Share

The Second Time We Met
The Second Time We Met
Penulis: Arshani

Bab 1

"Jadi, ini teoriku," kata Nina, satu dari banyaknya sepupu yang aku punya, sambil menghembuskan asap rokok yang manis dari hidungnya. "Kau mengambil jatah cutimu yang sangat sedikit untuk berkemah di sebuah tempat yang namanya baru kau dengar. Setelah itu kau akan menghabiskan malam yang panjang tanpa ponsel dengan harapan kau bisa mengurangi sedikit saja kecanduanmu akan benda kecil sialan itu dan sebagai gantinya kau akan menatap langit malam bertaburan bintang lalu entah bagaimana kau akhirnya tiba di fase itu."

Aku menaikkan sebelah alisku yang tebal dan sedikit berantakan. "Fase apa?"

"Kau tahu," Nina menjentikkan rokoknya ke dalam gelas berisi pink lemonade yang baru di minum setengah lalu tersenyum. "Mulai memikirkan dan membayangkan banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi jika saja kau melakukan satu saja hal dalam hidupmu dengan benar. Seperti... entahlah. Mengambil tawaran magang di situs berita tempat kau menulis artikel ketimbang menghadiri acara makan malam keluarga yang digelar si tua bangka setiap bulannya."

"Tua bangka itu juga kakekmu," sahutku dengan masa bodoh.

"Ya, tua bangka sialan," katanya mengamini. "Kakekmu tidak akan berhenti meneleponku sampai dia mendengar dari mulutku sendiri kalau aku akan datang ke sini. Dan, kau tahu, mungkin hari ini kau sedang berada di New York atau bahkan Afghanistan. Mewakili situs berita itu untuk menghadiri konferensi bergengsi atau semacamnya. Bukan terjebak di halaman belakang rumahnya yang sangat luas sepanjang akhir pekan hanya untuk mengingatkan keturunannya soal apa saja yang sudah dia lalui selama 50 tahun terakhir hingga bisa berada di titik ini. Maksudku, peduli setan. Oh, ya! Jangan lupakan bagian mendesak para cucu yang sudah legal di mata hukum untuk menikah dan memberinya cicit."

Satu-satunya hal yang terlintas di dalam kepalaku setelah mendengar celotehan Nina adalah dia sedang mabuk. Sepenuhnya bukan salahnya jika dia mabuk. Aku mengerti situasinya. Dia menemukan sebotol tequila yang baru saja dibuka di atas meja makan. Di sisi lain, dia sudah melalui 6 hari sarat akan tekanan karena baru menjual belasan unit ponsel pintar saja saat dirinya masih jauh dari level aman dan terancam gagal mencapai target penjualan. Lagi. Lalu ada ibunya, bibi Risma, yang selalu mengatakan hal-hal kejam karena menolak untuk menjadi salah satu pelaku aksi nepotisme dengan bekerja di hotel milik kakek kami. Jadi ya, dibutuhkan alkohol yang cukup banyak untuk mengobati lukanya di dalam sana.

Seperti yang Nina bilang sebelumnya, ini adalah hari Sabtu yang normal di akhir Oktober—paling tidak begitu yang aku rasakan. Kami sedang duduk di bawah naungan pohon apel liar yang sudah ada di sini saat kakek kami membeli tanah bekas perkebunan ini. Mencoba untuk tidak berbaur dengan anggota keluarga yang lain sampai makan malamnya dihidangkan di atas meja makan super. Sudah menjadi semacam aturan tidak resmi untuk para cucu menghilang setelah selesai menghabiskan apa pun itu yang mereka makan saat sarapan dan harus sudah ada di rumah saat gelap tiba. Itu membuatku bahagia. Aku selalu melakukan banyak hal yang menyenangkan dan membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Memanjat pohon, berenang di danau yang berada tidak jauh dari sini, merokok untuk pertama kali, semuanya terjadi di sini. Dan ya, semuanya menjadi tidak begitu menyenangkan setelah kau dipaksa untuk menjadi dewasa oleh satu dan dua hal.

Nina yang jelas-jelas terlihat mabuk sedang menghisap rokok ketiganya sore ini. Aku tidak tahu apa yang sedang berada di dalam kepalanya saat ini. Mungkin aku tahu apa yang sedang ada di dalam kepalanya saat ini. Hanya saja aku lebih memilih untuk tidak menjadi sepupu yang peduli dan penyayang dengan mendesaknya untuk menceritakan apa pun itu yang sedang mengganggunya saat ini. Lagi pula, itu urusan yang harus dia—

“Apa aku sudah memberitahumu soal teman Rian yang akan menginap di sini?”

