Share

Siapa Amira

"Ayo, Risa." Gilang kembali menggandeng tangan Risa naik ke lantai atas tanpa peduli kedua orang yang masih terus memanggil namanya di bawah tangga.

Gilang membawa Risa menuju lantai atas yang ternyata banyak kamar di sana. Ketika Gilang baru saja hendak membuka pegangan pintu kamar, tiba-tiba seorang anak perempuan berhambur memeluk Risa.

"Bunda … Amira kangen. Bunda kemana saja?" Gadis kecil itu memeluk Risa dengan erat.

"Bunda? Jadi Kak Gilang sudah punya anak? Aku ... menikah dengan seorang duda?" Risa menatap nanar pada Gilang yang berusaha menyeka air matanya.

"Bunda ... kenapa Bunda diam saja?" Gadis kecil itu membingkai wajah Risa dan menatap lekat iris mata Risa dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Ak-aku ...."

Risa terheran karena gadis kecil itu memanggilnya dengan sebutan Bunda. Gadis kecil itu juga mencium kedua pipi Risa dengan lembut. Seakan Risa adalah orang yang sangat dirindukannya. Risa hendak bertanya pada Gilang, tapi diurungkannya saat melihat wajah sendu gadis kecil itu.

Ada denting air yang mengalir dari pelupuk mata gadis kecil berkepang dua itu. Ia memeluk Risa semakin erat bersama isak tangis yang menyayat hati. Gadis kecil itu menyebut dirinya dengan sebutan Amira. 

"Bunda ... kenapa Bunda diam saja? Kemana Bunda selama ini? Apa nggak kangen sama Amira?" Gadis kecil itu masih memberondong Risa dengan pertanyaan.

"Amira Sayang, Bunda lelah. Bunda baru saja pulang dari luar negri," ucap Gilang mengelus rambut Amira dengan lembut.

 Gilang mengambil Amira dari pelukan Risa. Kemudian mensejajarkan posisi tubuhnya dengan gadis kecil itu sehingga mereka saling bertatapan.

"Ayah, Amira mau tidur sama Bunda," rengek Amira sontak membuat Risa semakin tercengang. 

"Bagaimana mungkin anak ini memanggilku dengan sebutan Bunda? Padahal ini kali pertamanya kami bertemu," gumam Risa di dalam hati.

 Gilang menoleh ke arah Risa, lalu tersenyum kepada Amira. Ada binar bahagia di raut wajah Gilang saat menatap gadis kecil itu.

"Iya, tapi bunda istirahat dulu ya, Sayang!" Gilang lalu menoleh ke arah seorang perempuan paruh baya yang memakai pakaian babysitter.

"Asih," Gilang memanggil seorang babby sitter yang berdiri didekat mereka.

"Iya, Tuan," Bik Asih membawa Amira kembali ke kamarnya.

"Pastikan Amira istirahat dan tidak masuk ke dalam kamarku." Gilang berlalu begitu saja sambil menggenggam tangan Risa, lalu gadis itu masuk ke dalam kamar.

"Kak, dia siapa?" Risa tak kuat menahan tanya yang sedari tadi bersarang di dada.

"Amira," sahut Gilang singkat.

"Aku tahu, tapi dia sia ...." Pertanyaan itu hanya menggantung karna Gilang menatap tajam tanda tidak suka.

"Jangan banyak tanya," ujar Gilang membuat nyali Risa menciut.

"Aku tidak suka perempuan yang banyak tanya dan suka membantah." Gilang melepas genggaman tangannya dan melepas jas dan meletakkannya di sebuah tempat di sudut ruangan.

Risa yang mendengar peringatan dari Gilang langsung tertunduk. Gadis itu memindai kamar Gilang dengan seksama. Kamar itu berukuran cukup luas dengan dinding berwarna krem dan tirai setinggi tiga meter menjulang berwarna senada. Ada sebuah ranjang king size dengan alas sprei berwarna abu-abu. Di sudut ruangan ada sebuah televisi yang menggantung di tembok dengan ukuran yang teramat sangat besar. 

"Kenapa bengong?" Gilang menepuk pundak Risa membuat perempuan itu terkejut.

"Ehem, tidak apa-apa, Kak." Risa menyahut cepat.

"Ganti pakaianmu, jangan pikirkan Amira," ujar Gilang seraya melepas dasi yang melekat di lehernya.

"Kita bukan pasangan di dalam drakor, jadi tidak ada acara pembagian tempat tidur," tambah Gilang tanpa menoleh pada Risa.

Ucapan Gilang membuat Risa bergidik ngeri. Risa tidak berani membayangkan adegan malam pertama karena hingga usianya dua puluh lima tahun, ia tidak pernah menjalin hubungan dengan seorang lelaki. 

 Gilang adalah laki-laki pertama yang menggenggam tangan Risa dan masuk ke dalam hidupnya.

