Setelah rapat berakhir. Sore itu, Khairen menemui ayahnya, Tuan Crown, di ruang kerja pribadi lantai tertinggi. Langit Zurich mulai berwarna oranye, memberi bayangan panjang pada jendela kaca besar.
"Ayah!" sapa Khairen saat masuk ke dalam ruangan. Mendengar suara anak semata wayangnya, Tuan Crown meletakkan berkas dokumen di atas meja, lalu menatap putranya dengan tajam. "Pemandangan di sini cukup keren." ucap Khairen mendekat ke arah jendela yang menghadap langsung ke hamparan kota Zurich yang padat. "Kudengar, kau memimpin rapat hari ini dengan baik. Ayah juga sudah membaca proposal yang akan kalian ajukan." Ayahnya memuji, cukup bangga ternyata Khairen memang terbukti sangat bisa diandalkan. Khairen tersenyum. "Itu karena ide dari kepala divisi teknologi. Ayah tak pernah salah memilih orang." balas Khairen memuji. Tuan Crown berdiri dari singgasananya yang sudah puluhan tahun ia tempati. “Sudah waktunya kau ambil alih sepenuhnya, Khairen. Aku akan mengadakan rapat dengan para dewan komisaris minggu depan. Kita umumkan pergantian kepemimpinan.” ucap Tuan Crown tak ingin lagi basa-basi. Khairen terdiam sesaat. “Aku belum yakin siap untuk duduk di kursi itu penuh waktu, Ayah!" tolaknya halus. Ia tahu ayahnya sudah tak lagi sehat. Dan memang sudah waktunya untuk beristirahat dan menikmati masa tua. Tapi, ia sendiri belum tertarik untuk duduk di kursi kekuasaan. “Kau sudah siap. Kau hanya butuh satu hal untuk melengkapi semuanya,” ucap Tuan Crown sambil berjalan mendekati jendela. “Apa itu?" tanya Khairen penasaran. “Seorang istri.” Khairen menoleh cepat. Terkejut, tak percaya jika ayahnya akan membahas tentang hal yang sama sekali tak pernah terlintas di pikirannya. “Apa maksud Ayah?” “CNC adalah perusahaan keluarga. Tradisi kita tidak hanya soal kepemimpinan, tapi juga stabilitas. Para pemegang saham lebih tenang jika tahu bahwa pewaris memiliki hidup yang mapan, termasuk dalam hal rumah tangga.” jelas Ayahnya. Khairen mendengus. “Jadi aku harus menikah, hanya demi sebuah syarat warisan?” Ia jelas tak setuju. Sama sekali tidak masuk akal. “Bukan sekadar syarat. Tapi bagian dari kepemimpinan yang utuh. Aku tak akan menyerahkan tahta tanpa itu!" ucap Ayahnya penuh penekanan juga tersirat kuat ancaman. Tuan Crown menambahkan dengan tenang, “Kau punya waktu sampai pengumuman rapat minggu depan. Temukan wanita yang pantas mendampingimu, atau kursi itu akan kutunda untuk waktu yang tidak pasti.” "Ayah...." Khairen ingin membantah, tapi ia tahu siapa ayahnya. Seorang yang keputusannya tak pernah bisa diganggu gugat. "Jika kau tak bisa menemukan, ayah yang akan mencarikannya untukmu." tutupnya tegas tanpa bantahan. Khairen memejamkan mata sejenak. Di pikirannya, entah kenapa, terlintas wajah Sunrise White, wanita yang tak hanya mengusik rasa penasarannya, tapi juga membuatnya bertanya-tanya, apakah dirinya benar-benar siap untuk mewarisi takhta dengan semua konsekuensinya. "Baiklah, tapi siapa pun wanita itu. Ayah harus menyetujuinya." Khairen memberikan penegasan. Jawaban itu sudah bisa ayahnya tebak. Ia mengenal dengan baik siapa anaknya. "Yang terpenting dia bisa melahirkan keturunan. Dan tidak mempermalukan keluarga Crown! Pilih