Share

Bab 7

Penulis: Vivy Yu
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-14 20:16:40

Adrian melangkah masuk ke kantor pusat Hardi Sutopo Group, sebuah gedung pencakar langit modern di pusat Jakarta. Gedung itu mencerminkan kekuatan dan reputasi perusahaan, dengan desain eksterior kaca biru yang berkilauan diterpa sinar matahari pagi. Sebagai salah satu perusahaan real estate terbesar di Indonesia, nama Hardi Sutopo Group sudah dikenal luas, menjadi simbol kesuksesan dan inovasi di bidang properti.

Pria berusia 33 tahun itu tampil sempurna, seperti biasa. Wajahnya yang tampan, dengan rahang tegas dan hidung mancung, ditambah kulitnya yang putih bersih, membuat banyak pasang mata menoleh ke arahnya. Ia mengenakan setelan jas hitam elegan yang pas di tubuhnya, mempertegas sosoknya yang tinggi dan tegap. Kemeja putihnya bersih tanpa cela, dipadukan dasi sutra berwarna abu-abu tua. Sepatu kulit hitamnya yang mengilap mengetuk lantai marmer dengan ritme yang mantap, menunjukkan kepercayaan dirinya.

Senyumnya tipis namun karismatik, cukup untuk mencairkan suasana tegang siapa pun yang berpapasan dengannya. Tapi sorot matanya tajam, mencerminkan kecerdasan dan ketegasan seorang pemimpin muda yang visioner. Di usianya yang tergolong muda, Adrian sudah membantu membawa Hardi Sutopo Group ke puncak kesuksesan. Ia dihormati oleh karyawannya bukan hanya karena posisi atau latar belakang keluarganya, tetapi juga karena kerja keras dan kepiawaiannya dalam mengambil keputusan strategis.

“Selamat pagi, Pak Adrian,” sapa seorang resepsionis dengan senyum gugup namun penuh hormat.

“Pagi,” jawab Adrian singkat, namun nadanya ramah. Ia melanjutkan langkahnya ke lift khusus eksekutif, di mana seorang asisten pribadinya, Raka, sudah menunggu di depan pintu lift dengan tablet di tangan.

“Selamat pagi, Pak. Ini agenda Anda hari ini,” kata Raka sambil menyerahkan tablet itu.

Adrian menerima tablet tersebut dan melihatnya sekilas saat lift mulai bergerak naik. Pagi ini ada rapat penting dengan tim pemasaran untuk membahas peluncuran proyek perumahan mewah terbaru di kawasan BSD City, salah satu proyek unggulan perusahaan. Selain itu, ada juga pertemuan dengan calon investor asing yang tertarik bekerja sama di bidang mixed-use development di Bali.

“Baik. Pastikan tim pemasaran sudah menyiapkan semua data yang saya butuhkan. Dan untuk pertemuan dengan investor, atur waktu yang tidak bentrok dengan rapat direksi nanti,” instruksinya tegas.

“Siap, Pak,” jawab Raka cepat, mencatat arahan tersebut.

Pintu lift terbuka di lantai tertinggi gedung, tempat kantor Adrian berada. Ruangannya luas dengan pemandangan menakjubkan kota Jakarta. Desain interiornya modern minimalis, dengan dominasi warna putih, hitam, dan abu-abu. Meja kerja Adrian terbuat dari kayu solid dengan permukaan kaca, dikelilingi kursi kulit hitam berkualitas tinggi. Di salah satu sisi ruangan, terdapat rak buku besar berisi koleksi buku bisnis dan arsitektur.

Adrian meletakkan tablet di mejanya, membuka jasnya dan menggantungkannya di belakang kursi. Ia menarik napas dalam, bersiap menghadapi hari yang panjang, penuh tantangan, namun ia tahu ia telah terbiasa menjalani ritme hidup seperti ini.

Raka yang masih membututinya mengatakan informasi yang sangat membuatnya terkejut. Ia mengerutkan kening saat mendengar informasi tersebut. "Mengundurkan diri?" tanyanya, nada suaranya tegas, namun tidak menunjukkan emosi berlebihan.

Raka menundukkan sedikit kepala, merasa tidak enak dengan kabar yang harus ia sampaikan. “Iya, Pak. Bu Ratna menyampaikan pengunduran dirinya kemarin sore. Tapi saya baru sempat memberitahu Bapak sekarang karena langsung ada keputusan penggantinya.”

