“Kau datang lebih cepat dari dugaanku.”
Chloe disambut dengan nada ejekan ketika dia tiba di Oasis Corp. Langit sore memantulkan cahaya temaram ke dinding kaca ruangan itu. Chloe berdiri kaku di depan meja panjang, tangannya mencengkeram tas seolah itu satu-satunya jangkar yang membuatnya tetap berdiri tegak.
Nash duduk di ujung meja, santai dengan jas hitam yang begitu pas di tubuhnya. Dan sorot mata itu masih dingin seolah dia siap untuk menguliti keberadaan Chloe.
“Aku pikir kau akan datang di hari terakhir jatuh tempo. Kenapa? Kau tidak sabar menikahiku dan mewujudkan impian masa mudamu?”
Chloe merasakan wajahnya seperti disiram oleh air es. Namun Chloe sudah di sini, seharusnya dia sudah tahu resiko yang akan diterimanya. Dihina? Tentu saja! Jika Nash bisa melakukannya 10 tahun yang lalu, maka dia pun masih bisa melakukannya sekarang.
“Aku sudah memikirkan tawaranmu,” ucap Chloe pelan. “Aku setuju.”
Sejenak, tak ada reaksi dari Nash. Lalu perlahan-lahan, bibirnya melengkung. Bukan sebuah senyuman yang ramah, tapi ejekan samar yang menusuk dan mengintimidasi, sama seperti 10 tahun lalu.
“Lucu sekali,” katanya, bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat. “Dulu kau datang padaku, mengakui perasaanmu dan aku menolakmu. Sekarang, kau datang lagi. Tapi kali ini kau tidak datang membawa sepucuk surat, melainkan dirimu sendiri untuk menikahiku. Ironis bukan?”
Chloe menunduk, rahangnya menegang kaku. Tak lama, setelah berhasil menenangkan diri dan keluar dari intimidasi Nash, dia kembali mengangkat wajahnya dan menatap Nash tajam. “Kau ingin mempermalukanku, bukan?”
“Kau merasa malu?” Tawa mengejek itu terdengar dari mulut Nash.
Chloe mengerjap, kedua bola matanya mulai berkaca-kaca. “Kau yang menjebak Alex. Kau yang mengirim orang untuk berpura-pura sebagai investor. Kau ingin menghancurkanku atau adikku?”
Tentu saja kau, wanita sialan. Kau bahkan tak tahu dimana letak kesalahanmu dan kau masih berusaha bersikap tenang?
Bukannya menjawab pertanyaan Chloe, dia malah meletakkan dua buah map di atas meja. Nash duduk santai di atas meja, dia menyalakan rokoknya dan menatap Chloe. “Dua pilihan,” katanya ringan, asap putih lolos dari mulutnya. “Kontrak pertama: pernikahan kontrak selama satu tahun dan aku akan melunasi hutang Alex sekarang juga. Setelah setahun, kita berpisah. Nama baikmu utuh, adikmu bebas.”
Chloe meraih lembar pertama dengan tangan gemetar. “Bagaimana dengan kontrak kedua?”
“Kontrak kedua,” lanjut Nash, matanya menyipit seolah dia sedang membaca setiap reaksi Chloe. “Pernikahan kontrak berlangsung selama tiga tahun. Aku akan mendanai semua proyek penelitian Alex, seluruh keperluan studinya. Aku tidak hanya membebaskan dia dari hutangnya tapi juga memberinya jalan menuju masa depan.”
“Dan aku harus membayarnya dengan tiga tahun kehidupanku!”
“Kau bisa menyebutnya dengan pengorbanan kakak yang baik,” ujar Nash, suaranya terdengar manis dan tenang tapi penuh racun.
Ruangan itu sunyi. Hanya detak jam dinding dan deru samar pendingin ruangan yang terdengar . Chloe menatap kedua kontrak itu dan jemarinya menelusuri baris demi baris seolah mencoba mencari celah, jalan keluar. Tapi sungguh tak ada.
Chloe tahu ini bukan hanya sekedar pernikahan kontrak. Ini adalah sebuah penjara yang tampak legal dan Nash adalah penjaganya. Sekali dia menggoreskan tinta di atas namanya, maka dia resmi menyerahkan diri menjadi tahanan Nash.