yang setara dengan kita!" tandasnya. Khairen menarik napasnya dalam. Jelas itu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Mencari istri bukan seperti belanja barang yang bisa dipilih sesuka hati. Dan yang terpenting wanita itu mau dengannya. Masalahnya, sampai sekarang ia tak pernah menjalin hubungan dengan wanita manapun. Bahkan, ia tak tahu cara memulainya. Di sisi lain, ruang Divisi Teknologi. Waktu pulang telah tiba. Semua berkemas dengan semangat, tentu karena malam ini mereka akan merayakan pesta di tempat BBQ langganannya. "Sunrise, bolehkah kami memesan daging sapi terbaik di Swiss?" ucap salah satu tim. "Pesan saja sesuka kalian! Jangan pulang sebelum kenyang! Hari ini kita lupakan diet!" ucap Sunrise begitu semangat. Semua bersorak senang. Dan bergegas meninggalkan ruangan bersama menuju ke cafe tujuan. *** Cheers....! Mereka bersulang bersama dengan suka cita. Sederhana tapi cukup meriah. "Sekali lagi selamat Sunrise!" ucap mereka bergantian. Suasana pesta sederhana namun terkesan hangat. Semua makan dengan lahap. Sajian spesial terhidang di meja yang cukup panjang. Menu terbaik sengaja dipesan Sunrise untuk kesuksesan timnya. Tanpa sengaja, di sudut tempat yang berbeda di tempat yang sama. Khairen dan Nick juga sedang berada di cafe, tempat di mana Sunrise dan seluruh anggota Divisi Teknologi berpesta. "Apa? Tuan Crown memberikan syarat seberat itu?" untuk satu hal ini Nick juga tak bisa membantu. Mencari jodoh? Lebih baik ia disuruh memecahkan kasus sulit. Dia sendiri juga tak pernah dekat dengan wanita manapun. Kedua pria dewasa ini sama payahnya masalah wanita apalagi cinta. Khairen hanya mengangguk pasrah. Disesapnya minuman dengan kadar alkohol yang cukup tinggi. Tak peduli ia mabuk malam ini. Ia hanya ingin merasa tenang sejenak. TING! Notif pesan masuk di ponsel Nick. Sebuah angin segar baginya. "Apa CCTV itu sudah menemukan jawabannya?" tanya Khairen penuh harap. "Kabar baik Tuan." ucap Nick begitu melihat hasil tangkapan CCTV terbaru dan menunjukkannya pada Khairen. Khairen mendekat, mata elangnya mengamati video hasil rekaman CCTV hotel yang baru saja diperoleh Nick. Wajah wanita yang berlari keluar dari kamar 1101 masih belum terlihat jelas. Tapi ada satu frame, hanya satu, saat lampu lorong menyala cukup terang. Wanita berambut kecoklatan dengan ujung bergelombang. Jaket denim. Nick menunjuk layar. “Kami sedang lakukan pencocokan dengan data internal staf dan tamu. Selang beberapa saat setelah wanita misterius itu keluar dari kamar Tuan, ada sosok wanita yang berjalan mencurigakan menuju lorong kamar 1101. Wanita ini ada hubungannya dengan wanita yang menghajar anda." Nick menjelaskan sesuai dengan analisis sederhananya. "Siapa dia?" tanya Khairen penasaran. "Dia adalah Summer, putri bungsu keluarga Anderson pemilik salah satu perusahaan provider di Swiss." beber Nick. "Dan... dia adalah adik dari karyawan kita, Sunrise White." lanjut Nick. Khairen tersenyum smirk, seolah ia baru saja mendapatkan sebuah jalan pintas. “Aku sudah menduganya. Ternyata instingku tidak pernah melesat.” Kecurigaan Khairen selama mengamati Sunrise beberapa hari ini ternyata benar. Lebih tepatnya saat berada di lift, ketika menghirup aroma feminim yang sama. Dan cara jalan Sunrise yang persis seperti wanita malam itu. Nick membeku. “Tapi… jika itu benar, apa yang akan Anda lakukan?” Khairen menyandarkan diri di kursi dengan tenang, matanya menggelap, suaranya dingin. “Aku akan membuatnya tak punya pilihan." jawabnya nampak semburat licik di sorot matanya yang tajam.Wajah Paula memucat, seketika. