Beranda / Romansa / Tersembunyi di Balik Cahaya / BAB III: Terjebak di Rumah Janice?!

Share

BAB III: Terjebak di Rumah Janice?!

Penulis: thecheesywriter
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-10 00:13:00

Memangnya apa yang kutahu tentang Janice si gadis sial selain dia menyebalkan?

Tidak ada.

Tetapi apakah teman-teman gadis itu juga tahu tentang hal ini?

Aku berpikir sebentar sebelum menggeleng pelan. Lupakan, aku bahkan tidak ingat Janice punya teman. 

Tuhan, sebenarnya apa yang aku lihat di depan mataku saat ini? Seorang pria tampan yang sangat tinggi dengan malasnya membuka pintu rumah mewah dengan kaus putih besar dan celana pendek sebetis.

Dia memandangku agak lama dengan alis terangkat karena aku tidak kunjung berbicara. 

"Cari siapa?" tanyanya.

Aku merasa malu dalam hati karena bisa-bisanya malah tersihir oleh pria tampan lalu gelagapan dengan panik, "Janice. Apa benar dia tinggal di sini?"

"Oh Janice," dia mengangguk pelan sambil memandangku dari atas ke bawah dan kembali lagi dari bawah ke atas, "Aku tidak menyangka ternyata dia punya teman. Bagus untuknya."

Aku tersenyum canggung hingga gigiku terasa kering.

"Kamu yang pertama."

"Apa?" tanyaku. 

"Kamu teman Janice yang pertama."

"Oh..." aku mengangguk dengan pemahaman.

Orang ini akan sangat kecewa ketika tahu bahwa ketimbang teman, kami justru tidak menyukai satu sama lain. Aku tidak berniat mengubah opininya juga, jadi aku hanya tersenyum sebagai balasan.

"Siapa namamu?" tanyanya dengan ramah. 

Jika aku tidak secara sadar sedang bertamu ke rumah Janice, aku bahkan tidak akan menyangka pria baik hati seperti ini adalah keluarganya.

"Seraphina Adler. Kamu bisa memanggilku Sera."

"Oh mari masuk. Duduklah di sana. Aku akan memanggil Janice."

"Oke."

Ketika aku masuk, yang menyambutku adalah guci-guci besar yang aku jamin, harganya pasti setara mobil rongsok yang kujual atau bahkan lebih, sofa kulit yang sekali lihat saja aku langsung tahu ini bahan bagus, tangga lebar melingkar berlapis karpet beludru, dan chandelier super besar di tengah ruangan.

Aku tahu Janice memang kaya. Tapi aku tidak berpikir dia sebegini kaya.

Duduk di sini rasanya seperti aku adalah noda tercela yang harusnya dimusnahkan.

Aku menoleh ketika mendengar ketukan sepatu di ujung tangga. 

"Kenapa kamu tahu rumahku?" Janice menghampiriku dengan mata menyipit seolah menuduhku melakukan hal-hal tercela. Bibirnya yang kecil agak cemberut dan dia terlihat jauh berbeda dengan dia yang biasa datang dan mengganggu di butikku.

Aku bisa mengatakan, gayanya saat ini lebih seperti tuan putri manja yang tidak senang.

"Kamu sendiri mengatakan bahwa dompetmu tertinggal di butikku," ujarku sambil meletakkan dompet merah muda di atas meja.

"Bukannya aku sudah bilang aku akan mengambilnya sendiri besok pagi?" Alisnya bertaut hingga dahinya berlipat. 

Aku memandang pakaian tidurnya yang serba merah muda itu dari atas hingga bawah lalu memandang wajahnya dan berkata dengan ringan, "Melakukan hal-hal baik agar mendapat karma baik? Aku pikir sudah sepantasnya begitu, siapa tahu dengan begitu kesialanku sedikit berkurang." 

"Oke." balasnya. 

Meski dia terlihat tidak suka, tetapi dia tidak mendebat lagi. Justru dia melirik keluar dan bertanya dengan linglung, "Kamu tidak bawa mobil?"

"Oh. Sudah kujual."

"Lalu? Kamu pulang dengan apa?"

"Taksi."

Janice berdecak pelan, "Taksi? Seseorang yang menjual mobilnya justru mengembalikan dompet orang lain di malam hari dengan taksi? Aku pikir kamu tidak masuk akal."

Aku mengangkat bahu, "Tidak juga. Aku benar-benar bosan di butik. Mengembalikan dompet itu cuma alasan, sebetulnya aku cuma ingin jalan-jalan."

