Share

Bab 6

Penulis: Vivy Yu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-13 11:36:58

Keesokan harinya, Tiara terbangun dengan perasaan campur aduk. Ia mendengar suara obrolan dari ruangan lain, dua suara yang ia kenali sebagai milik Adrian dan Clarisa. Percakapan mereka terdengar santai, membahas hal-hal acak seperti rencana aktivitas hari ini dan apakah sarapan sudah siap.

Tiara duduk perlahan, merasa tubuhnya masih sedikit lemas setelah malam yang panjang. Ia melirik jam dinding di ruang tamu tempat ia tidur semalam dan menyadari waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat. Seketika rasa sungkan menyelimutinya. Ia merasa seperti tamu yang merepotkan karena tidur hingga pagi dan membiarkan mereka mengurusnya tanpa ia tahu harus membalas kebaikan mereka dengan apa.

Semalam, ia nyaris tidak bisa tidur. Pikiran tentang apa yang terjadi di rumahnya terus menghantui. Wajah ayahnya dan kakaknya yang tertunduk ketika preman datang, ancaman yang mereka lontarkan, dan fakta bahwa mereka tega menjadikan dirinya "jaminan" untuk melunasi hutang, semuanya berputar dalam benaknya. Namun, menjelang pagi, kelelahan fisik dan emosional akhirnya mengalahkan kegelisahannya, membuatnya tertidur untuk beberapa jam.

Tiara menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia menatap ruang tamu tersebut, yang begitu rapi dan elegan. Sofa yang ia tiduri terasa jauh lebih nyaman daripada kasur di rumahnya. Ruang tamu tersebut memancarkan nuansa kemewahan modern yang elegan, membuat siapa pun yang memasukinya merasa terkesan. Dinding-dindingnya berwarna putih gading dengan aksen panel kayu bertekstur halus yang memberikan kesan hangat namun tetap berkelas.

Lampu gantung kristal berbentuk melingkar menggantung di tengah plafon tinggi yang dihiasi ukiran sederhana namun elegan. Cahaya lampu yang lembut menyebar ke seluruh ruangan, menciptakan suasana nyaman sekaligus megah. Jendela-jendela besar dengan tirai sheer putih dan gorden tebal warna krem memungkinkan cahaya alami masuk, memberikan pencahayaan yang sempurna saat siang hari.

Rak dinding minimalis di salah satu sisi ruangan memajang koleksi buku, beberapa patung kecil, dan bingkai foto hitam putih, memberi kesan artistik. Di sudut ruangan, sebuah tanaman indoor tinggi dengan pot keramik berwarna putih memberikan sentuhan alami yang menyegarkan. Sementara itu, dinding lain dihiasi dengan lukisan abstrak berwarna netral yang menambah daya tarik modern pada ruang tersebut.

Ia tidak bisa menahan rasa kagumnya saat melihat ruang tamu ini. Segala detailnya terasa sempurna, jauh berbeda dari rumahnya yang sederhana. Ruang ini memancarkan aura kesuksesan dan keanggunan, membuatnya merasa kecil sekaligus terinspirasi. “Rumah yang indah sekali...” pikir Tiara sambil memandang sekeliling, sedikit ragu untuk melangkah lebih jauh karena takut mengganggu kemegahan ini.

Pelan-pelan, ia bangkit dari sofa. Ia membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan, mencoba membuat dirinya terlihat lebih rapi. Ia tidak ingin terlihat seperti orang yang tidak tahu diri. Sambil menghela napas, ia melangkah menuju arah suara obrolan, berharap bisa mengucapkan terima kasih dan mencari cara untuk segera kembali ke rumahnya, meskipun hatinya tahu itu akan membawa risiko besar.

Kakinya melangkah menuju arah suara tersebut. Itu dari sebuah ruang makan dengan nuansa yang tidak kalah bagusnya dari ruang tamu. Pasangan itu sedang duduk berseberangan, tampak menikmati obrolan ringan sambil menyeruput secangkir kopi masing-masing. Saat menyadari keberadaan Tiara, Clarisa tersenyum hangat dan segera berdiri. “Oh, kamu sudah bangun. Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanyanya lembut, nadanya penuh perhatian.

Tiara tersenyum canggung sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. “Terima kasih, saya sudah jauh lebih baik. Maaf merepotkan kalian semalam,” ucapnya tulus, merasa sangat berhutang budi pada pasangan ini.

Adrian mengangguk sambil tersenyum, wajahnya memancarkan ketulusan. “Tidak perlu minta maaf. Yang penting kamu aman sekarang,” katanya dengan nada tenang. Ia melirik Clarisa sejenak sebelum menambahkan, “Kami sedang sarapan. Kamu ingin bergabung? Pasti kamu belum makan apa-apa.”

