di sini?" Sera m
Seperti yang bisa Binar prediksi, sarapan agak siang mereka memang tertunda selama satu jam karena kemesuman Tuan Dante. Binar duduk di atas meja makan dengan baju acak-acakan terengah, bersandar sepenuhnya ke dada bidang Dante yang tak tertutup apapun. "Kau .... " Binar tak sanggup melanjutkan perkataannya. Hanya bisa mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin setelah tragedi kilat menyerang. "Luar biasa," sahut Dante percaya diri. Lengan besarnya melingkupi Binar dengan senyum kepuasan. Tangan Binar bergerak mencubit perut keras Dante. Merasa kalimatnya terasa menyebalkan. Setelah memulihkan diri, Binar akhirnya membersihkan diri dan lanjut memasak. Kali ini, Dante duduk tenang di meja makan dengan secangkir kopi hitam bersanding dengan iPadnya. Matanya menatap lekat istri cantiknya yang tengah bergerak kesana kemari cekatan mengolah masakan. Tak pernah ia sangka, gadis mungil yang dulunya ia jaga dan sayangi akan benar-benar menjadi miliknya. Walau harus menggunakan cara keras d
“Inikah pemimpin Daggers Pact?” ejek Binar pelan dengan suara nyaris seperti bisikan. “Yang katanya berdarah dingin, tanpa ampun, dan brutal?"Dante tertawa pelan, senyum tipis di sudut bibirnya membuatnya makin terlihat menawan. Apalagi dengan wajahnya yang bangun tidur. “Aku memang seperti itu,” ucap Dante pelan. “Dan aku akan melakukannya lagi jika perlu.”Yah, Dante tetaplah Dante. Dia adalah pemimpin Dangers pact yang sudah seharusnya seperti itu untuk menjaga keutuhan dan kejayaan organisasi. “Kalau dipikirkan lagi, kau tidak pernah menyakitiku," ucap Binar, menatap langit-langit dengan pandangan menerawang. Memang tidak. Hanya dulu ... saat Binar terlalu sering memberontak berusaha melepaskan diri. Dante hanya melakukan Dante mendekat, napasnya terasa di pipi Binar. “Kau bukan orang asing, Binar. Kau milikku.”Binar tak mengelak. Dulu, dia akan menggertak, mencaci, bahkan berusaha melarikan diri. Namun sekarang, ketika Dante mengatakan hal itu, yang ada hanyalah rasa aman.
Binar menatap mata Dante lekat, memastikan kalau pria dingin itu benar-benar siap menyerahkan kendali penuh padanya. Hal yang dulunya mustahil terjadi bahkan dalam bayangan sekalipun. Kedua Mata Dante terlihat satu dengan kabut gairah. Berulang kali ia menelan ludah untuk meredakan rasa panas yang membakar di tubuhnya akibat gerakan kecil yang Binar lakukan. Jemari besarnya mengusap pelan garis rahang Binar, mencoba menggoda wanitanya untuk bergerak lebih. "Kau menggemaskan sekali," lirih Binar. Ia mendekatkan wajahnya seolah menantang, tapi matanya tetap bergetar dibawah tatapan Dante yang mendebarkan. "Benarkah?""Uhum." Binar mengangguk. Matanya berkilat sama-sama tertutup nafsu yang menggebu. Tanpa berkata apa-apa, Binar memegang tengkuk Dante dan menariknya ke dalam ciuman. Meski gerakannya terasa amatir, tapi sanggup menjebol pertahanan Dante. Pada akhirnya, tetap Dante lah yang memimpin permainan. Binar memejamkan mata saat lidah Dante masuk dan menginvasi, mengobrak-abr