“Hey! Bangun! Tuan Mark telah berada di sini!”
Dion melenguh beberapa detik ke depan, matanya berusaha mengerjap dan melakukan perenggangan tangan yang merasa kebas sebagai bantalan. Sinar mentari yang diam-diam menyusup dari celah tirai yang tidak tertutup sempurna, membiaskan warna jingga kekuningan.
Sudah sore, batin pria muda yang masih memakai kemeja biru laut yang sedikit berantakan, celana kain dan pentofel-nya masih terpasang dengan rapi di tubuhnya.
Pria itu menaikkan sebelah alisnya, seorang pria bersetelan formal rapi walaupun akan menjelang sunset sebentar lagi. Otaknya menjelajah ke masa lalu tepatnya dua jam yang lalu, seingatnya yang akan datang adalah seorang wanita yang merupakan anak kedua Tuan Grissham.
“Nona Muda Leyna tidak bisa datang. Jadi, saya yang menggantikannya karena kegiatannya di luar belum bisa ditinggal.” kata pria yang Dion rasa berada di umur tiga puluhannya itu. “Saya Mark Helius. Sekretaris Tuan Grissham. Dia juga yang meminta saya ke sini.”
“Saya mendapat laporan kalau Anda berbuat kesalahan saat di sekolah siang tadi. Bisa Anda jelaskan apa yang terjadi menurut Anda?”
Dion bergerak di atas tempatnya untuk duduk lebih serius, kedua tangannya yang bertaut satu sama lain disandarkan pada meja, “Sebuah kesalahpahaman terjadi, Tuan. Tidak ada yang salah di peristiwa ini. Sekarang boleh kah saya pulang? Nenek saya menunggu di rumah untuk obrolan petang.”
Mark tersenyum lebih tepatnya menyeringai, pria yang belum menikah itu pastil ah membuat kaum Hawa menjerit karena ketampanan yang dimiliki walaupun telah memasuki usia matangnya, “Kalau begitu, Anda perlu kami tahan di sini. Pak, minta tolong untuk antarkan dia di bawah tanah ruang dua, ya.”
“Siap, Tuan.”
Kedua pria bertubuh kekar yang setia berdiri di belakang Dion bak bodyguard itu segera menarik pria setinggi 180 sentimeter itu untuk ke sel tahanan sementara. Tapi, bukan itu yang membuat pria berambut blonde fridge ini menatap sekitar dengan blank.
Dia bahkan tidak sadar diboyong menuruni anak tangga menuju lorong gelap yang hanya diterangi obor. Sampai dimasukkan ke dalam sel tahanan kosong, pria bernama lengkap Dion Addison itu masih kosong bak orang terhipnotis. Kedua penjaga memilih mendudukan pria itu di bangku panjang yang dirapatkan pada dinding sedikit berlumut termakan waktu.
His dream ….
Just now he was dreaming until the bodyguard waked him up.
He swears it is a weird dream.
Demi apapun yang dia punya, mimpinya terlihat mengerikan. Dia tidak bermimpi survive dari zombies atau hidup dengan virus yang mewabah satu planet hingga tidak ada yang bisa berkutik atau akan mati dalam jangka waktu dekat.
Tidak juga memimpikan dimarahi oleh kepala sekolah yang memimpin tempat dia mengajar sekarang. Tidak juga dengan mimpi yang biasa menghantuinya setiap malam setelah kejadian tersebut.
Dia … memimpikan mencium seorang gadis.
Itu seperti membawa sebuah pengalaman baru bagi pria itu yang hanya pernah berkencan sekali. Dia tidak tahu apa yang membuatnya memimpikan itu.
Gadis itu terlihat lugu dan menawan di satu waktu yang bersamaan. Bersinar di matanya hingga Dion berani untuk mendekatkan diri pada gadis yang merapikan rambutnya ke samping bergaya side braid, tengah menyangga diri di pembatas melihat kebun bunga di depannya.
