Tiara membuka matanya perlahan, rasa pusing yang berat masih menyelimuti kepalanya. Pandangannya kabur sejenak, tapi ia segera bisa menangkap sosok seorang pria berdiri tak jauh dari sofa tempatnya berbaring. Pria itu menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan, mungkin bingung, mungkin khawatir, atau mungkin campuran keduanya.
Ia mengedipkan matanya beberapa kali, mencoba memastikan apa yang dilihatnya. Wajah pria itu perlahan menjadi lebih jelas, tampan dengan hidung mancung, rahang tegas, dan kulit putih bersih. Tatapan matanya tajam, meskipun ada kesan lembut yang tersirat di sana. Namun, alih-alih merasa tenang, Tiara justru panik. Siapa pria ini? pikirnya dalam hati. Rasa takut segera menyergap, terutama ketika ia teringat pada kejadian sebelumnya, kejaran para preman dan ancaman yang menyeramkan.
Sejenak, tubuhnya menegang, lalu naluri pertahanan dirinya segera aktif. Matanya dengan cepat mengarah ke pakaian yang ia kenakan, memastikan semuanya masih lengkap. Ia menghela napas lega saat melihat jaket, kaus, dan celana jinsnya masih utuh. Namun, kecemasan itu tak langsung hilang. Apakah ini bos mereka? Apakah pria ini orang yang mereka sebut-sebut tadi malam? pikirnya panik, tubuhnya gemetar pelan.
Tiara segera merapatkan jaketnya dan mencoba bangkit perlahan, meskipun tubuhnya masih lemah. Ia ingin mencari tahu di mana ia berada dan, lebih penting lagi, bagaimana caranya melarikan diri jika pria ini benar-benar sosok yang ia takutkan. Namun, sebelum ia sempat mengatakan apa-apa, pria itu sudah menyadari bahwa Tiara mulai terbangun. Ekspresinya berubah, tampak lebih lembut, tapi itu justru membuat Tiara semakin curiga.
Adrian memperhatikan perubahan di wajah Tiara, dari bingung menjadi waspada, bahkan ketakutan. Ia langsung tahu bahwa gadis ini sedang panik, mungkin memikirkan hal yang salah tentang dirinya. Dengan langkah perlahan, ia mendekat, memastikan tidak membuat gerakannya terlalu mendadak agar tidak menakutinya lebih jauh.
“Tenang saja,” ucap Adrian dengan nada suara yang lembut namun tegas, berharap bisa meredakan ketegangan di mata Tiara. “Kamu aman di sini. Tidak ada yang akan menyakitimu, termasuk saya.”
Tiara memandangnya dengan tatapan ragu, masih mencengkeram jaketnya erat seolah itu adalah satu-satunya pelindungnya. Tubuhnya sedikit mundur, seakan ingin membuat jarak lebih jauh dari Adrian. Namun, Adrian tetap tenang, berusaha menunjukkan bahwa niatnya tulus.
“Aku Adrian,” lanjutnya, tetap menggunakan nada yang menenangkan. “Aku menemukanmu tadi di jalan, kamu hampir tertabrak mobilku. Sekarang kamu ada di rumahku, bukan di tempat lain yang berbahaya. Jadi, tolong jangan takut.”
Tiara masih diam, tubuhnya tetap menegang. Pikirannya kacau, penuh dengan berbagai kemungkinan buruk. Namun, ucapan Adrian perlahan mulai masuk ke telinganya, dan ia menyadari bahwa situasinya mungkin tidak seperti yang ia bayangkan. Pria ini tidak terlihat seperti orang yang berniat jahat, tatapannya serius tapi tulus, dan tidak ada tanda-tanda ancaman dalam gerak-geriknya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Adrian lagi, kali ini sedikit mendekat, tapi tetap menjaga jarak aman. “Kamu sempat pingsan tadi. Apa yang terjadi? Kamu dikejar seseorang?”
Mendengar pertanyaan itu, Tiara terdiam sejenak. Ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayai pria ini. Namun, satu hal yang pasti, untuk saat ini ia benar-benar tidak memiliki kekuatan untuk melarikan diri atau melawan. Jadi, ia memutuskan untuk menjawab, meski suaranya sangat pelan.
“Saya... saya baik-baik saja,” jawabnya, menunduk sedikit. “Tadi hanya... ada sedikit kejadian.”