Adrian memiringkan kepala, ekspresinya menyiratkan ketidakpuasan. “Kenapa dia tiba-tiba mengundurkan diri?”

Raka tampak ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Menurut informasi, Ibu Henny yang meminta Bu Ratna untuk mengundurkan diri. Saya tidak tahu pasti alasannya, Pak.”

Adrian menahan napas sejenak, mengalihkan pandangan seolah mencoba memahami situasi tersebut. Ini aneh, ia ingin tahu apa alasan sang ibu melakukan hal ini, ibunya biasanya akan bertanya terlebih dahulu. Lagipula ibunya tidak fokus mengurus perusahaan  ini walaupun memang sesekali masih berkunjung.

“Jadi, Ibu sudah memilih penggantinya?” tanya Adrian dengan nada lebih datar.

“Betul, Pak. Pengganti sekretaris akan mulai bekerja hari ini,” Raka menjelaskan.

Adrian mendengarkan penjelasan itu dengan ekspresi datar. Setelah beberapa detik, ia menarik napas panjang, lalu berkata, “Baiklah. Tapi Raka, beri tahu saya lebih awal jika ada hal seperti ini. Saya tidak suka mendengar keputusan besar tanpa koordinasi sebelumnya.”

“Siap, Pak. Saya minta maaf atas keterlambatan ini,” ujar Raka penuh penyesalan.

Sekretaris adalah salah satu posisi krusial dalam manajemennya. Bu Ratna, yang telah bekerja dengannya selama lima tahun, selalu sigap dan paham cara kerja Adrian tanpa perlu banyak instruksi. Langkah mendadak ini, meski masih dalam kendali keluarga, terasa seperti intervensi yang tidak nyaman.

Setelah Raka keluar, beberapa saat kemudian, Adrian mendongakkan kepala dari dokumen di mejanya saat mendengar ketukan pintu. Suaranya yang tegas namun tenang mempersilakan orang di luar untuk masuk. Ketika pintu terbuka, langkah anggun ibunya, memasuki ruangan. Di belakangnya, seorang wanita yang terlihat sangat familiar muncul, membuat Adrian membeku sejenak.

Wanita itu tinggi dengan tubuh langsing, mengenakan blazer warna krem dengan potongan modern yang memancarkan profesionalisme, dipadukan dengan rok pensil selutut dan sepatu hak tinggi. Rambutnya hitam, diatur dengan sempurna dalam gaya sanggul rendah, menonjolkan leher jenjang dan wajahnya yang cantik. Lipstik merah muda lembut menambah sentuhan feminin pada penampilannya yang elegan.

Adrian hampir tidak percaya pada penglihatannya. Wanita itu adalah Sherly, mantan kekasihnya, seseorang yang pernah ia cintai dengan sepenuh hati di masa lalu tetapi hubungan mereka berakhir dengan cara yang tidak pernah sepenuhnya ia pahami.

"Adrian, ini Sherly," Henny memulai, tersenyum kecil sambil menoleh ke arah wanita itu. “Dia akan menggantikan posisi Bu Ratna sebagai sekretarismu mulai hari ini.”

Sherly melangkah maju dengan percaya diri, namun matanya menyiratkan sedikit kegugupan. Senyumnya lembut, tapi ada bayangan emosi yang sulit ditebak.

“Selamat pagi, Adrian,” katanya dengan suara yang sama seperti dulu, hangat, tenang, namun kali ini terdengar lebih formal.

Adrian tetap duduk, menatap Sherly dengan ekspresi datar yang sulit diterjemahkan, mencoba mengendalikan kekagetannya. Banyak hal melintas di pikirannya dalam sekejap, mulai dari kenangan masa lalu hingga pertanyaan tentang bagaimana dan mengapa ibunya membawa Sherly ke dalam situasi ini tanpa memberitahunya lebih dulu. Dalam hati, ia langsung menyadari apa yang sedang dilakukan ibunya. Ibunya adalah sosok yang dikenal cerdik dan selalu memiliki rencana, apalagi dalam urusan keluarga.

Dulu, Adrian dan Sherly menjalin hubungan yang erat selama lebih dari tiga tahun. Kedua keluarga mereka sudah saling mengenal dengan baik, bahkan hubungan itu hampir menuju tahap serius sebelum akhirnya kandas. Ia tahu ibunya sangat menyukai Sherly dan sempat kecewa berat saat hubungan mereka berakhir, meskipun Adrian tidak pernah benar-benar menjelaskan alasannya kepada siapa pun.