Cuaca yang terlihat tak terik, berawan namun tidak menghembuskan angin kencang, membuat suasana terasa menaik saat Dion mengambil telapak tangan gadis tersebut untuk digenggam. Wajahnya yang terlihat muda melihat pria itu dengan binar senang dan Dion melihat kerlap-kerlip bintang.
Berani melangkah lebih jauh, Dion meraih tangan gadis itu satunya dengan kedua pasang mata itu saling mengunci pergerakan satu sama lain. Dion mendekatkan wajahnya, berusaha menepis jantungnya yang berdetak tiga kali lebih kencang dari normalnya.
Saat kedua bibir saling bertemu dengan mata yang masih terbuka, Dion bersumpah ada banyak kembang api diledakkan dari dalam tubuhnya, jantungnya terasa berhenti memompa darah ke seluruh organ tubuh dan waktu juga berhenti.
Dion melihat gadis itu menutup matanya, dia mulai menggerakkan bibirnya setelah ikut memejamkan mata, menikmati sensai menggelitik yang terjadi setiap detik dalam hidupnya. Bibirnya bergerak pelan, takut untuk melukai gadis tersebut seolah dia adalah kaca mudah rapuh.
Lima belas detik kemudian, pagutan lembut yang pernah dia rasakan terlepas, gadis itu tersenyum lemah dengan dada yang berpacu cepat membuat Dion merasa perutnya diterbangi banyak kupu-kupu.
Belum sempat Dion berbicara, suara menginterupsi mereka dari alam sadar. Sedikit banyaknya, dia ingin mengutuk pria yang membangunkannya dari mimpi aneh namun indah. Tetapi disatu sisi, dia bersyukur karena diselamatkan dari situasi canggung.
Dion berbalik dan mengintip dari celah yang dibuat menjadi ventilasi udara, langit sore yang perlahan berubah menjadi malam dan bertemankan bulan dengan bintang sahabatnya. Dia tertidur dengan kepala yang ditenggelamkan dalam lipatan kaki dan tangannya.
Tanpa Dion ketahui, dalam bangunan yang sama, seorang wanita muda melihat bintang malam dari ujung tempat tidurnya yang merapat pada jendela kamar yang sengaja terbuka lebar. Tatapan sendu telah ada sejak satu jam yang lalu setelah jam makan malam, banyak pikiran hingga wanita itu menutup kaca jendela dan menaiki ranjang untuk mengarungi alam mimpi setelah memeluk boneka anjing favoritnya.
_The Stranger’s Lust_
To Be Continue
Sinar mentari yang mulai menyusup dari ventilasi udara membuat seseorang yang tinggal ruangan tersebut berbalik dan terjatuh dari tempat tidurnya yang keras. Matanya yang terasa berat, mau tidak mau harus terbuka melihat sekitar yang terasa asing. "Ini dimana?!" Sepasang mata itu segera kembali fokus melihat sekitar, ruangan sempit yang jelas bukan tempat tidurnya, sebuah tempat tidur sederhana yang terbuat dari kayu tak berkaki dan digantung rapat ke dinding tepat di belakangnya. Pantatnya yang terasa nyeri karena terjatuh dari alas keras itu mendarat di lantai beraspal dengan beberapa lubang serta lumut. Dia tahu Red House punya penampungan tahanan sementara sebelum kembali dieksekusi lebih jauh oleh ayahnya. Jelas dia tahu kalau dia berada di bawah tanah. Leyna hanya tak habis pikir, kenapa putri pemimpin dijebloskan ke dalam pernjara? Semalam tidak ada peristiwa mengerikan yang hinggap di benaknya, tidak ingat kapan dia masuk ke
