Share

Bab 2

Entahlah. Mataku rasanya seperti terbakar tapi aku tidak bisa berhenti melihat kejadian unik yang sangat jarang terjadi ini. Si kakek yang tidak pernah menganggap kehadiran cucu-cucunya di sini bersikap begitu ramah dan hangat pada orang asing yang sudah berani menginjakkan kaki kotornya di tanahnya. Tidak ada darah yang mengikat hubungan di antara mereka. Benar-benar orang asing.

Ini luar biasa. Terakhir kali aku melihat si tua bangka bertingkah seperti orang lain, itu sekitar tiga tahun yang lalu. Tidak! Empat tahun yang lalu! Saat dia menghadiri pernikahan kakak perempuanku, Sarah, kalau tidak salah. Aku ingat betul si kakek hampir saja tidak mau datang ke pesta pernikahan Sarah karena mengusung konsep intimate wedding dan hanya dihadiri oleh keluarga inti kedua belah pihak mempelai. Tidak ada kerabat jauh, tidak ada teman dari kantor atau sekolah, dan tentu saja tidak ada media yang meliput pesta pernikahan yang harusnya menjadi pernikahan akbar di kota saat itu. Tapi itu bukan menjadi masalah besar saat si kakek tahu kalau pernikahannya digelar di tengah-tengah hutan pinus yang disulap menjadi negeri dongeng di musim dingin dan semua biayanya ditanggung oleh Andre, suami Sarah. Aku tahu, sangat Twilight. Lalu senyum si kakek mengembang saat tahu kalau laki-laki yang dinikahi oleh cucunya berasal dari keluarga yang bisa dibilang cukup kaya raya.

Satu lagi kisah klasik dari manusia penuh dengan lika-liku yang anehnya masih hidup di muka Bumi ini. 

"Aku rasa kita harus menyapanya," kata Nina. "Kau tahu, mencoba menjadi tuan rumah yang baik atau semacamnya."

"Itu menjijikan. Lagi pula, kau sedang mabuk. Kau tidak ingin sendal karet si tua bangka itu mendarat di wajahmu lagi, kan?"

Wajah Nina memucat. Sudah jelas itu bukan kenangan yang menyenangkan untuk diingat kembali. Lebih-lebih saat kau mengalami itu semua di usia yang terbilang sangat muda.

"Aku rasa menyelinap ke pintu samping dekat kebun tomat dan membantumu pulih dari mabuk sebelum makan malam terdengar jauh lebih baik," tambahku dengan cepat. "Dengan begitu kau bisa mencoba menjadi tuan rumah dalam kondisi terbaik dirimu."

"Bagaimana dengan itu?" bisik Nina, jari telunjuknya mengarah ke dua buah gelas kotor dan sebuah botol tequila kosong.

Sialan.

"Kita tinggalkan saja di sini," kataku sambil membantu Nina berdiri. "Aku akan membantumu sampai ke kamarmu dengan selamat tanpa diketahui oleh ibumu dan si tua bangka lalu kembali lagi ke sini untuk mengambilnya."

"Mengambil apa?"

Aku dan Nina terperanjat dan nyaris saja berteriak saat mendengar suara berat khas perokok berat dari arah belakang. Di sana, Rian tengah menyandarkan lengannya ke pohon sambil tersenyum mengejek sementara si orang asing berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Aku mengerjapkan mata dengan cepat. Aku benci harus mengatakan ini, tapi, wajah si orang asing terasa tidak asing bagiku. Tidak, tentu saja. Dia anak konglomerat. Sudah pasti terasa familiar karena wajahnya sering berseliweran di majalah yang membahas bisnis dan uang. Kau tahu, pewaris kerajaan bisnis dan semacamnya. Tapi... entahlah. Ini bukan familiar yang itu. Seperti aku pernah bertemu dengannya secara langsung dan menghabiskan waktu bersama. Hanya saja aku tidak yakin apakah itu benar-benar terjadi atau hanya perasaanku saja.

"Aku mencurinya lagi," kata Nina sambil merangkul pundak abangnya. "Tapi kali ini Febrian tidak membantuku mengamankan situasi karena botolnya ada di atas meja dan sudah terbuka. Dia juga tidak ikut minum karena dia pikir dia sedang hamil."

"Kau hamil?" ulang Rian dengan nada bercanda yang kental.

"Selamat," sahut si orang asing.

Nina melambaikan tangannya pada si orang asing. "Hai, Jebediah."

Si orang asing menatapku sedetik lebih lama sebelum melambaikan tangannya ke arah Nina. "Adam. Namaku Adam, bukan Jebediah."

Nina menunjuk ke arahku sambil tersenyum. "Dia hamil. Oh! Dia juga akan menghabiskan jatah cutinya yang sangat sedikit dengan berkemah di tempat yang namanya baru dia dengar. Kau harus ikut."

Adam kembali menatap ke arahku. Dia tersenyum tipis lalu memperbaiki posisi tas ransel yang tersampir di bahunya.

"Aku tidak hamil," kataku membantah. "Aku bilang Sarah sedang hamil dam mungkin ini waktu yang tepat bagiku untuk mempertimbangkan apa yang ingin aku lakukan di masa depan. Salah satunya soal mempunyai anak dan menjadi orangtua yang mana harus aku akui itu adalah ide paling buruk yang pernah terlintas di kepalaku. Jadi ya, aku membutuhkan tempat yang sunyi untuk merenungkan itu."

Nina mengacungkan kedua ibu jarinya padaku tepat sebelum memuntahkan semua isi perutnya.

"Sialan, Nina!" gertak Rian.

Aku membantu memegangi rambutnya dan memijat bagian belakang leher Nina sementara Rian mencoba untuk tidak terjatuh ke kubangan menjijikan berwarna merah muda karena mmenopang tubuh adik perempuannya yang setengah kehilangan kesadarannya. Lalu Rian menuding gelas dan botol kosong dengan dagunya.

"Aku saja," kata Adam.

Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat si orang asing mengambil botol kosong dan memasukannya ke dalam tas ransel yang tersampir di bahunya. Dia mengeluarkan abu dan puntung rokok dari dalam gelas semampunya lalu membawanya dengan satu tangan seperti seorang pelayan handal.

Rian menggelengkan kepalanya. "Tidak. Berikan gelasnya pada Febrian. Kau bantu aku menggendong anak sialan ini ke kamarnya."

Adam berjalan ke arahku dan memberikan gelas-gelas itu padaku. Saat jarinya yang hangat dan lembut bersentuhan dengan jemariku yang telanjang dan basah oleh keringat, aku merasakan sensasi aneh. Seperti sengatan kecil yang mengejutkan dan membuat sesuatu di bagian terdasar perutku bergejolak. Membuat pipiku rasanya panas karena terbakar akan sensasi yang tidak biasa ini.

Aku segera mengambil kedua gelas itu dan menyembunyikannya di belakang punggungku. Mencoba untuk menetralisir sengatan itu dari jemariku. Sia-sia saja aku melakukan itu karena di saat yang bersamaan tangan kanannya menyentuh lengan bagian atasku dengan lembut.

"Kau baik-baik saja?"

Aku mundur beberapa langkah hingga tangannya terlepas dari tubuhku. Aku terus menganggukkan kepalaku seperti boneka kucing yang adik laki-lakiku taruh di sepedanya, mencoba untuk tidak melakukan kontak mata secara langsung karena itu terasa begitu memalukan. "Ya. Aku baik-baik saja."

Tidak. Aku tidak baik-baik saja, batinku.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status