Share

Dia yang dinanti

  Karena bajunya sudah basah seluruhnya, Nuri bergegas membersihkan dirinya dari sisa-sisa air hujan dan segera mengganti bajunya dengan pakaian yang sangat hangat supaya bisa menghilangkan rasa dingin yang sejak tadi membalut dirinya.

 Seraya Nuri mengeringkan rambutnya menggunakan hair dryer, matanya terus saja melirik ke arah layar ponsel yang berada tak jauh dari posisinya saat itu. Dengan harap-harap cemas, Nuri menunggu sebuah pesan atau telepon dari seseorang yang dinantikannya sejk tadi siang.

 Beguti lama dirinya menunggu, hingga akhirnya sebuah notifikasi masuk ke dalam ponselnya tepatnya pada sebuah aplikasi berwarna hijau. Dengan gesit tangan Nuri meraih benda pipih tersebut dan memencet pesan tersebut.

 Tapi sayang, ternyata pesan yang datang tersebut bukan dari orang yang sedang dinantinya. Pesan itu berasal dari seseorang yang sangat dikenalnya. Seseorang yang selalu ada di setiap kehidupannya. Namun Nuri tidak tahu kehadiran orang tersebut entah sebagai lalat yang mengganggu dirinya, atau sebagai kunang-kunang yang menemaninya di kala gelap.

 [Nuy, aku sedang memesan makanan dan diantar ke rumahmu. Nanti mungkin sekitar 10 menit lagi sampai.] Kata Rendi pada pesan yang dikirimnya.

 Tak ada ekspresi senang dari raut wajah Nuri saat membaca pesan tersebut. Yang ada ia malah murung. Mungkin bagi beberapa wanita, dikirimi makanan yang disukai akan membuat hati sangat senang. Tapi berbeda dengan Nuri, wajahnya tak menampakkan ekspresi senang sedikitpun.

 Karena pesan yang datang bukan dari orang yang diharapkan, Nuri kemudian menyimpan kembali ponselnya ke atas meja rias. Pesan yang dirikim oleh Rendi tidak dibalasnya. Ia malah berjalan ke tempat tidur dan menyandarkan kepalanya ke dinding tembok.

 ‘Apa dia sudah pulang? Apa dia tidak kesakitan saat melakukan proses pemeriksaan? Dia pasti baik-baik saja ‘kan karena disana ada Mama dan Papanya yang menemani,’ monolog Nuri dalam hati mengenai orang yang sedang dinanti.

 Hatinya tiba-tiba resah saat membayangkan raut wajah orang yang dinantinya seperti terakhir kali Nuri menemani orang tersebut ketika melakukan pemeriksaan kesehatan. Wajah orang tersebut menunjukkan ekspresi yang sangat kesakitan. Nuri yang mengerti dengan hal itu segera menghiburnya dengan melakukan hal-hal konyol dan menggemaskan supaya senyum yang sellau dilihatnya kembali nampak pada orang tersebut.

 “Ah kenapa sih Mas kamu tidak mau ditemani olehku?! Apa kamu tidak mau melihatku menangis saat aku mengetahui kamu kesakitan?” tanya Nuri seraya menatap dinding kamar. Ia ingin sekali melemparkan pertanyaan tersebut pada orangnya langsung.

 Di tengah-tengah keresahanya, suara lembut dari seorang wanita terdengar memenuhi telinganya. Ia sangat kenal dengan suara tersebut. Itu adalah suara dari eanita yang sudah melahirkan dirinya 22 tahun lalu.

 “Nuy…” panggil wanita berusia 45 tahun yang merupakan bundanya Nuri.

 “Iya Bun. Nuy di kamar,” sahut Nuri atas panggilan yang ditujukan padanya.

 “Kemarin Nuy,” kata wanita yang dipanggil Bunda.

 “Iya Bun sebentar,” sahut Nuri dari dalam kamar. Ia kemudian bangkit dari tempat tidur lalu berjalan menuju sumber suara yang tadi ia dengar.

  Langkahnya begitu gontai menyusuri setiap jengkal ruangan rumahnya. Sang bunda yang melihat dirinya tak bersemangat kemudian berjalan menghampirinya lalu menggandeng lengannya untuk didudukkan di kursi ruangan makan.

