"TEMEN lo gila ya, Mas?" celetuk Daniel bertanya sangsi, menjauhkan puntung rokok dari bibirnya bersama kepulan asap yang keluar dari kedua belah bibirnya. Ia kontan merasa tidak mengerti sekarang sementara itu di sana Thomas menatap sinis dan memasang raut wajah jengkel.
Dengan perasaan gondok luar biasa ingin sekali memukul sang kawan, Thomas menjulurkan tangannya merebut rokok tersebut dan membuangnya ke tanah dengan kasar. "Thom, anjir, Thom. Mas-mas pale lu!" tukasnya kesal. "Nama gue secakep itu lo panggil mas-mas, jijik tau nggak. Kalau cewek masih oke, lah elu? Merinding sebadan-badan gue." "Ah, bangsat! Rokok terakhir gue, Mas!" decak Daniel kalang kabut melihat rokok terakhir miliknya terlihat mengenaskan di tanah. Laki-laki bertubuh tegap tersebut berencana ingin segera memungut kembali tapi Gerald terlebih dahulu datang dan menginjak batang putih lunak itu dengan dramatis. Daniel membeku. "Anjing kalian berdua!" makinya, meradang juga ujung-ujungnya. Mendengar suara frustasi lawan Gerald serta-merta tersenyum miring nan mengolok-olok Daniel. Gerald pun membalas sama kasarnya. "Tobat lo, bangsat! Paru-paru lo item entar, mampus!" "Ck, bajinglah! Kan pembahasan kita bukan itu tadi. Argh! Sial!" gerutu Daniel, tangannya spontan menggaruk-garul kasar rambut bagian belakang kepala sebagai tanda seberapa frustasinya ia sekarang ini. Di tunjuknya Alvin kemudian dengan menggunakan dagu. "Noh, liat! Temen lo-lo pada gila ketawa-ketawa sendiri. Udah kerasukan setan penunggu nih tempat keknya!" Di sebelahnya Thomas memasang ekspresi sulit, sembari mengunyah bakwan di mulut ia bertanya, "Lha, Alvin pernah waras emangnyaㅡanjing, Vin!" Umpatan lelaki berkulit seputih awan itu berasal dari Alvin yang melayangkan bantal sofat berukuran bulat nan bau apeknya bukan main membuat Thomas terbatuk-batuk. Pemuda kelinci tersebut bangkit dari posisi tidurnya, duduk menghadap kepada tiga kawannya yang di buat was-was seketika. Alvin kemudian menerbitkan senyuman picik. "Kalian tau apa yang terjadi sore tadi?" "Apaan?" tanya Gerald sambil memetik gitar di pangkuannya. Ekspresi pemuda kelinci tersebut sangat-sangat puas, penuh makna dalam dan terlebih-lebih senyuman cerah nan terasa janggal tercetak nyata pada wajahnya. Alvin berkata dengan percaya diri selanjutnya. "Gue berhasil nyium Jessica. Haha." Sinting. Ini benar-benar sinting. Apa yang baru saja Alvin katakan?! Mencium siapa?! Kapan dan di mana?! Kenapa bisa?! Tiga pemuda di sana sukses di buat terkaget bukan main di buatnya. Horor berhasil menyerang jiwa mereka. Teman mereka yang satu ini betul-betul tidak waras. Alvin memang benar punya kelainan aneh nan bersarang di tubuhnya itu. Alvin terkekeh-kekeh sinting mendapati teman-temannya melotot kaget sedemikian rupa apalagi Thomas yang sampai terbatuk-batuk untuk ke sekian kalinya lantaran tercekik kala sedang menenggak teh es miliknya. Pemuda kelinci itu serta-merta terbahak-bahak lucu dan kembali menjatuhkan dirinya ke sofa. Membiarkan tubuhnya berbaring senyaman mungkin sementara Gerald kontan berhenti memainkan gitar cokelatnya dan mendengus tak percaya memandang manusia aneh di sana. "Kok bisa?! Kapan anjing, Vin?!" "Terus kok lo masih selamat