Seorang wanita dengan long dress dipadukan dengan long coat berdiri di samping Rolls Royce. Tangannya dilipat di dada dan menatap lekat wajah Ethand. Raut wajahnya terlihat kesal namun berusaha tersenyum. Sangat jelas di mata Ethand jika wanita itu sedang kesal.
Ethand enggan mendekat dan berdiri mematung dengan mata menyipit. Dari senyum wanita itu sepertinya ia mengenalinya. Melihat Ethand yang terus mematung dan enggan menanggapinya, wanita itu menghampiri Ethand.
“Apakah kamu sudah melupakanku?” tanya wanita itu.
Melihat wanita itu dari dekat Ethand baru menyadari siapa wanita itu. Mata yang semula menyipit kini kembali normal dan senyum ketus terukir di bibirnya. “Saya tidak memiliki waktu untuk sekedar berbincang dengan orang asing,” ucap Ethand dengan nada dingin. Untuk menatap wanita itu saja dia sudah jengah. Tidak ingin membuang waktunya, Ethand berjalan menuju lift. Wanita itu ditinggalkannya begitu saja.
Sampai di
“Apakah ibu sudah siap?” tanya Emma yang sudah rapi dengan celana jeans berwarna navi dan baju kaos berwarna putih polos dipadukan dengan long coat warna cokelat. Rambutnya dibiarkan terurai.“Sudah, Kak.” Alin dengan jumpsuit denim yang sangat cocok di pakainya. Rambut di kuncir kuda dan tidak berdandan. Kedua kakak beradik itu cantik alami tanpa polesan make up yang berlebihan. Hanya bedak dan lipstik seadanya. Sedangkan bulu mata mereka lentik alami.“Sudah pada cantik semua. Ibu jadi tidak percaya diri nih.” Goda Ester pada kedua putrinya.“Kan cantiknya sudah di ambil oleh aku dan Kakak,” balas Alin. Emma hanya tertawa dan Ester hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.“Grab-nya sudah datang. Ayo kita berangkat.” Emma mendengar bunyi klakson mobil. Ia sudah memesan taksi sebelumnya.Mereka sama-sama menaiki taksi dan menuju ke Wilobi Mall. Mall terbesar dan teramai di Vunia.
Ryan sudah bangun sejak pukul lima pagi. Ia berniat untuk berangkat pagi ke kafe milik Jane.“Pagi, Ethand,” sapa Ryan pada Ethand yang baru saja bangun.“Hm,” Ethand dengan nada khas bangun tidur. Ia langsung bergegas mengambil air putih dan meminumnya. Ryan yang sedang duduk di meja makan dan memainkan ponselnya menatap heran pada Ethand yang minum air tapi mata masih tertutup.“Apakah kamu sudah sadar sepenuhnya?” tanya Ryan dengan nada khawatir.“Jika belum sadar bagaimana saya membedakan mana mulut dan hidung?” Ethand kembali melayangkan pertanyaan.Ryan langsung terkekeh lucu mendengar balasan dari Ethand. “Hari ini saya ada sedikit urusan. Sore baru kembali.”Ethand langsung berbalik menghadap sekretarisnya. Ia baru menyadari jika Ryan sudah rapi. “Temani saya ke Wilobi Mall terlebih dahulu,” balas Ethand.“Baiklah.” Ryan tidak bisa menolak perm
Langkah kaki Emma semakin cepat ketika menyadari bahwa Ethand sedang melihat ke arahnya. Ester dan Alin hanya bisa mengikutinya tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Dada Emma terasa sesak namun ia juga heran mengapa bisa seperti itu. Ethand bukanlah pasangannya.“Hanya karena perhatian lebih darinya membuatmu begitu mudah luluh, Emma.” Batin Emma sambil terus melangkah. Kakinya terus membawanya sampai pada sebuah tempat penjualan kelengkapan dapur. Ester dan Alin terengah-engah karena harus mengikuti langkah kakinya yang lumayan cepat.“Ada apa, Kak? Apa yang terjadi?” tanya Alin. Sudah berapa kali ia memanggil Emma namun kakaknya terus berjalan tanpa memedulikan panggilannya.Emma menghembuskan napas pelan. Ia memejamkan matanya sejenak dan dibukanya perlahan. “Tidak apa-apa kok. Sepertinya aku sedikit lelah.” Emma membalikkan badannya dan mendekat ke arah Ester. Namun Emma melihat Ethand sedang mencari keberadaannya. Emma lan
Bryan yang baru saja menerima berkas dari rekan kerjanya terkejut dengan kedatangan Ryan. Ia belum sempat menyimpan berkas itu. Wajahnya terlihat kahwatir dan juga gugup.“Hari ini sepertinya Pak Bryan menerima tamu penting.” Ryan langsung mendaratkan bokongnya di sofa dan memangku kakinya. Ia dengan senyum tulus namun terlihat mematikan di mata Bryan.Bryan tahu jika Ryan bukanlah sekretaris biasa Alves Corp. Lelaki ini sudah dipercaya oleh tuan Alves dan juga Giorgino. Sekarang Ethand pun demikian. “Hanya tamu biasa, Pak,” balas Bryan.“Saya tidak suka basa basi, Bryan.” Nada suara Ryan kini berubah. Bryan tidak mampu menelan salivanya.“Ma-maafkan saya, Pak.” Bryan lansgung berlutut di depan Ryan. Melihat tingkah Bryan, Ryan semakin kesal.“Maling kalau ketahuan sikapnya sangat tidak tahu malu,” umpat Ryan dengan nada kesal. “Pak Ethand yang menyuruh saya ke sini. Jadi tidak ada k
