Share

Pagi yang Ganjil

Pagi itu, Zero bangun lebih awal dari pada biasanya.

Sesuatu membuatnya merasa sulit untuk memejamkan mata. Namun ia tak ingin berlarut-larut dalam kejadian semalam. 

Ia bangkit dari ranjangnya dan membersihkan tubuhnya.

Jam dinding menunjukan angka 5.00 dini hari. ia merasa tidak punya kegiatan di pagi itu. Makanya ia menyibukan dirinya di area dapur dalam apartemennya.

Ia menarik sebuah roti sobek dalam kulkas, lalu ia memanaskan buntalan roti di atas teplon milik ibunya. Dalam semua pergerakannya di atas kompor, ia menatap api dengan tatapan kosong. Zero masih ingat detik-detik dimana dia selalu di siapkan sarapan pagi oleh ibunya.

Gara-gara kelakuan ayahnya yang selalu bermain dengan banyak wanita, membuat sang Ibu menghempaskan nyawanya sia-sia dengan cara bunuh diri.

Itu sebabnya dia sangat dingin terhadap wanita.

Prak!

Tak sengaja teplon panas berisi buntalan roti yang telah di panggang terjatuh kelantai akibat lamunannya.

"Aw!" Zero terbangun dari lamunannya dan segera mematikan kompor berjaga-jaga agar tidak terjadi apapun dengan api itu.

Tapi Roti yang tengah sampai di atas lantai tak terselamatkan. Dengan sesak hati pagi itu hanya sarapan dengan setenggak kopi panas yang sudah terseduh otomatis dalam dispenser yang sangat canggih.

Srrrppptt! glek! ach!

Ia sangat menikmati semua inci kopi yang mengalir dalam tenggorokannya.

Bayangannya tentang sang ibu menjadi cambuk berat untuknya agar melanjutkan hidup semakin semangat.

Zero menyimpan kopinya di samping televisi dan menarik sepatu sportnya hendak berolah raga.

Ia pun sudah siap mengenakan kaos bernuansa hitam berpadu padan dengan celana boxer kesukaannya.

Zero yang melupakan kopinya hendak melakukan pemanasan di depan pintu sebelum keluar dari apartemennya.

plok! plok! plok!

Sepatu yang ia pakai bersuara beriringan menandakan semangatnya sedang menggebu. Dirasa pemanasan telah selesai, ia menarik handuk kecil lalu barulah ia keluar dari apartemennya dan tak lupa lagi mengunci kediamannya agar tetap aman.

Hampir beberapa keliling ia berlari mengitari taman kota, dan keringat pun sudah sangat membasahi dadanya.

Matahari pagi itu sudah tidak bersembunyi lagi. Penampakannya menyinari setiap tetes keringat yang mengalir di pipi Zero.

"Huft! lumayan. Buat kebugaran badanku, kurasa ini sudah cukup. istirahat dulu ah ...."

Zero membeli sebuah air mineral de pinggiran taman samping jalanan kota.

Ia menenggak air itu dengan menyemburkan sebagiannya ke seluruh wajahnya.

Lepas ia mendinginkan badan, tak sengaja ia melihat seorang anak kecil berlari-lari mengejar bola yang menggelinding semakin menjauh, sampai-sampai bola itu hampir melaju ke arah jalan kota.

"Awas!" teriak Zero melempar botol air minumnya, dengan reflek ia berlari sekencangnya mengikuti anak itu ke tengah jalan.

Gerak cepat ia memeluk anak itu dan mengangkat tubuhnya setengah melayang ia memberikan sebuah perlindungan agar anak laki-laki itu tidak cedera.

Zero meloncat sekuat tenaga menghindari truk besar yang hampir menabrak tubuh polos si kecil.

Ngiiiengggg! Brak! 

Truk itu pun terhenti dengan keadaan menyusut di tengah rerimbunan pohon taman. Dan untungnya tak ada satu pun korban dalam bencana itu.

"Hiks, heuh'euh...," anak itu menangis saking kagetnya.

"Sttt! anak lelaki tidak boleh cengeng! itu hanya hal kecil dan sudah terlewati, jangan nagis lagi ya!" Zero tak mengerti cara meredakan tangisan anak seusia dia.

Tapi ia melihat ada penjual es krim melewatinya.

"Bang! Es krimnya satu!" pinta Zero.

