Damien Cross adalah selebriti pria yang agung dan sulit dihadapi.
Aku pikir dugaanku barusan itu benar-benar akurat. Lihatlah, sekarang kami bukan cuma bertiga, tetapi berlima duduk melingkari meja bersama Damien Cross dan manajernya! Sampai saat ini belum ada yang bersuara. Sejauh yang dapat kulihat cuma Damien duduk dengan punggung lurus dan berwajah muram. Aku mengerti kenapa dia sebegitu muramnya. Siapa juga yang akan terlihat baik-baik saja setelah tertangkap kamera tidur dengan wanita tidak dikenal di rumahnya? Dia pasti berpikir aku adalah fans gila yang mencoba mengambil keuntungan darinya! "Ehm...Nona Seraphina benar?" kata manajernya dengan sopan. Suaranya agak dalam tetapi lembut. Manajernya ini adalah seorang pria muda berkacamata dengan rambut hitam dengan potongan comma hair. Dalam sekali lihat saja aku tahu, dia pria yang tampan. Tentu saja tanpa membandingkannya dengan Shane yang secara genetik tampan atau Damien Cross yang jelas-jelas selebriti. "Ya, aku Seraphina." "Nona Seraphina tentu sudah tahu mengenai berita yang baru saja menjadi trending topik pagi ini..." tembaknya tanpa basa-basi. Aku mengangguk tanpa ragu-ragu. Tidak ada yang perlu kusembunyikan dengan bersikap ragu-ragu atau ketakutan. Dari perspektifku, aku tidak membuat kesalahan. Damien Cross tampak seperti patung yang dipahat. Dia tampan dan terlihat amat kaku. Wajahnya dingin dan dia tidak terlihat bersahabat sama sekali. Aku meliriknya sebentar sebelum berkata dengan percaya diri seolah-olah ingin mengontrol perspektif semua orang di sini, "Aku mengerti apa yang ingin kamu tanyakan. Di dalam foto itu memang aku. Aku memang menginap semalam di rumah Janice setelah terjebak hujan semalaman. Ngomong-ngomong, aku dan Janice satu SMA. Aku datang ke rumah kalian untuk mengembalikan dompetnya yang tertinggal di sini." Damien Cross masih tidak mengatakan apa-apa, cuma memandang kami dengan matanya yang abu-abu dan alisnya yang tajam. Salah, bukan kami, tetapi aku. Aku agak gugup. Maksudku, tatapannya seperti ingin membunuhku saat ini! Andai saja di ruangan ini hanya ada aku dan dia, mungkin dia sudah membunuhku sejak awal. Manajer Damien bertanya dengan tenang, "Apakah itu benar, Janice?" Janice sejak awal tidak pernah menyukaiku. Tetapi dia bukan orang jahat. Jadi dengan ikhlas, dia mengangguk seperti robot, "Itu benar." Tanpa diminta, aku kembali merincikan kejadiannya menurut perspektifku, "Aku tidur di kamar yang ditunjuk oleh Shane, sebuah kamar di ujung lorong lantai ke dua. Kamarnya dicat putih dan abu-abu—" "Itu kamarku." kata Damien pada akhirnya. Seketika itu juga jantungku terjun bebas. Aku memandang Shane menuntut. Aku ingin tahu apa yang akan dia katakan. Jika saja dia tidak memberikan kamar itu padaku, tidak ada berita kontroversial seperti ini! Sekarang Shane gelagapan dihujani tatapan curiga semua orang di ruangan. Dia mengusap tengkuknya berulang kali. "Aku...sejujurnya aku..." katanya susah payah, "...memberimu kamar di sebelahnya. Bukan kamar yang itu, Sera. Salahku juga hanya mengatakannya padamu, bukannya mengantarmu langsung ke sana. Maafkan aku." Jantungku benar-benar tidak kembali di tempatnya saat ini. Komunikasi yang salah membawa pada petaka, mantan pacarku yang mengatakannya. Aku rasa dia benar. Aku yang salah. Bahkan bila Shane salah, aku yang paling salah di sini. Tuhan, sial sekali kehidupanku! Rasanya aku benar-benar ingin menyembunyikan diriku sendiri dan menangis tetapi tatapan sadis Damien Cross membuatku tidak berkutik. Dia tidak