"Sudah malam. Janice, kenapa kamu tidak ajak teman kamu menginap?" kata seseorang dari tangga. Itu adalah pria yang membukakanku pintu untukku tadi.

"Tidak Shane, dia bukan temanku."

Orang yang disebut Janice sebagai Shane ini mendekat dengan santai. Dia bersidekap sambil memandang kami berdua dari dekat secara bergantian. Di bibirnya ada senyum tipis.

"Bukan temanmu? Sera, rupanya adik perempuanku ini benar-benar tidak tahu caranya berteman. Bagaimana bisa dia bersikap seperti ini pada temannya?"

Aku melirik Janice sedikit. Seolah ingin menambahkan bumbu, aku berkomentar singkat, "Tidak juga. Biasanya Janice sangat baik padaku. Dia pasti cuma khawatir padaku karena datang agak larut hanya untuk mengembalikan dompetnya yang tertinggal di butikku."

"Oh ya ampun, Janice seharusnya kamu berterima kasih pada temanmu. Dasar ceroboh!"

Selain memandangku dengan tajam, rupanya Janice tidak memberikan perlawanan lebih seperti biasanya. Aku tidak tahu apakah karena yang dia hadapi adalah kakaknya sendiri atau karena dia terlalu malas untuk mendebat.

Shane memandangku dengan matanya yang berkilau, dia adalah pria tampan yang terlihat sangat hangat. 

"Dari pada kembali dengan taksi, bagaimana jika menginap semalam di rumah kami? Orang tua kami jarang pulang dan sekarang rumah ini sangat sepi. Lihat, hanya kami berdua di sini."

Wah! Aku cukup terkejut. Siapa yang menyangka akan datang suatu hari di mana aku ditawari menginap di rumah Janice?

Janice tampaknya tidak setuju, dia menatap Shane dengan tajam tetapi tidak mengatakan apapun.

Aku agak terhibur dengan ketidakberdayaan gadis pengganggu ini. Hanya saja menginap rasanya tidak perlu. Lagipula, orangtuaku tidak membesarkanku sebagai anak yang sering menginap di rumah teman.

Ketika teman-temanku mengadakan pajamas party, aku akan tidur di rumah dan mendengar cerita seru mereka keesokan harinya. Meskipun terasa menyedihkan pada saat itu, pada akhirnya aku juga jadi tidak berpikir menginap adalah hal yang menyenangkan.

"Oh tidak apa-apa, aku akan kembali saja dengan taksi. Terima kasih atas tawaranmu."

Tepat ketika setelah aku menolaknya dengan sopan, terdengar suara hujan turun dari luar rumah. Kami melihat dari pintu yang terbuka, ternyata hujan sudah turun sangat deras.

Tanpa menoleh, Shane berkata pelan, "Hujan..."

"Ya," aku mengangguk lalu dengan cekatan membuka aplikasi taksi online di ponselku dan berkata dengan santai, "Tapi aku masih bisa memesan taksi dari aplikasi."

"Tentu saja. Tetapi masalah ada yang mau mengantarmu kembali tidak ada yang tahu." Shane mengangkat bahu.

Janice akhirnya bersuara, "Tidak mungkin tidak ada yang mengantarnya pulang," Janice tampaknya sangat menginginkanku segera pergi dari rumahnya, "Benar kan Sera?"

Aku mengernyitkan dahi. 

Ini tidak benar.

Ponselku baik-baik saja, sinyal juga kencang, bagaimana mungkin aplikasi taksi online tidak bisa dibuka? Apakah gangguan?

Aku tertawa canggung, "Boleh pinjam ponsel kalian?"

"Oh boleh. Kamu bisa pakai punyaku," kata Shane seraya mengeluarkan ponsel dari saku celananya. 

Dia mengutak-atik ponselnya hingga terbuka tampilan aplikasi taksi online yang ternyata...sama-sama menolak untuk digunakan.

"Eh? Kenapa begini?" dia memandangku dengan bingung.

Aku menggeleng pelan sambil menunjukan tampilan aplikasi taksi online di ponselku, "Tidak tahu. Punyaku juga sama."

Janice menjadi lebih khawatir. Sama seperti aku yang tidak ingin berada lebih lama di rumahnya, dia juga tampaknya ingin segera mengusirku dari sini sehingga dia langsung mengeluarkan ponselnya tanpa banyak kata.

"Kenapa tidak bisa dibuka?!" dia histeris.

"Andaikan aku tahu." ucapku pelan.

"Hei Sera! Kamu memang benar-benar sebetulnya ingin menggangguku ya?!"

