“Jangan menatapku seolah aku milikmu." Suaraku keluar lebih tajam dari yang kubayangkan.
Aku menatap pria di hadapanku, duduk dengan santai di sofa kulit gelap, satu tangan memegang gelas anggur, tangan lainnya bertumpu di sandaran sofa seolah dia sedang menikmati pertunjukan. Damien Vaughn. Mantan tunanganku. Pria yang pernah bersumpah setia kepadaku, lalu mengkhianatiku demi keuntungan yang lebih besar. Dia terkekeh kecil, menyesap anggurnya perlahan sebelum menatapku dengan sorot mata penuh permainan. “Aku hanya ingin melihat wajahmu lagi, Seraphina. Kau semakin cantik.” Aku menahan rasa jijik yang merayap di tenggorokan. Aku tidak datang ke sini untuk mendengar pujian kosongnya. “Katakan saja apa yang kau tahu tentang Lucian.” Damien mengangkat alis, lalu menyandarkan tubuhnya lebih da"Jangan temui dia lagi, Seraphina. Atau kau akan menyesal." Lucian mengatakannya dengan nada datar, tetapi ketegangan dalam suaranya terlalu jelas untuk diabaikan. Matanya menatapku tajam, seolah memberi peringatan yang lebih serius daripada sekadar kata-kata. Saat itu, aku hanya mengangguk. Aku tidak ingin berdebat dengannya. Aku tahu dia tidak sepenuhnya mempercayaiku. Dan aku juga tahu bahwa peringatan itu bukan sekadar rasa cemburu yang buta. Tapi pada akhirnya, aku tetap melakukannya. Aku tetap pergi menemui Damien. Blouse satin ivory yang kukenakan terasa dingin di kulitku, kontras dengan hawa panas yang menyelimutiku sejak aku melangkah keluar. Celana high-waist taupe dan blazer nude kupilih agar tampak tegas namun tetap elegan. Sepasang heels beige sederhana melengkapi penampilanku—seperti lapisan pertahanan terakhir yang kubangun di sekelilingku. Aku tidak bodoh. Aku tah
Aku seketika terdiam. Tatapan Lucian kini berbeda—bukan hanya penuh amarah, tetapi juga … terluka dan kecewa. "Seraphina .…" Suaranya lebih rendah kali ini. "Aku tahu seperti apa rasanya dikhianati. Aku tahu bagaimana rasanya ketika seseorang yang kau percaya menghujamkan belati ke punggungmu." Aku mengerjap. Untuk pertama kalinya, kemarahannya tidak lagi membara, tetapi berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam—lebih menyakitkan. Lucian menghela napas panjang, lalu melangkah mundur. Jemarinya terangkat ke rambutnya, menariknya dengan frustrasi. Aku memperhatikannya dalam diam. Selama ini, aku selalu melihat Lucian sebagai pria yang nyaris tak tergoyahkan, dingin, dan penuh kendali. Tapi sekarang? Ada sesuatu yang lebih rapuh di balik tatapan tajamnya. "Aku tumbuh di lingkungan di mana kepercayaan tidak lebih dari sekadar alat untuk bertahan hidup." Suaranya terdengar lebih pelan,
Aku berdiri di dapur, memegang sekaleng soda yang dinginnya menusuk kulitku. Kubuka dengan satu gerakan cepat, dan suara desis karbonasi memenuhi keheningan ruangan. Aku menyesapnya perlahan, membiarkan gelembung-gelembung kecil itu meledak di lidahku, menggantikan keinginan untuk sesuatu yang lebih kuat—alkohol. Aku membutuhkan sesuatu untuk menenangkan pikiranku, tetapi aku tidak bisa membiarkan diriku mabuk di sini. Tidak di apartemen ini. Tidak di bawah atap yang sama dengan Lucian. Lucian. Aku menggigit bibir, mengingat sorot matanya beberapa jam yang lalu. Kata-katanya terus bergema di benakku, 'kau tidak akan pernah bisa benar-benar lepas dariku'. Jantungku berdegup lebih cepat. Aku tidak tahu apa yang lebih menggangguku—cara dia mengatakannya, atau kenyataan bahwa aku sama sekali tidak bisa menyangkalnya. Aku menyesap soda lagi, tetapi tiba-tiba sebuah suara langkah terdengar di belakangku. Aku membek