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Seolah-olah jantungnya mendadak berhenti berdetak dan digantikan oleh gumpalan ketakutan yang membesar, menggulung dirinya dalam gejolak yang tak bisa ia kendalikan.“Lucas, jangan ulangi kalimat itu. Tarik kembali ucapan itu, Nak.” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. Namun tatapan matanya menusuk tajam, penuh kengerian dan penyangkalan.Tapi Lucas tak berpaling. Ia menatap ibunya lurus dengan mantap, meski matanya berkabut, hatinya berdarah, dan nadanya penuh dengan rasa bersalah yang tidak bisa ia hindari.“Aku tahu ini salah di mata Ibu,” suaranya parau, bergetar di antara emosi yang menyesakkan. “Tapi aku lelah terus berpura-pura. Aku lelah menyimpan semuanya sendirian selama bertahun-tahun."Paula terhuyung, punggungnya membentur sandaran kursi. Seolah Lucas telah menamparnya dengan kenyataan paling kejam. Ia memejamkan mata sejenak, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk. Bahwa Lucas, tidak ben
Di sisi lain Swiss, Yayasan Kasih Ibu. Lampu-lampu bilik kamar mulai padam. Lorong-lorong yang biasa terisi suara riuh tawa riang telah sunyi oleh gelapnya malam.Mata dari anak-anak yang memiliki sejuta impian telah terpejam lelap di bawah hangatnya selimut. Napas tenang dan damai mengisi ruang.Langkah pelan menuju taman, dari wanita yang sudah puluhan tahun mengabdikan hidupnya, untuk anak-anak yang tak memiliki orang tua dan tempat tinggal. Ia Paula White, guru seni yang kini menjadi pemilik yayasan. Malaikat pelindung dan penyelamat bagi mereka.Seorang berdiri di ujung taman, menanti dengan senyum hangat. Tatapan penuh cinta dari seorang anak lelaki yang begitu menyayangi ibu dan keluarganya, Lucas Anderson."Kau sudah pulang?" ucap Paula dengan senyumnya yang damai."Ibu..." Lucas merentangkan tangannya untuk menyambut hangat sang ibu.Paula berjalan mendekat dan menerima pelukan sang putra sulung dengan penuh kasih. Lucas mengecup pucuk kepala sang ibu yang rambutnya sudah mul
“Nick, berikan kuncinya!” perintah Khairen tegas.Tanpa banyak bicara, Nick mengangguk dan menyerahkan kunci mobil berwarna hitam, lengkap dengan seluruh dokumen kendaraan kepada Sunrise.“Semuanya sudah atas nama Nyonya,” ucapnya sopan.Sunrise menatap buku kecil kepemilikan kendaraan itu. Namanya tertera jelas di halaman pertama. Meski hatinya berat, ia akhirnya menerima pemberian itu dengan sorot mata tak percaya.“Aku akan menerimanya, tapi aku tetap ingin mengangsurnya. Setiap bulan, setelah menerima gaji, aku akan membayar,” ucap Sunrise mantap, menyampaikan syaratnya.Tawa ringan lolos dari bibir Khairen. “Mengangsurnya?” Ia nyaris tak percaya kalimat itu keluar dari mulut Sunrise.Sunrise mengangguk. “Ya. Aku tidak ingin menerimanya secara cuma-cuma. Bagaimanapun, kecelakaan itu bukan sepenuhnya salahmu. Aku juga kurang fokus saat mengemudi. Jadi, aku akan terima mobil ini, jika kau setuju aku mencicilnya. Jika tidak, maka maaf, aku tak bisa menerimanya.”Ia hendak menyerahkan
