Karena Jennie curiga Fikri yang melakukannya, maka dia mengambil kesempatan itu agar dia semakin dekat untuk mendapatkan Jennie. “Astaga, ternyata benar kamu yang meminta bantuan Ayahmu. Terima kasih banyak, Fikri!” Jennie menatap Fikri dengan semangat. Dia bilang selain Fikri, juga tidak ada yang lain bisa membantu Ibunya. ”Fikri, terima kasih ya!” Natalie juga agak semangat, dia tidak sangka ternyata Fikri yang melakukannya. Sean menatap Fikri dengan sangat terkejut, dia tidak menyangka makhluk ini begitu tidak tahu malu. ”Apakah kamu yakin Ayahmu yang membantu Ibu Mertuaku?” Sean tersenyum sambil menatap Fikri. Fikri kaget dengan pertanyaan Sean, terlihat di wajahnya dia sangat panik. “Kalau bukan dari bantuan Fikri, lalu siapa yang melakukannya? Apakah kamu memiliki kemampuan seperti itu?” Jennie menatap Sean dengan sinis. Tatapannya penuh dengan kebencian. “Tidak usah memperdulikan dia, lebih baik kita segera pergi untuk menandatangani sur
Mega pergi meninggalkan Sean dengan perasaan yang sangat marah. Dulu, Mega menikah dengan Sean karena cinta, meskipun dia tidak punya apa-apa dan usaha yang Sean jalani gagal. Tapi, selama anaknya sakit, Mega mengeluhkan segalanya hanya pada Sean. Tapi sekarang Mega begitu kecewa dengan alasan Sean yang tidak mungkin itu, hanya karena dia tidak ingin bekerja. “Apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Sean tak berdaya. “Kita pisah ranjang!” Mega mendengus dan langsung buka pintu keluar kamar. Sean sungguh ingin tertawa setelah melihat Mega menutup pintu kamar dengan kencang. Mengapa selalu tidak ada orang yang percaya saat dia mengatakan yang sebenarnya? — Hari ini, Mega pergi bekerja seperti biasanya. Karena masih kesal dengan Sean, jadi dia langsung pergi begitu saja, tanpa membuat sarapan. Sean bangun untuk membuat sarapan. Setelah makan bersama Andin, dia langsung membawa Andin ke Sekolah. Saat daftar sekolah, terlihat Kepala Sekolahnya seperti ingin m
Dia tahu Sean tidak pergi bekerja lagi dan menggunakan uang yang dihasilkan Kakaknya. Dan yang membuat Jennie kesal adalah Sean masih bisa mengajak Andin ke Mall dengan barang-barang yang mahal tanpa memikirkan bahwa dia telah meminjam sejumlah uang untuk pengobatan Andin. Jennie menilai Sean terlalu boros. “Aku sanggup membelinya.” ujar Sean. “Kamu sanggup membelinya?” Jennie mengejar Sean dan berkata, “Kamu membeli pakaian yang begitu mahal untuk Andin, apakah kamu sudah bilang kepada Kakakku?” Sean malas untuk menjawab perkataannya dan langsung masuk ke toko pakaian anak-anak. “Jennie, Kakak Iparmu kaya juga. Kudengar toko pakaian anak-anak ini paling murah juga membutuhkan beberapa juta.” ujar seorang wanita. “Dia sama sekali tidak kaya!” Fikri tertawa dingin dan menyindir, “Kudengar dia berhutang sebanyak satu miliar lebih, apalagi dia tidak pergi bekerja dan menggunakan gaji Kakak Jennie untuk berlangsung hidup.” ”Hah? Lelaki tidak pergi bekerj
Lalu dia berbalik badan dan berkata kepada pelayan, “Tadi kita telah membungkus enam set pakaian, sejumlah seratus juta. Kalau kamu berani menjual pakaian ini untuknya, maka kita tidak jadi membeli enam set pakaian itu.” “Dan kita juga akan mengadu kepada Manajer mu. Lihat Manajermu ingin menolongmu atau menjilatku,” ucap wanita itu dengan sombong, lalu menoleh menatap Sean. Sean tetap tenang, sedangkan Jennie mereka melihat ke arah pelayan dan melihat apa yang dikatakannya. Pelayan wanita itu mulai sedikit ragu, tapi setelah dia melihat raut wajah wanita kaya itu, dia akhirnya menoleh ke arah Sean dan menunjuk anak wanita itu. Dia berkata, “Adik itu yang memilih ini terlebih dahulu. Lebih baik kalian memilih pakaian yang lain.” “Padahal Andin yang melihat terlebih dahulu. Mengapa kamu bisa berbohong seperti itu? Jangan-jangan kamu mengira mereka lebih banyak uang jadi mereka adalah pelanggan, sedangkan kita bukan?” Jennie memang adalah orang yang gegabah.
