Share

Bab 1: Pertandingan Panahan

“Larilah lebih cepat atau kita akan ketinggalan pertandingannya, Rhea.” Philip berlari dua langkah lebih cepat dari Rhea. Rhea mengikutinya dari belakang. Anak-anak yang lain juga berlari di sekitaran mereka.

Tahun ini arena pertandingan memanah Kerajaan Aphrodite memiliki nuansa yang berbeda jika dibandingkan dengan tahun lalu. Adanya seorang manusia yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah pertandingan. Pertandingan yang cukup unik dan menjadi perbincangan panas semenjak seminggu terakhir.

Tetereteteeeeet...

Bunyi terompet terdengar kencang saat seorang peri gajah menghembuskan belalainya memekakkan telinga. Cukup hanya satu tarikan napas, ia mampu mengeluarkan suara nyaring lebih keras dibandingkan dengan suara gaduhnya penonton. Seketika para penonton terdiam. Rhea dan Philip telah sampai saat peri gajah memberikan aba-aba akan dimulainya acara. Mereka berdua duduk di kursi penonton. Sedang arena itu berada di tengah-tengah stadion.

Stadion itu berkonsep terbuka. Kursi penonton dibangun mengelilingi stadion. Perlombaan diisi sebanyak dua puluh peserta. Sembilan belas Peri dan seorang manusia laki-laki. Mereka sudah siap berada di garis start. Memasang aba-aba dan memicingkan mata. Memperhatikan papan sasaran yang bergambar lingkaran. Bulatan terdiri dari angka satu sampai sepuluh. Bulatan terkecil sampai bulatan terbesar.

“Hei manusia, cepatlah keluar dari arena pertandingan. Lebih baik kamu keluar sekarang atau kamu akan malu nantinya,” ujar seorang salah satu peserta. Diikuti dengan gelak tawa peserta lainnya.

“Kamu adalah makhluk bodoh yang tak punya kekuatan dan kalian itu jahat. Apakah kamu tidak malu? Dasar manusia bejat.”

Seketika ia memanas. Mukanya memerah.

“Tunggu saja nanti. Aku akan buktikan kepada kalian semua.”

Tetereteteeeeet...

Pertandingan dimulai. Memanah dilakukan satu per satu. Peserta pertama memanah agak melenceng ke nomor lima. Peserta kedua dengan persiapan yang cukup lama, ia hanya berhasil menancapkan ke nomor empat. Peserta ketiga, keempat, dan kelima masing-masing dari mereka menancap ke nomor dua. Selanjutnya mereka terus bergiliran sampai urutan ke sembilan belas. Terdapat sembilan peri yang berhasil menancapkan ke angka nomor satu dengan sempurna. Sekarang giliran manusia beraksi.

Suara gaduh penonton tiba-tiba terhenti. Semua mata penonton tertuju pada anak manusia itu. Sesekali ada yang berbisik.

“Menurutmu apakah Hans bisa melakukannya?” Philip berbisik pada Rhea. Sambil matanya tetap fokus ke arah pertandingan.

“Ia bisa. Aku yakin.” Rhea menjawab dengan mantap. Walau sebenarnya dari tadi yang dilakukannya adalah menahan napas. Kebiasaan yang akan dilakukannya saat dirinya gugup.

“Mengapa kamu sangat mempercayai manusia itu? Memangnya kamu tidak takut padanya?”

“Mengapa kita harus tidak percaya dengan manusia saat manusia bukan binatang buas? Lihatlah dia! Manusia itu makhluk yang tidak punya kekuatan tapi memiliki tekad yang kuat. Aku rasa seharusnya manusia takut pada kita. Makanya kita harus tunjukin, kalau kita bukan makhluk yang harus ditakuti.” Rhea menyunggingkan senyumnya pada Philip.

Kembali ke pertandingan. Hans menarik napas, lantas menghembuskannya perlahan. Belum pernah ia merasakan gugup tingkat tinggi. Bagaimana tidak? Sekarang ia berdiri di tengah-tengah kumpulan peri yang terkenal dengan sifat ganasnya dan tak mengenal sifat ampun. Begitulah yang ia dengar dari Kerajaannya, Kerajaan Theligonia.

Sebenarnya, ia tidak akan seberani ini. Bertaruh hidup dan mati di tengah arena pertandingan. Kalau tidak ada kejadian seminggu yang lalu.

***

“Tolong aku. Siapapun yang ada di atas sana tolong aku.” Hans berteriak cukup keras. Walaupun ia tidak yakin jika ada seseorang di atas sana. Ia terjatuh di sebuah jurang yang cukup dalam. Berjalan cukup jauh ke dalam hutan sudah cukup baginya untuk memaki dirinya bodoh.