Tiara menggelengkan kepala dengan cepat, sedikit gugup. “Ah, tidak usah. Terima kasih banyak, tapi saya tidak ingin merepotkan lebih jauh.”

Clarisa tampak tidak puas dengan penolakan itu. Ia meletakkan cangkir kopinya lalu memanggil salah satu asisten rumah tangga yang sedang berdiri tidak jauh dari meja makan. “Bibi, Tolong ambilkan segelas air,” perintahnya lembut namun tegas. Setelah itu, ia kembali menatap Tiara dengan senyum ramah. “Setidaknya minum dulu, oke? Kamu kelihatan masih lemas.”

Tiara tidak bisa menolak kebaikan hati Clarisa, jadi ia mengangguk pelan. “Baik, terima kasih Mbak,” jawabnya dengan nada penuh rasa syukur. Ia berdiri di ujung meja, merasa agak canggung, namun ia berusaha untuk tetap tenang.

“Kalau boleh tahu, siapa namamu?” tanya Clarisa.

Tiara menurunkan gelasnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan sederhana itu. “Oh, nama saya Tiara,” jawabnya sambil tersenyum kecil, hatinya masih dipenuhi rasa syukur dan canggung atas kebaikan pasangan ini.

Clarisa mengangguk, lalu melirik Adrian yang tengah menyesap kopinya dengan tenang. “Tiara, setelah ini suamiku akan mengantarmu pulang. Kebetulan dia juga akan berangkat ke kantor, jadi sekalian saja,” katanya, menjelaskan dengan nada tenang.

Tiara mengangkat wajahnya, menatap Adrian yang mengangguk kecil sebagai tanda setuju. “Tidak apa-apa. Nanti aku antar,” kata Adrian singkat, suaranya dalam dan tegas.

Tiara merasa beban di pundaknya sedikit berkurang, meskipun rasa malu masih menyelimuti dirinya. “Terima kasih banyak... Ini benar-benar merepotkan,” katanya dengan nada rendah, merasa tak enak karena sudah merepotkan mereka sejak semalam.

Clarisa tertawa kecil, berusaha membuat Tiara lebih nyaman. “Tidak apa-apa. Aku sendiri habis ini juga ada keperluan di butik. Sopir kami akan mengantarku, jadi semuanya pas,” katanya sambil merapikan beberapa berkas kecil di meja.

Tiara mengangguk pelan, masih merasa segan, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa menolak bantuan mereka. “Sekali lagi, terima kasih banyak, Mbak Clarisa, Mas Adrian,” ucapnya tulus, matanya sedikit berkaca-kaca karena merasa sangat terbantu oleh kebaikan pasangan ini. Clarisa hanya tersenyum, sementara Adrian mengangguk kecil sambil berdiri, bersiap untuk pergi.

---

Di dalam mobil, suasana terasa sunyi. Hanya suara mesin mobil Adrian yang terdengar lembut mengisi kekosongan. Tiara duduk dengan gelisah di kursi penumpang depan, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuannya. Ia melirik Adrian sekilas, pria itu tampak tenang mengemudi. Memperhatikan jalanan pagi yang begitu cerah, sangat berbanding terbalik dengan suasana hatinya saat ini.

Pikiran Tiara berpacu memikirkan bagaimana kemarahan ayah dan kakaknya saat ia sampai di rumah. Tubuhnya menggigil memikirkan kemungkinan buruk. Ia tahu sifat ayah dan kakaknya yang egois dan keras kepala. Mereka mungkin tidak akan menyesal atas apa yang sudah terjadi dan malah menyalahkannya karena melarikan diri.

Tiara menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, tapi dadanya terasa berat. Aku harus kemana lagi kalau tidak ke rumah itu? pikirnya. Ia tidak punya tempat lain. Tidak ada keluarga lain. Tidak ada sahabat yang benar-benar bisa ia jadikan tempat berlindung. Mungkin ada beberapa, tapi ia tidak ingin merepotkan mereka. Keadaan ekonomi teman-temannya hampir tidak jauh berbeda dengannya. Dan tidak mungkin ia akan langsung pergi ke tempat mereka tanpa konfirmasi sebelumnya.

Adrian melirik Tiara sekilas. Ia tahu ada sesuatu yang membuat gadis ini tampak begitu tegang. Tapi ia tidak ingin bertanya lebih banyak. Baginya, memberikan ruang untuk orang yang baru ia kenal lebih baik daripada mencoba masuk ke masalah yang mungkin terlalu pribadi.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Adrian akhirnya, memecah keheningan dengan nada datar, tanpa tekanan. Ia tetap fokus pada jalan di depannya, memberi kesan bahwa ia hanya ingin memastikan, bukan menginterogasi.

Tiara menoleh, sedikit terkejut mendengar suaranya. Ia mengangguk pelan. “Iya, Mas. Terima kasih,” jawabnya pendek, suaranya nyaris berbisik.