“Mencoba lagi? Jangan-jangan kamu seperti apa yang dikatakan wanita itu, demi memuaskan jiwa, sengaja datang untuk mencoba? Pak, bukan aku ingin menceramahimu. Apakah kamu tidak takut dapat membawa pengaruh buruk untuk anakmu?” Pelayan itu menoleh kepalanya menatap Sean. “Darimana kamu melihat diriku tidak bisa membeli pakaian itu? Bukankah mereka hanya membeli enam set pakaian, apakah kamu begitu merendahkan kita?” Sean sudah agak kesal. “Bagaimana, anak muda? Kamu ingin bermain denganku?” Pria dewasa itu menatap Sean kesal. Melihat Sean yang kesal, dia merasa sangat puas. Sean menoleh kepalanya dan menyipitkan matanya melihat pria dewasa itu, “Oh, bagaimana kamu ingin bermain?” Jennie menarik tangan Andin dan berkata, “Ayo, Andin. Tante bawa kamu beli di toko lain. Kita beli dua set.” Sean mempermalukan dirinya sendiri, dia tidak memiliki kemampuan seperti sepasang suami istri kaya itu. Tapi masih ingin bermain dengan mereka. Bukankah dia bodoh? “B
“Hah? Benarkah? Kamu ingin membeli semuanya?” Pelayan rambut pendek itu terkejut dan tak percaya kepada Sean. “Aku telah menghitung semuanya, ditambah beberapa set pakaian yang dipilih Nyonya itu, totalnya dua ratus tiga puluh juta rupiah. Maaf Anda ingin membayar via tunai atau kredit?” Pelayan tadi itu meremehkan Sean. Sean menoleh ke arah pelayan berambut panjang, “Dua ratus tiga puluh juta?” Pelayan itu menganggukan kepalanya. “Baik, aku bayar via debit,” ucap Sean dan berjalan menuju kasir. Pelayan berambut panjang itu baru tersadar kembali dan mengikuti jejaknya. “Sial, apakah dia benar-benar sanggup untuk membelinya?” Sepasang suami istri ini tercengang. Orang ini sama sekali tidak terlihat seperti bisa menghabiskan ratusan juta untuk membeli pakaian. Jennie juga membuka matanya dengan lebar. Tatapan Sean yang pasti juga membuat mereka tidak tenang. “Tuan, Anda membeli semua pakaian disini, aku bisa memberi diskon 3% untukmu,” Pelaya
Anaknya menyukai pakaian itu, maka dia harus membelikan pakaian itu. Itu sudah tidak berkaitan dengan dia dipermalukan atau tidak. “Apakah kamu bodoh, Rahma? Kamu masih percaya kepada omong kosongnya?” sindir pelayang pertama. Pelayan yang dipanggil Rahma itu hanya bisa tertawa judes. Sebenarnya dia juga tidak percaya lagi kepada Sean. Tapi dia juga harus tetap profesional dalam bekerja. Meskipun Sean akhirnya tidak membeli apapun, dia juga tidak akan mengatakan apapun. “Tuan, kalau Anda masih belum membayar, mohon Anda segera tinggalkan tempat ini. Jangan mempengaruhi toko kami,” ucap pelayan pertama dengan cuek. “Sudah cukup berpura-pura kaya, lebih baik kamu cepat pergi dari sini. Jangan menunggu banyak orang yang datang untuk melihat, agar tidak lebih memalukan," ucap wanita itu. Sean menatap wanita itu sekilas, baru saja ingin mengeluarkan telepon menghubungi Roby, lalu dia melihat seorang pria tinggi mendekatinya. “Ternyata Pak Adam yang datang
“Baik, kalau begitu tolong bungkus seluruh pakaian anak perempuan disini. Untuk pakaian anak laki-laki, disumbang saja ke panti asuhan,” ucap Sean. Kedua pelayan itu tercengang dan membutuhkan waktu untuk tersadar kembali. Sean tidak membawa kartu ATM, tapi kartu VVIP ini lebih berguna dari kartu ATM. Saat seluruh karyawan mall ini menerima pelatihan, diminta untuk mengingat selembar kartu VVIP itu dan menyuruh mereka tidak boleh menerima uang dengan menunjukkan kartu VVIP ini, walaupun harga barang itu sangatlah mahal. Biasanya di setiap area mall ini akan memasang video kartu VVIP ini, sehingga mereka sangat mengingat ini. “Mengapa kalian masih diam? Cepat bungkus!” Adam menegur pelan kepada dua pelayan yang terdiam disana. Mereka berdua reaksi kembali dan segera membungkus seluruh pakaian anak perempuan, bahkan kasir pun ikut serta membantu mereka membungkus, setelah selesai menghitung total pembelian. Sedangkan Adam mengeluarkan teleponnya untuk menyuruh o