Kegaduhan kecil datang dari dapur, aroma telur dan roti panggang menguar memenuhi ruangan. Aku berdiri di depan kompor, mengenakan celemek yang entah milik siapa, rambutku diikat ke atas, memperlihatkan leherku yang biasanya tersembunyi. "Hari ini cerah, pagi yang indah~" Aku bernyanyi kecil sambil membolak-balik telur dadar di wajan. Tak ada yang lebih menyenangkan daripada memasak di pagi hari. Sejak tinggal di apartemen Lucian, aku hampir tak pernah memasak sendiri. Tapi pagi ini, aku ingin makan sesuatu yang lebih manusiawi daripada sarapan mahal yang dikirimkan oleh asisten rumah tangga yang bahkan tidak pernah kutemui. Kutinggalkan telur di atas wajan sebentar, meraih roti panggang dan menaruhnya di piring. Aku masih bersenandung pelan, memilih lagu lama yang sering dinyanyikan ibuku dulu. "It's a lovely morning, don't you see~ The sky is blue, and my heart feels free~"
Aku menatap Lucian yang tengah mengenakan jasnya, bersiap untuk berangkat ke kantor. "Aku ingin menemui Damien hari ini," kataku akhirnya, memecah keheningan di antara kami. Lucian yang sedang merapikan lengan jasnya berhenti sejenak. Mata kelamnya langsung mengarah padaku, menyorot tajam seolah aku baru saja mengatakan hal paling tidak masuk akal. "Apa kau bilang?" "Aku hanya ingin ini menjadi yang terakhir," jelasku dengan nada tenang. "Aku tidak akan percaya apa pun yang dia katakan. Justru karena itu, aku ingin memastikan dia tak punya alasan lagi untuk menemuiku." Rahangnya mengeras. Tatapannya penuh ketidaksetujuan, tetapi aku bisa melihat sesuatu yang lain di baliknya—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kemarahan. "Dan kau pikir aku akan membiarkanmu pergi menemuinya begitu saja?" Aku sedi
Aku melangkah keluar dari mobil dengan tenang, membiarkan kacamata hitamku meluncur ke puncak kepala. Gedung Devereaux menjulang tinggi di depanku, bangunan kaca yang memantulkan cahaya matahari pagi dengan elegan. Begitu aku masuk ke lobi, suasana berubah drastis. Pendingin ruangan mengusir panas di luar, dan aroma kopi serta parfum mahal bercampur dalam udara. Lobi ini dipenuhi dengan orang-orang berpakaian rapi; pria dengan setelan mahal, wanita dengan rok pensil dan blazer yang dipotong sempurna. Aku bisa merasakan tatapan-tatapan itu. Orang-orang mulai memperhatikanku, beberapa dengan rasa ingin tahu, yang lain dengan spekulasi. Tapi aku pura-pura tidak peduli. Langkahku tetap stabil saat aku berjalan menuju lift pribadi di ujung ruangan—yang sebelumnya sudah diberitahu Lucian bahwa aku bisa menggunakannya kapan saja. Begitu pintu lift terbuka, aku melangkah masuk tanpa menoleh. Namun, se
Tangannya masih mencengkeram pinggangku dengan mantap, membuatku sulit bergerak. Aku bisa merasakan kehangatan yang dipancarkan tubuhnya, aroma khas cologne maskulin yang melekat pada kemejanya. Sial. Aku harus segera mengalihkan perhatian sebelum tubuhku sendiri bereaksi aneh. Aku menarik napas pelan, mencoba tetap tenang. “Aku hanya berbicara dengannya sebentar,” ujarku akhirnya. “Tentang pertemuan terakhir kami dan—” Aku menelan ludah, menatap matanya yang tajam. “Aku hanya memperingatkannya untuk tidak mengganggu hidupku lagi.” Lucian tidak bereaksi berlebihan. Tidak ada ekspresi marah, cemburu, atau ketidakpercayaan seperti yang mungkin kutemui jika ini adalah pria lain. Dia hanya mengangguk sekali, matanya tetap tertuju padaku. Atau lebih tepatnya … pada bibirku. Aku bisa m
