LOGINKeesokan paginya, kesadaran Winda seolah belum datang sepenuhnya. Pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang Seonwoo yang menguasainya semalam. Winda menghela napas selagi beranjak ke kantornya.
Kini, udara di dalam kantor terasa jauh lebih mencekam daripada suhu di bawah tujuh derajat di luar gedung. Sejak Seonwoo secara resmi menariknya menjadi asisten pribadi, posisi yang seharusnya diisi oleh tenaga profesional dengan gelar dari universitas ternama, bisik-bisik kebencian mulai merayap di setiap sudut kantor. Winda baru saja hendak mengantarkan dokumen laporan keuangan ke ruang rapat ketika jalannya dihadang. Bukan oleh sembarang orang, melainkan oleh Choi Junseob, seorang Manajer Pemasaran yang dikenal sebagai salah satu 'anjing penjaga' paling setia di perusahaan itu. Choi Junseob berdiri dengan tangan bersedekap, menatap Winda dari balik kacamata mahalnya dengan binar mata yang penuh penghinaan. Beberapa staf lain yang sedang lewat sengaja memperlambat langkah mereka, seperti ingin menonton pertunjukan gratis yang akan terjadi. "Jadi, ini 'sampah' yang dibawa Tuan CEO kita?" suara Choi Junseob memecah keheningan koridor, cukup keras untuk didengar oleh semua orang. Winda berhenti, mencengkeram map di tangannya hingga buku-buku jarinya memutih. "Maaf, Tuan. Saya sedang bertugas." "Bertugas? Menjadi asisten atau menjadi boneka pemuas?" Choi Junseob tertawa sinis, sebuah tawa yang segera diikuti oleh senyum mengejek para staf lainnya. "Aku dengar kau berasal dari tempat kumuh di Jakarta. Bagaimana rasanya merangkak keluar dari selokan hanya untuk menghirup udara bersih di HanGroup? Kau tidak sadar, ya? Bau kemiskinanmu itu tidak bisa hilang meski kau memakai parfum mahal sekalipun." Winda merasakan dadanya sesak. Hinaan itu bukan hanya tentang dirinya, tapi tentang martabat bangsanya, tentang ayahnya, dan tentang perjuangannya untuk bertahan hidup. "Jangan bawa-bawa asal-usul saya, Tuan. Saya bekerja di sini dengan kontrak resmi!" balas Winda, berusaha menjaga suaranya agar tidak bergetar. "Kontrak resmi?" Choi Junseob melangkah maju, memperkecil jarak hingga Winda bisa mencium aroma kopi dari napas pria itu. "Tuan Han hanya sedang bermain-main. Kau tidak lebih dari sekadar mainan murahan untuknya. Setelah dia bosan, dia akan membuangmu kembali ke tempat sampah asalmu. Apa kau mengerti?!" Pada saat yang sama, pintu lift eksekutif terbuka. Sosok tinggi tegap Han Seonwoo melangkah keluar dengan aura yang begitu dominan hingga membuat atmosfer di koridor seolah membeku. Semua orang langsung menunduk hormat, termasuk Choi Junseob yang langsung mengubah ekspresi wajahnya menjadi penuh kepatuhan yang dibuat-buat. Winda menatap Seonwoo dengan mata berkaca-kaca, ada secercah harapan di hatinya bahwa pria itu akan mengatakan sesuatu untuk membela harga dirinya. Seonwoo berhenti tepat di samping Winda. Ia melirik map yang dipegang Winda, lalu beralih menatap Choi Junseob sejenak. Matanya dingin, datar, dan tidak terbaca. "Tuan Han," sapa Choi Junseob dengan nada menjilat. "Saya baru saja memberikan sedikit 'pengarahan' kepada asisten baru Anda agar dia tahu diri." Winda menahan napas, menunggu reaksi Seonwoo. Namun, harapan itu hancur berkeping-keping saat Seonwoo hanya mendengus dingin. "Teruskan pekerjaanmu, Junseob," ucap Seonwoo datar tanpa melirik Winda sedikit pun. "Dan kau, Winda. Masuk ke ruanganku sekarang. Jangan buang waktuku dengan drama tidak berguna di koridor." Seonwoo melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Winda yang berdiri mematung di bawah tatapan kemenangan Junseob. Winda merasa harga dirinya telah diinjak-injak dua kali, pertama oleh musuh yang nyata, dan kedua oleh pria yang secara diam-diam ia harapkan masih memiliki sedikit nurani. Sepanjang sisa hari itu, Winda bekerja seperti robot. Ia tidak berani mengangkat wajahnya saat berpapasan dengan siapa pun. Ia merasa kecil, tidak berarti, dan benar-benar sendirian di negeri orang. Seonwoo sendiri memperlakukannya dengan sangat dingin, memberikan perintah demi perintah tanpa ada satu pun kata yang menyinggung kejadian di koridor tadi pagi. *** Hari