Share

6. Tania Di rawat

"Bapak, boleh ikut saya sebentar, ada yang mau saya jelaskan." 

"Baik, Pak."

Aku membuka mataku perlahan, kulihat di sekeliling tempatku terbaring lemah ini begitu asing bagiku. Bau obat-obatan pun langsung ditangkap oleh indera penciuman. Aku menatap tanganku yang sudah terpasang infus. 

 Kupijat pelan pelipisku dengan tangan, kepalaku terasa sedikit pusing. 

"Mba, Mbak sudah sadar?" tanya Arini. Arini mendekatiku. Aku menoleh dan rasa sakitku kembali tercabik-cabik. Dia begitu sangat  perhatian dan lembut padaku. Apa karena dia belum mengetahui aku telah mengetahuinya. Apa dia hanya berusaha untuk tetap profesional dengan pekerjaannya sebagai asistenku dan aku majikannya. 

Semua rasa berkecamuk di hatiku saat ini. Bulir bening yang kujaga agar tidak runtuh kembali keluar tanpa berpamitan terlebih dahulu. 

Arini ingin menghapus air mataku, aku menepisnya dengan menarik wajahku sedikit menjauh. 

Tangan Arini mengambang, lalu dia menariknya kembali dan dia tersenyum padaku. 

Tatapanku kosong padanya. Entah apa yang ingin aku katakan, semuanya seperti benang kusut yang sulit aku keluarkan satu kata pun. 

"Mbak butuh sesuatu?" tanyanya. 

Aku hanya diam, tidak mampu menjawab satu kata pun. 

Bukan tidak mampu, rasanya hati ini sangat sakit. 

Melihat aku tidak meresponnya, dia kembali berkata. "Tadi, aku menemukan, Mba pingsan di kamar mandi saat aku mau beresin kamar, Mba. Aku langsung telpon Mas Reza untuk pulang. Aku khawatir Mba kenapa-napa?" ucapnya lembut. 

Hatiku berkedut nyeri mendengar penuturannya. 

Entah kenapa, mataku tidak bisa diajak kompromi. Bulir bening itu terus saja keluar  tak henti-hentinya. 

"Rin, aku mau tanya sama kamu, kamu jawab jujur  ya!" kataku. 

Dengan sekuat tenaga aku mencoba mengulas sedikit darinya. 

"Tanya apa, Mbak? Boleh, kok." 

Tidak sedikit pun ada kekhawatiran di wajahnya. Sudah sematang itukah rencananya untuk hadir di mahligai rumah tanggaku dan Mas Reza. 

"Apa kamu ha…." Ucapanku terhenti saat sadar ada yang masuk. 

Pintu kamar rawatku terbuka, Mas Reza muncul dari daun pintu. 

"Sayang, kamu sudah sadar?" tanyanya. Dia terlihat panik mendekatiku. 

Aku menarik nafas dalam, lalu membuang muka ke sembarang arah. 

Hatiku kembali tercabik-cabik. 

Aku sakit berhadapan di antara dua orang yang jelas-jelas mengkhianatiku.

Aku masih tetap tetap memilih diam. Hatiku benar-benar sakit saat dia masih saja peduli padaku. 

Entah apa arti semua ini. 

"Hei, kamu kenapa? Ngapain tadi kamu di kamar mandi begitu? Kamu ada masalah?" Mas Reza bertanya lembut seraya membelai wajahku. 

Aku ingin menolak, namun tidak bisa. Sebisa mungkin aku berusaha agar tidak menumpahkan airmataku di hadapannya. Biar aku simpan sendiri sakitku seperti apa, dia tidak perlu tau untuk itu. 

"Hei, kenapa diam saja? Kamu tau, kamu benar-benar bikin, Mas khawatir sama keadaanmu. Kamu cerita sama Mas kalau ada masalah, jangan seperti ini. Mas mohon sama kamu." Dia berkata sambil mencium tanganku. 

Rasa nyaman itu masih sama saat tangan ini digenggam olehnya. Hanya saja, sekarang kenyamanan itu diiringi rasa sakit yang ditorehkan diam-diam. 

Sekuat tenaga aku mencoba kuat, ternyata aku cukup lemah untuk itu. Air mataku akhirnya tumpah juga dari sarangnya. 

Aku melirik ke samping di mana Arini duduk di kursi dengan memangku tangannya di dada menatapku. 

Arini terlihat sedikit gelagapan saat saat mataku bertemu dengan matanya. 

Pandanganku beralih kepada laki-laki yang bergelar suami ini. Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa mereka sehebat ini menyembunyikannya dariku. 

"Aku mau pulang, Mas. Aku nggak betah di sini."

"Jangan, Sayang, kondisimu lemah, kamu harus menginap dulu semalam di sini ya. Besok baru boleh pulang. Dokter belum kasih kamu  pulang juga kok." 

"Untuk apa? Aku baik-baik saja, kok. Aku nggak betah di sini, Mas. Di sini nggak akan baik-baik saja. Aku nggak bakal sembuh dirawat di sini. Dokter nggak akan bisa nyembuhin aku." 

"Kenapa kamu bilang begitu? Apa alasan Dokter nggak bisa sembuhkan kamu?" tanya Mas Reza, ia menatap bola mataku dalam. 

Cinta itu masih sangat terlihat nyata di sana, dan ke khawatirannya pun masih terlihat sangat tulus. Tapi, kenapa? Kenapa dia tega padaku. 

"Kamu pikir sendiri, Mas! kenapa aku bisa begini? Aku tidak akan sakit jika kamu tidak menyakiti aku."

"A-a--apa, Maksud kamu, Yang?" Mas Reza tergagap bertanya padaku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status