Bus berhenti di sebuah halte. Belakangan ini Gathan lebih memilih naik bus ketimbang ojek online demi menghemat sedikit uang jajannya. Sebab ia butuh lebih banyak uang sisa akhir-akhir ini.
Karena banyak yang turun, Gathan menoleh sejenak ke arah pintu. Tak terduga, ia melihat seorang gadis familiar menaiki bus usai para penumpang yang telah sampai tujuannya turun semua.
Mata Gathan terus mengikuti gadis itu. Sampai sosok yang jadi sasaran fokusnya memilih sebuah kursi kosong di barisan depan.
Gathan pun kembali menatap layar ponselnya. Mengetuk sebuah aplikasi chatting yang paling sering ia gunakan. Lama ia menatap kontak bergambar gadis cantik yang tersenyum lebar. Kontak milik Fanala.
Begitu kontak itu di sentuh, munculan percakapan terakhir Gathan dengan Fanala. Ragu-ragu Gathan mengetik pesan baru.
Lagi di mana?
"Radit!"Radit yang sudah siap dalam balutan seragam sekolah berhenti mendengar panggilan dari ayahnya saat ia melangkah melewati ruang makan. Ia pun berbalik. Sudah lama tak ada kata di antara mereka. Sejak... lama. Dan ini pasti penting sampai ayahnya mau repot menyapanya.Tak segera Radit menjawab apalagi mendekat. Ia berdiri saja di tempat, dengan tangan menggantung di tali tas."Papa mau bicara. Bisa ke sini sebentar?"Radit menggembuskan napas. Namun ia mendekat juga ke meja makan. Sudah ada lima tahun mungkin ia tak pernah lagi satu meja dengan ayahnya. Amarah dan rasa benci langsung menggerogotinya setiap bertemu tatap dengan pria menjelang paruh baya itu."Duduk!""Aku berdiri juga bisa denger," Radit menolak.Adit mencengkram gelas jus jeruknya. Buku-buku jarinya memutih. Jelas sekali bila pagi ini amarahnya mulai menyala.
Malam Minggu yang cerah. Banyak yang pacaran, atau mencoba mencapai tahap itu. Begitu yang Gathan amati. Terbukti dengan banyak sekali laki-laki yang beli dua es krim coklat cone--sampai Gathan tak kebagian! Jadilah hanya es krim buah rasa pisang yang dapat diperolehnya. Padahal ia tak suka pisang, rasanya aneh. Tapi lebih baik dari pada tidak sama sekali.Gathan membawa dua es krim rasa pisang melewati pintu kaca Indomaret yang dibiarkan terbuka dengan banyaknya pengunjung. Ia menduduki tempat kosong yang baru saja ditinggalkan, di sisi seorang gadis berambut sepundak yang tertunduk tak peduli sekitar. Mencirikan orang galau."Mau gak?" Gathan menempelkan satu es krim ke pipi Fanala. Membuat gadis itu menoleh, sementara ia hanya menelengkan kepala seraya tersenyum semanis yang bisa dilengkungkan bibir tipisnya.Wajah Fanala muram, matanya merah. Seperti orang yang menahan tangis. Yang diyakini Gathan memang terjadi.
Langit cerah. Biru dengan sedikit gumpalan awan seputih kapas. Cuaca yang baik untuk piknik.Gathan dengan kemeja kotak-kotak kecil berwarna biru berpadu celana putih beserta tatanan rambut sempurna, melangkah memasuki pelataran rumah sewa Fanala. Ada keranjang piknik menggantung di satu tangannya. Ia tampak begitu boyfriendable.Buku-buku jari Gathan mengetuk pintu dengan santai. Suasana hatinya sedang baik. Dan suara kicauan burung-burung hias tetangga sebelah membuat siang ini nampak lebih sempurna.Hari ini akan sempurna.Tak lama pintu terbuka. Fanala dalam balutan pakaian semalam muncul seraya mengucek mata dengan cara yang menggemaskan dalam pandangan Gathan. Terang ia telah mengusik tidur gadis itu. Padahal ini sudah siang, lewat tengah hari malah."Kenapa, Than?" tanya Fanala. Suara pelan, khas orang baru bangun tidur."Piknik, yuk?" ajak Gathan. Gatal se
Gathan menutup pintu di belakangnya. Sebelah tangannya bergerak mengeringkan rambut menggunakan selembar handuk berwarna gelap. Dalam dua langkah ia melompat ke tempat tidur, kemudia berbaring terlentang.Hari ini sangat melelahkan. Tapi itu ada apanya dibanding rasa bahagianya. Seharian penuh menghabiskan waktu bersama gadis yang tengah sangat disukainya saat ini. Tertawa, berlari, di pantai. Bahkan suara tawa Fanala yang merdu masih terngiang-ngiang di telinganya. Membuat ia selalu ingin menghela napas dalam, mengapresiasi suara itu.Tangan Gathan meraba-raba mencari ponsel yang tadi dilemparkannya saja sebelum mandi. Tak lama benda itu pun didapatkannya dekat bantal.Ibu jari Gathan lincah bergerak di atas layar, membuka aplikasi chatting berwarna hijau. Mengecek pesan-pesan yang masuk. Ada dari Sasha, Mimi, juga beberapa group yang diikutinya. Tidak ada yang penting. Ia pun beralih melihat snap-snap t
