Nadia segera turun dari mobil Pak Isa dengan gerakan tergesa. Ia menunduk, berusaha menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya yang terurai. Ia tidak ingin satu orang pun melihatnya turun dari mobil pria yang seharusnya hanya dosennya. Namun, nasib berkata lain.“Nad! Itu kamu turun dari mobil Pak Isa ya?” suara Rani, salah satu teman kampusnya, terdengar nyaring.Deg. Nadia langsung membeku sejenak sebelum pura-pura tersenyum.“Eh... iya. Tadi kebetulan bareng, soalnya satu arah,” jawab Nadia singkat, berusaha santai meski pipinya terasa panas menahan malu.Untung saja tak lama kemudian Fino datang menghampiri. Tanpa banyak bicara, Fino langsung menarik lembut tangan Nadia."Ayo Nad, kita masuk dulu," ajaknya.Nadia mengangguk cepat dan membiarkan dirinya ditarik menjauh, meninggalkan tatapan-tatapan penasaran dari teman-temannya.Dari balik kaca mobil, Isa masih duduk di balik kemudi. Matanya menatap punggung Nadia yang kini berjalan bersama Fino. Ada sesuatu yang mengganjal di dada
"Maaf Pak, sepertinya ini tidak baik. Bapak tidak usah jemput saya kalau lagi berangkat kuliah," peringat Nadia di mobil."Memangnya kenapa? Kamu asistenku," protes Isa."Nanti ada yang cemburu," sahut Nadia sembari mengikat rambut panjangnya.Gerakannya sederhana, tapi cukup membuat leher jenjangnya yang putih bersih terlihat jelas. Isa menoleh tanpa sadar. Ada kilasan samar dalam benaknya kenangan lama yang tiba-tiba menyeruak. Isa ingat bagaimana Nadia sempat bersandar di dadanya ketika di perbukitan. Sial, sudah lama terjadi tapi dia tidak dapat melupakannya."Maksudnya?" tanya Isa. "Ya tunangan Pak Isa. Lagian nggak baik juga kalau Pak Isa terlalu dekat dengan saya. Nanti yang liat bisa salah paham," kata Nadia.Isa terhenyak kaget, mendengar perkataan Nadia. Sejak kapan Nadia tahu kalau dirinya sudah tunangan. "Kau sudah tahu rupanya," jawab Isa datar. Ia menatap lurus ke depan."Tak penting aku tahu atau tidak," jawab Nadia dingin."Tapi penting kau tahu aku tidak pernah lup
Ruang seminar perlahan sepi. Para dosen tamu, mahasiswa, dan panitia sudah beranjak pergi satu per satu. Lampu ruangan menyisakan cahaya redup dari sisi panggung. Hanya tinggal Nadia di sana, membungkuk membereskan berkas-berkas sisa acara, dibantu oleh Isa yang masih berdiri di dekat meja utama.“Aku bisa sendiri, Pak,” ujar Nadia singkat tanpa menoleh.Isa tak menjawab. Ia tetap di tempat, memperhatikannya dalam diam. Mungkin terlalu diam.Sebuah map jatuh ke lantai, kertas-kertas di dalamnya berserakan. Nadia otomatis jongkok, Isa juga ikut berlutut secara refleks, dan—Tangan mereka bersentuhan.Sekilas. Singkat. Tapi cukup lama untuk membuat mereka saling membeku di tempat.Nadia menarik tangannya cepat-cepat, namun Isa tetap di posisi semula. Mata mereka bertemu. Hening.Tak ada kata. Tak ada suara.Hanya jantung yang berdetak lebih keras dari biasanya.Isa yang pertama bicara, suaranya pelan nyaris berbisik. “Kamu masih marah?”Nadia memalingkan wajah. Ia tidak menjawab, hanya
Suasana di dalam mobil terasa hening. Hanya deru AC dan bunyi halus ban melintasi aspal yang terdengar. Nadia duduk dengan tubuh agak menepi ke sisi pintu, pandangannya menatap lurus ke luar jendela. Jari-jarinya sibuk menggulung-gulung tali tas di pangkuannya.Isa sempat melirik dari sudut matanya, tapi tak berkata apa pun. Sorot mata Nadia yang dingin sudah cukup memberi isyarat bahwa gadis itu sedang menjaga jarak.“Udah sarapan?” tanya Isa akhirnya, berusaha mencairkan suasana.Nadia tidak langsung menjawab. Beberapa detik ia membiarkan pertanyaan itu menggantung sebelum menjawab datar.“Udah.”Nadia tidak langsung menjawab. Beberapa detik ia membiarkan pertanyaan itu menggantung sebelum menjawab datar, “Udah.”Isa mengangguk pelan, menatap kembali ke jalan. “Tadi buru-buru ya? Maaf kalau agak mendadak minta kamu datang pagi-pagi.”Kali ini Nadia tak membalas. Ia tetap diam. Hatinya masih terasa panas meski wajahnya terlihat tenang. Dalam pikirannya, terngiang lagi ucapan Isa bebe
Hari-hari berlalu, dan Nadia menepati janjinya. Di kelas, ia bersikap sopan tapi netral. Tidak ada sapa pribadi, tidak ada lirikan bernuansa, apalagi percakapan penuh makna seperti saat mereka terjebak bersama di gunung. Isa pun memperlakukan Nadia seperti mahasiswa lainnya dingin, profesional, dan berjarak.Siang itu, di area kampus dekat taman, Nadia sedang duduk di bangku panjang, menunggu kelas selanjutnya. Angin berembus pelan, membawa aroma daun basah sisa hujan semalam.Seorang cowok dari jurusan sebelah, Damar, tinggi, ceria, dan populer datang menghampirinya sambil membawa dua cup es kopi.“Hei, Nad! Aku nekat beliin kamu kopi lagi. Kali ini harus mau, nggak boleh nolak kayak kemarin.”Nadia tertawa kecil. “Kamu keras kepala juga, ya.”“Demi kamu, iya dong,” goda Damar sambil menyodorkan satu cup padanya.Tak jauh dari situ, di lantai dua gedung sebelah, Isa berdiri di balik jendela ruang dosen. Tangannya masih memegang buku yang tadi hendak ia baca, tapi matanya terpaku ke a
Pagi itu, langit kampus mendung. Mahasiswa berlalu-lalang seperti biasa, sebagian menenteng buku, sebagian lain asyik menatap layar ponsel. Di salah satu ruang kuliah gedung Fakultas Psikologi, suasana tampak riuh. Mahasiswa tingkat dua berkumpul, menanti kedatangan dosen baru yang kabarnya akan mengajar mata kuliah Psikologi Sosial.Nadia duduk di baris tengah, membuka laptopnya sambil sesekali melirik ke arah pintu kelas. Rambutnya kini lebih panjang, dan wajahnya tampak lebih dewasa.Saat semua teman mulai ribut membicarakan siapa dosen pengganti yang katanya masih muda dan berwibawa, pintu kelas pun terbuka. Suara langkah sepatu memenuhi ruangan. Seseorang berjalan masuk dengan map hitam di tangan, mengenakan kemeja biru muda dan celana bahan gelap.Nadia yang tengah menulis sesuatu, tiba-tiba berhenti. Napasnya tercekat.Itu… Isa.Pemuda itu yang memeluknya karena dingin, yang membawanya turun dari gunung, yang pergi tanpa jejak—kini berdiri di depan kelasnya. Wajahnya tak banyak