gini?! Biasanya lo pasti babak belur, minimal muka lo kena bogem sekali, Vin! Gila lo! Nggak waras kata gue lo mah, Vin! Sia eling!" "Serius lo?! Dia nggak ngamuk?!" "Kagak, dianya syok jadi gue ambil kesempatan buat kabur." Alvin melirik Gerald dari posisi dan melanjutkan geli, "Mukanya lucu, sumpah. Tadi keliatan banget dia cewek. Gue pikir dia ini bakalan mirip cowok, secara hidupnya lakik banget." "Jadi selama ini Jessica cowok?" sahut Thomas keheranan dan Daniel tak punya pilihan lain selain menabok kasar pundak pemuda itu. "Otak lo pake, Mas. Goblok bener jadi manusia." Ketika Thomas sibuk menggerutu, Daniel berujar seraya melempar dua biji kuaci ke mulut. "Besok lo pasti diburu habis-habisan sama dia. Gue yakin." "Yaaa ... " Alvin mendadak kehilangan kalimat. Sejauh mata memandang dan dari seluruh rumor yang beredar. Jessica memang tak pernah tanggung-tanggung dalam menghabisi lawannya. Sekali masuk ke dalam radar gadis berponi itu, maka persentase selamat adalah nol besar. Jessica memang semenyeramkan itu. Hm, tampaknya nyawa Alvin sedang dalam bahaya sekarang. "Lo bener. Mungkin besok hari kematian gue. Gue maafin dosa-dosa yang telah kalian perbuat ke gue. Gue serius memaafkan dengan hati yang lapang." "Dahlah, anjing! Mau mati aja lo masih banyak drama. Heran gue kenapa bisa-bisanya lo masih hidup sampai sekarang," tandas Daniel yang tak pernah ada niatan damai dengan Alvin. "Lo udah tau Jessica nggak sama kayak cewek-cewek lain. Selain gilanya yang nggak nanggung-nanggung, dia cucu konglomerat, bajing! Lo mau dilindes kakeknya pake truk?" ujar Gerald, betulan tak bisa memahami jalan pikiran Alvin yang luar biasa rumit sekali. Semakin di coba justru ia semakin kepala di buatnya. Pemuda yang memiliki gigi kelinci tersebut menelengkan kepalanya dan sedetik kemudian mengedikkan bahu tak acuh. "Karena dia nggak sama kayak cewek lain makanya gue gangguin. Coba liat! Di sekolah cuma gue yang berani gangguin dia. Keren 'kan gue?" "Menantang maut, ndro!" timpal Thomas. Mulai merasa kalau dia sekarang sedang salah pergaulan dan lingkaran pertemanan. Dia mulai menyesali pilihannya saat kelas sepuluh lalu. "Kematian bakal datang sendiri. Lha, elu sibuk nyari mati sendiri! Ada gila-gilanya gue liat hidup lo, Vin." "Lo demen nyari pekara mulu, dah. Kalau mau mati ya mati aja, anjir. Nggak usah kebanyakan sinetron hidup lo," tandas Daniel yang selanjutnya menenggak secangkir kopi saset kepunyaan lawan bicara. "Lawan lo itu Jessica, woi! Sadar diri, lo kalah dari segala aspek yang dia punya." Untuk yang satu ini Alvin enggan cepat-cepat menjawab sebab benaknya terlebih dahulu mereka ulang sebuah adegan. Hari di mana Alvin pertama kali bertemu dengan Jessica. Wah! Seharusnya gadis berponi tersebut bersyukur sudah mendapatkan atensinya di hari pertama mereka bertemu. Jarang-jarang, lho, Alvin begini. Alvin bukan tipikal yang mudah sekali tertarik akan suatu hal. Jadi sudah seharusnya Jessica bersenang dan berbangga diri atas perlakuan spesial yang Alvin berikan secara percuma sekaligus di lakukan secara sistematis ini. Dengan kata lainㅡ "Lo anggep Jessica cewek spesial, ya?" tanya Gerald memecah lamunannya. Alvin melirik sang kawan, berkedip dua kali dan