Di ruangannya, Sunrise membuka laptop dan mulai merapikan berkas presentasi untuk rapat Kepala Divisi pagi ini. Tangannya cekatan menyusun laporan kinerja tim teknologi bulan ini, lengkap dengan grafik progres, kendala teknis, dan rekomendasi pengembangan berikutnya.Tak lupa ia menyelipkan juga berkas-berkas penting yang harus ditandatangani CEO. Semua ia persiapkan dengan teliti.Ia menatap bayangan dirinya di layar laptop yang memantul samar. Wajah itu masih menyimpan rona kemerahan dari kejadian semalam. Tidur bersama CEO-nya, dalam satu ranjang. Dalam pelukan di bawah selimut yang sama.Ia mendesah. “Fokus, Sunrise. Fokus!”Sepuluh menit kemudian, ia sudah duduk di ruang rapat Divisi. Semua Kepala Divisi sudah hadir, menyapanya ramah.“Pagi, Sunrise. Aku datang lebih dulu darimu" canda Kepala Divisi Keuangan yang tak pernah datang tepat waktu.“Pagi,” ia membalas pelan, mencoba tersenyum walau gugupnya tak kunjung reda.Tak lama kemudian, pintu terbuka. Langkah sepatu hitam yang
Pagi masih petang, menyisakan jejak salju tipis di atas jendela apartemen Sunrise. Di dalam kamar yang hangat, detik-detik pagi mengalir pelan di antara napas sepasang suami istri kontrak yang tertidur dalam satu ranjang, dalam satu dekap sunyi yang tak pernah direncanakan.Khairen perlahan membuka mata. Butuh waktu beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada. Bau lavender yang samar, hembusan napas hangat di dada kirinya. Berat tubuh mungil yang masih bersandar erat padanya."Sunrise." Khairen menunduk sedikit, dan mendapati wajah Sunrise terlelap dengan tenang di pelukannya."Kukira hanya mimpi." lirihnya, rambut pirang gadis itu menjuntai menutupi sebagian pipi, membuat Khairen terdiam sejenak. Dadanya berdesir pelan, ia ingin lebih lama seperti ini.Pelan-pelan, ia menyibakkan rambut Sunrise, menyentuh dahi gadis itu dengan ujung jarinya. Demamnya sudah turun. Ia merasa lega.Sekali lagi ia menatap wajah itu lama, wajah yang keras kepala, berani, dan terlalu sering me
"Sunrise, aku pulang duluan. Hari ini, aku ada janji makan malam bersama keluarga." pamit Carmen yang sudah menenteng tasnya."Kau tidak masalah kan pulang sendiri? Jika, ada apa-apa hubungi aku." Carmen tetap khawatir."Aku bukan anak kecil, cepat pulanglah!" Sunrise tersenyum tipis."Bye..." Carmen meninggalkan ruang divisi.Senja menuruni langit Zurich dengan warna oranye keemasan, menelusup di balik kaca-kaca lantai tempat Sunrise bekerja, suasana mulai lengang. Satu per satu meja ditinggalkan, komputer dimatikan, dan lampu-lampu kantor mulai meredup pelan. Hanya beberapa orang yang masih bertahan, mengejar tenggat.Sunrise menghela napas panjang sambil mengemasi dokumen. Wajahnya lelah, tapi matanya menyimpan semacam kedamaian aneh.Perlakuan Khairen tadi pagi, sup, minuman herbal, dan sepatu hitam yang tiba-tiba ada di mejanya, semua masih membekas hangat.Ia berdiri dan mengganti sepatu high heelsnya dengan sepatu flat yang terletak rapi di bawah mejanya. Saat kulit kakinya men