berganti dengan begitu cepat Winda kembali ke kantor pagi ini dengan persiapan mental yang lebih kuat. Ia sudah siap jika harus bertemu lagi dengan Choi Junseob dan hinaan-hinaannya yang berbisa. Namun, saat melewati divisi pemasaran, ia menyadari ada sesuatu yang berbeda. Meja Junseob yang biasanya penuh dengan dokumen dan dikelilingi oleh para staf yang menjilat, kini kosong melompong. Seorang petugas kebersihan sedang memasukkan barang-barang pribadi pria itu ke dalam kardus. Winda mengernyit bingung. Ia mendekati salah satu rekan kerja Junseob yang biasanya ikut tertawa saat ia dihina. "Permisi, di mana Tuan Choi?" Wanita itu menatap Winda dengan tatapan ketakutan, wajahnya pucat pasi. "Kau... kau tidak tahu? Tuan Choi diberhentikan pagi ini. Katanya, semua aksesnya ke HanGroup dicabut dan dia dilarang bekerja di anak perusahaan mana pun di bawah bendera Han. Bahkan semua kontrak asuransi dan bonusnya dibatalkan secara sepihak." Winda terkejut. "Diberhentikan? Kenapa?" "Pihak manajemen bilang kinerjanya buruk, tapi..." wanita itu merendahkan suaranya, "ada rumor bahwa Tuan Han sendiri yang menandatangani surat pemecatannya semalam, secara mendadak. Seolah dia melakukan kesalahan fatal yang tidak termaafkan dalam semalam." Langkah kaki Winda terasa ringan namun jantungnya berdegup kencang saat ia berjalan menuju ruang kerja Seonwoo. Ia teringat kembali sikap dingin Seonwoo kemarin. Jika Seonwoo memang ingin membelanya, kenapa dia tidak melakukannya di tempat? Kenapa harus menunggunya sampai keesokan harinya? Saat ia masuk ke ruangan Seonwoo untuk meletakkan kopi, pria itu sedang sibuk menatap layar monitornya. "Terima kasih. Karena sudah membuat pria…" Seonwoo tidak mengalihkan pandangannya dari layar. "Aku memecatnya karena dia tidak kompeten mengelola emosinya di depan staf. Itu mengganggu produktivitas kantorku.” Winda hanya terdiam, namun ia tahu ada sesuatu yang lain di balik nada suara Seonwoo yang kaku. Tapi Winda sendiri belum yakin tentang itu. “Tapi...” “Jangan terlalu percaya diri, Winda. Aku tidak melakukannya untukmu." Winda tercenung. Ia sadar, Seonwoo seolah baru saja menegaskan hal itu pada dunia, bahwa hanya dirinya yang boleh menyakiti Winda.Napas Winda tersengal, dadanya naik-turun dengan tidak teratur saat ia bersandar lemas pada dinding kaca penthouse yang membeku. Seonwoo baru saja melepaskan kungkungannya, namun aura predator pria itu masih terasa menyelimuti seluruh ruangan. Winda menatap pantulan dirinya di kaca; kemeja putihnya sudah tidak berbentuk, robek di beberapa bagian akibat cengkeraman Seonwoo, memperlihatkan kulit pucatnya yang kini dipenuhi jejak kemerahan yang terasa panas."Jangan hanya diam di sana," suara Seonwoo memecah kesunyian, rendah dan penuh otoritas. "Aku lapar. Pergi ke dapur dan siapkan sesuatu untukku."Winda mendongak, matanya yang sembab menatap tidak percaya pada pria yang kini sedang membelakanginya sambil merapikan lengan kemeja hitamnya. "Ini sudah tengah malam, Tuan Han... aku... aku lelah dan tubuhku sakit."Seonwoo berbalik perlahan. Tatapannya begitu tajam, menelusuri setiap inci tubuh Winda yang terekspos. "Aku tidak bertanya apakah kau lelah atau tidak, Winda. Setiap detik wak
Keheningan di dalam penthouse mewah milik Seonwoo terasa jauh lebih mengintimidasi daripada kebisingan di kantor HanGroup tadi. Winda, ia masih berdiri mematung di dekat ruang tengah. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena sisa ketakutan dari kejadian di pantry, tetapi juga karena kemeja putihnya yang basah kuyup mulai mendinginkan suhu tubuhnya hingga ke tulang.Kemeja itu menempel transparan di kulitnya, memperlihatkan rona merah di bahu dan lengannya akibat dorongan kasar para staf tadi. Di pipi kirinya, bekas tamparan Min-hee mulai membiru, memberikan rasa nyut-nyutan yang konstan.Winda menatap punggung tegap Seonwoo yang berdiri membelakanginya di depan dinding kaca raksasa yang menghadap langsung ke kerlap-kerlip lampu kota Seoul. Pria itu sudah melepaskan jas mahalnya, menyisakan kemeja hitam yang pas di tubuh atletisnya. Seonwoo tampak tenang, namun Winda tahu bahwa ketenangan pria itu hanyalah badai yang sedang menunggu waktu untuk meledak.Winda menghirup napas panjang
