Adakah yang merasa kehidupan mereka lebih sial dari aku? Percayalah, masih ada aku di sini!
Aku, Seraphina Adler, si desainer pakaian tidak terkenal. Sejak lulus dari sekolah fashion tiga tahun yang lalu belum mendapat panggilan kerja, mulai dari yang brand high end hingga yang namanya pun belum pernah kudengar.
Lalu aku yang putus asa akhirnya membuat merekku sendiri yang kubanggakan dan kupikirkan dengan sepenuh hati bernama 'Ms.Adler' dan tebak! Sejak merek ini kubuat hingga sekarang, hanya hitungan jari seseorang membeli pakaian dari butikku!
"Aku pikir seharusnya kamu menyerah dengan butikmu," kata Janice sambil memandangku dari atas ke bawah, "Meskipun kamu tidak begitu cantik, tapi kamu lumayan rapi. Kenapa tidak mencari pria kaya saja?"
Aku memandangnya malas dan mencibir, "Yah kita sama-sama orang yang gagal. Aku dengan butik ini dan kamu dengan restoranmu. Kenapa kita tidak melakukannya bersama?"
"Dasar."
Janice menggerutu. Dia menarik tas dari atas meja marmer dan buru-buru meninggalkan butikku tanpa pamit. Dari belakang, rambut keemasannya bergoyang seiring heels merah yang dihentak ke tanah dengan kasar.
Dia sangat marah.
Melihat Janice marah bukan pemandangan baru bagiku. Wanita itu, Janice, sama sekali bukan temanku. Kami tidak pernah melabeli diri kami sebagai musuh tapi kami juga tidak pernah akur semenjak SMA dan entah mengapa kadang-kadang dia akan tiba di butikku dan menggangguku sambil menghina butik yang tidak pernah ramai ini.
Singkatnya, dia adalah orang yang menyebalkan.
Aku melirik jam di tangan kiri. Sudah pukul tujuh malam. Sudah waktunya tutup meskipun jumlah pengunjung yang datang cuma satu, itu pun Janice.
Aku buru-buru mengambil handbag hitam tua, mematikan lampu, dan mengunci pintu.
Aku mengusap lenganku beberapa kali sebelum memeluk tubuhku sendiri.
Masih satu bulan lagi sebelum musim panas dan malam hari masih begitu dingin. Salahku karena tidak mengenakan pakaian yang lebih hangat.
Apa yang bisa dilakukan kemeja satin putih untuk melawan dinginnya angin malam musim semi? Tidak ada kan?
Jarak apartemen yang aku sewa dari butik cukup jauh. Jika mengendarai mobil mungkin akan memakan waktu satu jam kurang lebih. Tapi mobilku baru saja kujual kemarin untuk membayar biaya sewa, tidak ada yang bisa aku lakukan selain naik bus.
Aku bersin sekali dan menggosok hidung yang memerah dengan tangan yang pucat.
Sepertinya aku tidak cukup kuat untuk kembali di tengah cuaca seperti ini. Lagipula rumah pacarku tidak jauh dari sini. Hanya beberapa kali belok, rumah berpagar cokelat adalah miliknya. Lebih baik menginap di rumahnya semalam, pikirku.
Akhirnya aku mengirimkan pesan singkat padanya lalu kembali menaruh ponsel di tas. Aku tidak berharap dia langsung membaca pesanku. Kemarin dia bilang, sore ini dia terbang ke Jepang. Seharusnya dia masih di pesawat.
Ketika tiba di depan rumahnya, aku buru-buru memasukkan pin seperti yang biasanya. Tanggal lahirku.
Berhasil.
Tapi apa yang membuatku mengernyitkan dahi?
Semua lampu menyala terang benderang. Sebetulnya itu cuma satu hal. Tapi aku tidak tuli untuk berpura-pura tidak mendengar suara manusia di rumah ini meskipun dalam frekuensi yang rendah!
Jangan-jangan ada perampok?!
Dadaku berdebar keras hingga rasanya aku bisa mendengar debar jantungku sendiri. Tanganku mulai berkeringat dan entah kenapa dalam rumah yang lega ini aku merasa agak sesak.
Aku berjalan jinjit dengan hati-hati. Bergerak dengan lambat untuk meminimalisir suara yang timbul, meraih vas bunga di meja untuk menyerang, dan menempel ke dinding untuk bersembunyi.
Melirik ke kanan kiri tapi kosong. Tidak ada orang, tidak ada pergerakan.
Ketika terdengar suara lagi, aku menajamkan pendengaranku. Tidak begitu jelas tapi seharusnya suara itu dari kamar pacarku di ujung lorong.