“Jadi ini tujuannya,” pikir Adrian dalam hati, menatap ibunya sekilas dengan pandangan tajam yang tidak terlalu kentara. Ia tahu ibunya pasti ingin mencoba mempertemukan mereka kembali, memberikan mereka ‘kesempatan kedua,’ meskipun cara ini terasa seperti tindakan sepihak.

Sherly berdiri di hadapannya, tampak percaya diri, meskipun Adrian mengenalnya cukup baik untuk menangkap kilasan keraguan di balik matanya. Ia teringat bagaimana Sherly dulu selalu mengatur dirinya dengan anggun, bahkan di situasi sulit. Namun, kehadirannya sekarang, di ruangan ini, sebagai sekretaris barunya, membuat Adrian merasa seperti dipermainkan oleh takdir.

Sementara itu, Henny tetap berdiri di sana, memperhatikan keduanya dengan senyum kecil, puas dengan keputusannya. Tanpa banyak bicara, ia sudah menyampaikan niatnya dengan tindakan ini. Adrian tahu betul bahwa ibunya pasti menganggap Sherly sebagai calon menantu ideal dan tidak akan ragu untuk memanfaatkan situasi agar mereka kembali bersama.

Henny duduk di salah satu kursi di depan meja kerja Adrian dengan anggun, mengatur gaun mahalnya agar tidak kusut. Ia menatap Adrian dengan sorot penuh kebanggaan dan harapan, lalu beralih memandangi Sherly dengan senyum puas yang hampir tidak bisa ia sembunyikan.

“Adrian, Mama pikir kamu sudah tahu kenapa Mama membawa Sherly ke sini,” ujar Henny, membuka percakapan dengan nada lembut tapi penuh arti. “Sherly sangat berpotensi membantu mengelola berbagai proyek perusahaan. Mama yakin dia akan jadi tambahan yang sempurna untuk timmu.”

Adrian menghela napas pelan, menahan semua emosi yang berputar di kepalanya. Ia melirik Sherly yang berdiri di sebelah ibunya. Wanita itu tampak sempurna seperti dulu, cantik, elegan, dan senyum kecil yang tampak profesional namun memiliki sentuhan kehangatan.

“Sherly,” Adrian akhirnya membuka suara, mencoba terdengar netral. “Sudah lama tidak bertemu. Apa kabar?”

Sherly sedikit membetulkan posisi berdirinya, tampak canggung tapi tetap berusaha tersenyum. “Baik, Adrian. Bagaimana denganmu?”

“Baik juga,” jawab Adrian singkat, matanya tidak sepenuhnya menatap Sherly. Ia lalu melirik ibunya seolah meminta penjelasan lebih lanjut.

Henny, yang menyadari suasana canggung itu, segera menyela dengan nada ceria. “Ah, tentu kalian masih butuh waktu untuk menyesuaikan diri lagi. Sudah lama sekali kalian tidak bertemu, kan?” Henny tertawa kecil. “Tapi Mama yakin, ini akan jadi awal yang baik.”

Sherly menoleh ke arah Henny, lalu ke Adrian, mencoba menjelaskan dirinya sendiri. “Tante Henny menghubungiku beberapa minggu lalu, menawarkan posisi ini. Saya pikir... kenapa tidak? Saya senang bisa bekerja di lingkungan yang profesional seperti ini, apalagi di perusahaan sebesar Hardi Sutopo Group.”

Adrian mengangguk pelan, mencoba memproses semuanya. “Ya, tentu. Perusahaan ini selalu membutuhkan orang-orang berbakat,” katanya, menjaga nada suaranya tetap profesional.

Namun, suasana ruangan masih terasa kaku, dengan percakapan yang terkesan terlalu formal untuk hubungan lama mereka.

Henny, tidak ingin membiarkan momen itu berlalu begitu saja, menyemangati dengan nada optimis. “Sherly, kamu tahu kan Adrian ini sibuk sekali. Jadi, bantu dia ya, supaya tidak terlalu terbebani.”

Sherly tersenyum lagi, mencoba mengurangi ketegangan. “Tentu, Tante. Saya akan melakukan yang terbaik.”