"Good morning." sapa Dion yang berjalan kaku menuruni tangga, area lutut ke bawah terasa dingin dan itu membuatnya risih karena sabrina berbentuk floral yang ketat dan menunjukkan lekuk tobuh molek tersebut. Banyak umpatan yang mengarah pada pemilik sejati raga ini, tetapi dia juga merasa bersyukur. Jam telah menunjuk setengah tujuh saat itu, dia masih berkeliling kamar luas yang membuatnya bingung. Tangannya menyortir dinding yang mungkin saja mengarah pada lemari pakaian Leyna, setelah berkeliling sepuluh menit dia mendapatkannya, mendorong pelan bagian dinding yang berbeda dengan kawanannya. Ini lebih mirip butik daripada lemari pakaian, batin jiwa pria tersebut yang menggeleng tak percaya, kabinet yang mengelilingi ruangan tersembunyi tersebut dengan sebuah kursi panjang di tengah dan dua kaca panjang meninggi untuk membantu melihat penampilan anak kedua Grissham. Tungkai kakinya mengelilingi satu ruangan dan berhenti di kabinet s
Sesuai dengan kesepakatan -begitu Dion anggap- dengan Chayton saat sarapan setengah jam yang lalu. Sekarang dia tengah bersiap untuk menuju café tersebut. Setahunya café bergaya klasik itu dibuka lima menit lagi. Karena penduduk di sini yang tidak lebih dari seribu orang, usaha bisa dibuka lebih lambat dari jam biasanya. Kembali lagi dia di kamar pribadi Leyna dengan tubuh yang sama. Sebenarnya, jauh di lubuk hati, dia sudah lelah dengan ini. Inginnya untuk kembali ke raga aslinya. Lebih rela disidang oleh siapapun daripada terperangkap dalam tubuh langsing nan molek seorang gadis. Tangannya meraih sebuah tabung kecil warna pink sakura. “Ini apa?” tanya Dion kepada semilir angin yang menggesek dedaunan pohon di luar kamar. Membuka tutup tabung tersebut dan mengernyit dahi saat melihat kalau itu ternyata ada sebuah lip tint. Seorang guru berusia sepertinya sering kali membawa benda seperti ini dan mengoles ke bibirnya. Setidaknya dia tahu fungsi dicip
“Hey! Hey! Hati-hati bawanya!” “Kami tidak akan seperti ini jika Anda bekerja sama, Tuan.” ucap pria bertubuh kekar yang menahan lengan Leyna sembari menaiki tangga. Leyna menepis pemikirannya tersebut, ini bukan lengannya, tubuh ini juga bukan miliknya. Bagaimana bisa pinggang rampingnya lenyap tergantikan dengan pinggang yang lebih lebar dan punya perut yang samar punya garis. Swear God! Dia tidak melihat, hanya menyentuh tanpa sadar untuk memastikan. Leyna tidak menyangka kalau seluruh bagian tubuhnya berganti dan sekarang dia dibawa ke ruang rapat. Sungguh, dia tidak punya tenaga lagi untuk melawan dan pasrah didudukkan ke kursi. Bukan itu pusatnya, matanya melotot melihat tubuhnya berdiri di samping jendela yang terbuka setengah menikmati sinar mentari pagi. Tubuhnya, tubuh yang sebenarnya. Ada di sana. “Bisa tinggalkan kami berdua?” ucap suara halus miliknya. Benar miliknya tapi keluar dari raga yang tengah berjalan menghampirin
[Leyna POV] Aku menatap tubuhku yang masih duduk di depan meja bundar, lalu kembali melihat pemandangan pepohonan yang dibarengi dengan tempat tinggal burung di ranting pepohonan. “Jadi, kau juga tidak tahu penyebabnya?” Kulihat Stranger Soul -panggilan dariku- menggeleng. Aku kangen mengikat rambut, biasanya aku tidak akan menggerai rambutku seperti itu. Aku juga tidak bisa mengikat rambut yang pendek ini. "Dan, bisa dibilang kita sekarang bertukar raga?" Stranger itu kembali mengangguk, tanpa melihat diriku sama sekali. Aku yakin sekali kalau dua penjaga itu masih berdiri di depan pintu ruangan menunggu sesi kami selesai, aku tidak tahu akan kapan selesainya. "Berapa lama?" tanyaku lagi. Stranger yang mengaku bernama Dion Addison itu menggeleng tidak menahu dengan bahunya yang terangkat. "Kau lebih mirip wartawan daripada anak pemimpin. Daritadi, bertanya.," kata