Bukan pilihan yang bijak bagiku untuk pergi ke sana sendirian hanya berbekal vas bunga di tangan. Jadi aku mundur sedikit dan menekan nomor pacarku di ponsel. Aku akan mengatakan padanya bahwa di rumahnya ada penyusup.
Dalam beberapa detik, dering familiar terdengar dari dalam kamar.
Aku mengerutkan dahi.
Bukankah ini dering ponsel Adrian?
Kenapa ada di kamar? Bukankah seharusnya dia ada di pesawat? Tidak mungkin kan dia benar-benar lupa meninggalkan ponselnya di rumah?
Dengan dahi terlipat aku berdiri mematung. Berpikir sebentar sambil merasa, apakah kebetulan dering ponsel si perampok dengan Adrian sama?
Dering ponsel sama itu bisa jadi kebetulan. Adrian tidak menggunakan dering ponsel bawaan ponselnya. Dia memilih lagu tema instrumental game favoritnya sebagai nada dering. Tetapi berhentinya dering ponsel di kamar dengan terputusnya panggilan dariku secara bersamaan seolah membuat jantungku berhenti berdetak.
Itu mungkin memang benar-benar dia!
Lalu kenapa dia tidak berada di pesawat sekarang? Kenapa juga dia tidak mengangkat panggilanku?
Dengan hati-hati kuletakkan kembali vas bunga di tempatnya lalu berjalan dengan tergesa ke kamar di ujung lorong.
Ketika pintu dengan mudahnya kubuka, barulah aku menyadari kenapa Adrian tidak berada di pesawat sekarang dan kenapa dia tidak mengangkat panggilan dariku.
Rupanya dia sedang bersama seorang wanita yang sangat kukenal wajahnya. Berdua. Di dalam kamar. Tanpa sehelai benang pun di tubuh mereka. Dan pada saat itu Adrian sedang berada di atas.
Berengsek!
Tidak ada yang lebih menegangkan dari pada ketika kamu tahu akan dijatuhi hukuman tetapi belum tahu hukuman jenis apa yang kamu dapatkan. Kondisi itu adalah keadaanku saat ini. Aku benar-benar gugup hingga jantungku berdetak dua kali lipat lebih keras. Aku merapalkan doa dalam hati berkali-kali. Aku bahkan tidak tahu berapa kali aku berkata dalam hati, "Tuhan, tolong lembutkan hatinya agar dia meminta kompensasi serendah-rendahnya padaku. Jika dia memang meminta kompensasi yang sangat rendah padaku, aku akan memberikan jasaku gratis dua kali untuknya."Yang tidak aku prediksi adalah Janice. Dia sedari tadi agak gusar dan tampaknya apa yang dia pikirkan tidak bisa dia tahan lagi, jadi dia dengan ceroboh berkata, "Damien, dia tidak sepenuhnya salah. Aku pikir kesalahan kami sebagai tuan rumah juga besar karena tidak mengantarnya sampai ke kamar. Dia hanya seorang tamu."Apakah Janice yang terlihat seperti iblis baru saja berteman dengan seorang malaikat? Dia terlihat seperti malaikat
Damien Cross adalah selebriti pria yang agung dan sulit dihadapi. Aku pikir dugaanku barusan itu benar-benar akurat. Lihatlah, sekarang kami bukan cuma bertiga, tetapi berlima duduk melingkari meja bersama Damien Cross dan manajernya! Sampai saat ini belum ada yang bersuara. Sejauh yang dapat kulihat cuma Damien duduk dengan punggung lurus dan berwajah muram. Aku mengerti kenapa dia sebegitu muramnya. Siapa juga yang akan terlihat baik-baik saja setelah tertangkap kamera tidur dengan wanita tidak dikenal di rumahnya? Dia pasti berpikir aku adalah fans gila yang mencoba mengambil keuntungan darinya! "Ehm...Nona Seraphina benar?" kata manajernya dengan sopan. Suaranya agak dalam tetapi lembut. Manajernya ini adalah seorang pria muda berkacamata dengan rambut hitam dengan potongan comma hair. Dalam sekali lihat saja aku tahu, dia pria yang tampan. Tentu saja tanpa membandingkannya dengan Shane yang secara genetik tampan atau Damien Cross yang jelas-jelas selebriti. "Ya, aku Sera
