Sekali lagi kutanyakan, adakah yang merasa lebih sial dari aku? Jika ada, kemarilah dan lihat aku, Seraphina Adler yang gagal dalam karir juga gagal dalam percintaan!
"Sera?" Adrian membatu.
Aku tertawa canggung meski sebetulnya susah payah menahan asam di tenggorokan yang kelamaan terasa sakit. Tawa ini palsu sekali. Aku mengepalkan tanganku yang terasa dingin.
Sambil memaksakan senyuman, aku berkata dengan santai seolah-olah kejadian yang baru saja kulihat cuma pemandangan biasa, "Sibuk ya? Maaf mengganggu. Awalnya aku berniat menginap di apartemenmu," aku melirik wanita yang menutupi tubuhnya di bawah selimut, "Tapi sepertinya seseorang tidak akan senang kalau aku menginap."
Sial! Mataku mulai buram, dasar tidak bisa diajak kerja sama!
Sebelum air mata benar-benar menggenang, aku buru-buru melambaikan tangan sambil berkata, "Aku akan tinggal di hotel. Selamat tinggal Adrian, Sabrina!"
Ketika tubuhku benar-benar berbalik, barulah tangis yang kutahan sekuat tenaga hingga tenggorokanku terasa sakit itu luruh dengan derasnya.
Tapi siapa yang sudi terlihat lemah setelah disakiti?
Aku menepuk dada pelan dan dengan susah payah merapatkan bibir sehingga tangisku teredam. Rasanya sulit sekali menahan tubuhku agar tidak bergetar.
Jauh lebih menyakitkan ketimbang bisa mengeluarkannya dengan bebas.
Dasar Adrian berengsek! Dasar Sabrina berengsek!
Mana yang lebih menyakitkan antara mengetahui pacarmu berselingkuh atau fakta bahwa sahabatmu sendiri yang berselingkuh dengan pacarmu?
Aku rasa yang kedua memang yang paling menyakitkan. Pacar berselingkuh itu cuma satu hal, tapi ketika sahabatmu sendiri yang menjadi selingkuhannya, aku bisa jamin rasanya seperti dikhianati berkali-kali.
Saat itu hampir pukul delapan malam ketika aku menyusuri jalan tanpa arah sendirian di musim semi yang dingin. Angin musim semi yang menampar kulit di bawah pakaian tipis sudah tidak kuhiraukan.
Tidak ada rasa dingin tersisa di tubuhku seolah-olah darahku mendidih untuk menghangatkannya.
Aku berjalan dengan kepala tertunduk. Takut sekali rasanya bila orang lain menyadari bahwa aku menangis.
Aku takut terlihat lemah.
Di atas trotoar aku berjalan, kadang-kadang berpapasan dengan orang, banyak juga mobil melintas di kanan, kadang-kadang juga klason bersahutan seolah-olah menjadi backsound kesedihanku malam itu.
Apakah ini rasanya menjadi tokoh wanita yang menangis di film yang kemarin aku tonton?
Jika iya, rupanya tidak seindah di film. Para pemeran wanita di film sepertinya terlihat amat cantik meskipun sedang menangis. Lalu aku?
Lupakan, aku bahkan tidak mau membayangkan sejelek apa wajahku sekarang.
Ketika aku tiba di depan butikku, aku buru-buru pergi ke meja pribadiku di sebuah ruangan terpisah. Tidak ada kasur di sana, hanya sebuah sofa panjang berwarna putih gading.
Tidak ada tempat untuk pulang malam ini. Jadi mari tidur di sini saja.
Sambil berbaring di sofa, aku membuka daftar panggilan di ponselku.
Aku menghela napas. Apa yang kuharapkan? Untuk apa menunggu entah itu Adrian atau Sabrina untuk meneleponku? Bukankah aku akan tampak sangat menyedihkan?
Biarpun salah satu dari mereka meneleponku, tidak ada yang akan berubah!
Aku berguling sedikt. Entah mengapa meskipun berpikir demikian, rasanya aku ingin mereka meneleponku. Aku ingin mengungkapkan kemarahanku pada mereka dan membuat mereka menyesali perbuatan mereka.
Waktu berlalu dengan lambat dan sampai saat ini tidak ada satu pun dari mereka yang meneleponku.
Rupanya mereka benar-benar tidak menganggapku ada!
