“Larilah lebih cepat atau kita akan ketinggalan pertandingannya, Rhea.” Philip berlari dua langkah lebih cepat dari Rhea. Rhea mengikutinya dari belakang. Anak-anak yang lain juga berlari di sekitaran mereka.
Tahun ini arena pertandingan memanah Kerajaan Aphrodite memiliki nuansa yang berbeda jika dibandingkan dengan tahun lalu. Adanya seorang manusia yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah pertandingan. Pertandingan yang cukup unik dan menjadi perbincangan panas semenjak seminggu terakhir.
Tetereteteeeeet...
Bunyi terompet terdengar kencang saat seorang peri gajah menghembuskan belalainya memekakkan telinga. Cukup hanya satu tarikan napas, ia mampu mengeluarkan suara nyaring lebih keras dibandingkan dengan suara gaduhnya penonton. Seketika para penonton terdiam. Rhea dan Philip telah sampai saat peri gajah memberikan aba-aba akan dimulainya acara. Mereka berdua duduk di kursi penonton. Sedang arena itu berada di tengah-tengah stadion.
Stadion itu berkonsep terbuka. Kursi penonton dibangun mengelilingi stadion. Perlombaan diisi sebanyak dua puluh peserta. Sembilan belas Peri dan seorang manusia laki-laki. Mereka sudah siap berada di garis start. Memasang aba-aba dan memicingkan mata. Memperhatikan papan sasaran yang bergambar lingkaran. Bulatan terdiri dari angka satu sampai sepuluh. Bulatan terkecil sampai bulatan terbesar.
“Hei manusia, cepatlah keluar dari arena pertandingan. Lebih baik kamu keluar sekarang atau kamu akan malu nantinya,” ujar seorang salah satu peserta. Diikuti dengan gelak tawa peserta lainnya.
“Kamu adalah makhluk bodoh yang tak punya kekuatan dan kalian itu jahat. Apakah kamu tidak malu? Dasar manusia bejat.”
Seketika ia memanas. Mukanya memerah.
“Tunggu saja nanti. Aku akan buktikan kepada kalian semua.”
Tetereteteeeeet...
Pertandingan dimulai. Memanah dilakukan satu per satu. Peserta pertama memanah agak melenceng ke nomor lima. Peserta kedua dengan persiapan yang cukup lama, ia hanya berhasil menancapkan ke nomor empat. Peserta ketiga, keempat, dan kelima masing-masing dari mereka menancap ke nomor dua. Selanjutnya mereka terus bergiliran sampai urutan ke sembilan belas. Terdapat sembilan peri yang berhasil menancapkan ke angka nomor satu dengan sempurna. Sekarang giliran manusia beraksi.
Suara gaduh penonton tiba-tiba terhenti. Semua mata penonton tertuju pada anak manusia itu. Sesekali ada yang berbisik.
“Menurutmu apakah Hans bisa melakukannya?” Philip berbisik pada Rhea. Sambil matanya tetap fokus ke arah pertandingan.
“Ia bisa. Aku yakin.” Rhea menjawab dengan mantap. Walau sebenarnya dari tadi yang dilakukannya adalah menahan napas. Kebiasaan yang akan dilakukannya saat dirinya gugup.
“Mengapa kamu sangat mempercayai manusia itu? Memangnya kamu tidak takut padanya?”
“Mengapa kita harus tidak percaya dengan manusia saat manusia bukan binatang buas? Lihatlah dia! Manusia itu makhluk yang tidak punya kekuatan tapi memiliki tekad yang kuat. Aku rasa seharusnya manusia takut pada kita. Makanya kita harus tunjukin, kalau kita bukan makhluk yang harus ditakuti.” Rhea menyunggingkan senyumnya pada Philip.
Kembali ke pertandingan. Hans menarik napas, lantas menghembuskannya perlahan. Belum pernah ia merasakan gugup tingkat tinggi. Bagaimana tidak? Sekarang ia berdiri di tengah-tengah kumpulan peri yang terkenal dengan sifat ganasnya dan tak mengenal sifat ampun. Begitulah yang ia dengar dari Kerajaannya, Kerajaan Theligonia.
Sebenarnya, ia tidak akan seberani ini. Bertaruh hidup dan mati di tengah arena pertandingan. Kalau tidak ada kejadian seminggu yang lalu.
***
“Tolong aku. Siapapun yang ada di atas sana tolong aku.” Hans berteriak cukup keras. Walaupun ia tidak yakin jika ada seseorang di atas sana. Ia terjatuh di sebuah jurang yang cukup dalam. Berjalan cukup jauh ke dalam hutan sudah cukup baginya untuk memaki dirinya bodoh.