Dion menyeruput teh melati yang disuguhkan lima menit yang lalu oleh Leyna, entah apa yang membuat Chayton Grissham meletakkan banyak kantung teh melati, bubuk kopi serta setoples gula putih di ruangan tersebut. Begitu juga dengan Leyna yang menjatuhkan pilihan pada air putih. Karena, dia merasa bibirnya kering. "Seperti yang tadi aku katakan, aku seorang guru matematika sekola dasar sekaligus wali kelas enam. Burk's Falls Primary School, di situ tempat aku bekerja," kata Dion yang memulai pembicaraan terhenti sepuluh menit bagi Leyna menyeduh teh di pojok. Leyna mengangguk mengenal lokasi sekolah tersebut. "Seharusnya, hari ini aku punya tiga shift mengajar dan memeriksa tugas mereka. Tapi, sepertinya kepala sekolah tidak akan cepat mencabut tuntutan." "Aku dikenal dengan pria berstandar tinggi. Alasannya karena aku tidak pernah dekat dengan wanita manapun dan tidak terlihat pernah mengencani seumur hidup. Aku tahu itu karena sengaja memancing guru
Dion berjalan ragu dengan sandal rumahan yang telah bersamanya lima jam hari ini. Setelah berlatih selama tiga jam penuh dengan si pemilik tubuh asli yang sekarang sedang dia gunakan untuk tetap dinyatakan hidup, dia kelaparan. Sudah hampir menyentuh angka empat dan satu gedung terasa tak berpenghuni. Lima menit yang lalu, Leyna telah dibawa pergi kembali ke tahanan bersama dua penjaga yang juga ikut berdiri di depan pintu ruang rapat selama mereka di dalam. Tentu saja, Dion mengatakan untuk memindahkan Leyna ke sel nomor satu sesuai permintaannya. Dion baru tahu kalau fasilitas tahanan memiliki hierarki, ada lima belas sel tahanan di bawah tanah Red House. Tapi, hanya ada tiga sel yang lebih baik dari yang lainnya. Menurut pengakuan Leyna, Chayton membuat tiga sel terlihat istimewa karena berdasarkan kasus yang ada. Kalau hanya berada di tingkat ringan, maka akan dimasukkan ke dalam tiga sel tersebut. Kalau berat, maka akan langsung dibawa ke pengadilan.
[Dion Addison POV] Aku terus melarikan pandangan dari anak gadis yang masih memakai pakaian yang sama sejak pagi. Tidak ingin ketahuan dengan tatapan menodong dari Quinza. Aku kembali melirik Quinza dengan ekor mata namun sedetik kemudian aku kembali kabur. "But, it's okay. Siapa tahu kalau Leyna masih menguasai pelajaranku." Quinza bicara dan kemudian kembali duduk ke tempatnya, berbeda denganku yang merasakan jantungku memompa seperti dikejar oleh penjaga tahanan. Aku menghela napas lalu kembali memakan sereal yang telah melemas karena berenang di atas cairan putih. "Leyna baru makan siang?" Aku berdengung dengan mulut yang berisi sereal. Setidaknya itu cukup menjadi jawaban kilas. "Telan dulu, baru ngomong. Bisa dimarahi Daddy kalau ketahuan. Mau kubuat roti panggang dengan sosis keju di atasnya?" tawarnya lagi. Aku menelan makanan lalu menimbang penawaran tersebut. Aku tidak begitu