Share

Berhati-hati

"Ka-kamu siapa? kenapa ada di apartemenku?" tanya Zero terbata-bata.

Ia menjulurkan tangannya seolah sedang waspada.

Seorang Pria muda berusia kira- kira di atas umur Zero tersenyum sinis.

Berdiri tegak saling berhadapan.

"Jangan so' munafik! aku bayar kamu mahal!" ucapnya mengagetkan Zero.

Jelas Zero kaget. Selama ini dia tidak pernah mencampur adukkan antara kehidupan real dengan bisnis malamnya. Apalagi pelanggan kali ini datang langsung ke apartemennya, dan parahnya lagi yang berhadapan dengan Zero adalah seorang pria.

Ia tahu harus semakin waspada karena Pria akan lebih membahayakan dibandingkan wanita.

Alih-alih Zero menyambutnya, ia malah bersikap bodoh dan berpura-pura polos tidak tahu apa yang sedang di ucapkan pria itu.

"Kamu salah orang! saya mohon jangan ganggu saya sekarang!" dalih Zero sedikit mengelak.

"Oh, jadi gini ya pelayanannya? mengecewakan!" ucap lelaki itu dengan sangar. "Lihat saja! kamu akan menerima balasanku! lihat saja tanggal mainnya, sampai kamu mau berkencan denganku!" lanjutnya sambil menarik jas hitam dan ia kaitkan di atas bahunya.

Tanpa di usir pun, pria tak di kenal itu keluar dengan santai, lalu memberi kecupan dari kejauhan.

Ketegangan Zero kini mulai cair setelah ia yakin tak ada orang lain lagi di dalam rumahnya.

Pelan-pelan ia melemaskan tubuhnya, dan kembali duduk di atas sofa.

Baru saja ia akan menjulurkan tangan untuk menyalakan televisinya, nada dering handphone itu terdengar nyaring walau si handphone dalam keadaan retak.

"Ya? Hallo? Zero di sini! maaf saya bicara dengan siapa?" papar Zero dengan lugas.

"Jangan banyak bacot! sekali lagi kamu lakukan hal seperti tadi! maka nyawa kamu jadi penggantinya!" jawab gahar dari Bos Dady.

Zero mengangkat tubuhnya tegang dari sandaran kursi. 

"Bos? Ma--ma-af!"

"Ach! sudahlah! sengaja aku antarkan rejekimu hari ini agar kamu banyak duit! tapi kamu menolaknya mentah-mentah? ingat! hutangmu!"

"Bos ... tapi itu seorang Pria? mana aku suka?"

Bos Dady tertawa terbahak-bahak selepas ia marah besar setelah mendengar ucapan Zero yang sangat konyol. Lalu ia menutup telponnya tanpa ada penjelasan.

Memang Zero acap kali mendapatkan klien seorang wanita turis mancanegara. Mayoritas kliennya berusia 30 sampai 35 tahun. Jelas lebih tua darinya, tapi mereka wanita tulen.

Lain dengan malam itu. Ia mendapati pria gagah penyuka sesama. Jelas ia sangat risih. 

Rata-rata para klien bukan mempermasalahkan tentang keintiman, melainkan hanya ingin sebuah perhatian khusus dan perlakuan romantis darinya.

Mereka benar-benar hanya ingin seseorang bisa memahami bagaimana perasaan mereka sebagai para wanita yang haus akan kasih sayang.

Lain dengan Pria, Zero tidak mengerti apa yang harus ia lakukan saat seorang pria datang kepadanya.

Malam itu, ketika waktu istirahat tiba, rasa sakit semakin terasa di bagian kepalanya. Beberapa pikirannya kembali mengingat apa yang sedang terjadi siang itu.

Tatapan seorang wanita sangat tajam terfokus pada dirinya menembus jendela mobilnya. Namun wanita tua yang ia lindungi tak ada kabar selanjutnya.

Zero membayangkan wajah naturalnya yang sangat membekas dalam ingatannya. 

Zero pun menghela nafas, dan menenggak sedikit minuman beralkohol untuk melupakan semua kejadian hari itu.

***

Sedangkan di tempat lain, pada detik yang sama.

Di sebuah apartemen yang bersebrangan jalan agak jauh dengan tempat tinggal Zero.

Seorang wanita menundukan kepalanya di atas meja dalam kesunyian malam. 

Sebut saja wanita itu Anjani Cinshi.

Wanita berkulit putih, tinggi semampai, dan rambut yang sangat lurus hitam pekat nan rapi tak menampakan sebagai wanita yang sudah memiliki anak. Karena tubuhnya yang lenjang terlihat sebagai gadis yang sangat polos.

Ruangan yang sangat redup seolah menjadikan harinya sangat kelam. Tiap tengah malam ia menangis dalam kesendirian.