“Tolong aku! Siapapun!” teriaknya lagi. Yang mampu ia dengar adalah suara gema dirinya yang terpantul. Suara parau dari gesekan antar rating pohon menghiasi sore yang semakin gelap. Seharusnya ia takut. Tapi, entah mengapa sejak sepuluh menit yang lalu ia merasakan aura hutan yang berbeda. Lebih tenang dan seperti lebih hidup. Seakan pohon yang disandarnya sekarang ini melindungi dirinya dari tempias air hujan yang sedari tadi mulai menyirami bumi. Ataukah aku berhalusinasi? Setiap ia bergerak bergeser, entah ke kiri atau ke kanan. Ia akan mendapati lengkungan ranting dan daun dari pohon itu bergerak mengikuti setiap ia bergeser.

“Tolong!” teriaknya lagi.

Kepalanya mulai pusing. Matanya mulai berkunang-kunang, akibat kehilangan darah yang cukup banyak. Berasal dari pelipisnya dan pergelangan kakinya. “Tolong aku! Tolong aku!” Diulanginya terus-menerus sampai dirinya hampir menyerah. Krek... terdengar seperti suara retakan ranting yang diinjak seseorang. “Steve, kaukah itu?”

“Aku tidak tahu siapa yang kamu maksud. Akan aku julurkan sebuah ranting. Peganglah dengan erat,” Sebuah suara terdengar dari atas. Dengan sisa tenaga yang ada, Hans memegang ranting itu dengan erat. Namun, ranting yang semula dilihatnya hanya berupa stik kayu. Berpenjar mengelilingi kedua tangannya. Lantas dari bawah. Sebuah akar pohon perlahan mendorongnya naik ke atas.

“Kamu baik-baik saja kan?” Seketika Hans membelakkan matanya. Energinya terasa terisi penuh. Seorang gadis cantik berdiri di depannya. Ia memiliki kulit seputih salju, bibir semerah buah delima, dan rambut abu-abu yang terurai panjang sepinggang. Tersenyum padanya. “Aku bertanya padamu loh! Bukan kepada angin.”

“Iya. Maafkan aku. Aku baik-baik saja. Terima kasih telah menolongku.”

“Kamu tinggal dimana? Saya antarkan kamu pulang. Sementara kamu bisa kugendong terbang ke rumah.”

“Apa? Gendong? Terbang? Bicara apa kau ini!” Hans tertawa kencang.

“Memangnya kenapa jika seorang gadis menggendong laki-laki. Aku itu kuat tahu?”

“Oke, oke. Baiklah kau bisa gendong aku. Tapi kau tadi bilang terbang. Seperti peri aja kau bilangnya!”

“Kan memang aku peri, bodoh. Kamu itu siapa sih? Bukan anak sini. Ha?”

Hans langsung terdiam. Sekali lagi ia memperhatikan gadis di depannya ini. Lantas, memperhatikan hutan yang terbentang di sekelilingnya. Disini bukan daerah pertambangan emas. Ini bukan daerah Kerajaan Theligonia. Jangan-jangan?

Hans menelan ludah.

“Ayo, jawab. Sebenarnya kamu siapa?” Gadis itu memicingkan matanya. Kedua tangannya disandarkan pada pinggang.

“Anak ini adalah manusia.” Philip terbang turun dari arah pohon yang berlawanan. “Ada urusan apa kamu manusia sampai kesini?”

“Mmm..” Hans hanya mampu bergumam.

“Kak Philip, bukannya manusia tidak bisa sembarangan masuk kesini? Kan ada portal dari mendiang Raja Perseus?”

“Sebenarnya hanya ada dua cara bagaimana manusia bisa masuk kesini. Pertama, ia yang memang memiliki hati tulus. Kedua, ia yang menerobos masuk. Dan hei manusia, kamu masuk dengan cara apa?”

Hans merasa tersudut akan sikap judes anak laki-laki yang seharusnya seumuran dengannya ini. Walau badannya jauh lebih besar dengannya. Lebih gagah dan lebih tinggi.

“Jujur saja aku tidak tahu bagaimana aku bisa masuk seperti yang kau bilang. Tetapi sedari tadi siang aku berjalan saja dan aku tidak melihat ada jurang disini. Hasilnya, aku terperanjat di bawah. Aku sama sekali tidak ada maksud apa-apa.”

“Sepertinya kamu manusia baik. Siapa namamu?” tanya Rhea.

“Hans Dharma Panenta. Kamu?”

“Rhea Liseira Mhenta.”

“Cepatlah kamu pergi dari sini. Atau kamu akan saya habisi,” geram Philip.

“Kak Philip, ia sudah bilang bahwa ia masuk kesini dengan berjalan saja. Berarti ia memiliki hati yang tulus. Sudahlah jangan membuat ia takut.” Rhea menimpali.

“Buktikan kalau kamu tidak jahat, wahai Pangeran Hans.” Philip melontarkan tatapan matanya yang garang.

Ia tahu siapa aku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status