Pagi itu, atmosfer di kantor HanGroup terasa jauh lebih dingin daripada salju yang mulai menumpuk di jalanan Seoul. Winda berjalan dengan langkah yang lebih berani, ia mencoba mengabaikan tatapan-tatapan tajam yang menghujam punggungnya. Sejak hilangnya Junseob dari daftar karyawan secara mendadak, Winda secara otomatis menjadi musuh nomor satu bagi para staf. Mereka bukan melihatnya sebagai seorang asisten melainkan mereka melihatnya sebagai ancaman yang mampu menggulingkan posisi siapapun, sekalipun itu manajer senior hanya dengan satu kedipan mata kepada Sang CEO.Winda melangkah menuju pantry di lantai eksekutif. Tugasnya pagi ini tetap menyiapkan kopi hitam pekat tanpa gula kesukaan Seonwoo. Tangannya sedikit gemetar saat menggenggam cangkir porselen putih itu. Ia butuh ketenangan, setidaknya beberapa menit saja, jauh dari bisik-bisik jahat di area meja kerja.Namun, ketenangan itu hanyalah harapan yang sama sekali tidak bisa terwujud.Pintu pantry terbuka dengan kasar. Tiga ora
Keesokan paginya, kesadaran Winda seolah belum datang sepenuhnya. Pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang Seonwoo yang menguasainya semalam. Winda menghela napas selagi beranjak ke kantornya. Kini, udara di dalam kantor terasa jauh lebih mencekam daripada suhu di bawah tujuh derajat di luar gedung. Sejak Seonwoo secara resmi menariknya menjadi asisten pribadi, posisi yang seharusnya diisi oleh tenaga profesional dengan gelar dari universitas ternama, bisik-bisik kebencian mulai merayap di setiap sudut kantor.Winda baru saja hendak mengantarkan dokumen laporan keuangan ke ruang rapat ketika jalannya dihadang. Bukan oleh sembarang orang, melainkan oleh Choi Junseob, seorang Manajer Pemasaran yang dikenal sebagai salah satu 'anjing penjaga' paling setia di perusahaan itu.Choi Junseob berdiri dengan tangan bersedekap, menatap Winda dari balik kacamata mahalnya dengan binar mata yang penuh penghinaan. Beberapa staf lain yang sedang lewat sengaja memperlambat langkah mereka, seperti ing
Mobil BMW hitam mewah itu meluncur membelah jalanan Seoul yang mulai ditutupi salju tebal. Di dalam kabin yang kedap suara, suasana terasa begitu mencekam. Winda duduk menyudut di dekat pintu, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Di sampingnya, Han Seonwoo duduk dengan tenang, jemarinya yang panjang sesekali mengetuk layar tablet, seolah-olah ia tidak baru saja menghancurkan hidup seorang wanita.Winda melirik pergelangan tangannya yang memerah akibat cengkeraman Seonwoo tadi. Rasa perih itu seolah menjadi pengingat permanen bahwa pelariannya telah berakhir. Ia kini terikat kontrak yang lebih buruk daripada penjara.“Berhenti menatap jendela seperti itu. Kau tidak akan bisa lari.” Suara berat Seonwoo memecah kesunyian, tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya.Winda tidak menjawab. Ia mengepalkan tangannya di atas pangkuan. “Ke mana kau membawaku?”“Ke tempat yang akan menjadi penjara sekaligus rumahmu mulai sekarang,” jawab Seonwoo dingin.Mobil itu akhirnya berbelok
Lift pribadi itu berhenti dengan sentakan halus di lantai paling atas gedung HanGroup. Lantai yang hanya bisa diakses oleh sang kaisar perusahaan, Han Seonwoo. Saat pintu berdenting terbuka, Seonwoo tidak melepaskan cengkeramannya pada lengan Winda. Ia menyeret wanita itu keluar, mengabaikan rintihan pelan Winda yang mencoba mengimbangi langkah lebarnya yang angkuh. Lantai eksekutif ini didominasi oleh kaca besar yang memperlihatkan pemandangan kota Seoul dari ketinggian, namun bagi Winda, tempat ini terasa lebih sesak daripada penjara bawah tanah terkecil sekalipun. Mereka melewati lorong sunyi yang beralaskan karpet tebal, menuju sebuah pintu ganda berbahan kayu dengan berlapis kan cat hitam premium yang tampak megah sekaligus mengancam. Seonwoo mendorong pintu itu terbuka, lalu menghempaskan Winda ke arah kursi kulit besar di tengah ruangan kerjanya yang luas. "Duduk!" perintah Seonwoo. Suaranya tidak keras, namun mengandung otoritas mutlak yang membuat lutut Winda lemas sek