“Kau perlu waktu untuk memikirkannya?” tanya Nash dengan nada mengejek. “Pilihlah dengan baik, Chloe. Tapi ingat, ini bukan tentang cinta.”
Chloe menggigit bibirnya, menahan getar kepedihan di dadanya. Dia mengambil pena dengan tangan kanan, namun urung. “Bagaimana jika aku bisa melunasi hutang Alex ketika kontrak belum selesai?”
Tak akan ku berikan kau kesempatan itu, Chloe. Kau akan diam dalam genggamanku dan tidak akan bisa melepaskan diri.
“Aku akan memikirkannya nanti ketika kau bisa melunasinya,” sahut Nash santai. “Tapi jika kau melanggar kontrak, maka kau akan dikenakan penalti sebanyak sepuluh kali lipat dari jumlah hutang Alex.”
“Kau...”
“Ini negosiasi, dan aku seorang pebisnis. Aku tidak akan mengambil resiko yang merugikanku!”
Tarikan napas Chloe semakin berat. Dia menggenggam erat pena di tangannya dan menandatangani satu kontrak dengan napas yang tercekat. Setelah tinta hitam itu tergores, maka kebebasan Chloe resmi berakhir.
“Kontrak tiga tahun, ya?” ejek Nash, begitu dia melihat Chloe menandatangani kontrak kedua. “Kau sangat ingin berlama-lama denganku rupanya!”
Chloe tidak menyahut. Dimasukkannya kembali lembaran kertas itu ke dalam map dan menyerahkannya pada Nash. “Sudah ku tanda tangani.”
“Bagus! Tapi sebelum kau melangkah terlalu jauh dengan delusi kebebasan, ada beberapa hal yang harus kau pahami, Nyonya Sullivan!”
Chloe mengangkat wajah, matanya menyala penuh ketegangan. Apa lagi maumu? Belum cukup kau permalukan aku di sini?
Nash kembali ke ujung meja. Dia menyandarkan tubuh di kursinya, menyilangkan kaki, lalu bicara dengan nada ringan seolah sedang memberi pengarahan pada bawahannya. “Sebagai istri, walau hanya diatas kertas, kau perlu menjalankan peranmu. Kau akan memegang peran publik dimana kau wajib menghadiri acara sosial yang kuanggap penting. Pesta amal, peluncuran proyek, jamuan bisnis, dan, oh ya, acara keluarga. Tanpa pengecualian! Dan...” Suara pria itu terhenti, “aku tak mau melihatmu memakai pakaian ini lagi.”
Chloe tidak menyahut. Dia hanya menatap Nash dengan ekspresi yang bercampur aduk atara marah dan rasa tak percaya. Serendah itukah aku di matamu, Nash? Bagaimana bisa kau bahkan mengoreksi pakaianku?
“Jangan tersinggung,” kata Nash lagi, namun nada suara itu tetap sama –mengejek, “kau akan berdiri di sisiku dan tersenyum untuk kamera. Kau harus bersikap seperti kau memang sungguh-sungguh mencintaiku lebih dari hidupmu sendiri. Aku tidak ingin menjadi sorotan karena pakaian istriku yang...” Dia tidak melanjut, hanya mengagkat kedua bahunya dengan gestur seolah dia jijik.
“Aku tahu,” kata Chloe pada akhirnya, tenang, namun sarat kepedihan. Chloe nyaris menangis menghadapi hinaan Nash. Tapi dia memberitahu dirinya sendiri 10 tahun lalu, jika air mata tidak akan membuat dirinya kuat, malah akan terlihat bak boneka rusak yang tak bisa apa-apa.
“Kau juga akan belajar etika...” Chloe mengernyit selagi dia mendengar Nash terus bicara. “Kau harus belajar berjalan, bicara, tertawa dengan anggun. Aku tidak ingin istriku berbicara seperti seorang gadis 16 tahun yang mengungkapkan cintanya di lapangan basket...”
“Cukup!!” Air mata Chloe akhirnya jatuh, tubuhnya bergetar hebat. Dia diam dan menunduk cukup lama, menyadari kepahitan yang ternyata jauh menyakitkan dari 10 tahun lalu. Pundak Chloe naik turun, susah payah dia menelan ludahnya.
“Apa tadi?” tanya Nash dengan tenang.
Chloe membujuk dirinya untuk tetap tenang. Dia menyeka air matanya lalu mengangkat wajah. “Kau sudah menang. Apa kau masih perlu menginjak-injak harga diriku?”