Saat pintu ruang rapat terbuka, suasana hening seketika. Puluhan pasang mata tertuju padaku, termasuk seorang pria Timur Tengah dengan jas mahal yang duduk di ujung meja. Dari sorot matanya yang tajam dan ekspresi percaya dirinya, aku bisa menebak bahwa dia adalah CEO dari Dubai yang dimaksud Lucian. Aku merasa seperti rusa yang terjebak dalam sorotan lampu mobil. Tapi Lucian tetap tenang, menggenggam tanganku tanpa ragu saat membawaku masuk lebih dalam ke dalam ruangan. "Lucian." Seseorang dari pihak direksi menyapa dengan sedikit kebingungan, tatapannya bergeser padaku. "Dan ini?" Lucian menarik kursi di sebelahnya dan menuntunku untuk duduk. "Istriku, Seraphina Devereaux," katanya ringan, seolah ini bukan sesuatu yang luar biasa. Aku bisa merasakan bisik-bisik pelan di sekitar meja. Beberapa orang tampak terkejut, yang lain mencoba menilai keberadaanku
“Kalau aku tidak keluar lagi, jangan tunggu aku.”Suara Corin barusan masih menggantung di udara, dan aku tidak sempat menjawab apa-apa. Satu tangan memegang pistol, tangan lainnya menunjuk celah di sisi kanan gua. Jalan setapak kecil, nyaris tersembunyi oleh semak-semak rimbun. “Jalan itu aman. Ikuti terus sampai kau menemukan jalan besar,” katanya singkat.Aku masih ragu. “Tapi kau?”Corin tersenyum samar. “Aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini. Kau harus selamat. Aku beruntung bisa bertemu denganmu, bahkan tanpa tahu namamu.”Suaranya tenang, tapi sorot matanya mengatakan hal lain. Seolah dia tahu bahwa waktu kami habis.Aku tak bisa menolak lebih lama. Sesuatu di luar sana, sesuatu yang suaranya menyerupai Lucian, sudah dekat. Dan apa pun itu, aku tahu bukan dia bukan suamiku. Mungkin itu hanya jebakan akal, mungkin hanya permainan sinis. Tapi Corin jelas—dia akan menghadapinya sendiri.Aku lari. Tak menoleh.
Langit belum sepenuhnya biru saat suara dedaunan basah menyapa telingaku. Aku terbangun dengan tubuh masih lelah, tapi gelisah yang menggerogoti lebih kuat dari kantuk. Corin sudah berdiri di depan gubug, menatap ke arah pepohonan yang memanjang seperti lorong tanpa ujung."Ada jalur ke utara. Beberapa kilometer dari sini ada batu besar, di situ sinyal kadang muncul," katanya tanpa menoleh.Aku merapatkan jaket yang bahkan bukan milikku—miliknya, sebenarnya. Sudah kering karena semalam dipanaskan dekat lilin kecil. Aku mengangguk. "Berapa jauh?""Tiga atau lima. Tergantung langkah kita. Tapi kau harus kuat."Kami berjalan tanpa banyak bicara. Aku tidak tahu harus menaruh kepercayaan di mana. Corin bukan orang jahat—setidaknya belum—tapi dari caranya tahu banyak hal, dari caranya memetakan rute dengan percaya diri, aku mulai berpikir: pria ini bukan kebetulan.Aku menyeka keringat yang menetes dari pelipis. Kaki kiriku masih terasa sakit w
Aku terbangun oleh suara dentingan. Logam menyentuh logam. Mula-mula aku pikir itu mimpi—tapi lalu bau kaldu hangat menyelinap masuk, memeluk rongga hidungku. Mataku terbelalak. Aku masih di gubug. Tapi sekarang, ada suara. Perutku berteriak lebih cepat dari otakku. Dan sebelum aku sempat bertanya, suara pria yang kemarin terdengar pelan dari sisi belakang gubug. “Maaf aku membuatmu terbangun. Tapi kau harus makan.” Aku bangkit, reflek memeriksa kaki. Masih terasa nyeri, tapi lebih ringan. Balutannya diganti kain bersih, jauh lebih rapi daripada yang aku lakukan sendiri semalam. Pria itu muncul dari balik tirai lusuh yang aku pikir hanya dekorasi. Dia membawa semangkuk kaldu panas dan dua potong roti pipih yang terlihat dibakar dengan sisa-sisa api unggun. “Aku tidak tahu kau alergi apa saja,” katanya. “Tapi ini sayuran. Aku memetik sendiri. Aman. Aku sudah makan setengah mangkuk.”