 Gilang membuka lemari pakaian, lalu menatap ke arah Risa. "Ini lemarimu. Kamu boleh meletakkan apa pun di sini," 

"Dan satu lagi, penuhi apapun yang diminta Amira. Mulai hari ini, kamu bukan hanya menjadi istriku, tapi juga ibunya Amira." Gilang berbicara sesaat sebelum masuk kamar mandi.

"Jadi ... Amira itu benar-benar anaknya Kak Gilang." Risa menatap punggung Gilang yang perlahan menghilang di balik pintu.

"Lelaki menyebalkan. Bawaannya dingin banget. Bicara nggak ada basa-basi sama sekali," gerutu Risa.

"Bunda …." 

Risa menoleh, ternyata Amira muncul dari balik pintu.

"Iya, Sayang," sahut Risa refleks.

"Bunda kemana saja?" Amira memegang wajah Risa dan mencium pipinya berkali-kali.

"Bunda …" tenggorokan Risa terasa tercekat. Dia tidak tau harus menjawab apa.

"Ayah bilang, Bunda pergi keluar negri, tapi mengapa lama sekali?" Amira menundukkan kepalanya. Tubuhnya bergetar, lalu menangis.

Risa semakin bingung mendengar perkataan Amira. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Amira.

"Amira takut, semenjak bunda nggak ada, Oma selalu memarahi Amira, Oma bilang, Bunda sudah mati!" Tangis Amira pecah. 

"Ibunya Amira mati? Jadi Kak Gilang seorang duda beranak satu?" Risa bergumam. "Tapi ... kenapa Amira memanggilku dengan sebutan Bunda?" Pikiran Risa berkecamuk. Dia merasa heran mengapa Amira memanggilnya dengan sebutan Bunda.

"Ternyata Oma bohong. Bunda kembali dan memeluk Amira lagi. Ayah benar, Bunda pasti kembali." Amira tersenyum seraya mengalungkan tangannya di leher Risa.

"Sekarang aku mengerti mengapa Kak Gilang rela membeliku untuk dijadikan Seorang Istri. Kak Gilang ingin aku menjadi Ibu sambung untuk Amira karena istrinya itu sudah mati. Itu artinya ... wajah ibunya Amira mirip denganku?" Risa memandang wajahnya di balik cermin meja rias. Bulu kuduknya seketika berdiri. "Aku dinikahi Kak Gilang karena wajahku mirip mendiang istrinya?" 

"Bunda, rambut Bunda panjang sekali. Bukankah Bunda tidak suka rambut panjang?" Pertanyaan Amira membuat tenggorokan Risa tercekat. 

"Ehem, itu ... kan Bunda sudah lama tidak pulang, jadi rambut Bunda semakin panjang," sahut Risa asal.

Gadis kecil itu duduk di pangkuan Risa dan menatap heran pada Risa. Sesekali dia mengusap kulit Risa, tapi sesekali juga dia membingkai wajah Risa seakan mencari-cari sesuatu di sana.

"Kenapa, Sayang?" Risa merasa risih diperhatikan oleh Amira begitu lama dan seksama.

"Bunda banyak berubah."

"Amira …."

 Gilang muncul dengan hanya memakai handuk membuat Risa menutup matanya dengan kedua telapak tangan. Risa merasa malu karena tidak pernah melihat pemandangan seperti ini sebelumnya.

"Ayah … maaf," ujar Amira berlalu meninggalkan kamar.

"Amira, mau kemana?"

"Biarkan dia pergi."

"Kenapa, Kak?" Risa berdiri dan menatap heran pada Gilang.

"Jangan ajak Amira masuk ke sini, aku tidak suka. Aku tidak selalu berpakaian tertutup. Tidak baik dilihat Amira!" Gilang membuka lemari dan mengambil pakaiannya, lalu kembali masuk ke dalam kamar mandi.

Risa terperangah mendengar peringatan dari Gilang. 

"Bagaimana mungkin Kak Gilang tidak mengizinkan Amira masuk kedalam kamarnya, sedangkan Amira adalah anak kandungnya. Aku baru kali ini melihat hubungan anak dan ayah yang aneh." Risa mengomel seorang diri.

"Kamu belum mandi?" Gilang keluar dari kamar mandi dan membuyarkan lamunan Risa.

"Apa harus aku mandikan?" Risa seketika gemetar mendengar ucapan Gilang. Perempuan itu meraih handuk dan hendak pergi. 

"Risa, bukankah kamu mau mandi?" Tatapan Gilang mengintimidasi.

"Iy-iya, Kak."

"Lalu? Kenapa kamu membuka pintu itu?" Mata elang Gilang semakin tajam.

***

Komen (18)
goodnovel comment avatar
Dian Ibrahim
siapa Amira ya 🫣manggil Risa kok Bunda...
goodnovel comment avatar
Ernhy Ahza II
Lembut sdikit bsa ngga sih gil,, kmu ngga lihat apa risa tremor tiap dkat dngan mu
goodnovel comment avatar
Ernhy Ahza II
pintu apa yah yg risa buka?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status