Adrian tidak berkata apa-apa lagi setelah itu. Ia membiarkan Tiara kembali ke pikirannya sendiri. Mobil terus melaju melewati jalan-jalan yang mulai dipenuhi aktivitas pagi. Tiara memandang ke luar jendela, tetapi pikirannya tidak benar-benar melihat pemandangan itu. Ia hanya bisa bertanya-tanya dalam hati, bagaimana nasibnya setelah ini?

Beberapa menit kemudian, mobil berhenti tepat di depan rumah Tiara. Adrian mematikan mesin dan melirik ke arah Tiara yang tampak ragu-ragu untuk turun. Gadis itu menghela napas pendek, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang begitu jelas terpancar dari wajahnya.

"Terima kasih banyak, Mas, atas semua bantuannya," ucap Tiara dengan nada lembut, namun penuh ketulusan. Ia menundukkan kepala sedikit, seolah rasa terima kasih itu tidak cukup untuk membalas semua yang sudah dilakukan Adrian dan Clarisa.

Adrian mengangguk kecil, tangannya masih di setir. "Sama-sama. Hati-hati ya, kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk minta bantuan." Kalimat itu keluar begitu saja, meskipun ia sadar Tiara mungkin terlalu sopan atau terlalu malu untuk benar-benar menghubungi mereka lagi.

Tiara hanya tersenyum tipis. "Iya, Mas. Terima kasih sekali lagi." Dengan itu, ia membuka pintu mobil dan turun perlahan.

Adrian memperhatikan Tiara berjalan menuju pintu rumahnya. Tidak ada semangat atau rasa lega yang biasanya terlihat pada seseorang yang akhirnya sampai di rumah. Sebaliknya, langkah Tiara begitu pelan, hampir seperti ia sedang menghampiri sesuatu yang ia takuti. Adrian sempat berpikir untuk menanyakan sesuatu, namun menahan diri. Ia tahu ini bukan urusannya, tetapi raut wajah Tiara tadi terus terbayang di kepalanya. Gadis itu tampak begitu cemas, seperti ada beban besar yang ia pikul sendiri. Namun ia tetap memilih untuk tetap diam, menghormati privasi Tiara. Lalu ia kembali menyalakan mesin mobil dan perlahan meninggalkan tempat itu.

Setelah Adrian berlalu, Tiara berdiri sejenak di depan pintu rumahnya, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Tangannya sedikit gemetar saat memutar gagang pintu. Ia melangkah masuk dengan hati-hati, mencoba menghindari suara berisik. Sepatu yang ia kenakan dilepas dengan cepat, diletakkan di sudut, lalu ia berjalan perlahan di lantai yang dingin. Mata Tiara melirik sekeliling ruang tamu yang berantakan, bungkus makanan ringan berserakan di meja, asbak penuh puntung rokok di sudut, dan beberapa kursi yang tampak tidak pada tempatnya.

Di sudut ruangan, televisi masih menyala dengan suara kecil, meskipun tidak ada yang menontonnya. Tiara menelan ludah, berusaha menenangkan perasaan gelisah yang makin menyesakkan dada. Naura pasti sudah pergi ke sekolah, pikirnya, mencoba menenangkan diri dengan setidaknya satu kepastian.

Namun, pertanyaan terbesar yang menghantui pikirannya tetap ada. Di mana ayah dan kakaknya?. Ia tidak tahu apakah harus berharap mereka masih tidur, atau justru tidak ada di rumah sama sekali. Langkahnya melambat ketika mendekati pintu kamar ayahnya. Pintu itu sedikit terbuka, namun tidak ada suara sama sekali dari dalam. Dengan hati-hati, ia melongok ke dalam dan mendapati kamar itu kosong.

Tiara menghela napas, lalu melanjutkan langkahnya ke kamar kakaknya. Sama seperti kamar ayahnya, pintu kamar itu juga sedikit terbuka, namun tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Kasur masih kosong, hanya ada pakaian berserakan di atas lantai dan meja kecil penuh dengan puntung rokok.

Mungkin kakaknya sudah pergi bekerja, atau mungkin tidak. Tiara tahu, pekerjaan kakaknya tidak bisa diandalkan, seringkali hanya menjadi alasan untuk menghilang dari rumah dan mencari kesenangan pribadi.

Kembali melangkah ke ruang tamu kecil itu, matanya menyapu setiap sudut ruangan dengan cermat. Ia ingat ia perlu mencari tasnya. Namun ternyata tidak ada. Menghela napas panjang, ia lalu memutuskan untuk memeriksa kamarnya. Ketika ia membuka pintu kamarnya yang sempit, pandangannya langsung tertuju pada tas yang tergeletak di atas ranjangnya. Perasaan lega seketika mengalir. "Syukurlah," gumamnya pelan sambil menghampiri tas tersebut. Ia memeriksa isinya, semuanya masih ada.