“Tolong aku! Siapapun!” teriaknya lagi. Yang mampu ia dengar adalah suara gema dirinya yang terpantul. Suara parau dari gesekan antar rating pohon menghiasi sore yang semakin gelap. Seharusnya ia takut. Tapi, entah mengapa sejak sepuluh menit yang lalu ia merasakan aura hutan yang berbeda. Lebih tenang dan seperti lebih hidup. Seakan pohon yang disandarnya sekarang ini melindungi dirinya dari tempias air hujan yang sedari tadi mulai menyirami bumi. Ataukah aku berhalusinasi? Setiap ia bergerak bergeser, entah ke kiri atau ke kanan. Ia akan mendapati lengkungan ranting dan daun dari pohon itu bergerak mengikuti setiap ia bergeser.
“Tolong!” teriaknya lagi.
Kepalanya mulai pusing. Matanya mulai berkunang-kunang, akibat kehilangan darah yang cukup banyak. Berasal dari pelipisnya dan pergelangan kakinya. “Tolong aku! Tolong aku!” Diulanginya terus-menerus sampai dirinya hampir menyerah. Krek... terdengar seperti suara retakan ranting yang diinjak seseorang. “Steve, kaukah itu?”
“Aku tidak tahu siapa yang kamu maksud. Akan aku julurkan sebuah ranting. Peganglah dengan erat,” Sebuah suara terdengar dari atas. Dengan sisa tenaga yang ada, Hans memegang ranting itu dengan erat. Namun, ranting yang semula dilihatnya hanya berupa stik kayu. Berpenjar mengelilingi kedua tangannya. Lantas dari bawah. Sebuah akar pohon perlahan mendorongnya naik ke atas.
“Kamu baik-baik saja kan?” Seketika Hans membelakkan matanya. Energinya terasa terisi penuh. Seorang gadis cantik berdiri di depannya. Ia memiliki kulit seputih salju, bibir semerah buah delima, dan rambut abu-abu yang terurai panjang sepinggang. Tersenyum padanya. “Aku bertanya padamu loh! Bukan kepada angin.”
“Iya. Maafkan aku. Aku baik-baik saja. Terima kasih telah menolongku.”
“Kamu tinggal dimana? Saya antarkan kamu pulang. Sementara kamu bisa kugendong terbang ke rumah.”
“Apa? Gendong? Terbang? Bicara apa kau ini!” Hans tertawa kencang.
“Memangnya kenapa jika seorang gadis menggendong laki-laki. Aku itu kuat tahu?”
“Oke, oke. Baiklah kau bisa gendong aku. Tapi kau tadi bilang terbang. Seperti peri aja kau bilangnya!”
“Kan memang aku peri, bodoh. Kamu itu siapa sih? Bukan anak sini. Ha?”
Hans langsung terdiam. Sekali lagi ia memperhatikan gadis di depannya ini. Lantas, memperhatikan hutan yang terbentang di sekelilingnya. Disini bukan daerah pertambangan emas. Ini bukan daerah Kerajaan Theligonia. Jangan-jangan?
Hans menelan ludah.
“Ayo, jawab. Sebenarnya kamu siapa?” Gadis itu memicingkan matanya. Kedua tangannya disandarkan pada pinggang.
“Anak ini adalah manusia.” Philip terbang turun dari arah pohon yang berlawanan. “Ada urusan apa kamu manusia sampai kesini?”
“Mmm..” Hans hanya mampu bergumam.
“Kak Philip, bukannya manusia tidak bisa sembarangan masuk kesini? Kan ada portal dari mendiang Raja Perseus?”
“Sebenarnya hanya ada dua cara bagaimana manusia bisa masuk kesini. Pertama, ia yang memang memiliki hati tulus. Kedua, ia yang menerobos masuk. Dan hei manusia, kamu masuk dengan cara apa?”
Hans merasa tersudut akan sikap judes anak laki-laki yang seharusnya seumuran dengannya ini. Walau badannya jauh lebih besar dengannya. Lebih gagah dan lebih tinggi.
“Jujur saja aku tidak tahu bagaimana aku bisa masuk seperti yang kau bilang. Tetapi sedari tadi siang aku berjalan saja dan aku tidak melihat ada jurang disini. Hasilnya, aku terperanjat di bawah. Aku sama sekali tidak ada maksud apa-apa.”
“Sepertinya kamu manusia baik. Siapa namamu?” tanya Rhea.
“Hans Dharma Panenta. Kamu?”
“Rhea Liseira Mhenta.”
“Cepatlah kamu pergi dari sini. Atau kamu akan saya habisi,” geram Philip.