“Apa kita sedang berada di panti sosial?” tanyaku ragu-ragu. “Karena sejauh yang bisa aku ingat, kakekmu tidak senang saat ada orang asing datang untuk bertamu.”

“Ya, namanya Jebediah.” Nina menghisap rokoknya dalam-dalam lalu melemparkan puntungnya yang masih membara ke sembarang arah. “Bajingan yang malang.”

“Kakekmu, abangmu atau Jebediah?”

“Jebediah.”

“Oh.”

“Aku dengar dia semacam membutuhkan waktu tambahan untuk memikirkan apakah dia benar-benar ingin melanjutkan pernikahannya atau tidak,” katanya. “Lucu karena bajingan itu dan perempuan yang akan dinikahinya baru bertemu beberapa kali dan tidak pernah punya kesempatan untuk membicarakan semua itu secara lebih personal.”

Aku tidak bisa untuk tidak tertawa seperti kuda. “Apa mereka tidak punya teknologi bernama ponsel? Yang benar saja.”

Well, tidak seperti dirimu, Feb, mereka sibuk sekali,” ujar Nina sambil tertawa. “Mereka sama-sama berasal dari keluarga yang sangat kaya raya dan sama-sama dipaksa untuk menjadi penerus orangtuanya. Jadi ya, mereka tidak punya waktu luang untuk menonton video kucing di sosmed.”

“Aku terluka tapi aku baik-baik saja,” sahutku.

“Baramuli. Kau pernah dengar nama itu?”

Tentu saja aku pernah mendengarnya. Itu adalah nama belakang pemilik situs berita online tempat aku bekerja paruh waktu beberapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah situs berita itu adalah satu dari banyaknya perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Baramuli. Aku tidak tahu apa nama perusahaannya tapi yang jelas dua persen dari total kekayaan mereka tahun lalu disebut-sebut lebih dari cukup untuk melunasi hutang negara.

 “Ya, Feb, tentu saja kakekmu tidak keberatan karena dia akan mendapatkan banyak sekali uang karena sudah menyediakan tempat persembunyian untuk teman cucumu sekaligus anak konglomerat yang melarikan diri dari pernikahannya. Di sisi lain, tua bangka itu punya kesempatan emas untuk mendapatkan investor yang siap membantunya membangun hotel baru dan mendapatkan promosi gratisan dengan menggadaikan harga diri kita yang sebentar lagi akan terluka karena dipaksa untuk memenangkan hati si anak konglomerat dalam sekejap mata karena pernikahannya akan digelar besok pagi. Itu sekitar... entahlah. Lima belas jam lagi,” kata Nina dalam satu tarikan napas.

Aku menyelipkan beberapa helai rambut yang tertiup angin sore ke belakang telingaku lalu tersenyum. Aku sudah menduga kalau apa pun itu yang mengganggu pikirannya hari ini pasti sesuatu yang sangat sensitif. Aku kira dia bermain api lagi dengan si store manager yang sudah punya istri dan anak. Tapi ternyata kali ini jauh lebih gila. Sekarang aku merasa seperti tengah berada di dalam situasi mengerikan sementara yang aku inginkan hanyalah menghilang untuk beberapa saat.

“Jadi, itu yang berkecamuk di dalam kepalamu selama ini?” tanyaku dengan hati-hati.

“Kurasa,” desah Nina lalu mengedikkan bahu. “Entahlah. Aku tidak bermaksud menguping tapi yang Rian dan kakekmu katakan di ruang kerjanya sangat menarik untuk dilewatkan begitu saja.”

Aku memutuskan untuk tidak membalasnya dan terus tenggelam dalam diam, bertanya-tanya apakah Nina benar-benar sedang melantur karena mabuk atau sekedar mengacau. Mengacau adalah nama tengahnya, tapi dia tidak perlu repot-repot untuk melakukannya. Ini terasa seperti ada sesuatu yang aneh, hanya saja aku tidak begitu peduli apa itu.

Nina menepuk bahuku dengan pelan lalu menuding ke arah rumah. Di sana, di beranda rumah yang cukup luas dan ditutupi oleh tanaman rambat yang menjuntai dari balkon lantai 2, aku melihat Rian dan seseorang yang mengekor di belakangnya menghampiri kakek. Aku benci harus mengatakan ini, tapi, dia bukan salah satu dari banyaknya sepupu yang aku punya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status