Saat melihat jam di ponselnya, Tiara terkejut. Sudah hampir jam sembilan. Dengan cepat ia menyimpan kembali barang-barangnya ke dalam tas. Pikirannya langsung fokus pada restoran tempat ia bekerja. Meski jam kerjanya dimulai pukul 10 pagi, ia harus datang lebih awal untuk membantu rekan-rekannya mempersiapkan semuanya.

Dengan cepat, ia mengambil handuk dan perlengkapan mandi, lalu melangkah ke kamar mandi kecil di ujung lorong rumah itu. Ruangannya sempit, dindingnya mulai mengelupas, dan pancurannya sering kali tidak mengalir deras, tapi Tiara sudah terbiasa. Yang penting bisa bersih dan segar, pikirnya.

Setelah mandi, Tiara mengenakan seragam restoran yang ia simpan semalam di dalam tasnya. Seragam itu terdiri dari blus putih bersih dengan logo restoran di dada kiri, dipadukan dengan rok hitam formal dan apron kecil. Rambut panjangnya ia ikat rapi, memperlihatkan wajahnya yang segar meskipun ia kurang tidur semalam.

Sambil bersiap, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia melangkah keluar, berjalan ke jalan raya untuk menunggu angkutan. Dulu, ia biasanya memakai motor yang ia beli dari hasil kerja kerasnya, namun itu tidak bertahan lama, kakaknya menjual motor itu begitu saja.

-----

Clarisa melangkah masuk ke butik mewahnya di kawasan pusat perbelanjaan elite Jakarta Selatan. Desain butik itu sangat elegan, dengan dinding kaca besar yang memamerkan koleksi pakaian eksklusif di dalamnya. Manekin-manekin di etalase memakai gaun-gaun yang menjadi tren terbaru, semuanya dirancang dengan detail yang mewah dan kain berkualitas tinggi.

Seorang karyawan wanita muda segera menyambutnya dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Bu Clarisa. Apa kabar?" sapanya.

"Selamat pagi. Baik, terima kasih. Bagaimana penjualan kita seminggu ini?" tanya Clarisa sambil melangkah menuju meja resepsionis, di mana laporan penjualan biasanya diletakkan.

Karyawan itu segera memberikan sebuah map berisi laporan lengkap. "Penjualan minggu ini cukup stabil, Bu. Tapi ada penurunan sedikit untuk lini casual. Mungkin karena sedang ada diskon besar di butik sebelah," jelasnya sambil menunjuk angka-angka dalam laporan tersebut.

Clarisa membuka map dan membaca sekilas. Mata profesionalnya segera menangkap data penting. Ia mengangguk pelan, lalu berkata, "Hmm, kalau begitu kita harus segera memikirkan strategi untuk meningkatkan penjualan lini casual ini. Mungkin kita perlu menambahkan beberapa aksesori yang mendukung tampilan casual tapi tetap elegan. Saya akan diskusikan ini lebih lanjut nanti. Untuk sementara, coba buat display baru di bagian depan dengan koleksi casual, ya."

"Siap, Bu. Akan segera kami atur," jawab karyawan itu dengan sigap.

Clarisa kemudian berjalan menuju ruang kerja kecilnya di dalam butik. Ia menyapa beberapa karyawan lain yang sibuk melayani pelanggan atau merapikan koleksi pakaian. Semuanya memberikan salam hormat, dan Clarisa membalas dengan senyum hangat. Ia sangat dihormati oleh timnya karena sikapnya yang tegas tapi tetap peduli pada kesejahteraan mereka.

Di ruang kerjanya, Clarisa menyalakan laptop dan mulai memeriksa email serta pesan dari pemasok. Ia juga meluangkan waktu untuk memeriksa katalog koleksi baru yang akan datang. Pikirannya penuh dengan rencana, mulai dari promosi yang harus segera diluncurkan hingga koleksi musiman yang harus ia kurasi.

Sambil mengetik sesuatu di laptopnya, Clarisa sesekali melirik ke luar ruangannya melalui kaca transparan. Ia melihat seorang pelanggan yang tampak tertarik dengan salah satu gaun mahal di etalase.

Tak lama kemudian saat ia sedang memeriksa katalog , ia langsung terhenti saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari temannya muncul di layar:

"Hei, aku sudah sampai di kafe tempat kita janjian tadi malam. Kamu jadi datang, kan?"

Clarisa terdiam sejenak, mengingat percakapan mereka kemarin. Astaga, ia hampir lupa dengan janji pertemuan ini. "Oh tidak," gumamnya pelan sambil segera mengetik balasan: "Maaf, aku lupa banget! Aku otw sekarang."