mendengus tak percaya. "Gila kali gue. Nggaklah! Cuma seneng aja main-main sama manusia gorila kayak dia," jawabnya seiring kekehan hambar muncul. Dari sekian ekspresi yang dapat temannya gunakan, Alvin selalu membenci bagaimana Gerald tersenyum miring ke arahnya dan seolah tak melakukan apa pun laki-laki itu memainkan gitarnya lagi. Pemuda itu berujar tanpa mengalihkan pandangan dari senar gitarnya. "Jadi gue bener. Lo tertarik sama dia?" "Nggak, sat! Ogah gue sama cewek petakilan kayak dia!" tukas Alvin jengkel. Percayalah! Untuk urusan memojokkan seseorang, Gerald ahlinya. Manusia bermanik rubah itu tak ada tandingannya. Sungguh! Gerald manggut-manggut, "Ya-ya, gue percaya." "Sialan lo!" "After i said i believe you?" "Bastard!" Sementara kedua laki-laki itu sibuk mengumpat satu sama lain, Thomas menyenggol Daniel. "Mereka bahas apaan sih, anjir! Gue ora mudeng!" Daniel menghela napas berat, "Lo ngeliat tanah aja kadang suka nggak ngerti, Mas. Nggak usah di pikirin, kalau jadi beban pikir terus lo gila. Berabe! Gue ngutang siomay sama sape lagi ntar." "Emang setan lo!" Lampu-lampu jalan mulai menyala menerangi para pejalan kaki. Bulan juga telah sempurna menggantikan mentari dalam menduduki tahta di atas angkasa gelap di sana. Malam pun agaknya semakin lama semakin dingin menusuk kulit. Pelan-pelan seolah bukan ancaman bagi manusia, menelusup diam-diam melewati berbagai celah dan tanpa di sangka-sangka langsung saja membuat bulu tubuh tegak akan dinginnya udara. Jam telah berdetak pada angka sepuluh. Tak akan lama menunggu sampai tengah malam datang menghampiri dunia. Kendati sudah tahu benar telah menghabiskan sebagian besar waktu sehari ini berada di markasㅡsebuah gudang tua yang mereka sulap menjadi sebuah tempat persinggahan kala sedang suntuk atau sekadar bermainㅡmerupakan bentuk rehat sejenak dari lekasnya waktu bergulir di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia yang memekakkan rungu. Mereka berempat terkadang sampai lupa waktu untuk kembali kepada kenyataan dan pulang. Yah, selagi nyaman, di mana saja tidak ada masalah. Sebab Alvin termasuk golongan tersebut. Bukan. Bukan berarti rumahnya tidak senyaman itu. Ia nyaman bergelung di atas kasurnya. Dirinya juga nyaman menghabiskan waktu bermain gitar di balkon atau setidaknya menikmati senja sebagai bentuk penghabisan hari. Alvin nyaman, sungguh. Akan tetapi ada seseorang yang terusik dengan kehadirannya di sana dan yang bisa pemuda kelinci itu lakukan adalah memberikan ruang seluas mungkin alih-alih meluruskan sesuatu yang dia sadari, belum sempat menguraikan teka-teki tetapi semua terlanjur terasa janggal baginya. Huft! Kadang alur hidupnya memang aneh dan semenyebalkan itu. Sialnya lagi, Alvin di paksa harus menerima dan menjalaninya tanpa di berikan pilihan lain. Helaan napasnya terhembus kasar, berat sekaligus getir di saat yang bersamaan. Seolah berat di pundaknya makin menjadi-jadi, makin terasa jelas dan makin memukul telak raga. Alvin terkekeh hambar, yaaa, mau apa selain patuh dan ikuti seluruh alur takdir yang tak sepenuhnya ia sukai ini? Atensi si pemuda kemudian teralihkan pada ponselnya yang bergetar. Ada beberapa balon pesan yang di kirimkan sang ibu, berisi menyuruhnya