Sesekali matanya melihat seorang anak lelaki berusia tujuh tahunan, sedang tertidur di atas ranjang yang bersampingan dengan meja riasnya.

Elusan tangan Anjani nampak halus dan lembut seolah menina bobokan anak kecil itu. 

Dan beberapa menit kemudian, suara pintu terdengar menderit pelan.

kreeeek!

"Mas? kamu pulang?"

layaknya lelaki yang sedang kepergok, suaminya terkejut dan berpura-pura membuka semua pakaian kerjanya.

"Aku lelah! ingin istirahat!" jawabnya sinis masih dalam kepura-puraan.

"Mas pergi kemana lagi? kenapa harus pulang selarut ini?"

Brak!

Lelaki bernama Steven Jakson itu melempar  jas hitamnya kencang di atas ranjang, membuat anak lelaki mereka terbangun dan ketakutan.

"Suami kerja masih saja di curigai? aku cape! lelah! bukannya siapin makanan kek, air hangat kek? malah ngeintrogasi kaya gitu?" teriak Steve murka.

Mata kantuk dari anak lelaki itu kini hilang.

Ia langsung meraih ibunya, dan bersembunyi di tengah pelukan Ibunya itu.

"Baik Mas! tak usah teriak pun aku akan melakukannya!" balas Anjani dingin.

"Ibu ...?" bisik anak di tengah dadanya semakin mempererat pelukan.

"Sssstt! ayo kita pindah kamar lain!" Bisik Anjani sambil melindungi anak lelakinya.

Mereka berdempetan berjalan menjauhi Steve.

Dengan berat hati Anjani menyiapkan semua yang dipinta oleh suaminya setelah menidurkan kembali anak lelakinya.

Air hangat sudah di sediakan di dalam satu bathup pesanan Steven Jakson.

Lelaki dingin itu pun berlagak acuh tak acuh mengabaikan Anjani sang istri. Ia malah menikmati semua suguhan dari yang telah di siapkan Anjani. 

Setelah ia menjalankan semua kewajibannya sebagai istri, sekarang giliran dirinyalah yang mengharapkan imbalan atas baktinya.

Setelah berbulan-bulan ia di diamkan. Anjani berharap Steve melakukan kewajibannya sebagai suami.

Karena bagaimana pun juga nalurinya sebagai wanita ingin di sayangi oleh lelaki pilihannya.

Anjani berganti pakaian hanya memakai lingerie dress untuk menarik perhatian suaminya.

Ia berpura-pura memejamkan mata sambil berbaring dengan posisi yang menggoda.

Tapi ketika Steve keluar dari kamar mandinya ...

Anjani terus berharap-harap cemas.

Beberapa detik ia tunggu sebuah belaian dari sang suami, ternyata ketika matanya mengintip, Steve sedang duduk santai di atas kursi yang bersebrangan dengan ranjangnya.

Sama sekali tidak tergoda dengan tubuh sexi Anjani saat itu. 

Nampaknya ia sangat asyik memainkan handphonenya.

Sinar dari handphone miliknya menerangi wajah steve dari kegelapan.

Anjani heran. dan entah malam keberapa kalinya ia selalu kecewa.

Ia hanya bisa merangkul bantal guling sebagai teman kesepiannya.

***

Setalah malam semakin larut, di kediaman Zero.

Ia memikir-mikirkan kembali apa yang menjadi ancaman bosnya atas list hutang yang di kirim lewat inbox.

Mobil mewah Bos Dady yang rusak parah setelah menimpa beton pinggir jalanan, tak akan mudah terlunasi. Bahkan dengan meniduri banyak tante-tante pun tetap saja akan membutuhkan waktu yang lama.

Terlebih hutang budinya terhadap Bos Dady selama di besarkan olehnya tak bisa terhitungkan lagi.

Setelah di pikir panjang. Kini Zero mulai pasrah dengan takdir.

Zero menerima tawaran Bos Dady untuk menjadi pacar lelaki tadi yakni dia adalah Steven lelaki yang memiliki istri dengan satu anak pria.

Dengan berat hati ia mengetik dalam keyboard handphonenya. 

"Baiklah!" inboxnya pada Bos Dady.

"Nah! ini baru pengawal setiaku!" balasnya melewati inbox handphonenya.

"Tapi ... apa boleh aku mengajukan beberapa syarat untuk hubungan ini?" tanya Zero di balik handphonenya tengah malam.

Memohon sebuah penawaran agar hutang itu tidak terlalu mencekiknya.

"Apa syaratnya?"

"Aku ingin mengajukan kontrak!"

"Baiklah besok kita bicarakan!"

Inbox terakhir sedikit membuat hati Zero semakin lega namun tetap berselimutkan rasa cemas.

***

Mau tahu kontraknya?

bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status