Aku meringkuk mencoba memejamkan mataku. Tetapi bahkan setelah waktu yang kurasa lama berlalu, tidak ada yang berubah. Aku masih belum mengantuk dan perasaanku masih terasa sangat buruk. Jadi kuputuskan kembali memainkan ponselku.
Aku mengangkat alis ketika menemukan satu pesan dari nomor tidak dikenal.
Aku meninggalkan dompetku di butikmu. Aku akan mengambilnya besok pagi.
Dugaanku Janice dan memang ketika aku melihat foto profil nomor tidak dikenal itu, seharusnya memang Janice.
Aku mendengus, dasar ceroboh!
Dompet itu seharusnya ada di meja depan. Ketika aku mencarinya, dari kejauhan dompet merah muda tergeletak di bawah meja.
Anggaplah aku memang kacau. Tetapi aku benar-benar butuh sesuatu untuk membunuh sepi. Jadi dengan niat itu, aku mengintip tanda pengenal Janice di dompet.
Jalan Maple No.17
Aku mengernyitkan dahi. Alamat ini agak jauh, tetapi bisa dijangkau dengan mudah dengan taksi. Taksi agak mahal. Aku jarang sekali menggunakannya. Apalagi dengan keuanganku sekarang, mana mungkin aku mengembalikan dompetnya.
Tetapi aku benar-benar hampir mati! Memangnya ada hal lain yang bisa kulakukan untuk mengalihkan perhatianku saat ini?
Apakah sebaiknya ku kembalikan saja dompet ini?
Aku teringat saldo ATM ku.
Biarlah biarlah, uang bisa dicari. Mari lakukan pikiran impulsifku malam ini!
Tidak ada yang lebih menegangkan dari pada ketika kamu tahu akan dijatuhi hukuman tetapi belum tahu hukuman jenis apa yang kamu dapatkan. Kondisi itu adalah keadaanku saat ini. Aku benar-benar gugup hingga jantungku berdetak dua kali lipat lebih keras. Aku merapalkan doa dalam hati berkali-kali. Aku bahkan tidak tahu berapa kali aku berkata dalam hati, "Tuhan, tolong lembutkan hatinya agar dia meminta kompensasi serendah-rendahnya padaku. Jika dia memang meminta kompensasi yang sangat rendah padaku, aku akan memberikan jasaku gratis dua kali untuknya."Yang tidak aku prediksi adalah Janice. Dia sedari tadi agak gusar dan tampaknya apa yang dia pikirkan tidak bisa dia tahan lagi, jadi dia dengan ceroboh berkata, "Damien, dia tidak sepenuhnya salah. Aku pikir kesalahan kami sebagai tuan rumah juga besar karena tidak mengantarnya sampai ke kamar. Dia hanya seorang tamu."Apakah Janice yang terlihat seperti iblis baru saja berteman dengan seorang malaikat? Dia terlihat seperti malaikat
Damien Cross adalah selebriti pria yang agung dan sulit dihadapi. Aku pikir dugaanku barusan itu benar-benar akurat. Lihatlah, sekarang kami bukan cuma bertiga, tetapi berlima duduk melingkari meja bersama Damien Cross dan manajernya! Sampai saat ini belum ada yang bersuara. Sejauh yang dapat kulihat cuma Damien duduk dengan punggung lurus dan berwajah muram. Aku mengerti kenapa dia sebegitu muramnya. Siapa juga yang akan terlihat baik-baik saja setelah tertangkap kamera tidur dengan wanita tidak dikenal di rumahnya? Dia pasti berpikir aku adalah fans gila yang mencoba mengambil keuntungan darinya! "Ehm...Nona Seraphina benar?" kata manajernya dengan sopan. Suaranya agak dalam tetapi lembut. Manajernya ini adalah seorang pria muda berkacamata dengan rambut hitam dengan potongan comma hair. Dalam sekali lihat saja aku tahu, dia pria yang tampan. Tentu saja tanpa membandingkannya dengan Shane yang secara genetik tampan atau Damien Cross yang jelas-jelas selebriti. "Ya, aku Sera