Adrian mengangguk perlahan, meskipun jelas ia tidak sepenuhnya percaya. Namun, ia memutuskan untuk tidak memaksa gadis itu bercerita lebih jauh. “Oke, yang penting sekarang kamu istirahat dulu. Kalau butuh apa-apa, aku ada di sini. Kamu aman di rumah ini, jadi jangan khawatir.”
Tiara menatap Adrian sekali lagi, mencoba membaca wajah pria itu. Ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatnya merasa, meskipun hanya sedikit, bahwa ia bisa mempercayai kata-kata itu. Mungkin untuk pertama kalinya malam itu, ia mulai merasa bahwa dirinya benar-benar aman.
Tak lama setelah Adrian selesai berbicara, langkah ringan terdengar mendekat dari arah samping. Clarisa muncul dengan senyum tipis di wajahnya, membawa segelas air putih di tangannya. Ia langsung menyadari bahwa Tiara sudah sadar dan sedang mencoba menenangkan diri.
“Ini, minum dulu,” kata Clarisa dengan lembut sambil menyerahkan gelas itu kepada Tiara. Suaranya penuh kehangatan, seperti seseorang yang ingin menenangkan anak kecil yang baru saja ketakutan.
Tiara menerima gelas itu dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia menatap Clarisa dengan ragu, tapi senyuman wanita itu begitu tulus hingga perlahan membuatnya merasa lebih nyaman. Setelah meneguk air itu perlahan, rasa haus yang membakar tenggorokannya pun sedikit reda.
“Namaku Clarisa,” ujar wanita itu, duduk di kursi tak jauh dari sofa tempat Tiara berbaring. Ia memastikan posisinya tidak terlalu dekat agar tidak membuat gadis itu merasa terancam. “Aku istri Adrian. Kami yang tadi menemukanmu di jalan.”
Tiara mengangguk pelan, masih mencoba mencerna situasi ini. Sekarang ia yakin bahwa mereka ini, setidaknya, tidak mungkin memiliki niat jahat. Sikapnya ramah dan penuh perhatian, sangat berbeda dengan orang-orang yang mengejarnya tadi malam.
“Kamu pasti bingung dan takut,” lanjut Clarisa, suaranya masih lembut. “Tapi kamu tidak perlu khawatir. Di sini aman. Kami hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja.”
Tiara tersenyum kecil, meskipun rasa gugupnya belum sepenuhnya hilang. “Baik, terimaksih banyak,” katanya pelan, nyaris berbisik.
Setelah hening beberapa saat, Tiara menghela napas pelan, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Meski suasananya terasa nyaman, ia masih merasa canggung berada di tengah-tengah orang asing yang begitu baik padanya.
“Maaf, ini jam berapa sekarang?” tanyanya, suaranya lirih dan ragu.
Adrian melirik jam tangannya dan menjawab, “Sudah jam satu dini hari.”
Tiara terkejut mendengar jawaban itu. Pikirannya langsung melayang ke tasnya yang ia tinggalkan begitu saja saat melarikan diri tadi malam. “Tasku...” gumamnya pelan, wajahnya terlihat semakin panik. Tapi sejenak ia ingat bahwa mungkin ia menjatuhkan tas tersebut di rumah sebelum berlari. Ia tidak mau merepotkan mereka hanya karena sebuah tas. Hanya saja jika dia membawa tas, ia bisa menghubungi Rendra untuk menjemputnya di sini.
Adrian dan Clarisa saling bertukar pandang. Mereka bisa melihat kekhawatiran di wajah Tiara. Adrian, dengan nada serius tapi lembut, mencoba menenangkan gadis itu walaupun apa yang diucapkannya kurang jelas.
“Ada apa? Dan rumahmu di mana, kalau boleh tahu?” tanya Adrian hati-hati. “Kami bisa bantu kamu cari tas itu kalau memang penting.”
Tiara menatap mereka dengan ragu, seolah mempertimbangkan apakah aman untuk memberi tahu mereka. Namun, ia tahu bahwa, sekali lagi mereka adalah orang baik yang telah menyelamatkannya dari para preman itu. “Di sebuah kompleks sederhana di daerah Tanah Abang... Tidak apa-apa, sepertinya tas itu ada di rumah,” ujarnya.