Hanya Fanala sendiri yang turun di halte itu. Macam biasa. Malam begini memang tak banyak yang berhenti di halte ini.Ia agak terkejut mendapati ada seseorang laki-laki duduk di bangku halte dengan kepala tertunduk. Terlebih itu orang yang dikenalnya."Gathan?" panggil Fanala.Laki-laki yang masih menggunakan seragam SMA itu mengangkat wajahnya. Menatap Fanala dengan mata yang biasanya berbinar namun kini tampak suram. Serta ada beberapa memar dan luka di wajah tampannya.Fanala mendekat. "Muka lo kenapa?" Ada khawatir terkandung dalam kalimatnya."Lo gak mau ngelakuin adegan yang biasa ada di drama Korea, Fan?" ujar Gathan, tak mengacuhkan tanya yang ditujukan padanya.Sepasang alis Fanala terangkat tipis. Gagal paham."Ngobatin luka gue," jawab Gathan atas tanya tanpa suara Fanala.Fanala mendengus. Bisa-bisanya Gathan bercanda di saat s
"Dia gak mau liat muka gue, Sha," ulang Gathan untuk kesekian kalinya. "Harus berapa kali, sih, gue bilang?"Dua belas kali sehari dalam satu pekan ini Sasha berkata : 'Baikkan sama Radit sana, Than'. Sampai Gathan muak sekali."Terus lo bakal nurut aja gitu?" tanya Sasha. Ia terus mengekori Gathan. Kegiatannya belakangan ini adalah membordir Gathan dan Radit agar mau berbaikan. Padahal ia tak tahu dua sahabatnya itu bertengkar karena apa. Baik Gathan mau pun Radit kompak untuk bungkam."Gue--""Gue apa?" Tuk! Sasha terantuk. Ia mengusap keningnya yang membentur punggung Gathan. Manusia di depannya ini sungguh tak sadar diri bila sedang diikuti.Sasha memukul punggung Gathan seraya berkata, "Kasih tanda, sih, Than, kalo mau ngerem! Pengen banget gue tabrak."Tidak seperti biasanya bila dipukul Gathan suka bereaksi berlebihan, kali ini laki-laki itu diam saja. Penasaran, Sa
Fanala menahan ujung lengan kemeja sekolah Gathan ketika laki-laki itu melenggang keluar rumahnya bersama Sasha memimpin jalan.Gathan menghentikan langkahnya, "Kenapa?""Mau ngobrol-ngobrol gak, nanti malem?" tawar Fanala.Alis Gathan terangkat. Bingung. Tak penah-pernah Fanala sukarela mengajaknya mengobrol. Ada angin apa?"Gue tunggu, ya," putus Fanala, melepaskan tangannya dari kemeja Gathan. Membiarkan laki-laki itu kembali melangkah, mengekori Sasha yang telah jauh jaraknya.Dan malamnya Fanala betul-betul menanti Gathan. Dalam balutan hoodie belang berpadu celana jeans panjang, ia duduk di kursi bawah mahoni di sudut halaman. Diterangi cahaya lampu teras yang tak seberapa. Tangannya ia selipkan dalam saku, menghindar dari sejuknya angin malam ini.Fanala berharap Gathan segera datang. Namun seperti penantian pertamanya terhadap laki-laki itu, ia ke
Gathan menanti. Gerah sendiri. Ia heran kenapa mau-maunya ia mengikuti ide ini. Karena Fanala, Sasha yang kelewat antusias, atau ia yang memang tolol? Akankah seorang idola bisa memperbaiki sebuah persahabatan? Maksudnya, Radit kan tak sefanatik itu.Terdengar suara pintu aula di buka lalu di tutup sekali. Gathan pun berbalik. Tak ada yang dapat dilihatnya dengan topeng Yoona SNSD menutupi wajahnya. Ini ide Sasha, tentu saja. Kata Sasha, Radit kan tak mau bicara bila melihat tampangnya, jadi itu pasti tak berlaku bila wajah cantik Yoona yang menamengi. Ada-ada saja, bukan? Dan yang lebih ada-ada lagi, ia mau-mau saja mengikutinya.Tak ada suara lagi. Gathan pun segera bicara, "Dit?" takut-takut yang ditunggu malah keburu kabur.Bukannya jawaban yang diterima, malah derit pintu yang didapat. Tergesa Gathan menghela topengnya lepas. Dilihatnya Radit bersiap menyelipkan tubuhnya melewati celah pintu menuju ke luar aula.