untuk segera pulang sebelum sang ibu mengemasi seluruh barang-barangnyaㅡdi baca, kamu akan di usir dari rumah kalau belum juga menginjakkan kaki di rumah dalam waktu yang telah di tentukan. Segalak apa pun si ibu, Alvin selalu tertawa geli sendiri membaca setiap bait kata omelan Susan. Terlalu dia anggap enteng sampai-sampai ibunya gemas sendiri ingin mencoret nama putra sulungnya dari kartu keluarga. Usai mengirimkan balasan berupa Alvin akan pulang kalau langit berubah menjadi warna oranye, ia membuka aplikasi i*******m. Banyak orang yang mengikutinya dan Alvin tak pernah repot-repot menilik siapa mereka. Hanya saja fokusnya tertuju pada lingkaran di bar status. Ava Jessica terpampang di sana dan jemarinya lantas menekan ikon profil itu. Dahinya sukses berkerut. Dua tahun kurang ia mengganggu dan senang-senang saja mengusik kehidupan gadis barbar tersebut. Jessica memang sering mengunggah foto bunga matahari, entah itu di snapgram atau unggahan tetapnya. "Bisa juga nih anak suka bunga. Gue kira cuma suka baku hantam," komentarnya. Lalu irisnya menangkap sebuah kalimat di sisi bawah foto yang mana sukses membuat Alvin kepikiran. Jessica ... sedang menjalin hubungan dengan seseorang?APABILA di umpakan secara gamblang, transparan dan tepat sasaran. Barangkali kejengkelan nan sedang menggerogoti jantung sekaligus hatinya telah menyerupai gunung aktif yang siap memuntahkan lahar panas guna membumi hanguskan sekitarnya. Menghancurkan setiap sentinya. Melenyapkan setiap eksistensi yang terlihat. Begitu pendeskripsian isi hati seorang Alvin sekarang ini. Dia sangat amat muak menghadapi situasi yang sama berulang-ulang kali. Hingga rasanya si lelaki bisa melakukan apa saja untuk menyingkir masalah nan sedang mengganggu kesehariannya tersebut. Jujur saja, bukankah dia lahir tanpa setangki kesabaran melimpah? Hei, dia jelas-jelas bukan badan amal. Mana sudi ia bersikap sabar terhadap orang-orang yang bahkan tidak ingin bersikap sabar atas dirinya; egois memang, akan tetapi Alvin mana mau repot-repot peduli.Emosi yang kini menguasai dadanya benar-benar tidak terbendung lagi, jadi Alvin harus memprioritaskan hati dan batinnya. Ini tidak bisa di tunda-tunda lagi jikalau tida
KABAR kembalinya sang penguasa Bina Bangsa menyebar dengan cepat yang bahkan tidak genap satu hari setelah beritanya masuk menuju masing-masing ponsel warga sekolah. Termasuk adegan epik sang tuan putri dalam melancarkan aksi balas dendamnya begitu menginjakkan kaki di sekolah. Memang tidak ada bukti fisik seperti video atau pun foto, akan tetapi hal ini mutlak mengirim teror bagi siapa-siapa saja yang telah lancang mengusik tiga sahabat gadis penguasa tersebut. Selepas fakta mengenai Chika menjalar bagaikan tanaman rambat, informasi baru dari korban-korban yang Jessica gasak habis di hari yang sama mulai simpang siur terdengar. Bahwa pembalasan dendam Jessica bukanlah lelucon semata. Tiada satu pun dari mereka yang berani membayangkan akan sesuram apa hari esok. Akan setegang dan seberisik apa Bina Bangsa esok, namun yang pasti, Jessica telah mendeklarasikan peperangan dan takkan ada yang bisa kabur dari cengkeramannya.Yah, terserah dengan apa yang akan terjadi. Alvin tidak peduli.