 Sang bunda tahu betul dengan kondisi anaknya jika sedang manyun seperti itu. Ia tahu jika ada yang tidak baik-baik saja dengan anak semata wayangnya. 22 tahun mengurusinya, ia tahu betul dengan setiap ekspresi dari sang anak.

 “Ini makanan dari kurir. Katanya dikirim oleh Rendi. Kamu makan dulu. Setelah makan, kamu boleh cerita mengenai hal yang membuatmu murung seperti ini,” ujar sanga bunda dengan sangat lembut disertai senyuman manis dari bibirnya.

 “Dia kirim apa memangnya Bun?” tanya Nuri seraya mentap tples kotak yang berada di hadapannya.

 “Kamu lihat dulu aja. Terus kamu makan ya. Kamu pasti suka makanannya dan pasti akan habis dimakan oleh kamu sendiri pun,” jawab sang bunda.

 Tangan Nuri kemudian meraih toples kotak itu lalu membukanya dengan kedua tangan. Begitu toples terbuka, wangi dari makanan tresebut menyeruak masuk ke hidung Nuri hingga wanginya memenuhi ruangan makan tersebut.

 Sebuah martabak manis dengan toping keju dan susu yang sangat melimpah terlihat begitu menggoda mata apalagi kilauan dari mentega yang mencair di kulit martabak tersebut semakin membuat tampilannya begitu menggoda.

 Seketika wajah Nuri mulai cerah. Sedikit demi sedikit sneyumnya mengembang menandakan hatinya mulai senang. Tangannya kemudian meraih satu potong martabak di toples tersebut. Dengan lahap Nuri memasukkan makanan kesukannya itu ke dalam mulut. Sang bunda yang melihat anak semata wayangnya kembali tersebut, ikut tersenyum juga.

 Hanya semudah itu membuat Nuri kembali tersenyum. Tak perlu sesuatu yang mewah, tapi dengan makanan yang di wah saja, sudah membuat wajah Nuri kembali cerah. Nuri memang sederhana orangnya. Kedua orangnya tuanya selalu senang dengan sikap yang seperti itu.

 Disaat kebanyakan anak tunggal di luaran sana bermanja kepada kedua orangnya, tapi Nuri malah tidak ingin dimanja. Ia tidak pernah ingin jika dirinya membuat kedua orang pusing jika terlalu terbuai dengan perlakuan manja yang dilayangkan kepadanya.

 Orang tuanya tidak pernah kesulitan saat membesarkan Nuri. Jika Nuri sedih ataupun menangis, ia mudah diobati dengan memberikannya makanan kesukaan. Seketika Nuri pasti akan senang dan menampakkan senyum yang mengembang.

 Saking asyiknya Nuri menyantap makanan kesukannya, tak disadari bahwa ada seseorang yang diam-diam meperhatikannya dari arah yang tak terlalu jauh. Sang bunda melirik pada orang tersebut seraya tersenyum. 

 Orang tersebut merasa senang saat melihat Nuri begitu lahap menyantap makanan itu. Perasaan khawatir yang sejak tadi meliputinya saat melihat Nuri murung, tergantikan oleh rasa lega karena kini kemurungan Nuri sudah hilang.

 “Bun, lihat apa sih kok senyum-senyum begitu? Apa ada sesuatu yang membuat Bunda senang?” tanya Nuri yang menyadari bundanya senyum-senyum tapi bukan untuk dirinya. 

 “Iya Bunda senang karena melihatmu senyummu yang terkembang,” jawab wanita paruh baya tersebut. Mulutnya masih saja tersenyum. Sesekali senyum itu dilemparkan pada Nuri, dan sesekali ke arah lain. 

 Nuri yang penasaran dengan perilaku bundanya itu kemudian menolehkan wajah megikuti pandangan sang bunda. Betapa terkejutnya Nuri saat ia melihat seseorang yang sedang duduk di ruang keluraga dengan begutu santainya seraya melemparkan senyuman usilnya. Alis Nuri terangkat kedua-duanya dengan mulut yang sedikit menganga. Ia tidak menyadari bahwa sejak tadi ternyata aktivitas dirinya diawasi oleh seseorang yang sosoknya tidak asing di mata Nuri. Sang bunda yang melihat ekspresi Nuri yang sangat terkejut hanya bisa tertawa kecil. Wajah Nuri yang sedang kaget memang sangat menggemaskan. Hingga seseorang yang berada di ruang keluarga pun ikut tertawa melihat ekspresinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status