Dunia memang selebar daun kelor. Ethand tidak menyangka, urusan penting sekretarisnya hari ini adalah datang ke kafe ini. Setelah mendengar nama Jane, Ethand tidak menyangka bahwa wanita itu adalah sahabat dekat Emma. Sungguh kisah cinta mereka sangat luar biasa. Ethand menggeleng kepalanya dan terdiam menatap lekat Ryan.“Apakah pak Ryan sering ke kafe ini?” tanya Emma penasaran. Jika memang Ryan sering datang ke sini maka Emma tentu mengetahuinya karena dirinya senantiasa menghabiskan waktu di kafe ini bersama sahabatnya.“Baru hari ini saya datang.” Jawaban Ryan membuat semua yang ada dalam mobil bingung.“Bukankah tempat ini adalah tempat makan favorit Nak Ryan?” tanya Ester.“Mulai hari ini, Bu,” jawab Ryan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ethand hanya membuang tatapan kesal. Ester hanya manggut-manggut dan berusaha mencerna kalimat Ryan. Dahinya mengernyit dan berbalik menoleh ke arah Emma
Jane dengan dahi berkerut terus menatap Ryan. Sejak kapan lelaki ini seakan-akan menjadi dekat dengannya. Berujar seenaknya dan bahkan menggombalnya. “Maaf, saya tidak bisa menemani Anda makan.” Jane langsung berbalik dan pergi menuju meja kasir. Raut wajahnya terlihat kesal.“Apakah aku telah salah berucap?” Ryan bertanya pada Ethand yang sedang menatapnya jengah. “Ataukah dia terpukau dengan perkataanku?” Ryan dengan senyum sumringah.“Hari ini baru saya bertemu dengan lelaki murahan.” Ethand sedikit berbisik. Emma di hadapannya langsung menahan tawa dengan tangannya. Raut wajah Ryan langsung berubah. Diletakannya sendok dan garpu lalu dilipat kedua tangannya.“Emma…” Ryan menatap nanar makanan di hadapannya. “Apakah aku telah salah berucap?” Emma yang hendak menyantap makanannya seketika mengurungkan niatnya.“Sudah berapa kali Pak Ryan bertemu dengan Jane?” tany
Sejak kembali dari kafe Janasses Ethand hanya terdiam dan enggan berbicara. Berbeda dengan Ryan yang sejak tadi merona karena bahagia. Sesekali ia menengok ke belakang namun Ethand tidak menanggapinya. Ryan hanya bisa ikut terdiam tanpa bertanya pada lelaki dingin itu.Sesampainya di Eves The Hill Vunia Ethand turun dari mobil dan langsung menuju ke private lift. Ryan hanya bisa memaklumi atasannya.“Apakah dia lagi kesal?” Ryan pun melepaskan sabuk pengaman dan menyusul atasannya ke penthouse. Seorang diri di dalam private lift membuat Ryan mengantuk apalagi kekenyangan karena baru usai makan siang.“Di manakah dia?” Ryan menjelajahi ke seluruh ruangan dan mencari keberadaan Ethand namun tidak menemukan keberadaannya. “Apakah dia langsung ke kamar?” Ryan hanya bisa menghela napas kesal dan mendaratkan bokongnya di sofa panjang ruang tamu.Di dalam kamar bernuansa monokrom, Ethand duduk di side chair seraya memegang seg
Hari ini adalah hari senin. Sudah hampir sebulan Emma bekerja di Alves Corp. hari ini pula akan dilakukan uji coba terhadap program yang ia dan Sobig kerjakan. Semalam Emma sudah melakukan uji coba sendiri di rumahnya. Semua berjalan sesuai dengan logaritma rancangannya. Yang dikerjakan oleh Sobig juga sesuai dengan apa yang diharapkannya.“Makan dulu, Emma.” Suara Ester setelah membuka pintu kamar Emma tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Ia tahu jika Emma sudah selesai mempersiapkan diri setelah melihat jam di dinding.“Iya, Bu.” Emma sudah rapi dengan kemeja berwarna putih dengan motif garis yang terkesan santai dan sensual. Kancing bagian atas sengaja di copotnya agar terkesan lebih sensual namun masih sopan dan juga celana palazzo sebagai paduannya. Lengkungan tubuhnya yang ramping terlihat jelas hal itu membuat Ester berpikir sejenak.“Kenakanlah blazer untuk berjaga-jaga, Emma,” ucap Ester.Emma yang sedang memasuk