APABILA bundaran oranye tersebut dapat berbicara, barangkali serangkaian kalimat makian sudah terlontar kepada manusia kelinci yang masih bebal melantunkan bola basket nan kusam itu menuju ring walau telah terpeleset berulang kali. Alvin tetap bersikukuh melanjutkan permainan seorang diri di markas kumuh ini. Tempat terakhir ia benar-benar bertemu Jessica. Tempat yang menjadi saksi bisu akan seberapa besar perasaannya untuk gadis nakal tersebut. Oleh sebab itu ujung-ujungnya Alvin melarang keras yang lain datang ke tempat ini. Alasannya karena takut kenangannya dengan Jessica pudar begitu saja. Jelas, awal-awalnya muncul pertentangan akan tetapi jikalau Alvin sudah berkehendak. Siapa yang berani menantang memangnya? Cari mati namanya.Yah, setidaknya sampai Jessica kembali.Iya, begitu.Namun, kapan gadisnya akan kembali?Apa setelah mereka lulus SMA?Ah, sial! Perasaannya semakin memburuk bahkan hanya dengan memikirkannya saja. Alvin tentu saja tidak tahu apa-apa. Dia ini merupakan o
PEMANDANGAN danau indah, secangkir kopi dan sepirinh roti panggang hangat. Perpaduan ini membuat Jessica merasa jauh lebih hidup di bandingkan yang sudah-sudah. Seolah ia baru saja menjadi manusia seutuhnya sekarang. Sebab sepanjang hidup, baru kali ia tidak bangun dengan beban berat pada pundak. Tidak ada lagi mimpi buruk yang mencekam. Tidak ada lagi sesak dalam dada. Tidak ada lagi pening yang menyerang kepala. Tubuhnya sungguh-sungguh terasa ringan hingga menjalani rutinitas santai begini membuat senyuman manis di bibir terbit dengan begitu cerah. Jessica menghembuskan napas pendek, mengeluarkan ponsel yang Bastian berikan padanya dan mulai memotret tiap sudut tempat nan ia rasa tampak cantik untuk di abadikan oleh kamera ponselnya.Jessica memang belum sepenuhnya terbiasa. Bahasa dan budaya mereka jelas berbeda dengan keseharian yang dulu biasa ia jalani. Jessica juga belum pernah tinggal begitu lama di negeri orang lain selain hanya singgah guna menemani sang kakek bekerja atau
DUA minggu. Empat minggu. Kemudian sudah genap satu bulan. Lambat laun bertambah hari demi hari. Tahu-tahu sudah lebih dari satu minggu lagi. Lalu bulan lagi. Begitu terus. Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tepat lima bulan kepergian Jessica dari hidupnya dan Alvin tidak pernah merasa kehilangan seperti ini sebelumnya. Alvin tidak pernah merasa hidupnya sehampa ini. Tidak pernah merasa jikalau hidupnya akan seberat ini tanpa kehadiran gadis barbar kesayangannya itu. Alvin tidak pernah mengira bahwa ketiadaan Jessica dalam poros dunianya benar-benar melumpuhkan nyaris seluruh engsel kehidupannya, dan membuat dia terus berlari dari getirnya fakta bila saat ini dia benar-benar di tinggalkan tanpa salam perpisahan.Jantungnya berdenyut ngilu.Alvin tidak pernah tahu bahwa merindukan seseorang bisa membuatnya gila seperti ini. Entah sudah berapa orang yang ia pukuli hari ini. Entah sudah berapa kayu yang ia patahkan ka
SEBUT saja dia gila. Bastian tidak keberatan. Sama sekali tidak masalah di maki demikian sebab orang waras mana yang dengan kesadaran penuh membawa kabur seorang cucu perempuan satu-satunya dari keluarga konglomerat Atriyadinata? Cuma dia. Secara teknik memang tidak dapat di sebut menculik akan tetapi tetap saja Bastian terlibat sebagai kaki tangan. Apabila sang kakek tahu, tanpa sempat menjelaskan maka namanya sudah terlebih dahulu terukir di batu nisan. Mengesankan. Bastian tidak belajar mati-matian dari dulu hanya untuk menghancurkan hidupnya di masa depan nanti. Tidak. Enak saja. Bastian belajar seperti kiamat akan datang esok hari karena ingin segera hidup mandiri dan terlepas dari sistem politik keluarga. Dia sudah muak harus mendengarkan sang ibu menjelek-jelekkan anggota keluarga lain. Masih baik dia tidak terkontaminasi, tidak seperti saudaranya yang lain.Kendati demikian, walau sudah membuat heboh keluarga, tampaknya si pelaku tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun. Di