Ia berdiri, merapikan sedikit rambutnya di cermin kecil yang ada di ruang kerjanya, lalu mengambil tasnya. Sebelum pergi, Clarisa memanggil salah satu stafnya.

"Rini, aku pergi dulu, nanti aku sore ke sini lagi, ya. Kalau ada hal mendesak, langsung hubungi," ujarnya cepat sambil melangkah keluar.

"Baik Bu," balas Rini dengan sopan.

Clarisa keluar dari butik, berjalan menuju parkiran, dan langsung mencari sopirnya. "Pak, tolong antar aku ke kafe sekarang," katanya lalu menyebutkan nama kafe tersebut. Sopir itu segera mengarahkan mobil ke tujuan.

Setelah sampai, ia turun dari mobil dengan anggun, langkahnya cepat tapi tetap terjaga. Begitu memasuki kafe yang elegan, suasana hangat langsung menyambutnya. Ruangan itu dipenuhi dekorasi modern, dengan dinding bata putih dan tanaman gantung yang menghiasi beberapa sudut. Aroma kopi dan roti panggang menguar, menambah kesan nyaman.

Di sudut ruangan, dua temannya sudah menunggunya. Keduanya sama-sama cantik, dengan gaya busana yang tak kalah modis darinya.

"Clarisa! Akhirnya kamu datang," sapa salah satu dari mereka, seorang wanita berambut sebahu yang mengenakan blouse satin krem.

Temannya yang lain, yang mengenakan dress hitam chic, ikut menyapa dengan senyum lebar. "Kamu lama banget, kita kira nggak jadi."

Clarisa tersenyum sambil mendekat. "Maaf ya, tadi sempat ke butik dulu. Ada yang harus diurus," ujarnya sambil memeluk masing-masing temannya. Mereka saling berciuman pipi sebagai sapaan, gestur khas yang menunjukkan keakraban mereka.

Mereka memilih meja di dekat jendela besar yang menghadap ke taman kecil di luar. Setelah duduk, seorang pelayan segera datang membawa menu.

"Aku mau cappuccino dan croissant, ya," kata Clarisa setelah melihat menu.

"Aku matcha latte dan blueberry cheesecake," pesan temannya yang berbaju krem bernama Vanila.

"Saya flat white dan tiramisu," tambah yang lainnya.

Pelayan itu mencatat pesanan mereka dengan cepat, lalu pergi meninggalkan mereka bertiga yang mulai berbincang santai.

Setelah minuman mereka siap, mereka memesan snack dan desert. Vanila menyesap matcha lattenya dengan penuh semangat, lalu meletakkan cangkirnya di atas meja. Ia menatap kedua temannya dengan mata berbinar. "Eh, kalian tahu nggak? Aku baru saja dapat proyek syuting film di Swiss!" serunya dengan nada ceria.

Clarisa dan temannya yang lain, Bianca, langsung menoleh dengan penuh perhatian. "Benarkah? Wah, hebat banget! Film apa?" tanya Bianca, yang terlihat tertarik.

"Judulnya masih dirahasiakan, tapi ini produksi kolaborasi internasional," jawab Vanila, tersenyum lebar. "Dan tahu nggak siapa lawan main aku?"

"Siapa?" Clarisa bertanya sambil tersenyum kecil, ikut merasa penasaran.

Vanila mendekat sedikit, seperti ingin membuat suasana lebih dramatis. "Artis terkenal dari Thailand, P’Thanawat!"

Bianca langsung terperanjat. "Serius? Aku ngefans banget sama dia! Aduh, Van, aku iri banget sama kamu!" serunya sambil memukul pelan lengan Vanila.

Clarisa juga ikut tertawa kecil, meski sedikit lebih tenang. "Wah, itu pencapaian besar, Van. Aku ikut senang dengar kabar ini. Tapi, syuting di Swiss pasti nggak sebentar, ya?"

"Ya, kurang lebih tiga bulan," jawab Vanila sambil memutar cangkirnya dengan jemarinya yang lentik. "Tapi aku nggak keberatan. Swiss itu impianku sejak lama. Pemandangan gunung salju, desa-desa kecil, danau biru… semuanya pasti luar biasa."

Bianca mengangguk setuju. "Iya, pasti indah banget. Apalagi Swiss terkenal dengan cokelat dan keju, ya? Jangan lupa bawa oleh-oleh buat kami!"

"Pastinya!" Vanila tertawa ringan. "Tapi jujur, aku agak deg-degan juga. Syuting di luar negeri itu banyak tantangan. Bahasanya beda, jadwalnya padat. Semoga aja aku bisa kasih performa terbaik."

"Kamu pasti bisa," ujar Clarisa dengan nada lembut. "Kamu profesional, Van. Kalau kamu bisa sampai di titik ini, berarti kamu sudah layak mendapatkan semua kesempatan besar itu."