Aku melotot. Gadis sial ini, pemikiran unik dari mana yang membuatnya menyimpulkan bahwa aku ke sini untuk mengganggunya?!

Jelas-jelas niatku baik untuk mengembalikan dompetnya agar dia tidak perlu repot datang ke butikku besok pagi!

Tetapi sebelum aku sempat membela diri, Shane buru-buru menengahi kami, "Berlebihan sekali, anak manja!" Shane tersenyum padaku, "Maafkan adik perempuanku Sera."

"Tidak masalah," aku mengibas tangan, "Tapi Shane, bisakah aku merepotkanmu untuk mengantarku ke halte bus terdekat?"

Shane batuk dua kali, "Itu...tampaknya agak sulit. Kebetulan mobilku sejak pagi tadi tidak bisa nyala. Besok pagi aku berniat memanggil mekanik ke rumah. Sementara mobil Janice baru saja tadi siang masuk ke bengkel. Maafkan aku, sepertinya kamu benar-benar harus menginap di rumah kami malam ini."

"Tidak bisa! Mana mungkin dia tidur di rumah kita?!" Janice berseru pada kakaknya dengan histeris.

Aku diam-diam mengurut dahi. 

Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tersembunyi di Balik Cahaya   Bab VIII: Bencana Paling Buruk dalam Kehidupan Seorang Gadis?

    Tidak ada yang lebih menegangkan dari pada ketika kamu tahu akan dijatuhi hukuman tetapi belum tahu hukuman jenis apa yang kamu dapatkan. Kondisi itu adalah keadaanku saat ini. Aku benar-benar gugup hingga jantungku berdetak dua kali lipat lebih keras. Aku merapalkan doa dalam hati berkali-kali. Aku bahkan tidak tahu berapa kali aku berkata dalam hati, "Tuhan, tolong lembutkan hatinya agar dia meminta kompensasi serendah-rendahnya padaku. Jika dia memang meminta kompensasi yang sangat rendah padaku, aku akan memberikan jasaku gratis dua kali untuknya."Yang tidak aku prediksi adalah Janice. Dia sedari tadi agak gusar dan tampaknya apa yang dia pikirkan tidak bisa dia tahan lagi, jadi dia dengan ceroboh berkata, "Damien, dia tidak sepenuhnya salah. Aku pikir kesalahan kami sebagai tuan rumah juga besar karena tidak mengantarnya sampai ke kamar. Dia hanya seorang tamu."Apakah Janice yang terlihat seperti iblis baru saja berteman dengan seorang malaikat? Dia terlihat seperti malaikat

  • Tersembunyi di Balik Cahaya   Bab VII: Kompensasi?

    Damien Cross adalah selebriti pria yang agung dan sulit dihadapi. Aku pikir dugaanku barusan itu benar-benar akurat. Lihatlah, sekarang kami bukan cuma bertiga, tetapi berlima duduk melingkari meja bersama Damien Cross dan manajernya! Sampai saat ini belum ada yang bersuara. Sejauh yang dapat kulihat cuma Damien duduk dengan punggung lurus dan berwajah muram. Aku mengerti kenapa dia sebegitu muramnya. Siapa juga yang akan terlihat baik-baik saja setelah tertangkap kamera tidur dengan wanita tidak dikenal di rumahnya? Dia pasti berpikir aku adalah fans gila yang mencoba mengambil keuntungan darinya! "Ehm...Nona Seraphina benar?" kata manajernya dengan sopan. Suaranya agak dalam tetapi lembut. Manajernya ini adalah seorang pria muda berkacamata dengan rambut hitam dengan potongan comma hair. Dalam sekali lihat saja aku tahu, dia pria yang tampan. Tentu saja tanpa membandingkannya dengan Shane yang secara genetik tampan atau Damien Cross yang jelas-jelas selebriti. "Ya, aku Sera

  • Tersembunyi di Balik Cahaya   Bab VI: CCTV Rumah

    "Bagaimana bisa?" setelah hening yang agak lama, aku masih belum bisa memproses apa yang terpampang di sana di otakku. Maksudku, aku tahu memang itu kejadian yang nyata. Tetapi bagaimana mungkin ada yang tersebar ke publik! "Kamu yang menyebarkannya, Shane?" aku bertanya dengan ragu-ragu. Dalam benakku, tidak mungkin ada yang menyebarkan hal ini kecuali Janice atau Shane. Hanya mereka berdua yang ada di rumah itu selain aku dan Damien. Jika dipersempit kemungkinannya, cuma Shane yang bisa karena hanya dia satu-satunya yang mengetahui bahwa aku tidur di ranjang yang sama dengan kakaknya. Tetapi...bagaimana bisa? Shane juga baru kuberitahu keesokan harinya. Shane tersenyum masam sambil mengeluarkan ponselnya, "Jelas bukan aku. Untuk apa aku menyebarkan rumor tentang Damien? Aku tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan merepotkan diriku sendiri ke depannya. "Dia menunjukkan ponselnya padaku yang memuat gambar aku dan Damien pada malam itu. Dengan lihai, dia memperbesar gambar it

