Jaja masih asik membetulkan laptop Maya, ditemani semangkuk kecil cilok bumbu kacang dan segelas teh manis. Hujan rintik-rintik sehabis magrib, membuat suasana semakin syahdu. Malam ini rencananya, Jaja akan menyelesaikan laptop Maya. Hanya koslet di beberapa bagian saja, untuk keseluruhan masih aman. "Belum beres juga laptop, Maya?" Tanya bu Ambar sambil mengiris tempe, untuk teman nasi uduk, yaitu tempe orek. Bukannya di dapur, namun ia menyiapkan semua masakan di ruang depan sambil menemani Jaja."Dikit lagi, Mak.""Mamah.""Lidah Jaja susah nyebut mamah, Mak. Efek makan telur tiap hari ini." Jaja terkekeh sambil melirik ibunya."Kalau gue masak ikan, ntar yang paling banyak makan bapak lu, Ja. Jadi gue masak telur aja. Biar dia ga nambah mulu kalau makan. Sayang beras.""Hahahahahha... emak Jaja kadang pinter juga." Jaja terbahak begitu juga dengan Bu Ambar."Yaelah, mamak lagi. Serah lu dah!" Bu Ambar manyun, berjalan ke dapur membawa baskom berisi tempe orek dan irisan bumbu.J
Pagi menjelang, Jaja sudah bangun dari sebelum shubuh, membantu ibunya berjualan nasi uduk. Lelaki itu terlihat lemas dan banyak melamun."Asem banget wajahnya, Ja. Habis diputusin pacar ya?" celetuk Bu Dina saat membeli nasi uduk. Jaja hanya tersenyum tipis."Udah sana ke rumah Maya, ini biar gue yang nerusin," titah Bu Ambar, menatap iba anaknya.Jaja mengangguk. Dengan langkah gontai dan jantung yang berdegub kencang, Jaja berjalan menuju rumah Maya. Dan benar saja, Maya histeris saat tahu laptop kuliahnya dibawa kabur oleh pak Jamal. Maya bahkan menangis tersedu di ruang tamu, sambil menutup wajahnya."Ada banyak file tugas kampus di sana, Ja. Ya Allah, hiks ..." Maya terisak, ia benar-benar sedih karena kehilangan laptopnya. Bahkan Bu Mala, ibu Maya memarahi Jaja dengan kata-kata kasar."Maafkan saya, Bu. Saya berjanji dalam dua hari akan mengganti laptop Maya.""Darimana lu duit?kerja aja kaga. Bapak sama anak sama aja nasibnya, blangsak!!Pokoknya laptop anak gue harus lu ganti.
Pandangannya semakin berputar dan Yasmin akhirnya pingsan kembali. Jaja dengan cepat menutup tubuh seksi Yasmin dengan handuk, lalu mengangkatnya dan menaruhnya di kursi sender rotan. Bik Narsih baru saja keluar dari dalam rumah, sambil memegang minyak kayu putih, lalu memberikannya pada Jaja.Dengan hati-hati, Jaja mengelap wajah Yasmin dengan handuk kering, jangan kalian tanyakan bagaimana hatinya saat ini? Antara senang, haru dan horor. Bahkan debar jantungnya juga seakan berlomba, saat menatap wajah lelap basah Yasmin.Setelah dipastikan kering, Jaja mengoleskan minyak kayu putih pada hidung dan leher Yasmin. Ia juga mengoleskannya pada telapak kaki Yasmin, dan kedua telapak tangan Yasmin agar hangat. Bagai ada sengatan listrik, saat kedua telapak tangannya bersentuhan dengan telapak tangan Yasmin. Dia tidak yakin, akan bisa tidur malam ini. Ia pasti akan selalu mengingat momen bersejarah seperti ini."Wah, Mas Jaja basah lagi ya. Demen banget sih, Mas. Kalau ke sini basah-basahan
"Udah yuk! Bang Jaja udah mau pulang." Seru bik Narsih sambil menarik pelan tangan Reza yang masih memegang erat lengan Jaja."Reza mau main sama Abang Jaja. Reza ga punya teman, hiks...hiks..." Reza menangis sedih, membuat Jaja iba."Ya sudah, tapi sebentar saja ya!" Jaja mengangguk, lalu mengusap air mata Reza."Reza boleh peluk, abang Jaja ga?"Jaja mengangguk.Mereka berpelukan. Bahkan Reza memeluk Jaja sangat erat."Gendong, Bang!" Pinta Reza sambil menyeringai. Dengan sigap, Jaja menggendong Reza. Anak lelaki itu tertawa dengan gembira. Bik Narsih, ikut terharu. Reza benar-benar merindukan sosok ayah di dalam rumah ini.Tanpa mereka sadari, Yasmin memperhatikan dari balkon kamarnya. Senyum tipisnya terukir, saat melihat tawa renyah anaknya yang begitu gembira digendong oleh Jaja. Air matanya juga ikut membasahi pipi, apakah ia harus memilih salah satu dari sekian lelaki yang mendekatinya saat ini?Sepertinya ia tidak boleh egois. Ia harus mengesampingkan kebahagiaannya, dan meng
