Mobil sedan hitam berhenti perlahan di basement apartemen. Sopir segera turun, membukakan pintu belakang. Summer melangkah keluar, lalu menoleh ke dalam mobil.
"Kak!" panggilnya lirih.Sunrise duduk diam di sana. Wajahnya teduh tapi beku. Ia keluar tanpa banyak kata. Langkahnya ringan namun tak bertenaga. Aroma rumah sakit masih menempel di kulitnya, meski kini telah berganti dengan mantel wol dan syal tipis.Selama perjalanan dari rumah sakit ke apartemen, tak ada satu kalimat pun yang terucap. Sunyi, bahkan Summer memilih untuk tak memecahkannya. Ia tahu, kakaknya menyimpan terlalu banyak luka yang tak bisa sembuh hanya dengan kata-kata.Begitu sampai di kamarnya, Sunrise membuka tas yang ia bawa saat kecelakaan. Dokumen-dokumen yang telah ia revisi berkali-kali masih tersusun rapi di dalamnya. Laptop dan ponselnya mati total. Ia mencolokkan charger, lalu menunggu sambil duduk di ujung ranjang.Saat layar menyala, ratusan notifikasi membanjiri layar ponselnya.<Jamuan makan malam akhirnya selesai. Denting gelas terakhir mengalun sebelum para pelayan datang mengganti alat makan dengan nampan-nampan kecil berisi minuman ringan dan camilan penutup.Namun, suasana belum selesai. Musik orkestra kini berubah lebih ringan, dan lampu ruangan perlahan diredupkan. Semua tamu tahu, acara inti baru saja dimulai.Seorang anggota keluarga berdiri di depan, memberikan sambutan singkat sebelum memperkenalkan acara berikutnya."Tradisi turun-temurun keluarga Crown's pemberian hadiah pernikahan kepada menantu baru."Sunrise membeku di tempat duduknya. Ia tak tahu. Tidak ada yang pernah memberitahunya tentang ini.Para tamu mulai bersorak pelan, memberikan selamat dalam irama yang menggelegak dari atas panggung.Orang pertama yang berdiri adalah Magnus Crown.Ayah mertua itu melangkah perlahan, mengenakan tuksedo abu gelap dengan dasi hitam satin. Wajahnya tak menunjukkan senyum, hanya ketegasan yang tak pernah pudar meski usianya telah lewat enam puluh. Di ta
Udara dalam ruangan itu seolah membeku, tertahan oleh diam yang mengembang antara dua insan yang saling menyimpan luka dan rindu dalam diam. Klambu tipis berkibar perlahan ditiup angin, membawa aroma malam. Untuk pertama kalinya, keheningan di antara mereka terasa penuh makna. Tak ada kata, tapi terlalu banyak yang ingin mereka katakan. Namun tak satu pun dari mereka berani menyampaikan, takut menyentuh batas rapuh yang masih menahan semuanya. Khairen menatapnya dalam diam. Lama. Seolah mencoba menghafal setiap detail wajah Sunrise. Sunrise berdiri di ambang pintu, tak mampu melangkah lebih dekat. Gaun merah yang ia kenakan tergerai sempurna membingkai tubuh rampingnya. Riasan di wajahnya lembut. Dia tampak seperti lukisan hidup, indah, cantik, dan terpenjara oleh bingkai yang tak kasat mata. Khairen kembali membelakanginya, berdiri di balkon, mengenakan setelan hitam yang membuat siluet tubuhnya terlihat semakin tinggi dan kokoh. Tangannya menyentuh pinggiran balkon, tapi matany
