Selama dua bulan penuh Yukine beristirahat total di rumah, tidak banyak yang dilakukannya bahkan Yukine hampir tidak pernah keluar rumah hanya menyibukkan diri merombak kamarnya dan tenggelam dalam buku.
Hari ini untuk pertama kali kakinya melangkah keluar rumah itu dengan diantarkan oleh Balryu ke tempat yang membuat Yukine bersemangat.
"Universitas, aku datang," gumamnya dalam hati.
Masih teringat jelas bagaimana Yukine memperjuangkan impiannya sampai berakhir mengenaskan, dan kini seperti dibayar di kehidupan keduanya atas semua kerja keras sebelumnya, impian itu kini menjadi nyata--Yukine dapat melanjutkan pendidikan tanpa adanya drama kehidupan--dan itu di universitas besar yang terkenal elit.
Di dalam kehidupan yang sebelumnya Yukine mendapatkan biaya siswa di universitas yang tidak jauh dari kotanya, itupun hanya universitas yang tidak terlalu besar.
"Terima kasih," ucap Yukine pada Balryu ketika akan keluar mobil.
"Kirim pesan ketika akan pulang."
"Aku mengerti," sahut Yukine.
Mobil itu pergi kini Yukine sendirian di depan gerbang menatap kemegahan bangunan universitas besar itu. "Selamat datang," gumam Yukine pada dirinya sendiri sebelum melangkah ke dalam lingkungan universitas itu.
Kebahagiaan tidak terlukiskan menyelimuti hatinya, impian itu kini telah menjadi kenyataan tanpa harus bersusah payah bergulat dengan hujan darah dan air mata.
Begitu banyak mahasiswa berlalu lalang, Yukine mencari gedung jurusan psikologi. Gadis itu tersenyum kecil mendengar jurusan yang diambil oleh Fe Fei, Yukine penasaran sebenarnya Fe Fei ini orang macam apa, yang di tangkap oleh Yukine gadis ini seorang gadis yang manja layaknya nona muda, lalu kenapa dia begitu susah payah ingin masuk jurusan ini sedangkan Yukine sendirian tidak begitu tahu tentang jurusan psikologi, dan juga seharusnya dirinyalah yang harusnya dibawa ke psikolog karena mau tidak mau untuk mengakuinya jika dia mengalami banyak trauma yang sampai detik ini masih melekat.
"Mungkin nantinya aku akan menerapi diriku sendiri," ucap Yukine di dalam hati sambil terus melangkah.
Sebuah tabrakan antar manusia terjadi tidak jauh darinya, itu hanya tabrakan biasa antara dua mahasiswa dan keduanya segera merapikan diri mereka juga saling mengucapkan maaf, ketika Yukine melewati mereka tidak sengaja pandangannya melihat salah satu dari keduanya tampak tidak asing. Pemuda itu juga secara tidak sengaja melihat sekilas pada Yukine yang sedang melintas, tapi segera bertukar kata lagi dengan pemuda lainnya di depannya.
"Davey Damar Langit." Nama itu langsung terucap di benak Yukine, tapi langkahnya tidak goyang sedikit pun.
Telinganya sedikit berdengung ketika wajah dan nama itu melintasi otaknya, Yukine tidak menyangka jika pemuda itu adalah orang pertama yang ditemui di kehidupan barunya ini. Yukine kini telah menjadi Fe Fei maka sudah sepantasnya jika Damar tidak mengenalinya, dan Yukine pun akan bersikap tidak mengenalnya meksipun jika yang berada di sini adalah Yukine yang dulu gadis itupun hanya akan menganggukkan kepala sedikit sebagai sopan santun, karena dengan Damar tidak bisa dikatakan teman akan tetapi mereka hanya saling kenal karena pernah satu kelas ketika mereka di sekolah menengah atas.
Lamunan Yukine terpecahkan ketika pundaknya ditepuk oleh seseorang dari belakang, ketika Yukine menoleh di belakangnya ada seorang gadis yang menatapnya dengan sedemikian rupa.
"Fe Fei," ucap gadis itu dengan tidak percaya.
"Ya," sahut Yukine pelan.
"Ya tuhan, aku hampir tidak mengenali dirimu dengan autfitmu ini," ujar gadis itu sambil memperhatikan dari ujung kepala sampai ujung kakinya. "Kamu tampak berbeda dengan ini," imbuhnya.