"Bagaimana bisa?" setelah hening yang agak lama, aku masih belum bisa memproses apa yang terpampang di sana di otakku. Maksudku, aku tahu memang itu kejadian yang nyata. Tetapi bagaimana mungkin ada yang tersebar ke publik! "Kamu yang menyebarkannya, Shane?" aku bertanya dengan ragu-ragu. Dalam benakku, tidak mungkin ada yang menyebarkan hal ini kecuali Janice atau Shane. Hanya mereka berdua yang ada di rumah itu selain aku dan Damien. Jika dipersempit kemungkinannya, cuma Shane yang bisa karena hanya dia satu-satunya yang mengetahui bahwa aku tidur di ranjang yang sama dengan kakaknya. Tetapi...bagaimana bisa? Shane juga baru kuberitahu keesokan harinya. Shane tersenyum masam sambil mengeluarkan ponselnya, "Jelas bukan aku. Untuk apa aku menyebarkan rumor tentang Damien? Aku tidak mungkin melakukan sesuatu yang akan merepotkan diriku sendiri ke depannya. "Dia menunjukkan ponselnya padaku yang memuat gambar aku dan Damien pada malam itu. Dengan lihai, dia memperbesar gambar it
Tidak perlu dikatakan lagi, rasanya Shane dan aku berbagi pikiran yang sama saat ini. Sekarang, aku memandang wajahnya yang kaku dan pucat pasi. Jika di hadapanku ada cermin, seharusnya kami tidak jauh berbeda."Itu tidak benar, Sera bukan pacarku. Dia teman Janice." kata Shane pada akhirnya."Oh benarkah?" kata Damien acuh tak acuh.Dia cuma memandangku sekilas dan mengangguk kemudian melambaikan tangan sambil berkata, "Kecilkan suara kalian, aku kembali.""Oke..." sahutku dan Shane berbarengan."Kamu betul-betul tidur dengan Damien?" Shane mengecilkan suaranya. Dia menarik kursinya lebih dekat lagi. Ekspresi wajahnya yang panik jelas-jelas tidak tersembunyi.Aku memutar bola mata dan berdecak pelan lalu memandangnya dengan malas, "Itu benar. Tidur dalam arti sebenarnya. Ketika aku bangun, kakakmu ada di sampingku tanpa pakaian...persis seperti tadi.""Kamu yakin tidur dalam arti sebenarnya?"Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Ini, pertanyaan ini, aku juga tidak tahu apa yang
Aku kedinginan.Ketika aku membuka mata, saat itu kamar gelap gulita. Jendela tidak tertutup gorden, jadi aku masih bisa melihat cahaya bulan dan lampu dari sana. Dugaanku, sekarang masih subuh. Benar saja, ketika aku melihat ponselku, memang masih pukul lima.Ngomong-ngomong, jika tidak menyadari kasur dan bantal yang kupakai berbeda, aku bahkan lupa jika aku ada di rumah Janice saat ini.Dengan santai aku menyibak selimut dan menyalakan lampu. Barulah ketika aku mendapatkan pandanganku dengan jelas, mataku membola menyadari kasur itu tidak lagi kosong.Maksudku, tidak hanya aku yang berada di sana sepanjang malam!Ada seorang pria asing bertelanjang dada yang sedang tidur di sana!Rasanya jantungku terjun bebas ke bawah. Ini...bagaimana bisa semalaman aku tidur dengan seorang pria?!Aku melihat diriku sendiri yang hanya mengenakan bra dan celana dalam renda hitam senada dan nyawaku hampir lepas. Aku tidak melakukan apa-apa semalam kan? Aku benar-benar cuma tidur saja kan?!Ini...i
Memangnya apa yang kutahu tentang Janice si gadis sial selain dia menyebalkan?Tidak ada.Tetapi apakah teman-teman gadis itu juga tahu tentang hal ini?Aku berpikir sebentar sebelum menggeleng pelan. Lupakan, aku bahkan tidak ingat Janice punya teman. Tuhan, sebenarnya apa yang aku lihat di depan mataku saat ini? Seorang pria tampan yang sangat tinggi dengan malasnya membuka pintu rumah mewah dengan kaus putih besar dan celana pendek sebetis.Dia memandangku agak lama dengan alis terangkat karena aku tidak kunjung berbicara. "Cari siapa?" tanyanya.Aku merasa malu dalam hati karena bisa-bisanya malah tersihir oleh pria tampan lalu gelagapan dengan panik, "Janice. Apa benar dia tinggal di sini?""Oh Janice," dia mengangguk pelan sambil memandangku dari atas ke bawah dan kembali lagi dari bawah ke atas, "Aku tidak menyangka ternyata dia punya teman. Bagus untuknya."Aku tersenyum canggung hingga gigiku terasa kering."Kamu yang pertama.""Apa?" tanyaku. "Kamu teman Janice yang perta