Share

Dia yang pernah pergi

 “Ayahhh!” teriak Nuri seraya berdiri dari kursinya. Ia berlari menuju ruang keluarga lalu memeluk sosok yang sangat dirindukannya. Sudah lama dirinya itu tidak bertemu dengan sosok pria tangguh yang menjadi kebanggannya.

 Sang ayah membentangkan kedua tangannya untuk memberikan pelukan pada anak semata wayangnya. Nuri menyambut tangannya ayahnya dengan pelukan yang sangat erat. Ia melingkarkan kedua tangannya pada tubuh sang ayah. Sebuah lengan yang besar membelai rambutnya. Pucuk kepala Nuri terasa hangat karena dicium oleh sang ayah.

 Tanpa terasa, buliran bening yang hangat menetes di pipi Nuri. Perasaan didalam hatinya tak bisa disembunyikan dengan baik. Ia benar-benar bahagia atas keberadaan sang ayah yang sudah lama tidak ia temui.

 Sang ayah yang memang bekerja di luar negeri menjadi Kedutaan Besar Indonesia di Negara India, mengharuskan dirinya tinggal disana dan pulang selama beberapa bulan sekali. Sehingga Nuri hanya tinggal berdua dengan sang bunda saat papanya sedang bertugas di India sana.

 “Ayah. Nuy kangen Ayah. Kenapa Ayah baru pulang saat ini? Apa Ayah tidak ingat dengan Nuri dan Bunda selama beberapa bulan ini?” tanya Nuri dengan beberapa air mata di ujung matanya.

 “Tentu saja Ayah rindu dengan anak Ayah dan istri Ayah. Ayah tidak pulang selama beberapa bulan karena memang sedang bekerja ‘kan.”

 “Tapi kenapa Ayah tidak pernah menelepon pada Nuri dan memberikan kabar? Padahal setiap hari Nuy menatap foto Ayah yang ada di ponsel. Setiap kali Nuy telepon, Ayah selalu sibuk dan tidak menjawab. Nuy jadi sedih saat hilang komunikasi dengan Ayah,” tutur Nuri dengan suara yang sedikit serak supaya dirinya tetap bisa bersuara di tengah isakan tangisnya.

 “Ayah sering menelepon Bunda. Setiap kali Ayah bertanya tentangmu, Bunda mengatakan kalau kamu sedang bekerja. Apa uang yang Ayah kirim tidak cukup untuk Nuri dan Bunda? Kenapa Nuri capek-apek bekerja?” tanya sang ayah seraya menatap wajah Nuri dengan penuh kasih sayang.

 “Bukan begitu Ayah. Setelah selesai wisuda, Nunuy bosan tinggal di rumah terus. Jadi Nuy menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan besar kepada Nuy.”

 “Tak terasa anak Ayah sudah sebesar ini. Sudah mau mandiri untuk mencari kesibukan sendiri. Ayah senang jika kamu tumbuh dengan baik seperti ini. Maafkan Ayah karena sellau sibuk bekerja dan tidak membantu Bunda untuk membimbingmu.”

 “Ayah sudah membimbingku dengan baik kok. Ayah itu memberi contoh pada Nuy untuk selalu melakukan hal-hal yang baik. Dan Bunda juga sama baiknya dalam membimbing Nuy. Betapa bahagianya Nuy saat menjadi anak dari kedua orang hebat ini,” tutur Nuri seraya memeluk kedua orang tuanya yang duduk di samping kiri dan kanan.

 Keluarga kecil tersebut tampak begitu bahagia. Meskipun mereka hanya bertiga, tapi kasih sayang mereka seluas samudra.

 Keesokan harinya, Nuri begitu manja pada sang ayah sebelum dirinya berangkat bekerja. Ia yang memang sudah lama tak berjumpa dengan sang ayah membuat dirinya ingin menghabiskan waktu lebih lama untuk berbincang panjang lebar dengan sosok kebangganyaanya itu.

 Tapi waktu yang sudah menunjukkan pukul 7.30, mengharuskan Nuri untuk segera berangkat. Jika dirinya terlambat sedikit saja maka jalanan akan mulai raai dan membuat Nuri harus ikut bermacet-macetan dengan pengendara lainnya.

 “Ayah, Bunda, Nuy berangkat kerja dulu ya,” ucap Nuri pada kedua orang tuanya begitu mereka selesai sarapan.

 “Kamu berangkat dengan siapa?” tanya sang ayah seraya menatap mata Nuri.