Vanila tersenyum hangat mendengar dukungan Clarisa. "Terima kasih, Cla. Aku tahu kamu selalu tulus menyemangati aku."

Saat Vanila masih bercerita dengan semangat tentang rencananya di Swiss, Bianca tersenyum tipis, terlihat menyimpan sesuatu. Ia menunggu jeda dalam obrolan sebelum akhirnya berkata, "Ngomong-ngomong soal kabar baik… aku juga punya berita yang mau kubagikan ke kalian."

Vanila dan Clarisa langsung menoleh dengan penasaran. "Apa?" tanya Vanila antusias.

Bianca tersenyum lebar, tangannya menyentuh perutnya secara refleks. "Aku hamil."

Vanila langsung berseru, "Wah, serius? Selamat, Bi!" Wajahnya berseri-seri, dan ia langsung meraih tangan Bianca dengan penuh semangat.

Clarisa juga tersenyum hangat. "Selamat, Bi! Itu kabar luar biasa."

"Aku baru tahu beberapa hari lalu," lanjut Bianca dengan nada bahagia. "Masih awal banget, sih. Tapi aku dan suamiku sangat senang. Rasanya seperti mimpi."

Vanila tertawa kecil. "Baru tiga bulan menikah, sudah hamil. Kamu memang produktif sekali!" candanya sambil tertawa.

Bianca tertawa juga, sedikit malu-malu. "Iya, aku juga nggak nyangka secepat ini. Tapi aku bersyukur. Aku harap semuanya lancar sampai melahirkan nanti."

Clarisa ikut tertawa, tetapi di balik senyumnya, perasaannya mulai bercampur aduk. Ia bahagia untuk temannya, tentu saja, tapi rasa iri kecil mulai muncul dalam hatinya. Bianca baru menikah tiga bulan dan sudah mendapatkan kabar bahagia seperti ini, sementara ia dan Adrian sudah empat tahun berumah tangga tanpa tanda-tanda kehamilan.

Pikiran Clarisa melayang ke ucapan dokter yang menyatakan peluangnya untuk hamil sangat kecil. Kata-kata itu terus membekas di benaknya, seperti beban yang sulit diabaikan. Ia berusaha menenangkan diri dan menutupi rasa sedihnya dengan mengalihkan perhatian kembali pada obrolan mereka.

"Kamu pasti akan jadi ibu yang hebat, Bi," ucap Clarisa dengan tulus. "Dan suamimu pasti sedang bahagia sekali"

"Dia nggak berhenti tersenyum sejak aku kasih tahu," jawab Bianca sambil tertawa kecil. "Tapi dia juga sudah mulai khawatir, terutama soal makanan yang aku makan dan semua hal kecil lainnya."

Vanila tersenyum mendengar itu. "Ah, calon ayah yang protektif. Itu tanda cinta, Bi. Nikmati saja momen-momen ini." Ia menyesap cappuccino-nya perlahan, lalu menatap Clarisa dengan senyum penuh perhatian. “Clarisa, kamu sendiri bagaimana? Apa ada rencana baru dalam waktu dekat? Kamu pernah bilang kan, ingin punya anak secepatnya.”

Clarisa tertegun sejenak, tidak menyangka topik itu akan muncul. Namun, ia segera mengatur ekspresinya dan tersenyum kecil. “Aku dan Adrian tetap berusaha, kok. Tapi, ya, mungkin belum waktunya. Doakan saja.”

Bianca, yang masih memancarkan kebahagiaan dari kabar kehamilannya, ikut menimpali. “Aku yakin kamu pasti bisa, Clar. Kamu dan Adrian pasangan yang hebat. Nggak perlu buru-buru, nanti kalau waktunya tiba, pasti semua berjalan lancar.”

Clarisa mengangguk perlahan, hatinya hangat mendengar dukungan temannya, meskipun rasa getir masih ada. Ia menghela napas pelan sebelum menjawab. “Terima kasih, Bi. Aku menghargai itu. Aku tahu, sih, kadang aku harus lebih sabar.”

Vanila menyentuh tangan Clarisa di atas meja, gestur kecil yang penuh arti. “Kami tahu kamu dan Adrian sudah lama menunggu. Aku juga ikut berdoa, Clar. Kamu kan tahu, doa banyak orang itu kuat. Semoga Tuhan segera memberi keajaiban buat kamu.”

Clarisa tersenyum lebih lebar kali ini, meskipun matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Vanila. Doa kalian berarti banget buat aku.”

Bianca menambahkan, “Yang penting kamu tetap sehat dan bahagia. Kalau butuh cerita atau apa pun, jangan ragu hubungi aku atau Vanila, ya. Kita selalu ada buat kamu.”