Adrian hanya mengangguk lagi. Ia tahu, ini bukan sekadar soal pekerjaan. Ibunya punya maksud lain yang lebih dalam, dan itu membuatnya merasa sedikit terperangkap. Namun, ia memutuskan untuk tidak menunjukkan perasaannya di depan Sherly maupun ibunya.

“Baik, kalau begitu,” Henny berkata, berdiri dari kursinya. “Mama akan pergi dulu. Kalian berdua pasti punya banyak hal yang perlu dibicarakan.”

Adrian ingin menyangkal, tapi ia hanya mengangguk pelan.

Setelah sang ibu keluar, suasana di ruangan itu terasa hening dan penuh ketegangan. Adrian duduk tegak di kursinya, matanya melirik sekilas ke arah Sherly yang masih berdiri di depannya. Ia berdehem pelan, mencoba memecah keheningan tanpa terlihat terlalu tegang.

"Baiklah, Sherly," katanya akhirnya, memilih nada profesional. "Aku tidak akan langsung membahas pekerjaan secara detail. Sebaiknya Raka saja yang memberimu gambaran tentang tugas dan tanggung jawabmu."

Sherly mengangguk pelan, senyumnya sopan. "Tentu, Adrian. Aku menunggu arahan."

Adrian meraih telepon kantornya dan menekan tombol untuk menghubungi Raka. "Raka, bisakah kamu datang ke ruanganku? Ada hal yang perlu aku bicarakan," katanya singkat sebelum menutup telepon.

Beberapa detik berlalu dengan keheningan yang canggung. Adrian memilih untuk tidak mengangkat topik pribadi apa pun, meskipun ada banyak pertanyaan dan kenangan yang membayangi pikirannya. Ia tahu ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk membahas masa lalu mereka. Lagipula masa lalu sudah tidak penting, ia telah bahagia sekarang dan mungkin Sherly juga begitu.

Tak lama kemudian, pintu diketuk dan Raka muncul. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Adrian?" tanyanya, tatapannya bergeser ke arah Sherly yang berdiri di sana.

"Ya, Raka. Ini Sherly, dia akan bergabung di perusahaan. Tolong antar dia ke ruangannya dan beri penjelasan tentang pekerjaannya," kata Adrian, nada suaranya kembali penuh wibawa, tanpa sedikit pun menunjukkan keterlibatannya secara personal.

"Baik, Pak," jawab Raka sambil tersenyum ramah kepada Sherly. "Mari, Bu Sherly. Saya akan menunjukkan tempat Anda bekerja."

Sherly menoleh kepada Adrian sejenak sebelum mengikuti Raka keluar ruangan. "Terima kasih, Adrian," katanya lembut, sebelum pergi meninggalkan ruangan.

Raka sedikit terkejut mendengar Sherly memanggil Adrian hanya dengan nama tanpa embel-embel seperti "Pak" atau "Tuan," seperti yang biasa dilakukan dengan atasan di kantor. Sebagai orang yang telah bekerja bersama Adrian selama bertahun-tahun, Raka tahu betul betapa pentingnya etika profesional di tempat kerja. Namun, ia memilih untuk tidak mengomentari hal tersebut. Mungkin ada sejarah pribadi di antara mereka, pikirnya, dan ia merasa tidak seharusnya ikut campur.

Adrian hanya mengangguk kecil, pandangannya mengikuti Sherly hingga pintu tertutup. Setelah itu, ia menarik napas panjang, membiarkan pikirannya sejenak tersesat di antara kenangan dan realitas yang baru saja terjadi. Ia tahu, ini baru permulaan dari situasi yang mungkin menjadi lebih rumit. Ia tahu niat buruk ibunya.

-----

Tiara berjalan perlahan memasuki rumah kecilnya. Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam, dan ia sudah merasa sangat lelah setelah seharian bekerja. Perjalanan pulang selama setengah jam terasa lebih berat dari biasanya karena pikirannya masih dipenuhi kekhawatiran tentang keluarganya. Namun, begitu membuka pintu, suara langkah kecil terdengar mendekat dengan cepat.

"Tante Tiara!" teriak Naura dengan wajah penuh kegembiraan. Gadis kecil itu langsung memeluk Tiara erat-erat, seolah sudah lama tidak bertemu.

"Naura?" Tiara membungkuk sedikit, balas memeluk keponakannya. "Kenapa kamu belum tidur? Ini sudah malam sekali, sayang."