"Bagaimana bisa?" setelah hening yang agak lama, aku masih belum bisa memproses apa yang terpampang di sana di otakku. Maksudku, aku tahu memang itu kejadian yang nyata. Tetapi bagaimana mungkin ada yang tersebar ke publik! "Kamu yang menyebarkannya, Shane?" aku bertanya dengan ragu-ragu. Dalam benakku, tidak mungkin ada yang menyebarkan hal ini kecuali Janice atau Shane. Hanya mereka berdua yang ada di rumah itu selain aku dan Damien. Jika dipersempit kemungkinannya, cuma Shane yang bisa karena hanya dia satu-satunya yang mengetahui bahwa aku tidur di ranjang yang sama dengan kakaknya. Tetapi...bagaimana bisa? Shane juga baru kuberitahu keesokan harinya. Shane tersenyum masam sambil mengeluarkan ponselnya, "Jelas bukan aku. Untuk apa aku menyebarkan rumor tentang Damien? Aku tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan merepotkan diriku sendiri ke depannya. "Dia menunjukkan ponselnya padaku yang memuat gambar aku dan Damien pada malam itu. Dengan lihai, dia memperbesar gambar it
Tidak perlu dikatakan lagi, rasanya Shane dan aku berbagi pikiran yang sama saat ini. Sekarang, aku memandang wajahnya yang kaku dan pucat pasi. Jika di hadapanku ada cermin, seharusnya kami tidak jauh berbeda."Itu tidak benar, Sera bukan pacarku. Dia teman Janice." kata Shane pada akhirnya."Oh benarkah?" kata Damien acuh tak acuh.Dia cuma memandangku sekilas dan mengangguk kemudian melambaikan tangan sambil berkata, "Kecilkan suara kalian, aku kembali.""Oke..." sahutku dan Shane berbarengan."Kamu betul-betul tidur dengan Damien?" Shane mengecilkan suaranya. Dia menarik kursinya lebih dekat lagi. Ekspresi wajahnya yang panik jelas-jelas tidak tersembunyi.Aku memutar bola mata dan berdecak pelan lalu memandangnya dengan malas, "Itu benar. Tidur dalam arti sebenarnya. Ketika aku bangun, kakakmu ada di sampingku tanpa pakaian...persis seperti tadi.""Kamu yakin tidur dalam arti sebenarnya?"Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ini, pertanyaan ini, aku juga tidak tahu apa yang
Aku kedinginan.Ketika aku membuka mata, saat itu kamar gelap gulita. Jendela tidak tertutup gorden, jadi aku masih bisa melihat cahaya bulan dan lampu dari sana. Dugaanku, sekarang masih subuh. Benar saja, ketika aku melihat ponselku, memang masih pukul lima.Ngomong-ngomong, jika tidak menyadari kasur dan bantal yang kupakai berbeda, aku bahkan lupa jika aku ada di rumah Janice saat ini.Dengan santai aku menyibak selimut dan menyalakan lampu. Barulah ketika aku mendapatkan pandanganku dengan jelas, mataku membola menyadari kasur itu tidak lagi kosong.Maksudku, tidak hanya aku yang berada di sana sepanjang malam!Ada seorang pria asing bertelanjang dada yang sedang tidur di sana!Rasanya jantungku terjun bebas ke bawah. Ini...bagaimana bisa semalaman aku tidur dengan seorang pria?!Aku melihat diriku sendiri yang hanya mengenakan bra dan celana dalam renda hitam senada dan nyawaku hampir lepas. Aku tidak melakukan apa-apa semalam kan? Aku benar-benar cuma tidur saja kan?!Ini...i
Memangnya apa yang kutahu tentang Janice si gadis sial selain dia menyebalkan?Tidak ada.Tetapi apakah teman-teman gadis itu juga tahu tentang hal ini?Aku berpikir sebentar sebelum menggeleng pelan. Lupakan, aku bahkan tidak ingat Janice punya teman. Tuhan, sebenarnya apa yang aku lihat di depan mataku saat ini? Seorang pria tampan yang sangat tinggi dengan malasnya membuka pintu rumah mewah dengan kaus putih besar dan celana pendek sebetis.Dia memandangku agak lama dengan alis terangkat karena aku tidak kunjung berbicara. "Cari siapa?" tanyanya.Aku merasa malu dalam hati karena bisa-bisanya malah tersihir oleh pria tampan lalu gelagapan dengan panik, "Janice. Apa benar dia tinggal di sini?""Oh Janice," dia mengangguk pelan sambil memandangku dari atas ke bawah dan kembali lagi dari bawah ke atas, "Aku tidak menyangka ternyata dia punya teman. Bagus untuknya."Aku tersenyum canggung hingga gigiku terasa kering."Kamu yang pertama.""Apa?" tanyaku. "Kamu teman Janice yang perta