Meski ucapan Vanila dan Bianca penuh semangat dan tulus, hati Clarisa terasa semakin berat. Ia menatap secangkir latte di depannya, mengaduk busa susu tanpa tujuan, hanya untuk menyembunyikan kegelisahan di balik gerakan kecil itu. Kata-kata mereka seharusnya menguatkan, tapi kenyataan yang ia tahu dari dokter terus menghantui pikirannya.

"Bisa, tapi kemungkinannya kecil."

Ucapan dokter itu berputar lagi di kepalanya, dingin dan tajam seperti pisau yang mengiris harapannya. Ia takut. Takut jika ia tidak bisa memberikan Adrian sesuatu yang selama ini mereka dambakan bersama. Takut jika cinta Adrian padanya mulai goyah, walaupun ia tahu suaminya selalu bersikap baik dan pengertian.

“Clar? Kamu baik-baik saja?” suara Bianca memecahkan lamunannya.

Clarisa tersentak kecil, lalu tersenyum untuk menutupi perasaannya. “Oh, ya, aku baik-baik saja. Maaf, tadi melamun sebentar.”

Vanila menatapnya dengan rasa ingin tahu, tapi memilih tidak bertanya lebih lanjut. Sebagai teman dekat, ia bisa membaca bahwa Clarisa menyembunyikan sesuatu, tapi ini bukan waktu atau tempat untuk memaksanya berbicara.

“Kalau ada apa-apa, kamu tahu kita selalu ada buat kamu, kan?” ujar Vanila lembut, mencoba memberi rasa nyaman tanpa mendesak.

Clarisa mengangguk, “Aku tahu, dan aku benar-benar berterima kasih buat kalian berdua.”

Bianca tersenyum hangat, mencoba meringankan suasana. “Yakin deh, kamu pasti akan melewati semua ini. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira, Clar.”

Clarisa tersenyum kecil, tapi dalam hatinya, rasa pesimis itu tumbuh semakin besar. Ia berpikir, bagaimana jika semua orang salah? Bagaimana jika tidak ada waktu yang cukup untuk membuktikan kekuatannya?

Ia menghela napas dalam, mencoba fokus pada obrolan ringan yang mulai beralih ke topik lain. Tapi jauh di lubuk hatinya, ketakutan itu tetap tinggal, menjadi bayangan gelap yang terus menghantui.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 44

    Malam ini, sesuai rencana, Tiara pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutinnya. Sejak pagi, Adrian sudah memutuskan bahwa ia tidak peduli jika Clarisa marah atau kesal. Baginya, yang terpenting adalah memastikan Tiara dan bayinya baik-baik saja. Lagipula, ia hanya akan menunggu di dalam mobil, tidak akan ikut masuk ke ruangan dokter. Itu sudah cukup baginya, atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya begitu.Di dalam perjalanan, Tiara duduk diam di kursi penumpang, sesekali melirik Adrian yang fokus menyetir. Ia tahu Clarisa akan tidak suka jika tahu suaminya tetap mengantarnya, ia pun sudah sempat menolaknya sebelum berangkat ke sini, namun Adrian cukup keras kepala. Jadi, ia memilih untuk tidak membahasnya.Setibanya di klinik, Adrian memarkir mobil di sudut parkiran yang tidak terlalu mencolok, seperti beberapa bulan lalu Tiara melepas sabuk pengamannya, lalu menoleh ke Adrian. "Mas, aku masuk dulu."Adrian mengangguk. "Iya, Tiara, kamu hati-hati ya."Tiara mengangguk pe

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 43

    Siang itu, Clarisa memutuskan untuk mengunjungi kantor Adrian. Sudah lama ia tidak mampir ke sana, dan hari ini, karena tidak ada jadwal syuting di sore hari, ia merasa ini waktu yang tepat. Dengan langkah santai, ia memasuki gedung perkantoran yang sudah tak asing lagi baginya. Beberapa karyawan langsung menyapa dengan sopan.“Selamat siang, Ibu Clarisa,” ucap salah satu resepsionis dengan senyuman ramah.Clarisa membalas senyum itu. “Selamat siang. Pak Adrian ada di ruangannya, kan?” tanyanya sambil berjalan menuju lift.“Seharusnya ada, Bu,” jawab resepsionis itu sebelum Clarisa melangkah masuk ke lift.Saat tiba di lantai tempat Adrian bekerja, Clarisa menuju ruang kerja suaminya. Namun, begitu pintu terbuka, ia mendapati ruangan itu kosong. Tidak ada Adrian di sana.Ia berdiri sejenak, mencoba menghubungi Adrian melalui ponselnya, tetapi panggilan itu tidak diangkat. Dengan sedikit rasa penasaran yang bercampur kesal, Clarisa keluar dari ruangan Adrian dan melangkah menuju ruanga

