Hari-hari berlalu, dan Nadia menepati janjinya. Di kelas, ia bersikap sopan tapi netral. Tidak ada sapa pribadi, tidak ada lirikan bernuansa, apalagi percakapan penuh makna seperti saat mereka terjebak bersama di gunung. Isa pun memperlakukan Nadia seperti mahasiswa lainnya dingin, profesional, dan berjarak.Siang itu, di area kampus dekat taman, Nadia sedang duduk di bangku panjang, menunggu kelas selanjutnya. Angin berembus pelan, membawa aroma daun basah sisa hujan semalam.Seorang cowok dari jurusan sebelah, Damar, tinggi, ceria, dan populer datang menghampirinya sambil membawa dua cup es kopi.“Hei, Nad! Aku nekat beliin kamu kopi lagi. Kali ini harus mau, nggak boleh nolak kayak kemarin.”Nadia tertawa kecil. “Kamu keras kepala juga, ya.”“Demi kamu, iya dong,” goda Damar sambil menyodorkan satu cup padanya.Tak jauh dari situ, di lantai dua gedung sebelah, Isa berdiri di balik jendela ruang dosen. Tangannya masih memegang buku yang tadi hendak ia baca, tapi matanya terpaku ke a
Pagi itu, langit kampus mendung. Mahasiswa berlalu-lalang seperti biasa, sebagian menenteng buku, sebagian lain asyik menatap layar ponsel. Di salah satu ruang kuliah gedung Fakultas Psikologi, suasana tampak riuh. Mahasiswa tingkat dua berkumpul, menanti kedatangan dosen baru yang kabarnya akan mengajar mata kuliah Psikologi Sosial.Nadia duduk di baris tengah, membuka laptopnya sambil sesekali melirik ke arah pintu kelas. Rambutnya kini lebih panjang, dan wajahnya tampak lebih dewasa.Saat semua teman mulai ribut membicarakan siapa dosen pengganti yang katanya masih muda dan berwibawa, pintu kelas pun terbuka. Suara langkah sepatu memenuhi ruangan. Seseorang berjalan masuk dengan map hitam di tangan, mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan gelap.Nadia yang tengah menulis sesuatu, tiba-tiba berhenti. Napasnya tercekat.Itu… Isa.Pemuda itu yang memeluknya karena dingin, yang membawanya turun dari gunung, yang pergi tanpa jejak—kini berdiri di depan kelasnya. Wajahnya tak banyak
Api unggun tinggal separuh tinggi. Udara semakin menggigit. Kabut tipis turun perlahan, menyelusup di sela-sela pohon dan menyelimuti tenda darurat yang baru saja Isa dirikan seadanya dari jas hujan dan terpal lipat.Dari dalam ranselnya, Isa mengeluarkan mug logam berisi kopi hangat. Ia berjalan pelan mendekati Nadia yang bersandar di bebatuan, masih dibungkus jaket tebal. Wajah gadis itu tampak pucat, mata setengah terpejam.“Coba minum ini, mungkin bisa bantu menghangatkan,” ucap Isa, menyerahkan kopi itu padanya.Nadia menerima dengan tangan gemetar. Ia mencoba tersenyum, tapi bibirnya biru dan gemetar halus.“Terima kasih, Kak,” gumamnya.Isa mengangguk pelan, tapi ekspresi canggung tak bisa disembunyikan. Ini pertama kalinya ia begitu dekat secara fisik dengan seseorang yang baru dikenalnya dan dalam kondisi sangat rapuh. Ia mundur sedikit, duduk bersila sambil tetap mengawasi.Namun beberapa menit kemudian, gelagat aneh mulai muncul.Nadia menggigil hebat. Giginya bergemeletuk,
Malam telah larut. Di teras belakang rumah, Winda duduk bersandar pada pundak Abie. Secangkir teh hangat masih mengepulkan uap di tangan mereka masing-masing. Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah basah sisa hujan sore tadi."Sudah jam segini, belum juga ada kabar," gumam Winda lirih, memandangi layar ponselnya yang sunyi dari notifikasi.Abie mengusap pelan punggung istrinya, mencoba menenangkan. "Tadi katanya jam sembilan baru sampai. Paling sebentar lagi juga pulang. Lagipula dia ikut guru-gurunya, Win. Aman."Winda mengangguk pelan, meski matanya tak lepas dari jalanan di depan pagar rumah yang lengang. Rasa khawatir itu bukan karena tak percaya pada orang lain, tapi karena terlalu mencintai. Putri kecil mereka yang kini mulai tumbuh menjadi remaja untuk pertama kalinya menginap jauh dari rumah."Kamu ingat nggak waktu dia masih lima tahun? Nggak bisa tidur kalau bukan di antara kita," kata Winda, senyumnya mengembang samar.Abie terkekeh, "Ingat banget. Kalau kita geser
Setelah beberapa kali menjalani terapi intensif, kondisi Felix kini membaik secara signifikan. Ia sudah bisa berjalan kembali seperti sedia kala, meski dengan sedikit penyesuaian di awal. Setiap langkahnya adalah kemenangan kecil yang disambut dengan rasa syukur mendalam.Azalea yang selalu setia mendampingi tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Melihat Felix perlahan kembali menjadi dirinya yang dulu, membuat hatinya hangat. Ia tak henti mengucap syukur dalam diam, memeluk Felix setiap kali mereka berhasil melewati sesi terapi yang berat."Kamu hebat Sayang bisa melewati ini," ucap Azalea sambil menggenggam tangan Felix erat, matanya berkaca-kaca.Felix hanya tersenyum, menatap perempuan yang kini tak hanya menjadi istrinya, tapi juga penyemangat hidupnya. "Aku nggak akan bisa sampai di titik ini tanpa kamu."Azalea tersenyum mendengar perkataan Felix.Kini tanpa bantuan kursi roda, Felix melangkah pelan namun mantap, menggenggam tangan Azalea erat. Bersama, mereka berjalan bergan
“Pasien menunjukkan respon awal. Ini bagus,” ucap sang dokter dengan nada penuh kehati-hatian namun jelas menahan harapan.Azalea terisak sambil menutup mulutnya. “Kamu dengar aku, kan Lex? Kamu denger...”Ia kembali mendekat, menggenggam tangan itu erat-erat.“Aku di sini. Anak kita di sini. Kami tunggu kamu... Jadi tolong, teruskan... teruslah kembali.” Pergerakan kecil dari Felix sudah membuat Azalea bahagia. Semalaman dia tidur mrmunggui Felix.Pagi hari ....Suasana ruang ICU pagi itu berbeda. Udara seperti membawa harapan baru. Azalea duduk di kursi yang sama, menggenggam tangan Felix sejak semalam. Ia nyaris tak tidur, matanya sembab tapi berbinar.Sejak jari Felix bergerak semalam, tim medis mulai melakukan pemantauan lebih intens. Dokter menyebutkan itu adalah tanda tahap awal kesadaran sinyal bahwa otaknya mulai merespons rangsangan luar.Azalea tidak beranjak. Ia terus bercerita, tertawa pelan, bahkan menyenandungkan lagu-lagu lembut.Sampai kemudian—Tangan Felix menggengg