“Kak Philip, ia sudah bilang bahwa ia masuk kesini dengan berjalan saja. Berarti ia memiliki hati yang tulus. Sudahlah jangan membuat ia takut.” Rhea menimpali.
“Buktikan kalau kamu tidak jahat, wahai Pangeran Hans.” Philip melontarkan tatapan matanya yang garang.
Ia tahu siapa aku?
Tetereteteeeeet...Pertandingan selesai. Pertandingan hari ini ditutup dengan kemenangan sepuluh besar. Dilanjutkan dengan pertandingan final yang akan diadakan esok hari.“Makanya jangan sok. Malu-maluin klan kamu sendiri.”“Pulang saja sana. Sebelum kami membawamu terbang lantas menerjunkanmu ke lautan bebas.”Gelak tawa terdengar memekakkan telinganya. Napasnya semakin menderu-deru. Kalau saja sifat cengengnya tidak menguap. Mungkin saja ia akan menangis saat ini juga.“Hei, jangan suka menghina. Dia memang berasal dari klan manusia. Tapi ialah tetap makhluk hidup,” bentak Rhea.“Kalian semua pergilah. Biarlah kami yang mengurus manusia ini.”Apa dikata, tentu saja para peri harus menuruti perkataan Philip. Karena ialah Pangeran Philip, Putra Mahkota.“Aku tidak perlu dibela oleh kalian.” Hans menatap tajam ke arah Rhea. Matanya memerah. Dibuangnya alat pan
“Kamu tak temani dia ke Kerajaan Theligonia?” Philip muncul. Sedari tadi ia menguntit Rhea dari belakang.“Tidak.”“Bukannya kamu suka membela dia?”“Stop sindir aku Kak!”“Baiklah. Kamu sudah tahu kan, mengapa kita harus menjauhi dia?”Rhea tidak menjawab sama sekali. Ia membalas dingin tatapan Philip. Lantas, terbang meninggalkan Philip dan hutan terlarang.Teringat kejadian satu jam yang lalu.***Raja Heros, Raja Kerajaan Aphrodite mengadakan pertemuan kekeluargaan secara mendadak. Meminta seluruh anggota Kerajaan berkumpul di aula istana. Raja menutup matanya. Berkonsentrasi sambil menunggu kedatangan mereka.Seluruh anggota Kerajaan, termasuk Rhea dan Philip mendengar panggilan Raja dari radar sinyal yang dikirimkan Raja. Terdengar lewat salah satu gendang telinga mereka, Segera kumpul di ruang aula!Sepuluh menit kemudian, ketika mentari m
“Rhea. Putri Rhea! Bangun Putri!” Suara lembut terdengar dari seorang wanita, membuat mata Rhea bergerak kecil di balik kelopak matanya. “Bangunlah putri kecilku!”“Ibunda, kaukah itu?” Rhea bergumam kecil. Mengucek-ngucek matanya dengan punggung matanya.“Iya, putri kecilku. Lantas siapa lagi yang berada di ruangan ini jika bukan aku yang bersuara. Mengapa putri kecilku tertidur disini? Bukannya disini dingin?”“Tidak apa-apa ibunda. Aku sedang ingin dekat dengan ibunda. Lagian, ranting-ranting pohon ini menjaga kehangatanku.” Rhea bangkit dari tempat tidurnya. Kemudian duduk di dekat meja tempat Putri Harmonie berada.“Lihat dirimu. Seberantakannya dirimu kamu tetap cantik.”“Putri siapa dulu dong!” Rhea tersenyum.“Adakah yang mau kamu tanyakan pada ibu?” tanya Putri Harmonie.Layar wajah hologram Putri Harmonie menghilang sepersekian de
12 tahun yang lalu.Hans Dharma Panenta, seorang Pangeran tampan telah lahir ke dunia di kala bulan purnama menjadi pengisi angkasa malam itu. Kulitnya berpigmen kuning langsat sedang bibirnya merah bagai buah delima. Tangisannya tak seperti sedang meracau, sunyi setelah berada di gendongan Putri Panthea. Berita suka cita tersebut mulai tersebar dimana-mana setelah para penunggang kuda memberitakan berita kelahiran seorang bayi laki-laki calon penerus Kerajaan Theligonia. Pesta akan digelar tujuh hari tujuh malam merayakan kelahiran bayi mungil dari Pangeran Dalmacio.Seluruh seisi istana Theligonia sampai ke pasar digelar acara besar-besaran. Ada yang menyanyi, ada yang mengadakan lomba gulat sampai dengan pertunjukan siapa yang paling terkuat. Masyarakat begitu antusias dengan berita gembira tersebut. Sudah lama sekali Kerajaan Theligonia tidak semeriah ini semenjak Raja Perseus sibuk menangani pekerjaannya di istana.Jika pesta rakyat berada di luar