mengatakan apa-apa tapi berhasil membuat aku merinding. Shane mungkin merasa tidak enak padaku, jadi dia buru-buru mengubah topiknya, "Andrew, bagaimana kamu akan mengatasi ini?" Andrew adalah nama si manajer yang sedang berpikir keras saat ini. Dia tersenyum sedikit pada Shane, "Sebenarnya ada beberapa cara, tetapi kami harus mendiskusikannya dengan agensi terlebih dahulu." Damien Cross tampaknya tidak terganggu dengan interaksi adik laki-lakinya dengan manajernya. Dia cuma memandangku seolah-olah aku adalah mangsa dan dia adalah predatornya. Dia terlihat sangat angkuh dan tajam. "Aku menginginkan kompensasi darimu." katanya pada akhirnya. "Kompensasi?" "Aku yang paling dirugikan di sini dan kesalahan ada padamu dan Shane." Seketika aku berkeringat dingin. Pikirkan saja, apa yang diinginkan seorang aktor besar dari desainer tidak terkenal! Jika dia menginginkan uang, mungkin bukan cuma butikku saja yang harus dijual sebagai kompensasi, tetapi ginjalku juga! Dengan suara bergetar, aku bertanya, "Kompensasi apa yang kamu inginkan?"Tidak ada yang lebih menegangkan dari pada ketika kamu tahu akan dijatuhi hukuman tetapi belum tahu hukuman jenis apa yang kamu dapatkan. Kondisi itu adalah keadaanku saat ini. Aku benar-benar gugup hingga jantungku berdetak dua kali lipat lebih keras. Aku merapalkan doa dalam hati berkali-kali. Aku bahkan tidak tahu berapa kali aku berkata dalam hati, "Tuhan, tolong lembutkan hatinya agar dia meminta kompensasi serendah-rendahnya padaku. Jika dia memang meminta kompensasi yang sangat rendah padaku, aku akan memberikan jasaku gratis dua kali untuknya."Yang tidak aku prediksi adalah Janice. Dia sedari tadi agak gusar dan tampaknya apa yang dia pikirkan tidak bisa dia tahan lagi, jadi dia dengan ceroboh berkata, "Damien, dia tidak sepenuhnya salah. Aku pikir kesalahan kami sebagai tuan rumah juga besar karena tidak mengantarnya sampai ke kamar. Dia hanya seorang tamu."Apakah Janice yang terlihat seperti iblis baru saja berteman dengan seorang malaikat? Dia terlihat seperti malaikat
Damien Cross adalah selebriti pria yang agung dan sulit dihadapi. Aku pikir dugaanku barusan itu benar-benar akurat. Lihatlah, sekarang kami bukan cuma bertiga, tetapi berlima duduk melingkari meja bersama Damien Cross dan manajernya! Sampai saat ini belum ada yang bersuara. Sejauh yang dapat kulihat cuma Damien duduk dengan punggung lurus dan berwajah muram. Aku mengerti kenapa dia sebegitu muramnya. Siapa juga yang akan terlihat baik-baik saja setelah tertangkap kamera tidur dengan wanita tidak dikenal di rumahnya? Dia pasti berpikir aku adalah fans gila yang mencoba mengambil keuntungan darinya! "Ehm...Nona Seraphina benar?" kata manajernya dengan sopan. Suaranya agak dalam tetapi lembut. Manajernya ini adalah seorang pria muda berkacamata dengan rambut hitam dengan potongan comma hair. Dalam sekali lihat saja aku tahu, dia pria yang tampan. Tentu saja tanpa membandingkannya dengan Shane yang secara genetik tampan atau Damien Cross yang jelas-jelas selebriti. "Ya, aku Sera