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 42

    Tiara duduk di meja dapur, di depannya ada tumpukan bawang putih yang siap dikupas. Ia mengambil satu per satu siung bawang putih itu, jari-jarinya lincah mengupas kulit tipisnya. Di sebelahnya, Bi Susi sibuk melakukan hal yang sama, sesekali tersenyum sambil bercerita tentang sebuah sinetron yang baru saja ditontonnya."Sinetron ini ceritanya tentang seorang wanita yang kaya raya, tapi hidupnya penuh masalah," Bi Susi mulai bercerita, antusias. "Dia punya suami yang tampan, tapi ternyata diam-diam punya selingkuhan."Tiara mengangguk perlahan, meski ia sebenarnya tidak tahu sinetron apa yang dimaksud. "Hmm, terus gimana, Bi?""Suaminya itu ketahuan sama istrinya waktu lagi makan malam romantis sama selingkuhannya," lanjut Bi Susi, wajahnya penuh ekspresi. "Istrinya marah besar, tapi karena dia masih cinta, dia memaafkan suaminya. Tapi, tahu nggak, Mbak Tiara? Selingkuhannya itu malah ngelawan, dia ngaku hamil sama suaminya!"Tiara hanya tersenyum kecil, membiarkan Bi Susi melanjutkan

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 41

    Adrian mengemudikan mobilnya dengan penuh perhatian, menyusuri jalanan kota yang semakin padat seiring dengan bertambahnya waktu, apalagi nanti malam adalah malam minggu, di mana banyak orang akan lebih banyak keluar rumah. Udara petang yang sejuk membelai wajahnya melalui jendela yang sedikit terbuka.Sejak meninggalkan rumah, ia telah berhenti di beberapa toko buah dan supermarket. Di setiap tempat, ia dengan sabar menanyakan stok mangga, tetapi jawaban yang diterima selalu sama, musim mangga sudah berakhir. Beberapa penjual bahkan menatapnya dengan simpati, menyadari betapa gigihnya ia mencari buah yang sudah jarang ditemui itu. Adrian hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih sebelum melanjutkan perjalanannya ke tempat berikutnya.Waktu terus berjalan, jarum jam di dashboard mobil menunjukkan hampir tiga jam sejak ia mulai berkeliling. Rasa lelah mulai menguasai tubuhnya, namun tekadnya belum luntur. Setiap kali ia teringat wajah Tiara yang berharap dan sedikit murung, semanga

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 40

    Clarisa sedang duduk di depan cermin besar berbingkai kayu mewah di ruang rias yang terang, di sebuah kantor gedung sebuah televisi tempat variety shownya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela besar, memantulkan bayangan wajahnya yang cantik dan tenang di permukaan cermin. Di sekelilingnya, berbagai alat rias tertata rapi di meja panjang, dari palet warna, kuas, hingga produk kecantikan yang tampak mahal. Di sudut ruangan, sofa empuk berwarna krem terlihat nyaman, lengkap dengan bantal-bantal kecil yang menghiasinya.Lina, seorang makeup artis, berdiri di sampingnya dengan sikap profesional namun ramah. Tangannya yang terampil bergerak dengan cekatan, mengoleskan foundation pada wajah Clarisa dengan kuas lembut. Sesekali, Lina berhenti untuk memastikan setiap detail sempurna, mencocokkan warna dan tekstur agar sesuai dengan kulit Clarisa."Mbak Clarisa, kamu masih aja secantik dulu. Aku suka merias kulitmu, halus banget," Lina memuji sambil terus bekerja, matanya fokus pada seti

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 39

    Clarisa melangkah menuju kantor Adrian siang itu. Sesampainya di lantai yang dituju, ia berjalan melewati beberapa karyawan yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Matanya tiba-tiba tertarik pada seorang karyawan wanita yang duduk di sudut ruangan, tampak sibuk dengan sesuatu yang berbeda dari yang lain.Penasaran, Clarisa mendekat dan melihat lebih jelas. Di meja karyawan itu, ada dua testpack kehamilan dan foto USG yang sedang dirangkai dengan hiasan manis. Clarisa mengerutkan kening, merasa aneh melihat hal itu dilakukan di tengah jam kerja.“Ini jam kerja, kenapa kamu malah sibuk dengan hal seperti ini?” tanya Clarisa dengan nada tajam.Karyawan itu mengangkat wajahnya, tampak terkejut sejenak sebelum menjawab dengan tenang, “Saya pikir Bu Clarisa sudah tahu, ini Pak Adrian yang menyuruh saya.”Clarisa merasa hatinya mencelos mendengar jawaban itu. Wajahnya berubah sedikit. “Benarkah itu foto USG bayiku?” tanyanya, berusaha memastikan.Karyawan itu mengangguk, tersenyum ramah. “Iya, B

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status