Yukine mengenakan pakaian biasa hanya rok hitam yang dipadukan dengan kemeja putih, rambutnya yang panjang hanya diikat biasa tanpa ada riasan terlalu ramai, bahkan Yukine menggunakan perona bibir berwarna nude.
Jika dilihat dari reaksi gadis di depannya itu mungkin dia terkejut karena Yukine pernah melihat Fe Fei di foto suka dengan riasan yang tebal dengan outfit yang berwarna pink serta warna cerah lainnya.
Yukine memperhatikan gadis di hadapannya itu tampak tidak asing, tapi Yukine belum pernah bertemu sebelumnya. Hanya saja Yukine yakin jika pernah melihat gadis ini.
"Kenapa kamu diam saja?" celetuk gadis itu, "Bagaimana keadaanmu? Aku sangat khawatir tidak dapat menghubungimu kami pernah datang ke rumahmu saat itu hanya ada gegemu, katanya kamu sedang sakit dan dirawat di rumah sakit dalam masa pemulihan. Hanya pihak keluarga yang dapat membesuk, gegemu berjanji jika akan menghubungi kami jika keadaanmu membaik, tapi sampai sekarang gegemu tidak mengatakan apa pun."
"Kamu siapa?" tanya Yukine dengan polosnya membuat gadis itu terkejut hingga rahangnya seolah akan jatuh.
"Ha ...? Apa maksudmu? Jangan main-main Fe Fei, kita hanya tidak bertemu kurang lebih dua bulan bagaimana mungkin persahabatan kita selama bertahun-tahun hilang begitu saja, apa ada yang salah dengan otakmu?" Gadis itu terus bicara panjang lebar dengan nada tinggi.
"Ya," jawab Yukine dengan wajah polosnya.
"Ya? Ya apa?"
"Ada yang salah dengan otaku."
"Ha?" Gadis itu kembali ternganga. "Sebenarnya apa yang sudah terjadi padamu?"
"Aku mengalami kecelakaan dan sekarang melupakan beberapa hal, itu yang dikatakan orang tuaku."
"Kecelakaan? Kamu amnesia?" Gadis itu sangat terkejut.
"Sepertinya."
"Ok ok tunggu aku perlu mencerna semua ini," ucap gadis itu sambil berputar-putar di sekeliling Yukine beberapa kali. "Kasihan sekali kamu," ujar gadis itu kemudian memeluk Yukine.
"Aku berjanji padamu akan membantumu mengingat semuanya kembali, tanyakan semua hal yang ingin kamu ketahui aku akan mengatakan semua yang aku ketahui. Pertama-tama perkenalkan aku Khia Na sahabatmu, kita sudah berteman sejak sekolah menengah pertama."
Yukine tersenyum pada Khia Na dan baru mengingatnya di mana melihat gadis ini, itu ada di sebuah foto bertiga dan tampaknya mereka cukup dekat. Setelah melihat situasinya Khia Na menunjukkan gedung jurusan psikologi yang dicarinya. Sepanjang perjalanan mulut gadis itu tidak pernah berhenti bicara sedetik pun, mengatakan banyak hal dan Yukine hanya akan menjadi pendengar setia. Bagaimanapun gadis ini akan banyak membantu ke depannya, benar-benar akan memberikan banyak kemudahan untuknya.
Keesokan harinya ketika Khia Na mengetahui jika Balryu yang mengantarkan Yukine ke kampus, wajahnya tampak rumit dan sulit untuk diartikan, "Ada apa dengan wajah itu?" Yukine menanyakan ekspresi wajah yang digunakan Khia Na untuk menatap Balryu."Bukan apa-apa," gumam Khia Na sambil mendahului Yukine.
"Apakah kamu memiliki masalah dengan gegeku?" tanya Yukine sambil menatap mobil Balryu yang masih terlihat dari kejauhan.
"Tidak."
"Atau kamu menyukainya?" Yukine penuh selidik.
Khia Na tidak langsung menjawab tapi langkahnya terhenti membuat Yukine bersemangat karena tebakannya sepertinya benar.
"Benarkah?" Yukine mencoba memastikan.
Khia Na masih enggan untuk menjawab, tampaknya gadis itu sedang berperang dengan dirinya sendiri. Yukine dengan sabar menunggu temannya itu mengutarakan hal-hal yang ada di pikirannya.
"Bukan aku," ucap Khia Na setelah beberapa waktu.
"Apa yang bukan kamu?"
"Bukan aku yang menyukai Balryu, tapi kamu," ucap Khia Na dengan sangat serius.