Naura melepaskan pelukannya dan menatap Tiara dengan senyuman lebar. "Aku nunggu Tante pulang! Aku kangen sekali sama Tante. Aku takut tante tidak pulang"

Tiara menghela napas pelan sambil membelai rambut Naura yang halus. "Kamu memang gadis kecil yang paling manis, tapi kamu harus tidur lebih awal, ya? Besok kan sekolah."

Naura mengangguk cepat, meski tidak benar-benar menyesal telah begadang. "Tadi aku udah gosok gigi dan siap tidur, tapi aku enggak bisa tidur kalau Tante enggak di rumah. Aku takut sama Ayah dan Kakek," katanya lirih, sambil menggenggam tangan Tiara.

Mendengar itu, hati Tiara mencelos. Ia berlutut di depan Naura, menggenggam kedua tangan kecil anak itu dengan lembut. "Naura, kamu enggak perlu takut, ya. Tante selalu ada di sini buat kamu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke Tante."

Naura mengangguk lagi, matanya yang berkaca-kaca memancarkan rasa percaya. "Tante, aku sayang sama Tante. Tante baik sekali sama aku. Aku enggak mau kalau Tante pergi-pergi lagi."

Tiara tersenyum, meskipun ada rasa sakit di hatinya mendengar kata-kata Naura. "Tante juga sayang sekali sama Naura. Tante akan selalu ada buat kamu, kok."

Setelah beberapa saat berbicara, Tiara mengantar Naura kembali ke kamar tidurnya. Ia menata selimut Naura dengan rapi dan menepuk-nepuk punggungnya perlahan agar gadis kecil itu bisa segera terlelap. Meski lelah, ia merasa sedikit lebih lega melihat senyum di wajah Naura.

Tiara menghentikan langkahnya di depan pintu kamarnya ketika suara berat ayahnya terdengar memanggil dari ruang tamu.

"Tiara," panggil sang ayah dengan nada yang tegas, hampir memerintah. "Sini dulu, Bapak mau ngomong."

Tiara menutup matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan kesabaran. Ia tahu ini tidak akan menjadi percakapan yang menyenangkan. Dengan langkah enggan, ia berbalik dan mendekati pria paruh baya itu yang sedang duduk di sofa usang ruang tamu.

"Ada apa, Pak?" tanyanya dengan suara datar, mencoba menyembunyikan kelelahan yang ia rasakan.

"Jangan pura-pura enggak tahu," jawab ayahnya sambil memandangnya dengan tajam. "Siapa tadi pagi yang nganterin kamu pulang pakai mobil mewah? "

Tiara menatap lurus pada ayahnya, menyadari arah pembicaraan ini. "Itu temanku Pak," jawabnya singkat, berharap itu cukup menghentikan obrolan.

Namun, ayahnya justru terkekeh pelan, matanya menyipit dengan ekspresi penuh perhitungan. "Teman, ya? Hmm... teman yang punya mobil kayak gitu? Jangan bohong sama Bapak. Dia pasti orang kaya, kan?"

Tiara menghela napas berat, tidak ingin memperpanjang perdebatan ini. "Iya, dia orang kaya, tapi itu enggak ada hubungannya sama kita."

Ayahnya mendengus, lalu bersandar ke sofa sambil menyilangkan tangannya di dada. "Kamu ini bodoh atau gimana, sih? Kalau dia kaya, kenapa kamu enggak manfaatin? Kita ini butuh uang, Tiara! Kamu lihat sendiri, utang kita numpuk sampai enggak tahu harus bayar gimana. Kalau kamu bisa dekat sama dia, kita mungkin bisa lepas dari semua ini! Jangan lupakan juga bahwa sebentar lagi bos pasti akan datang sendiri ke sini untuk menjemputmu"

Mata Tiara melebar mendengar ucapan itu, dan dadanya langsung terasa sesak. "Pak, enggak semua orang bisa dimanfaatkan begitu saja. Aku enggak mau cari keuntungan dari orang lain dengan cara seperti itu," katanya dengan nada penuh tekanan.