“Percuma aku bilang ke Ayahanda tentang rencanaku.” Harry mengembuskan napas berat. Matanya kosong menatap ke rimbunan pepohonan. Hutan terlarang.“Manusia keras kepala seperti itu mana peduli akan rencanamu. Jika iya, tentu saja aku pun bisa berkeliaran dengan sangat bebas di Kerajaanmu.”“Hei, cuman kau yang berani bilang dia keras kepala. Kalau Pangeran lain mana berani. Hahaha... ”“Coba ceritakan padaku bagaimana kamu bisa bertemu dengan wanita yang kau ceritakan waktu itu.” Cakra menatap lekat-lekat Harry.“Random sekali Anda. Tadi membicarakan tentang Ayahanda, sekarang kau sangat ingin tahu wanita itu. Mencurigakan.”“Apanya mencurigakan? Aku malas membicarakan si keras kepala itu. Dan tentu saja aku sangat ingin tahu wanita itu, mana tahu aku pernah lihat saat aku main kesana kemarin.”“Wah, kau sudah berani bolak-balik kesana ya? Apakah Ayahanda dan
“Aku tidak pantas menjadi Raja jika aku hanya akan menjadi permainan menteri Kerajaan. Harusnya kamu tahu itu Panthea.”Panthea menarik napas dalam-dalam.“Harry, aku mengenal kamu sejak kita kecil. Kamu adalah seorang yang pemberani. Seseorang yang selalu berlaku adil untuk semua orang. Jika kamu tidak menjadi Raja. Siapa lagi yang bisa?”“Tentu saja suamimu Panthea.”“Tidak Harry. Pangeran Dalmacio adalah Pangeran kedua dan ia terlalu ambisius. Seperti yang kamu tahu bukan?”“Ya. Dan pada akhirnya kamu lebih memilih dia daripada aku.”“Harry!”“Baik. Baik. Aku tetap akan berpikiran sama. Aku hanya menyukai alam bebas. Mengarungi dunia.”“Lantas dengan egomu yang ingin mengelilingi dunia. Pada saat kamu pulang, saat itu juga dunia akan hancur di belakangmu.”“Kamu memang selalu saja seperti ini. Keras kepala.” Har
Sepuluh tahun berlalu sejak Hans dan Rhea bertemu.“Hei, cepatlah berlari. Nanti buruan kita bisa hilang.” Hans berteriak cukup kuat, tatapannya tetap fokus ke arah mangsanya tersebut. Di belakangnya, disusul seorang anak laki-laki berbadan cukup besar seperti anak remaja. Namun, ia seumuran dengan Hans yaitu berumur dua puluh tahun. Ia terus berlari mengejar tuannya tersebut.Peluh bercucuran seiring dua orang laki-laki itu berlari. Mereka berlari dari dalam istana, melewati lapangan hijau, bahkan hampir membuat pasar menjadi lintang-pukang akibat ulahnya. Tetap saja seekor kijang berbadan gempal tersebut berlari tanpa tersentuh oleh tombak yang digenggam Hans dan Steve.Selalu saja tombak yang hendak mereka acungkan ke arah badan kijang berhasil dihindari. Sungguh gesit jika dibandingkan dengan binatang yang biasa mereka tangkap. Tatkala mereka terus berlari semakin lama semakin jauh menjauhi istana. Kini yang berada di samping kiri kanan mereka bu
Pagi-pagi buta. Matahari belum nampak dari peraduannya. Namun, Kerajaan Theligonia telah dibuat ribut. Seorang pengawal memberitahu kepada Raja Harry bahwa Steve, pengawal Pangeran Hans ditemukan sedang terluka di kediaman tabib. Luka di pergelangan tangannya masih basah, tanda baru saja terluka dengan sebuah benda tajam. “Panggilkan Pangeran Hans, segera!” ujar Raja Harry di singgasananya. Masih dengan mata sembab. Tentu saja saat-saat sedang asyiknya terbuai mimpi, terpaksa memenuhi permintaan Raja. Ia telah mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian kebangsaannya. Merapikan rambutnya lantas segera menuju ke ruang utama istana. “Saya datang menghadap, Ayahanda!” ujarnya berlutut dengan telapak kaki kiri menyentuh lantai sedang lutut kanan menyentuh lantai. “Apa yang terjadi dengan Steve? Kalian kemana saja semalam?” Hans bergidik ngeri. Mimpi buruknya datang terlalu pagi. Datang terlalu cepat. Ruang kerja Raja lengang. Hanya a