Clarisa meletakkan tangan di bahu Tiara, mencoba memberikan ketenangan. “Baiklah kalau memang ada di rumah. Sekarang yang penting kamu istirahat dulu di sini.”
“Tapi...,” Tiara mencoba membantah, merasa tidak enak untuk merepotkan mereka lebih jauh.
“Tidak apa-apa,” potong Adrian dengan tegas namun ramah. “Ini sudah terlalu malam. Kalau kamu kembali sekarang, itu bisa berbahaya. Menginap saja di sini malam ini. Besok pagi biar sopir kami yang antar kamu pulang.”
Tiara terdiam, mencoba mencerna kebaikan mereka. Di satu sisi, ia merasa tak enak telah merepotkan, tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa mereka benar, kembali ke rumahnya sekarang mungkin bukan pilihan yang benar. Bahkan ia takut pada ayah dan kakaknya.
“Terima kasih banyak,” kata Tiara akhirnya, suaranya nyaris berbisik. “Maaf kalau saya merepotkan.”
Clarisa tersenyum lembut. “Kamu tidak merepotkan sama sekali. Sekarang tidur saja. Kamu pasti masih lelah.”
Adrian berdiri dan memberi isyarat pada Clarisa untuk menyiapkan selimut tambahan. Sementara itu, Tiara menghela napas, merasa sedikit lebih tenang meski pikirannya masih penuh dengan kekhawatiran tentang apa yang menunggunya di rumah.
Bagaimana menurutmu guys?
Clarisa menggulir layar ponselnya dengan serius, matanya fokus pada berbagai pilihan yang muncul. Di sebelahnya, Tiara duduk dengan tenang, memperhatikan tanpa banyak bicara. Sementara itu, Indah, yang ikut membantu, sesekali mengangguk atau memberi masukan.Clarisa lalu mengarahkan ponselnya ke Indah, meminta pendapatnya soal warna dan tekstur dari perut palsu yang hendak dibeli. "Ini kayaknya mirip banget sama kulit manusia, kan?" tanyanya, memastikan.Indah mengamati layar sebelum mengangguk. "Iya, Bu, ini kelihatannya paling realistis."Tiara tetap diam, tapi ia sudah bisa menebak apa yang Clarisa lakukan. Ketika Indah mengambil meteran dan mulai mengukur perutnya atas permintaan Clarisa, Tiara hanya menarik napas pelan. Ia tahu ini semua adalah bagian dari rencana Clarisa.Clarisa menyerahkan ponselnya kepada Indah setelah memastikan pilihan yang diinginkannya. Ia menyuruh Indah untuk segera memesankan perut kehamilan palsu itu dan mengatur agar pembayarannya dilakukan secara COD
Saat sarapan pagi itu, suasana terasa canggung di antara Adrian dan Clarisa. Mereka duduk berhadapan di meja makan yang tertata rapi, hanya ditemani suara dentingan sendok dan garpu. Tidak ada percakapan, tidak ada basa-basi. Clarisa masih kesal dengan suaminya itu, tetapi ia memilih untuk diam. Tiara tidak ikut, ia bilang sarapan nanti dulu karena sudah makan bubur yang dibelikan Bi Susi sebelumnya.Adrian juga tidak berusaha memulai pembicaraan. Ia hanya menikmati makanannya dengan tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Iya tidak ingin bertengkar dengan Clarisa, membiarkan istrinya itu agar lebih tenang sehingga hilang sendiri kemarahannya.Hingga akhirnya, pandangan Clarisa jatuh ke pipi kanan Adrian yang tampak lebam. Dahinya berkerut, jelas heran dan sedikit terkejut."Apa itu?" tanyanya akhirnya, suaranya datar tapi cukup tajam.Adrian berhenti mengunyah, sedikit mengangkat alisnya. "Apa?""Pipimu," Clarisa mengarahkan pandangannya ke lebam di wajah Adrian. "Kenapa bisa begitu?"