Ayahnya mengangkat alis, tampak tidak terpengaruh oleh penolakan Tiara. "Jangan sok suci! Kamu pikir kamu ini siapa? Kamu kerja banting tulang, tapi hasilnya apa? Cuma cukup buat makan sehari-hari! Kadang juga enggak cukup. Kalau kamu benar-benar peduli sama keluarga ini, kamu harus ambil kesempatan ini. Siapa tahu dia bisa bantu bayar utang kita."

Tiara merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. "Aku sudah kerja keras buat keluarga ini, Pak. Aku sudah lakukan semua yang aku bisa. Tapi kalau Bapak mau aku jual harga diriku seperti itu, aku enggak sanggup." Suaranya gemetar di akhir kalimat, tetapi ia berusaha untuk tetap tegar.

Namun, ayahnya hanya mendengus kesal. "Kalau kamu enggak mau bantu keluarga, jangan salahkan Bapak kalau kita makin tenggelam. Ingat, Tiara, semua yang kamu lakukan seharusnya untuk keluarga ini. Jangan egois."

Tiara tidak sanggup lagi mendengar ucapan itu. Dengan langkah cepat, ia kembali ke kamarnya, membuka pintu, lalu menutupnya dengan hati-hati. Di dalam, ia bersandar pada pintu, air matanya mengalir tanpa henti. Aku sudah berbuat segalanya, tapi selalu dianggap kurang. Apa artinya sebuah keluarga kalau hanya terus seperti ini?  pikirnya dengan pedih.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 44

    Malam ini, sesuai rencana, Tiara pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutinnya. Sejak pagi, Adrian sudah memutuskan bahwa ia tidak peduli jika Clarisa marah atau kesal. Baginya, yang terpenting adalah memastikan Tiara dan bayinya baik-baik saja. Lagipula, ia hanya akan menunggu di dalam mobil, tidak akan ikut masuk ke ruangan dokter. Itu sudah cukup baginya, atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya begitu.Di dalam perjalanan, Tiara duduk diam di kursi penumpang, sesekali melirik Adrian yang fokus menyetir. Ia tahu Clarisa akan tidak suka jika tahu suaminya tetap mengantarnya, ia pun sudah sempat menolaknya sebelum berangkat ke sini, namun Adrian cukup keras kepala. Jadi, ia memilih untuk tidak membahasnya.Setibanya di klinik, Adrian memarkir mobil di sudut parkiran yang tidak terlalu mencolok, seperti beberapa bulan lalu Tiara melepas sabuk pengamannya, lalu menoleh ke Adrian. "Mas, aku masuk dulu."Adrian mengangguk. "Iya, Tiara, kamu hati-hati ya."Tiara mengangguk pe

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 43

    Siang itu, Clarisa memutuskan untuk mengunjungi kantor Adrian. Sudah lama ia tidak mampir ke sana, dan hari ini, karena tidak ada jadwal syuting di sore hari, ia merasa ini waktu yang tepat. Dengan langkah santai, ia memasuki gedung perkantoran yang sudah tak asing lagi baginya. Beberapa karyawan langsung menyapa dengan sopan.“Selamat siang, Ibu Clarisa,” ucap salah satu resepsionis dengan senyuman ramah.Clarisa membalas senyum itu. “Selamat siang. Pak Adrian ada di ruangannya, kan?” tanyanya sambil berjalan menuju lift.“Seharusnya ada, Bu,” jawab resepsionis itu sebelum Clarisa melangkah masuk ke lift.Saat tiba di lantai tempat Adrian bekerja, Clarisa menuju ruang kerja suaminya. Namun, begitu pintu terbuka, ia mendapati ruangan itu kosong. Tidak ada Adrian di sana.Ia berdiri sejenak, mencoba menghubungi Adrian melalui ponselnya, tetapi panggilan itu tidak diangkat. Dengan sedikit rasa penasaran yang bercampur kesal, Clarisa keluar dari ruangan Adrian dan melangkah menuju ruanga