Tak menunggu lama ia menyodorkan satu corong es krim pada anak laki-laki itu.

"Dengan siapa kamu kemari?"

Anak itu menggelengkan kepalanya.

"Dimana rumahmu?"

Ia menunjuk gedung sebrang apartemennya.

"Itu?"

Anak itu menganggukkan kepalanya sambil melumuri lidahnya dengan es krim pemberian dari Zero.

"Oh, kalau itu sih dekat sekali dengan rumah kakak, kita pulang bareng-bareng yuk!" ajak Zero mengusap keringat di atas dahinya.

Nampak terlihat sangat akrab mereka saling bergandengan berjalan bersama. Ia merasa pernah bertemu sebelumnya dengan anak itu. Tapi ... entahlah. perjalanan mereka semakin jauh dari taman pun seolah tidak menyisakan sedikit pencerahan.

Hanya ada kenyamanan antara keduanya saat mereka sedang saling bergandengan.

Ketika perjalanan mereka hampir sampai di depan apartemen Zero, ia sangat terkejut dengan beberapa lelaki bertubuh besar dan kekar sedang menggulung perempuan di pinggiran jalan.

Zero sangat kenal dengan salah seorang dari lelaki berotot itu. Ia rasa bukan waktu yang tepat untuk menyambangi kerusuhan itu karena dirinya sedang bersama dengan anak kecil.

Ia celingukan cari selot untuk mengelak. Tapi parahnya anak lelaki yang sedari tadi bergenggaman tangan dengannya melepas cengkraman Zero.

"Ibu ...!" teriak anak lelaki itu berlari ke arah wanita yang sedang di pukuli para preman itu.

"Ibu?" herannya Zero.

Situasi yang sangat menyulitkannya. Membantu pun ia tak bisa.

Kalau sampai preman-preman itu di hadang oleh Zero maka masalahnya dengan Bos Dady akan semakin rumit.

Tapi melihat drama yang sangat menyedihkan di depan matanya, antara Ibu dan anak lelaki itu membuatnya sedikit tergugah.

"Wanita itu?" matanya semakin membelalak ketika wanita itu di jambak oleh para berandalan dan menampakan wajahnya semakin gamlang.

Wanita yang semalam ia bayang-bayangkan ternyata ibu dari anak lelaki itu.

Ia belum sempat mengucap rasa terimakasihnya, karena telah menyelamatkan nenek-nenek yang hampir saja ia tabrak kemarin sore.

Ia juga melihat sesuatu yang tersirat dari tatapan wanita itu. Tapi sayangnya detik itu ia tak bisa balik menolongnya. ia seolah terbatas oleh sebuah dinding tak kasat mata.

Zero bersembunyi di balik dinding gedung yang sangat kokoh hingga tubuhnya tak menampakan bayangan dari cahaya matahari yang ada.

"Maaf!" bisik hatinya dengan mata sedikit menyesal.

Ia berjalan perlahan menjauh karena tak tega melihat keduanya tersakiti. Zero berpura-pura tidka mendengar teriakan minta tolong di pinggiran jalan yang cukup sepi.

Batinnya merasa terpukul padahal kenal pun tak pernah dengan mereka.

Zero hanya bisa menelan air liurnya dan perlahan memejamkan matanya hingga cahaya matahari terlihat redup di pelupuk matanya.

'Kring ...!'

Handphone yang belum sempat di ganti masih bisa berdering walau cukup lemah.

"Hallo?" jawabnya lemah pula.

"Jangan lupa nanti malam jadwalmu! pagi dan siang sudah padat!" suara padat itu cukup menekan perasaannya.

"Baik Bos!" berat hati pun ia teteap berusaha profesional dengan pekerjaan haramnya.

Lepas menutup telponnya, Zero hendak akan melanjutkan langkahnya, suara teriakan pun terdengar sudah sepi. Ia berusaha berlari dari kenyataan dan tetap dalam dunia mayanya.

Tapi ketika kaki yang tertatih hendak melangkah, suara kecil itu datang hampir seperti ada di daun telinganya.

"Paman! tolong aku!" suara kecil itu semakin dekat saja.

Zero tak bisa menutup kenyataan itu. ia menguatkan hati untuk menoleh.

"Kamu?"

Bruk!

Dengan kuat anak lelaki itu memeluk erat Zero seperti sedang ketakutan sekali.

***

Penasaran 'kan? baca selanjutnya ya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status