Pagi itu, langit Zurich tampak cerah, tapi udara tetap menusuk tulang. Di dalam grand hall utama gedung CNC, karpet merah membentang dan layar-layar besar memancarkan logo sistem keamanan terbaru. Para delegasi dari perusahaan internasional, termasuk AndersonNet, telah memenuhi kursi-kursi yang tertata rapi. Suasana penuh ekspektasi. Ini bukan sekedar peluncuran produk, melainkan bukti dominasi CNC dalam teknologi keamanan global. Sunrise berdiri di sisi panggung dengan pakaian formal elegan berwarna biru tua. Rambutnya ditata rapi, ekspresi wajahnya penuh ketenangan, meski jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Di sampingnya, Carmen berdiri dengan tablet kendali. "Aku tak pernah segugup ini." "Semua akan berjalan lancar." ucap Sunrise selalu positif dan percaya diri. Di sisi lain panggung, Khairen duduk di kursi VVIP Jas hitam Armani melekat sempurna di tubuhnya. Ia tampak tenang, begitu tenang hingga terasa dingin. Dan Nick tentu berada di samping Khairen, mengawal
Ruang panel server sore itu dipenuhi pantulan cahaya biru dari layar raksasa dan indikator sistem. Suasana hening hanya diisi oleh denting keyboard."Bisa kita mulai." Sunrise memberikan instruksi. Para teknisi mulai beroperasi.Sunrise berdiri di depan layar utama bersama Carmen, sementara beberapa teknisi berdiri di sisi ruangan.“Sinkronisasi antar server sudah stabil.” ujar Carmen sambil menatap monitor dengan seksama.Sunrise mengangguk. “Benar. Bagaimana dengan uji coba respon daruratnya?”“Berhasil 100%. Tapi kita masih butuh satu sesi lagi untuk validasi sebelum demo besok.” Carmen menambahkan.Baru saja Sunrise akan memberi instruksi lanjutan, suara pintu otomatis terdengar. Keduanya menoleh. Nick masuk lebih dulu, lalu diikuti oleh Khairen."Tuan Khairen..." Carmen spontan menegakkan tubuh seperti para staf lainnya. Mereka mengangguk hormat.Sedangkan Sunrise tetap tenang, walau ada jeda sepersekian detik saat matanya bertemu dengan mat
Mobil sedan hitam berhenti perlahan di basement apartemen. Sopir segera turun, membukakan pintu belakang. Summer melangkah keluar, lalu menoleh ke dalam mobil."Kak!" panggilnya lirih.Sunrise duduk diam di sana. Wajahnya teduh tapi beku. Ia keluar tanpa banyak kata. Langkahnya ringan namun tak bertenaga. Aroma rumah sakit masih menempel di kulitnya, meski kini telah berganti dengan mantel wol dan syal tipis.Selama perjalanan dari rumah sakit ke apartemen, tak ada satu kalimat pun yang terucap. Sunyi, bahkan Summer memilih untuk tak memecahkannya. Ia tahu, kakaknya menyimpan terlalu banyak luka yang tak bisa sembuh hanya dengan kata-kata.Begitu sampai di kamarnya, Sunrise membuka tas yang ia bawa saat kecelakaan. Dokumen-dokumen yang telah ia revisi berkali-kali masih tersusun rapi di dalamnya. Laptop dan ponselnya mati total. Ia mencolokkan charger, lalu menunggu sambil duduk di ujung ranjang.Saat layar menyala, ratusan notifikasi membanjiri layar ponselnya.
Sinar matahari siang mulai menyusup melalui tirai jendela rumah sakit. Burung-burung berkicau pelan di luar, memberi kontras damai pada sisa-sisa malam penuh kekacauan.Sunrise perlahan membuka matanya. Pandangannya buram, samar, dan langit-langit putih rumah sakit menyambutnya dalam sunyi yang asing. Beberapa detik ia terdiam, tubuhnya masih berat, napasnya pelan, dan kepala terasa berdenyut.Satu suara memecah kesunyiannya.“Kakak, kamu sadar?” suara lembut itu familiar. Hangat. Dan penuh kekhawatiran yang tak disembunyikan.Sunrise mengerjapkan mata, dan saat pandangannya mulai jelas, ia melihat sosok Summer duduk di sisi ranjang. Wajah adiknya pucat dan mata bengkak, jelas telah menangis."Summer…?" bisiknya, suara serak dan lemah.Summer langsung memeluknya perlahan, hati-hati agar tidak menyentuh luka di pelipisnya. “Astaga, Kak aku benar-benar takut kau tak bangun,” suaranya bergetar. “Kalau Nick tidak meneleponku kalau mereka datangnya telat sedikit a