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 42

    Tiara duduk di meja dapur, di depannya ada tumpukan bawang putih yang siap dikupas. Ia mengambil satu per satu siung bawang putih itu, jari-jarinya lincah mengupas kulit tipisnya. Di sebelahnya, Bi Susi sibuk melakukan hal yang sama, sesekali tersenyum sambil bercerita tentang sebuah sinetron yang baru saja ditontonnya."Sinetron ini ceritanya tentang seorang wanita yang kaya raya, tapi hidupnya penuh masalah," Bi Susi mulai bercerita, antusias. "Dia punya suami yang tampan, tapi ternyata diam-diam punya selingkuhan."Tiara mengangguk perlahan, meski ia sebenarnya tidak tahu sinetron apa yang dimaksud. "Hmm, terus gimana, Bi?""Suaminya itu ketahuan sama istrinya waktu lagi makan malam romantis sama selingkuhannya," lanjut Bi Susi, wajahnya penuh ekspresi. "Istrinya marah besar, tapi karena dia masih cinta, dia memaafkan suaminya. Tapi, tahu nggak, Mbak Tiara? Selingkuhannya itu malah ngelawan, dia ngaku hamil sama suaminya!"Tiara hanya tersenyum kecil, membiarkan Bi Susi melanjutkan

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 41

    Adrian mengemudikan mobilnya dengan penuh perhatian, menyusuri jalanan kota yang semakin padat seiring dengan bertambahnya waktu, apalagi nanti malam adalah malam minggu, di mana banyak orang akan lebih banyak keluar rumah. Udara petang yang sejuk membelai wajahnya melalui jendela yang sedikit terbuka.Sejak meninggalkan rumah, ia telah berhenti di beberapa toko buah dan supermarket. Di setiap tempat, ia dengan sabar menanyakan stok mangga, tetapi jawaban yang diterima selalu sama, musim mangga sudah berakhir. Beberapa penjual bahkan menatapnya dengan simpati, menyadari betapa gigihnya ia mencari buah yang sudah jarang ditemui itu. Adrian hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih sebelum melanjutkan perjalanannya ke tempat berikutnya.Waktu terus berjalan, jarum jam di dashboard mobil menunjukkan hampir tiga jam sejak ia mulai berkeliling. Rasa lelah mulai menguasai tubuhnya, namun tekadnya belum luntur. Setiap kali ia teringat wajah Tiara yang berharap dan sedikit murung, semanga

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 40

    Clarisa sedang duduk di depan cermin besar berbingkai kayu mewah di ruang rias yang terang, di sebuah kantor gedung sebuah televisi tempat variety shownya. Cahaya matahari sore masuk melalui jendela besar, memantulkan bayangan wajahnya yang cantik dan tenang di permukaan cermin. Di sekelilingnya, berbagai alat rias tertata rapi di meja panjang, dari palet warna, kuas, hingga produk kecantikan yang tampak mahal. Di sudut ruangan, sofa empuk berwarna krem terlihat nyaman, lengkap dengan bantal-bantal kecil yang menghiasinya.Lina, seorang makeup artis, berdiri di sampingnya dengan sikap profesional namun ramah. Tangannya yang terampil bergerak dengan cekatan, mengoleskan foundation pada wajah Clarisa dengan kuas lembut. Sesekali, Lina berhenti untuk memastikan setiap detail sempurna, mencocokkan warna dan tekstur agar sesuai dengan kulit Clarisa."Mbak Clarisa, kamu masih aja secantik dulu. Aku suka merias kulitmu, halus banget," Lina memuji sambil terus bekerja, matanya fokus pada seti

  • Terperangkap Pernikahan Kontrak   Bab 39

    Clarisa melangkah menuju kantor Adrian siang itu. Sesampainya di lantai yang dituju, ia berjalan melewati beberapa karyawan yang sibuk dengan pekerjaan mereka. Matanya tiba-tiba tertarik pada seorang karyawan wanita yang duduk di sudut ruangan, tampak sibuk dengan sesuatu yang berbeda dari yang lain.Penasaran, Clarisa mendekat dan melihat lebih jelas. Di meja karyawan itu, ada dua testpack kehamilan dan foto USG yang sedang dirangkai dengan hiasan manis. Clarisa mengerutkan kening, merasa aneh melihat hal itu dilakukan di tengah jam kerja.“Ini jam kerja, kenapa kamu malah sibuk dengan hal seperti ini?” tanya Clarisa dengan nada tajam.Karyawan itu mengangkat wajahnya, tampak terkejut sejenak sebelum menjawab dengan tenang, “Saya pikir Bu Clarisa sudah tahu, ini Pak Adrian yang menyuruh saya.”Clarisa merasa hatinya mencelos mendengar jawaban itu. Wajahnya berubah sedikit. “Benarkah itu foto USG bayiku?” tanyanya, berusaha memastikan.Karyawan itu mengangguk, tersenyum ramah. “Iya, B

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status