Nash berdiri, dia berjalan mendekati Chloe lagi. Senyuman Nash muncul, seperi biasa, dingin, sinis dan penuh kenangan masa lalu yang tak bisa dikubur. Dia mendekatkan wajahnya pada wajah Chloe yang tegang lalu berbisik, “Memangnya kau punya harga diri?”
“Kau...”
“Ini kenyataan,” potong Nash cepat, dia berjalan ke belakang Chloe. “Kau yang memilih ini, Chloe,” bisiknya tepat di telinga Chloe, pelan dan intim. “Jangan pernah berharap kau mendapatkan kelembutan dalam kesepakatan ini.”
Nash tertawa, dia duduk kembali di depan Chloe lalu mengulurkan kartu akses berbentuk logam kecil ke arahnya. “Mulai malam ini, kau pindah ke kediamanku. Mobil akan mengantarmu ke apartemenmu dan membawamu kembali.”
Chloe tahu dia tidak akan punya pilihan. Diambilnya kartu itu perlahan seolah dia sedang menerima vonis. Dan ketika Nash berjalan melewatinya, pria itu sempat berhenti sejenak dan berbisik di telinganya, “Selamat datang di dunia yang kau pilih, Chloe.”
Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari ketika Nash membuka pintu rahasia di sisi Timur kediamannya. Pintu rahasia itu mengarahkannya ke ruang bawah tanah, tempat Nash lebih banyak menghabiskan waktu.Dinding bata abu-abu itu terlihat biasa saja bagi siapa pun, kecuali bagi dia yang tahu persis letak panel tersembunyi di balik lukisan klasik yang menggantung diam. Dia menekan kombinasi angka di keypad kecil dan pintu besi terbuka perlahan.Udara steril dan dingin menyambutnya. Lorong itu remang-remang dan sunyi. Hanya bunyi alat monitor dan detak pelan yang terdengar dari ruangan paling ujung. Nash berjalan pelan, jaketnya sudah dia lepas, lengan kemejanya digulung.Ruangan itu terlihat seperti ruang perawatan VVIP, lengkap dengan mesin pendukung hidup, sistem sirkulasi udara mandiri, dan ranjang medis elektronik. Seorang wanita paruh baya terbaring di sana, rambutnya yang dulu gelap kini memutih si sisi pelipis.Wajahnya tenang, tapi mata itu tak pernah terbuka lagi sejak hari dia
Hari pertama sebagai istri Nash Sullivan diawali bukan dengan ucapan selamat pagi atau ciuman hangat di kening. Ketika Chloe bangun, Nash sudah tidak ada di sofa. Sambil melihat pantulan dirinya di cermin, Chloe sadar, sebenarnya Nash tidak sepenuhnya brengsek.Pria itu memang menyakiti perasaannya tanpa Chloe tahu sebabnya apa. Tapi mungkin dia sedang menghadapi trauma, bisa jadi karena keluarganya. Mungkin bersikap kasar dan semena-mena adalah pelarian dari semua penderitaannya selama ini.Chloe menoleh ke arah pintu, cukup terkejut ketika Nash mendorong pintu lebar-lebar. Mata tajamnya langsung mengarah pada Chloe yang sedang menggulung rambutnya. Di tangannya dia memegang selembar kertas.“Aku tidak memintamu berdandan,” ucap Nash datar, dia mengenakan setelan jas hitam dan jam tangan mewah. “Kita punya jadwal untuk sore ini.”Chloe kembali memperbaiki rambutnya di depan cermin. “Aku tahu. Aku hanya tidak ingin mempermalukanmu.”Nash menatapnya selama beberapa detik, lalu di
Chloe melangkah keluar dari sedan hitam yang membawanya kembali ke kediaman Nash, tanpa kata sedikit pun. Gaun putihnya diangkat agar tidak menyentuh lantai. Dia terlihat lelah, tapi kedua matanya masih tetap menyala, bukan karena harapan, tapi karena keputusasaan.Nash berjalan di depannya, membukakan pintu besar tanpa menoleh. Dia tidak bicara, hanya memberi isyarat pada para pelayan agar mereka menyingkir dari hadapannya. Pria itu naik, Chloe menyusul setelahnya.Chloe berdiri di ambang pintu kamar utama, matanya menyapu ruangan, lalu terhenti pada Nash yang berdiri di sudut kamar sambil melepas dasi.“Jangan khawatir,” kata Nash akhirnya, suaranya rendah tapi tajam. “Aku tidak akan menyentuhmu. Setidaknya bukan malam ini.”Chloe masuk, dia berdiri di dekat ranjang. Siapa yang ingin disentuh olehmu? Sungutnya. Aku tidak rela. Bahkan jika kau adalah cinta pertamaku, aku tidak akan sudi bersentuhan denganmu. Membayangkannya saja membuatku muak.“Orang akan berpikir kau menghormatiku,