Baru menggoreng peyek seperempat, Narsih sudah disuruh untuk menemani Reza bermain di kamar. Karena Yasmin, Jaja dan juga papa Yasmin, Pak Hendroyas Miharja, sedang duduk di ruang tamu. Wajahnya tampak tegas dan terlihat marah. Jaja berkali-kali menelan salivanya, betapa mencekamnya suasana di dalam ruang tamu, rumah besar Yasmin."Jadi kamu ada hubungan apa dengan anak saya?" Tanya Pak Miharja, pada Jaja yang masih menunduk."Dia mantan karyawan neng, Pah," sahut Yasmin cepat."Ada perlu apa kamu ada di kamar cucu saya?""Kebetulan Reza senang bermain dengan Jaja, Pah," sahut Yasmin lagi, menjawab pertanyaan papanya.Pak Miharja memutar bola mata malasnya, menoleh pada Yasmin yang sedari tadi menjawab pertanyaan, yang ia ajukan pada pemuda yang sedang menunduk ini."Papa tanya pemuda ini, Neng. Bukan tanya, Neng," ujar Pak Miharja dengan tegas pada puterinya. Jaja kembali menelan salivanya, kali ini dadanya berdebar begitu cepat, membuat rasa mulas di perutnya tiba-tiba datang."Sa
Pak Miharja masih memerhatikan Jaja, seperti pernah melihatnya tapi dimana ya."Ya sudah, ayo ke depan," ujar Yasmin sambil berjalan ke arah teras. Jaja pun pamit pada pak Miharja dan meminta maaf atas kelancangannya, masuk ke dalam kamar Reza."Ada apa?" tanya Yasmin ketus, ia tidak mau berlama-lama menatap Jaja, bisa naksir beneran nanti."Saya menghilangkan laptop teman saya, Bu. Saya boleh pinjam uang tidak, Bu. Lima juta.""Apa? kayaknya ga bisa deh!" Yasmin mengibaskan tangannya, lalu berbalik meninggalkan Jaja"Bu, tunggu!" Jaja menahan lengan Yasmin. Ia bagai tersengat listrik, saat telapak tangan Jaja menyentuh lengan mulusnya. Jaja yang tersadar, akhirnya melepaskan lengan Yasmin."Maaf, Bu. Kalau saya lancang, tapi saya memang butuh, Bu. Saya rela disuruh apa saja sama Ibu. Saya akan bekerja dua bulan tanpa Ibu gaji pun tak apa."Yasmin mengerucutkan bibirnya, keningnya sesekali tertarik keatas. Memandang wajah jaja yang mengiba, membuat Yasmin tidak tega."Kalau kamu bisa
"Ya udah, gue ganti baju dulu kalau gitu.""Ya, tidak sekarang, Mah. Besok." Jaja terkekeh melihat kelakuan ibunya yang sangat menggelikan. Bu Ambar tidak mengindakan ucapan Jaja, ia tetap berjalan ke ruang tengah, tepat dimana, lemari pakaiannya berada. Dengan cepat, bu Ambar mengganti celana pendeknya dengan celana kulot panjang. Lalu mengambil tas kecilnya yang disangkutkan di paku atas kasur."Ayo!" Bu Ambar menarik tangan Jaja. Cukup kuat, hingga mau tidak mau Jaja ikut berdiri bersama ibunya."Lha mau ke mana, Mah? Besok kata Jaja juga, bukan sekarang.""Ayo kita ke Grogol! pusat re...re..ba..reba..rreeboisasi..sst... apaan sih ya? Eh...iya, pusat rehabilitasi orang gila!"Jaja kaget, bahkan mulutnya setengah terbuka mendengar ucapan ibunya barusan."Lu perlu gue periksain, ayo!" Lagi-lagi Bu Ambar menarik tangan Jaja untuk keluar rumah. Namun Jaja menahan tubuhnya dengan kuat."Siapa yang gila, Mah?Jaja gak gila." Jaja menggeleng tidak paham, apa maksud ibunya sekarang?Plaakk
Tapi, jarinya sih kayaknya kesenggol pasti, Bu. Kecolek-colek dikitlah," lanjut bik Narsih lagi sambil menyeringai. Membuat Yasmin salah tingkah, bahkan Yasmin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Tapi sebentarkan?""Iya, trus Ibu masih belum sadar. Makanya bibir ibu langsung dicium sama Mas Jaja. Disedot gitu, Bu. Baru Ibu...""Sudah cukup, saya mau istirahat!" Sela Yasmin cepat, wajahnya sudah merona malu. Saat mengetahui bahwa bibirnya dicium oleh Jaja.Setelah Narsih keluar dari kamarya, Yasmin kemudian mematikan lampu dan naik kembali ke atas ranjang. Ia mencoba memejamkan mata, namun tidak bisa. Pelan Yasmin meraba bibirnya, atas dan bawah ia sentuh lembut. Wajahnya kembali merona malu, bahkan ia menutup wajahnya dengan guling."Dasar jablay!" Yasmin memaki dirinya sendiri. Malam ini sepertinya ia akan kembali susah tidur gara-gara Jaja.Pukul empat shubuh, Jaja sudah membantu ibunya bersiap-siap. Pagi ini bu Ambar memutuskan untuk tidak jualan. Namun tetap membuat nasi uduk