Pagi menjalar ke sela-sela retakan dinding kayu, membawa cahaya hangat yang memukul wajahku pelan-pelan. Kelopak mataku berat, seperti semalam bukan hanya berisi air mata, tapi juga seluruh beban dunia. Ketika akhirnya aku membuka mata, suara burung-burung dan desiran angin menggantikan mimpi buruk yang samar-samar masih menggantung. Aku bangkit perlahan. Tenggorokanku kering, tubuhku kaku. Mata mengamati sekeliling, memastikan bahwa semuanya nyata. Masih di gubug itu. Masih sendiri. Langkah pertama terasa seperti berjalan di atas jarum. Kepalaku pening, dan ketika kulihat ponselku, layar hitam menatapku kembali—baterainya benar-benar habis. Tidak ada sinyal, tidak ada penunjuk arah, hanya aku dan suara alam yang tak memberi jawaban. Aku keluar dari gubug, cahaya pagi menampar wajahku lembut. Matahari menggantung malu-malu di balik dahan tinggi, dan dedaunan gemetar ringan ditiup angin. Langkahku pe
Bau tanah basah menguar dari sela-sela jendela yang sedikit terbuka. Kepalaku berat dan leherku terasa kaku ketika aku mencoba mengangkatnya. Semuanya gelap, tapi bukan gelap dalam mobil atau ruangan—ini gelap yang alami, kelam, dan diselimuti bisikan dedaunan. Aku tersentak. Tubuhku terguncang pelan saat menyadari bahwa aku tidak berada di tempat semestinya. Tanah lembap di bawahku dan hawa malam yang menusuk membuktikan satu hal: aku sedang berada di hutan. "Apa yang terjadi? Bagaimana bisa?" gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri. Jantungku berdetak keras saat ini. Kilasan terakhir sebelum semuanya gelap kembali kepadaku. Veronica. Mobilnya. Minuman dingin yang ia tawarkan dengan senyum palsu yang terlalu ramah. Aku menerima gelas itu tanpa berpikir. Bodohnya aku. Panik merayapi tenggorokanku, membuat napasku tercekat. Aku mengaduk-aduk isi tas kecil yang untungnya masih menempel di bahuku. Tanganku gemetar saat mene
“Saya turun di sini saja,” ucapku pada sopir taksi ketika mobil melewati sudut jalan tempat toko bungaku berdiri. Hujan masih belum turun, meski langit sudah menggelap sejak pagi. Di luar, angin bertiup pelan, menyapu dedaunan yang mulai menguning. Hari libur ini tidak berjalan seperti yang kubayangkan—tidak ada olahraga pagi bersama Lucian, dan tentu saja, tidak ada ketenangan.Aku melangkah masuk ke toko. Aroma bunga mawar putih menyambutku, dan suara lonceng kecil di pintu membuat Margaret yang sedang merangkai bunga menoleh cepat.“Seraphina?”“Margaret,” jawabku sambil tersenyum. “Kukira aku mampir sebentar. Sudah lama juga aku tidak ke sini.”Margaret langsung meletakkan gunting bunganya dan menepuk-nepuk kedua tangannya. “Wah, lihat siapa yang datang. Madam Fleur DeVere sendiri. Masih ingat tempat ini, rupanya.”Aku terkekeh pelan dan menyender ke meja kasir. “Tentu saja. Ini rumahku sebelum semua menjadi rumit.”