Saat mobil Adrian memasuki halaman rumah, Tiara segera membuka sabuk pengamannya. Ia sedikit lelah setelah hari yang panjang, dan ia ingin segera masuk ke kamarnya untuk beristirahat.Adrian pun turun dari mobil dan berjalan masuk bersama Tiara. Seperti biasa, rumah terasa tenang, hanya ada suara samar dari aquarium ikan di ruang keluarga.Tiara langsung menuju kamarnya, sementara Adrian juga menaiki tangga menuju kamarnya sendiri. Ia berencana untuk mengganti pakaian dan mungkin beristirahat sebentar sebelum makan malam. Namun, begitu membuka pintu kamar, ia langsung terhenti.Clarisa sudah ada di sana, duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal yang sulit disembunyikan. Matanya menatap tajam ke arah Adrian begitu pria itu masuk ke kamar.Adrian mengerutkan kening. Ia tidak menyangka Clarisa sudah pulang. Biasanya, istrinya belum di rumah jam segini. "Kamu sudah pulang?" tanyanya pelan, mencoba membaca situasi.Clarisa tidak langsung men
Setelah beberapa meter berkendara, Adrian membelokkan mobilnya ke pinggir jalan yang tenang, jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Tiara.Tiara masih menunduk, bahunya sedikit bergetar, matanya menatap kosong ke pangkuannya.Tanpa berkata apa-apa, Adrian meraih Tiara dan menariknya ke dalam pelukannya. Tiara tidak menolak. Justru saat itu juga pertahanannya runtuh. Ia kembali menangis di dekapan Adrian.Adrian mengusap punggungnya perlahan, membiarkan Tiara meluapkan segalanya. Ia tidak bicara, hanya memeluk erat, memberi kehangatan dan perlindungan.Setelah beberapa saat, isak tangis Tiara mulai mereda. Napasnya masih tersengal sedikit, tapi ia berusaha menguasai dirinya. Adrian tetap diam, memberinya waktu, membiarkan Tiara menangis tanpa tergesa-gesa. Ia hanya menggenggam tangannya erat, sebagai bentuk dukungan tanpa kata-kata.Setelah cukup tenang, Adrian menatap wajah Tiara dengan lembut. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan.Tiara menggeleng tanpa suara.
Malam ini, sesuai rencana, Tiara pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutinnya. Sejak pagi, Adrian sudah memutuskan bahwa ia tidak peduli jika Clarisa marah atau kesal. Baginya, yang terpenting adalah memastikan Tiara dan bayinya baik-baik saja. Lagipula, ia hanya akan menunggu di dalam mobil, tidak akan ikut masuk ke ruangan dokter. Itu sudah cukup baginya, atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya begitu.Di dalam perjalanan, Tiara duduk diam di kursi penumpang, sesekali melirik Adrian yang fokus menyetir. Ia tahu Clarisa akan tidak suka jika tahu suaminya tetap mengantarnya, ia pun sudah sempat menolaknya sebelum berangkat ke sini, namun Adrian cukup keras kepala. Jadi, ia memilih untuk tidak membahasnya.Setibanya di klinik, Adrian memarkir mobil di sudut parkiran yang tidak terlalu mencolok, seperti beberapa bulan lalu Tiara melepas sabuk pengamannya, lalu menoleh ke Adrian. "Mas, aku masuk dulu."Adrian mengangguk. "Iya, Tiara, kamu hati-hati ya."Tiara mengangguk pe
Siang itu, Clarisa memutuskan untuk mengunjungi kantor Adrian. Sudah lama ia tidak mampir ke sana, dan hari ini, karena tidak ada jadwal syuting di sore hari, ia merasa ini waktu yang tepat. Dengan langkah santai, ia memasuki gedung perkantoran yang sudah tak asing lagi baginya. Beberapa karyawan langsung menyapa dengan sopan.“Selamat siang, Ibu Clarisa,” ucap salah satu resepsionis dengan senyuman ramah.Clarisa membalas senyum itu. “Selamat siang. Pak Adrian ada di ruangannya, kan?” tanyanya sambil berjalan menuju lift.“Seharusnya ada, Bu,” jawab resepsionis itu sebelum Clarisa melangkah masuk ke lift.Saat tiba di lantai tempat Adrian bekerja, Clarisa menuju ruang kerja suaminya. Namun, begitu pintu terbuka, ia mendapati ruangan itu kosong. Tidak ada Adrian di sana.Ia berdiri sejenak, mencoba menghubungi Adrian melalui ponselnya, tetapi panggilan itu tidak diangkat. Dengan sedikit rasa penasaran yang bercampur kesal, Clarisa keluar dari ruangan Adrian dan melangkah menuju ruanga