"Aku?" Yukine menunjuk dirinya sendiri kemudian ada ledakan tawa.
"Kamu bercanda?" Yukine masih dengan tawa kecilnya meremehkan ucapan temannya itu.
"Apakah aku tampak sedang bercanda?" Khia Na balik bertanya.
"Dia saudaraku."
"Hanya kakak angkat."
Seketika Yukine terdiam dan pertanyaannya beberapa bulan yang lalu terjawab sudah, bagaimana Balryu sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan ayah ibu maupun Fe Fei.
"Bagaimana itu bisa terjadi?" Nada bicara Yukine jauh berbeda dengan beberapa detik yang lalu.
"Kenapa tidak? Balryu hanya kakak angkat. Tampan, sangat baik padamu, memanjakanmu, melindungimu dan itu terjadi bertahun-tahun sejak dari kecil, tentu saja kamu tidak akan rela menyerahkannya pada orang lain, aku masih ingat betul bagaimana kamu marah ketika mengetahui salah satu teman kita menyukai kakakmu."
Yukine masih diam, informasi ini cukup berat untuknya setelah cukup lama kembali melanjutkan pertanyaannya. "Sudah berapa lama?"
"Sejak kita berteman, seingatku kamu sudah sangat memujanya tapi baru masuk sekolah menengah atas kamu menyadari jika kamu bukan hanya sekedar menyayanginya, tapi lebih ingin memilikinya."
Yukine tidak mengatakan apa pun lagi, tapi memorinya memutar pertemuan pertamanya dengan Balryu. Pemuda itu sangat jarang bicara hanya diam dan memperhatikan apa pun di sekelilingnya, tapi pemuda itu akan datang segera jika Yukine membutuhkan pertolongannya. Mereka tampak begitu harmonis sebagai seorang kakak dan adik, tapi juga tidak dapat dikatakan dekat.
Di pagi hari ketika bangun Yukine merasakan tenggorokan terasa tidak nyaman dan bersin terus menerus juga merasakan jika suhu tubuhnya sedikit lebih hangat daripada biasanya tapi Yukine memiliki kelas pagi apalagi dirinya harus datang ke klub hari ini karena tidak ingin menunda menjadi kuat Yukine memaksakan tubuhnya untuk bangun dan mandi air hangat. "Ini bukan apa-apa, aku pernah demam parah tapi masih bisa melakukan banyak hal," ujar Yukine meyakinkan dirinya sendiri.Akan tetapi tekatnya runtuh ketika sang permaisuri rumah ini mendengar dan melihat langsung jika sang putri bersin sampai dua kali ketika menuruni tangga."Kamu sakit?" ujar Xiyun yang sedang ada di meja makan sendirian."Tidak, ini hanya flu ringan," jawab Yukine sambil mendudukkan tubuhnya di samping wanita itu."Sudah minum obat?""Setelan sarapan.""Kamu kehujanan kemarin?""Emm ... tidak." Yukine kembali mengingat semalam memang dirinya tidak kehujanan tapi hanya menerjang hujan sebentar ketika keluar dari rumah
Balryu langsung bertanya kepokok permasalahan, sebelum berangkat pagi ini Yukine sudah memberi tahu kepada ibunya jika akan pergi keluar kota dan akan kembali malam, wanita itu awalnya tidak memperbolehkannya jika Yukine bepergian sendirian akan tetapi terlambat putrinya sudah berada di dalam kereta, Yukine memberitahu wanita itu bukan untuk meminta ijin melainkan sebuah pemberitahuan agar tidak mengkhawatirkannya."Aku akan sampai sekitar jam 7 malam jika tidak ada keterlambatan keberangkatan," jawab Yukine."Aku akan menjemputmu di stasiun. Hati-hati.""Em," Segera panggilan itu berakhir, suara laki-laki itu masih nampak dingin namun terlihat jelas jika sedang mengkhawatirkannya."Siapa?""Kakakku," Yukine menjelaskan situasinya dan mereka memutuskan untuk kembali bersama meskipun mereka naik kereta yang sama dan satu gerbong tapi mereka tidak duduk berdekatan. Setelah kereta itu sampai Damar menghampiri Yukine dan keluar stasiun bersama-sama.Ketika akan berpisah Damar sekalian men