Hari libur seharusnya menjadi momen paling kutunggu—terutama jika bisa dimulai dengan wajah Lucian yang masih mengantuk dan rambutnya yang berantakan di atas bantal. Tapi pagi ini, tempat tidur terasa terlalu besar. Terlalu sunyi.Lucian berangkat kerja lebih awal. Dia bahkan tidak sempat sarapan."Hanya ada satu rapat penting," katanya saat mencium dahiku di ambang pintu. "Aku akan pulang cepat."Ya, tentu saja. Satu rapat penting, seperti kemarin. Dan hari sebelumnya.Kupaksakan tersenyum sambil menyeruput kopi. Biasanya kami akan ke gym bersama, lalu sarapan sambil berdebat kecil soal playlist lagu siapa yang lebih menyebalkan. Tapi pagi ini hanya ada suara jam dinding dan desahan angin dari jendela.Kupikir aku akan menghabiskan hari ini menonton drama Korea sambil mengenakan kaos bekas Lucian.Sampai ponselku berdering."Haelyn Devereaux".Nama yang muncul di layar membuat tenggorokanku tercekat. Kutatap la
Cahaya sore mengalir pelan melalui jendela kaca kafe kecil di sudut kota, membentuk siluet tenang di atas meja kayu bundar tempat aku duduk. Jemariku melingkar di cangkir teh yang mulai kehilangan panasnya, tapi aku nyaris tak menyadari itu. Pikiranku terlalu sibuk menimbang. Bertanya. Menebak-nebak.Dia sudah lima belas menit terlambat.Dan aku masih di sini.Bukan karena aku tak punya pilihan. Tapi karena rasa ingin tahu adalah jebakan yang manis sekaligus berbahaya.“Maaf, aku terlambat.”Suara itu membuatku menoleh. Pria itu berdiri di dekat meja dengan jaket hitam dan wajah yang lebih tirus dari yang kuingat dari foto-foto skandal yang dulu sempat beredar. Tak ada aura menggoda, tak ada karisma gelap seperti yang pernah digembar-gemborkan media. Yang kulihat hanya lelah.“Xander?” tanyaku, meski aku sudah tahu jawabannya.Dia mengangguk, lalu duduk dengan kikuk. Matanya bergerak cepat, menghindari tatapanku.
Langit siang itu sedikit mendung, tapi hangat. Angin dari laut membawa aroma asin yang terasa familiar. Aku memarkir mobilku di dekat dermaga kayu tua, tempat yang beberapa bulan lalu menjadi pelarianku. Saat dunia terasa seperti runtuh di bawah kakiku, aku pernah berdiri di sini, tak tahu harus ke mana. Tapi seseorang waktu itu menghentikanku. Seorang pria asing dengan mata penuh dunia. Hari ini aku kembali ke pantai itu. Bukan karena aku ingin melarikan diri, tapi karena aku ingin mengucapkan terima kasih. Untuk seseorang yang tidak kutahu namanya, tapi entah kenapa masih membekas dalam ingatanku seperti bekas luka yang tidak menyakitkan, hanya mengingatkan. Butuh waktu lima belas menit berjalan menyusuri pasir sebelum aku melihat sosoknya. Duduk di bangku kayu reyot, membelakangi laut, seperti sebelumnya. Diam, tenang, nyaris seperti batu karang itu sendiri. Aku ragu. Tapi akhirnya aku melangkah. Langkahku pelan agar tidak mengejutkannya, meski aku tahu—entah bagaimana—dia pasti