 “Sendiri dong Yah. Nuri ‘kan sudah besar jadi tidak perlu diantar oleh Ayah atau pun Bunda,” tutur Nuri seraya tersenyum.

 “Memangnya kemana Rendi? Apa dia tidak akan mengantarmu?” wanita paruh baya yang disebut Bunda tiba-tiba menghentikan aktivitasnya saat membereskan piring kotor lalu terdiam mematung. Nuri pun sama reaksinya dengan sang bunda. Entah apa yang membuat mereka mendadak jadi patung begitu.

 “Kenapa kalian pada diam? Apa ada yang salah?” tanya sang ayah yang melihat reaksi kedua wanita di depannya itu.

 Nuri tak mau menjawab pertanyaan tersebut. Ia malah menginginkan dirinya untuk menghentikan obrolan tersebut lalu pergi untuk bekerja. Entah kenapa pertanyaan dari ayahnya itu malah seperti sembilu tajam yang menghunus pada otak dan hatinya. Lidahnya pun tiba-tiba terasa seperti kelu.

 “Nuy, ayo cepat berangkat. Nanti kalau telat sedikit kamu pasti akan kena macet,” tutur bunda pada Nuri seraya menuntunnya untuk berjalan keuar rumah. Sang bunda tahu betul jika Nuri tidak nyaman dan tidak enak saat diberikan pertanyaan mengenai Rendi. 

 Tanpa bertanya pun, bundanya mengetahui bahwa Nuri menjadi badmood dilihat dari raut wajahnya yang berubah lesu. Senyuman yang sebelumnya mengembang, kini malah menghilang. 

 “Tidak usah dipikirkan pertanyaan Ayah ya. Biar Bunda yang jelaskan kepada Ayah. Ayah juga pasti mengerti jika dijelaskan dengan sangat hati-hati. Pokoknya kamu jangan mikirin ini. Kamu senang-senang dengan pekerjaanmu ya. Pertanyaan tadi jangan sampe bersarang di pikiran dan hati kamu.”

 “Iya Bun. Kalau begitu Nuy berangkat kerja dulu ya.”

 “Iya Sayang. Tuh gojek pesanan kamu sudah datang,” kata sang bunda saat melihat sebuah motor berhenti di depan rumahnya. 

 Meskipun Nuri mempunyai mobil pribadi yang dibelikan oleh ayahnya setahun lalu, tapi dirinya tidak terlalu sering menggunakan kendaraan roda empat tersebut. Ia lebih sering menggunakan angkutan umum jika bepergian sendiri. Tapi jika ia berjalan-jalan dengan sang bunda, ia pasti akan menggunakan mobilnya supaya sang bunda merasa nyaman melakukan perjalanan bersamanya.

 Ia kemudian pergi menginggalkan sang bunda lalu berjalan mendekati kurir tersebut. Bibirnya ia paksakan untuk tersenyum supaya harinya tidak rusak oleh mood yang dibuatnya sendiri.

 Membutuhkan waktu sekitar 25 menit bagi Nuri untuk bisa sampai ke tempatnya bekerja. Begitu ia turun dari motor kurir yang mengantarnya, Nuri berdiri mematun d hadapan gedung yang menjulang tinggi tersebut.

 Matanya menyapu setiap lantai dari bangunan itu. Semakin tinggi ia menatap ke atas, semakin sakit matanya karena sinar matahari yang langsung jatuh ke retinanya tanpa ada halangan apapun. Saking silaunya, Nuri kemudian menundukkan pandangannya dan menatap bumi yang sedang ia pijak.

 ‘Kenapa harus bertemu lagi? Apa perpisahan kemarin tak cukup untuk memisahkan kita berdua?’ tanya Nuri dalam hati.

 Hatinya menjadi murung lagi. Padahal sebelumnya ia memaksakan diri untuk tersenyum supaya hatinya ceria. Tapi setelah menatap gedung tersebut, ia malah bersedih lagi. 

 “Hayo ngapain kau berdiam diri disini?” suara seseroang mengejutkan Nuri yang sedang melamun. Suara itu benar-benar membuat dirinya mengangkat wajah dan menatap pada orang yang mengejutkannya.

 Orang tersebut tersenyum begitu manis. Kedua lesung di pipinya menambah kesan manis pada dirinya. Sorot matanya benar-benar membuat Nuri diam terpaku. Suara yang ingin ia kelurkan malah tercekat di tenggorokannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status