Dengan tergesa-gesa dan tanpa arah Yukine segera meninggalkan tempat itu mereka belum bertemu tapi Yukine sudah melihat Alga dari kejauhan padahal meskipun mereka bertatap muka laki-laki itu tidak akan mungkin mengenali dirinya yang sekarang hanya saja Yukine tidak yakin dengan dirinya sendiri dapat menahan diri untuk tidak memukul wajah itu dengan kayu. Langkah itu masih tergesa-gesa tanpa tujuan pasti tapi gerimis menyadarkannya."Meskipun sudah berlalu cukup lama aku masih belum dapat menenangkan diriku," gumam Yukine pada dirinya senyuman mengejek tercipta karena kekonyolannya sendiri. Kemudian mengabaikan keberadaan laki-laki itu melanjutkan urusannya.Yukine menepi ke sebuah toko serba ada dan membeli sebuah payung tiba-tiba bibir itu tertawa kecil, Yukine menertawakan dirinya sendiri betapa konyol dan cerobohnya dirinya yang datang jauh-jauh hanya demi mengikuti perasannya dan hasilnya kini dirinya terjebak hujan dan tidak tahu akan kemana, jembatan itu masih menjadi tujuan uta
"Apakah gegeku tahu jika aku menyukainya?" Itu adalah pertanyaan pertama Yukine pada Khia Na ketika keesokan harinya ketika mereka bertemu kembali di universitas."Aku tidak tahu," jawab Khia Na sambil menggeleng pelan. Yukine mengerenyit sambil menggigit bibir bawahnya hal ini sangat menyita perhatian dan pikirannya."Kamu nampak frustasi? Kenapa aku merasa jika perasaanmu pada gegemu seperti sebuah aib.""Aku merasa malu saat memikirkannya," jawab Yukine jujur dan mengimbuhkan di dalam hatinya, "Terlebih setelah membaca diary itu." Yukine merasa merinding sampai saat ini sampai tidak berani membuka diary itu lagi."Menurutmu bagaimana reaksinya jika gege tahu tentang perasaanku?""Emm aku tidak yakin tapi di matanya kamu tetap adik kecilnya aku rasa dia memperlakukan dirimu layaknya saudara bukan sebagai seorang wanita.""Semoga saja seperti itu. Lalu apa pendapatmu tentang perasaanku ini?""Maksudnya?""Sebaiknya aku tetap jadi adiknya atau ... bagaimana jika aku jatuh cinta lagi p
Balryu menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya Yukine hanya sekilas melihatnya dan kembali minum setelah itu musik sudah bergulir di playlist berikutnya, Yukine kembali melakukan boxing tidak berani terlalu memperhatikan keberadaan Balryu usahanya akan gagal total jika terus melihatnya. Ketika melihat Yukine begitu bersemangat untuk berolahraga Balryu meninggalkan kamar itu dan Yukine dapat bernapas lega. "Akhirnya pergi juga," gumamnya sambil melirik tempat dimana pemuda itu tadinya berada. Tubuhnya terasa sangat lelah setelah melakukan beberapa putaran lagi sarung tangan itu di buang sembarangan dan kini Yukine merebahkan tubuhnya di kasur untuk merenggangkan otot-ototnya.Pintu itu di ketuk dua kali tapi segera terbuka tanpa menunggu Yukine untuk membukanya, "Turunlah aku sudah menyiapkan makan malam," ucap Balryu sambil memegangi kenop pintu.Yukine menelan ludahnya bukan karena tentang makanan yang disebutkan oleh pemuda itu akan tetapi penampilan Balryu yang masih menggu
Musik itu menggema di kamar Yukine dengan sangat keras sedangkan gadis itu begitu sibuk memukul mesin boxing bundar di depannya, pukulannya selaras dengan musik yang terputar tapi kali ini pukulannya cukup kuat berbarengan dengan gejolak emosi yang ada di hatinya karena perkataan dari Khia Na terngiang di benaknya. Yukine ingat ketika membersihkan kamar Fe Fei dan merapikan barang-barang milik gadis itu menemukan sebuah diary tapi kala itu sama sekali tidak ingin mengintip rahasia Fe Fei."Kamu menyukainya" Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya hingga Yukine mencarinya kembali barang yang mungkin menyimpan rahasia itu dan mencoba untuk mengenyampingkan rasa tidak enak hati karena mengintip rahasia orang lain meskipun ragu.Tapi ketika kembali mendengar kalimat itu kembali terlintas di otaknya fakta tentang Balryu. "Maaf," gumam Yukine lirih sambil menatap diary yang tidak terlalu besar itu dan halamannya sudah hampir penuh. Di halaman pertama nampak tulisan gadis itu belum stabil