  • Tersembunyi di Balik Cahaya   BAB V: Berita Terpanas!

    Tidak perlu dikatakan lagi, rasanya Shane dan aku berbagi pikiran yang sama saat ini. Sekarang, aku memandang wajahnya yang kaku dan pucat pasi. Jika di hadapanku ada cermin, seharusnya kami tidak jauh berbeda."Itu tidak benar, Sera bukan pacarku. Dia teman Janice." kata Shane pada akhirnya."Oh benarkah?" kata Damien acuh tak acuh.Dia cuma memandangku sekilas dan mengangguk kemudian melambaikan tangan sambil berkata, "Kecilkan suara kalian, aku kembali.""Oke..." sahutku dan Shane berbarengan."Kamu betul-betul tidur dengan Damien?" Shane mengecilkan suaranya. Dia menarik kursinya lebih dekat lagi. Ekspresi wajahnya yang panik jelas-jelas tidak tersembunyi.Aku memutar bola mata dan berdecak pelan lalu memandangnya dengan malas, "Itu benar. Tidur dalam arti sebenarnya. Ketika aku bangun, kakakmu ada di sampingku tanpa pakaian...persis seperti tadi.""Kamu yakin tidur dalam arti sebenarnya?"Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ini, pertanyaan ini, aku juga tidak tahu apa yang

  • Tersembunyi di Balik Cahaya   BAB IV: Pria di Sebelahku

    Aku kedinginan.Ketika aku membuka mata, saat itu kamar gelap gulita. Jendela tidak tertutup gorden, jadi aku masih bisa melihat cahaya bulan dan lampu dari sana. Dugaanku, sekarang masih subuh. Benar saja, ketika aku melihat ponselku, memang masih pukul lima.Ngomong-ngomong, jika tidak menyadari kasur dan bantal yang kupakai berbeda, aku bahkan lupa jika aku ada di rumah Janice saat ini.Dengan santai aku menyibak selimut dan menyalakan lampu. Barulah ketika aku mendapatkan pandanganku dengan jelas, mataku membola menyadari kasur itu tidak lagi kosong.Maksudku, tidak hanya aku yang berada di sana sepanjang malam!Ada seorang pria asing bertelanjang dada yang sedang tidur di sana!Rasanya jantungku terjun bebas ke bawah. Ini...bagaimana bisa semalaman aku tidur dengan seorang pria?!Aku melihat diriku sendiri yang hanya mengenakan bra dan celana dalam renda hitam senada dan nyawaku hampir lepas. Aku tidak melakukan apa-apa semalam kan? Aku benar-benar cuma tidur saja kan?!Ini...i

  • Tersembunyi di Balik Cahaya   BAB III: Terjebak di Rumah Janice?!

    Memangnya apa yang kutahu tentang Janice si gadis sial selain dia menyebalkan?Tidak ada.Tetapi apakah teman-teman gadis itu juga tahu tentang hal ini?Aku berpikir sebentar sebelum menggeleng pelan. Lupakan, aku bahkan tidak ingat Janice punya teman. Tuhan, sebenarnya apa yang aku lihat di depan mataku saat ini? Seorang pria tampan yang sangat tinggi dengan malasnya membuka pintu rumah mewah dengan kaus putih besar dan celana pendek sebetis.Dia memandangku agak lama dengan alis terangkat karena aku tidak kunjung berbicara. "Cari siapa?" tanyanya.Aku merasa malu dalam hati karena bisa-bisanya malah tersihir oleh pria tampan lalu gelagapan dengan panik, "Janice. Apa benar dia tinggal di sini?""Oh Janice," dia mengangguk pelan sambil memandangku dari atas ke bawah dan kembali lagi dari bawah ke atas, "Aku tidak menyangka ternyata dia punya teman. Bagus untuknya."Aku tersenyum canggung hingga gigiku terasa kering."Kamu yang pertama.""Apa?" tanyaku. "Kamu teman Janice yang perta

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status