"Bagaimana bisa?" setelah hening yang agak lama, aku masih belum bisa memproses apa yang terpampang di sana di otakku. Maksudku, aku tahu memang itu kejadian yang nyata. Tetapi bagaimana mungkin ada yang tersebar ke publik! "Kamu yang menyebarkannya, Shane?" aku bertanya dengan ragu-ragu. Dalam benakku, tidak mungkin ada yang menyebarkan hal ini kecuali Janice atau Shane. Hanya mereka berdua yang ada di rumah itu selain aku dan Damien. Jika dipersempit kemungkinannya, cuma Shane yang bisa karena hanya dia satu-satunya yang mengetahui bahwa aku tidur di ranjang yang sama dengan kakaknya. Tetapi...bagaimana bisa? Shane juga baru kuberitahu keesokan harinya. Shane tersenyum masam sambil mengeluarkan ponselnya, "Jelas bukan aku. Untuk apa aku menyebarkan rumor tentang Damien? Aku tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan merepotkan diriku sendiri ke depannya. "Dia menunjukkan ponselnya padaku yang memuat gambar aku dan Damien pada malam itu. Dengan lihai, dia memperbesar gambar it
Tidak perlu dikatakan lagi, rasanya Shane dan aku berbagi pikiran yang sama saat ini. Sekarang, aku memandang wajahnya yang kaku dan pucat pasi. Jika di hadapanku ada cermin, seharusnya kami tidak jauh berbeda."Itu tidak benar, Sera bukan pacarku. Dia teman Janice." kata Shane pada akhirnya."Oh benarkah?" kata Damien acuh tak acuh.Dia cuma memandangku sekilas dan mengangguk kemudian melambaikan tangan sambil berkata, "Kecilkan suara kalian, aku kembali.""Oke..." sahutku dan Shane berbarengan."Kamu betul-betul tidur dengan Damien?" Shane mengecilkan suaranya. Dia menarik kursinya lebih dekat lagi. Ekspresi wajahnya yang panik jelas-jelas tidak tersembunyi.Aku memutar bola mata dan berdecak pelan lalu memandangnya dengan malas, "Itu benar. Tidur dalam arti sebenarnya. Ketika aku bangun, kakakmu ada di sampingku tanpa pakaian...persis seperti tadi.""Kamu yakin tidur dalam arti sebenarnya?"Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ini, pertanyaan ini, aku juga tidak tahu apa yang
Aku kedinginan.Ketika aku membuka mata, saat itu kamar gelap gulita. Jendela tidak tertutup gorden, jadi aku masih bisa melihat cahaya bulan dan lampu dari sana. Dugaanku, sekarang masih subuh. Benar saja, ketika aku melihat ponselku, memang masih pukul lima.Ngomong-ngomong, jika tidak menyadari kasur dan bantal yang kupakai berbeda, aku bahkan lupa jika aku ada di rumah Janice saat ini.Dengan santai aku menyibak selimut dan menyalakan lampu. Barulah ketika aku mendapatkan pandanganku dengan jelas, mataku membola menyadari kasur itu tidak lagi kosong.Maksudku, tidak hanya aku yang berada di sana sepanjang malam!Ada seorang pria asing bertelanjang dada yang sedang tidur di sana!Rasanya jantungku terjun bebas ke bawah. Ini...bagaimana bisa semalaman aku tidur dengan seorang pria?!Aku melihat diriku sendiri yang hanya mengenakan bra dan celana dalam renda hitam senada dan nyawaku hampir lepas. Aku tidak melakukan apa-apa semalam kan? Aku benar-benar cuma tidur saja kan?!Ini...i
Memangnya apa yang kutahu tentang Janice si gadis sial selain dia menyebalkan?Tidak ada.Tetapi apakah teman-teman gadis itu juga tahu tentang hal ini?Aku berpikir sebentar sebelum menggeleng pelan. Lupakan, aku bahkan tidak ingat Janice punya teman. Tuhan, sebenarnya apa yang aku lihat di depan mataku saat ini? Seorang pria tampan yang sangat tinggi dengan malasnya membuka pintu rumah mewah dengan kaus putih besar dan celana pendek sebetis.Dia memandangku agak lama dengan alis terangkat karena aku tidak kunjung berbicara. "Cari siapa?" tanyanya.Aku merasa malu dalam hati karena bisa-bisanya malah tersihir oleh pria tampan lalu gelagapan dengan panik, "Janice. Apa benar dia tinggal di sini?""Oh Janice," dia mengangguk pelan sambil memandangku dari atas ke bawah dan kembali lagi dari bawah ke atas, "Aku tidak menyangka ternyata dia punya teman. Bagus untuknya."Aku tersenyum canggung hingga gigiku terasa kering."Kamu yang pertama.""Apa?" tanyaku. "Kamu teman Janice yang perta