Chloe mengalihkan pandangannya, tapi bibirnya melengkung samar. “Aku tidak sedang mencari pengakuan darimu,” katanya pelan dan tegas. “Dan aku tidak menjual diriku. Aku membayar harga.”Nash tertawa pendek. “Oh, Chloe. Kau benar-benar berkembang. Dulu kau gadis yang mengaku cinta padaku dan hampir menangis waktu ku tolak. Sekarang, kau berubah menjadi lebih tangguh.”“Kau akan berubah menjadi tangguh ketika kau kehilangan arah hidupmu,” gumam Chloe, dia memejamkan matanya. “Kalau tidak keberatan, aku ingin tidur sebentar.”Mata Nash menyipit, tapi tatapannya tak lepas dari wajah Chloe. Teduh, damai, dan tenang. Jika tidak melihat video itu, Nash mungkin akan terkecoh oleh paras Chloe. Dia mengalihkan tatapannya, langit makin bergulung oleh awan hitam. Tidak. Chloe adalah penyebab ibunya koma. Tujuannya menikahi Chloe adalah untuk membalas dendam, tidak ada alasan lain di balik itu.***Langit sore berangsur-angsur pucat ketika sinar matahari harus kalah oleh gulungan awan yang makin b
Chloe meremas jemari Nash, hanya sebuah gerakan refleks, tapi itu sukses membuat Nash membungkam mulut. Pria itu melirik Chloe yang bahkan tidak melihatnya. Ada sensasi aneh dalam diri Nash yang membuatnya enggan untuk meladeni Foster. Apa itu karena sentuhan Chloe?“Jadi Chloe. Apa pekerjaanmu? Atau Nash cukup murah hati menjemputmu dari semacam... jalanan?”Suasana meja makan membeku. Sialan kau, pikir Chloe, dia menatap Helena yang memotong daging di piringnya dengan santai. Chloe meletakkan garpu dengan tenang dan tatapannya masih terpaku pada wanita itu tanpa kehilangan kendali.“Aku bekerja sebagai investigator lepas di salah satu perusahaan swasta,” sahut Chloe. “Aku tidak berasal dari jalanan, Nyonya!”Jamuan makan siang yang seharusnya menjadi sebuah cara untuk menyatukan keluarga malah beralih menjadi panggung ketegangan. Bunyi alat makan terdengar pelan diantara sunyi yang mencekam. Helena memainkan anggur di gelas dengan ekspresi puas melihat Chloe berusaha tetap tenang.F
Rumah pribadi Nash lebih mirip istana daripada tempat tinggal. Dinding-dinding terbuat dari marmer yang berkilau, lampu gantung kristal, dan tangga melingkar tinggi yang menjulang ke lantai dua. Tapi tidak ada kehangatan di dalamnya, hanya keheningan dan gema langkah Chloe ketika dia memasuki rumah itu dengan koper kecilnya.“Nyonya Chloe, Tuan Nash memintaku untuk membawa Anda ke kamar.” Seorang pelayan datang menemuinya.“Bisakah kau membawaku ke kamar tamu?” tawar Chloe.“Tapi Tuan Nash berpesan agar Anda tidur di kamar utama, Nyonya!”Chloe akhirnya mengangguk. Dia berjalan di belakang si pelayan dan naik ke kamar utama yang ditempati Nash. Ruangan itu luas, bahkan sepertinya lebih luas dari apartemennya sendiri. Chloe duduk di tepi ranjang besar dan memandang ke luar jendela. Dadanya terasa berat. Dia akan menjadi istri dari pria yang dia sukai, tapi anehnya pria itu sangat membencinya.Chloe tidak tahu bagaimana Nash bisa begitu memusuhinya, seolah mereka memiliki dendam yang be